Jumat, 09 Februari 2018

PARAUSORAT BANGKIT

PARAUSORAT BANGKIT
Parbinsar ni Mata ni Ari Hakaristenon di Luat Angkola[1]


J.R. Hutauruk

Pendahuluan
Tema Seminar ini kaya arti dan makna: “Parausorat Bangkit”. Pertama, pikiran kita diantar ke belakang, ke masa lalu, tempo dulu,  sampai ke zaman nabi Abraham /Ibrahim, bahkan sampai pada zaman penciptaan Tuhan Allah - Missio Dei atau Misi Allah (David J. Bosch, 1999: 596-601).
Kedua: Sejarah Parausorat adalah bagian Sejarah Misi Tuhan Allah yang sudah membumi di luat Parausorat, Angkola dan luat sekitarnya. Sejarah Parausorat di Sipirok  telah menjadi saksi bahwa Tuhan Allah telah melakukan misi-Nya di tengah-tengah  penduduk Parausorat.  Menelisik bagaimana dulu manusia penghuni Luat Angkola tergerak menerima cinta Kasih Tuhan Allah, menjadi pelajaran berharga bagi kita. Karena cinta Kasih Tuhan Allah itu telah mengubah manusia luat Angkola kembali kepada harkatnya semula yaitu manusia beriman, berbudaya (karya), cinta alam dan yang paling penting meningkatkan rasa persaudaraan dan kerukunan. 
Ketiga, sejarah Misi Allah terus berjalan hingga kini. Bagaimana kita generasi abad ke-21 ini tetap bangkit, jangan tertidur, jangan terlena, melainkan tetap hidup beriman, berbudaya (berkarya), bersaudara dan peduli lingkungan alam ciptaan Tuhan.

Misio Dei di Sipirok Luat Angkola
Parausorat  sepanjang sejarahnya yang dapat kita liput adalah suatu luat yang punya adat dan budaya yang tinggi,  diikat oleh rasa persaudaraan sedarah, semarga, seadat, seluat dan memuja arwah nenek-moyang dan debata Tinggi Mulajadi na bolon. Budaya sosial yang menciptakan adanya golongan hatoban  bukanlah budaya arus besar, tetapi budaya harajaon yang menjunjung tinggi harkat manusia yang ingin mencapai kemuliaan (hasangapon), banyak keturunan (hagabeon) dan banyak harta (berilmu, bertani atau berdagang).  
Semangat demikian rupa tetap mendorong manusia Parausorat maju ke depan, terbuka pada kemungkinan-kemungkinan yang berada di depan sana, sekalipun terjadi konflik antar desa atau keluarga. Dengan semangat kekeluargaan itu, manusia Parausorat menghadapi perubahan demi perubahan hingga awal abad ke-19 saat tiga kekuatan politis, ekonomi, agama dan budaya memasuki dunia Parausorat, yaitu kekuasaan kaum Padri dari Sumatra Barat, perluasan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda yang datang dari arah selatan, yaitu dari Sumatra Barat dan kedatangan para pedagang dan pegawai  penganut agama Islam dari Sumatra Barat dan juga para misionaris/pendeta dari benua Eropa.
 Gerakan kaum Padri itu lahir ditengah manusia Minangkabau, yang melakukan pembaharuan di bidang kehidupan beragama sejak awal abad ke 19 dan sejak  1820-an kaum Padri memasuki wilayah tetangga Mandailing, Angkola hingga sampai di wilayah-wilayah sekitar Danau Toba, di mana penduduknya  sebagian sudah menganut agama Islam, namun sebagian besar masih menganut agama  animisme seperti penduduk sekitar  Danau Toba di bagian utara. Akibatnya bukanlah membawa perubahan ke arah yang memakmurkan sebaliknya memiskinkan dan menghancurkan desa-desa beserta penduduknya (Lance Castles, 2001: 13; 16-23). 
 Namun manusia Batak, khususnya penduduk Sipirok,Parausorat dan Bungabondar, tidak hanya meratapi nasibnya, melainkan bangkit kembali  dan  terbuka kepada zaman yang berada di depan sana.  Rasa takut yang sempat menghantui pikiran dan hati mereka tidak membuat mereka kehilangan harapan untuk bisa  bangkit kembali melalui  kekuatan-kekuatan baru. Darah peziarah generasi pendiri luat-luat di Angkola dan Mandailing tetap mengalir dalam tubuh raga dan jiwa mereka.  Mereka melawan  rasa takut dan terbuka kepada peluang-peluang yang bakal datang serta harapan dapat bangkit lagi dari keterpurukan akibat ulah kaum Padri yang menggunakan kekerasan dan penghancuran sendi-sendi kehidupan.
Dalam sejarah sosial Sipirok, Parausorat dan Bungabondar, kedatangan dan kehadiran pemerintah Hindia Belanda berlangsung atas undangan beberapa raja di luat Angkola dan Mandailing untuk membebaskan mereka dari tindak kekerasan dan kebrutalan kaum Padri. Manusia Parausorat dan luat lainnya sadar bahwa opsi terbaik kala itu ialah merelakan diri berada di bawah kuasa penjajah baru, yaitu pemerintah Hindia Belanda yang telah menguasai seluruh pulau-pulau Nusantara sejak mereka menggantikan penguasa Portugis abad ke-17. Parausorat dan luat-luat lainnya di bagian utara Sumatra merupakan wilayah terakhir yang belum berada di bawah kekuasaan pemerintahan  Hindia Belanda. Dengan mBungasuknya Sipirok, Parausorat dan Bungabondar ke dalam kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda, terbuka pula  peluang-peluang baru untuk bangkit kembali melalui rencana dan program pemerintah Hindia Belanda di wilayah-wilayah pendudukannya termasuk Parasorat. Mereka sadar bahwa alat memperjuangkan kebebasan saat itu bukanlah senjata api, tetapi senjata ilmu pengetahuan (pendidikan) dan keterampilan.
Pemerintah Belanda butuh tenaga manusia yang terampil di berbagai bidang seperti bidang administrasi (perkantoran), pertanian, kehutanan, perkebunan,  infrastruktur ( jalan dan jembatan), pendidikan, dan lain-lain. Untuk itu, pemerintah Hindia Belanda dari Batavia (Jakarta) mengangkat para pejabat pemerintah Belanda, seperti Gubernur, Residen, Asisten Residen dan eselon terbawah yaitu Controleur atau Kontelir. Posisi di bawah Konterlir adalah para pejabat pemerintahan lokal, dari kaum pribumi. Dalam hal ini, pemerintah Belanda mengambil kebijakan merekrut para pejabat lokal dari kalangan raja dari setiap luat di Angkola dan Mandailing. Dari antara mereka yang terbaik dan terdekat pada pemerintah Belanda dipilih menjadi Kepala Kuria, yang menerima gaji tetap dari pemerintah. Merekalah yang memimpin pemerintahan lokal “Kuria” dan bertanggungjawab kepada Kontelir setempat.
Tenaga manusia yang terampil itu sangat dibutuhkan pemerintah Belanda, baik dari kalangan penduduk setempat maupun dari negeri jiran seperti dari Minangkabau, bahkan siapa pun yang berminat untuk itu. Lapangan kerja itu terbuka bagi siapapun, tanpa membedakan asal-usul, ras atau agama, karena yang dibutuhkan ialah tenaga manusia yang terampil, terpercaya, jujur dan tidak korupsi. Itulah lowongan kerja yang terbuka lebar untuk semua orang yang memenuhi syarat, yaitu keterampilan.
Meskipun pemerintah Hindia Belanda di negeri asalnya Belanda, di mana agama Kristen Protestan (Calvinis- Reform)  adalah agama negara, yang dibiayai Kerajaan Belanda atau negara,   tetapi mereka memberlakukan  prinsip dan sikap netral terhadap semua agama di Nusantara. Sehingga setiap orang penduduk di Nusantara, bebas melakukan agamanya masing-masing dan setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih agama mana yang dianutnya. Dan kebijakan-kebijakan yang dilakukan Gubernemen Belanda di Luat Angkola dan Mandailing berorientasi pada pembangunan manusia suutuhnya  guna membangun ekonomi dan administrasi pemerintahan Belanda di Luat Angkola dan Madailing. 
Pada saat pembentukan dan pertumbuhan pemerintahan Belanda di luat Angkola itu pulalah kedatangan  para pembawa ‘Hakristenon di luat Angkola’, yang diawali oleh kehadiran seorang pendeta tetapi jabatannya adalah opziener , salah satu dari dinas kepegawaian yang sangat dibutuhkan oleh industri perkebunan Belanda di Luat Angkola dan Mandailing. Para pemberita Injil Hakristenon mengenalkan ciinta kasih Tuhan Allah melalui pemberitaan Injil (Baptisan Kudus) dan pendidikan yang mencelikkan pancaindera dan hati mereka, sehingga dapat mendengar dan melihat perbuatan-perbuatan Tuhan Allah sebagai  tanda cinta Kasih Tuhan Allah kepada mereka yang menerimanya. Dan semua pertumbuhan dan berubahan pasca Padri dapat kita telusuri dan pahami di bawah terang  Misio Dei di luat Angkola dan sekitarnya.

Gerrit van Asselt di Sipirok, Luat Angkola (1857-1861) 
Jemaat Ermelo di Negeri Belanda mengutus Pdt. Gerrit van Asselt (1832-1911) ke Pulau Sumatra.  Beliau tiba di kota pelabuhan Padang, 2 Desember 1856, satu-satunya pintu masuk ke Pulau Sumatra saat itu. Besoknya, beliau menghadap Gubernur Ariens untuk Sumatra, melaporkan diri dan meminta izin memberitakan Injil di wilayah Padang Julu, Sumatra Barat (G. van Asselt, 1911: 2-5; 6 dst). Van Asselt tidak berniat untuk pergi ke Tanah Batak.
Gubernur menolak permintaan beliau dengan alasan keamanan dan mengusulkan supaya pergi ke Tanah Batak yang sudah dalam wilayah pendudukan Belanda, bukan ke tanah Batak yang masih berada di luar kekuasaan Belanda. Gubernur menyebut nama Sipirok di luat Angkola. Di sana, pemerintah Belanda sedang membangun daerah tersebut baik dari tata pemerintahan maupun dari segi pembangunan di bidang infrastruktur, pertanian/perkebunan kopi dan kehutanan, dan lain-lain. Tuan Gubernur menawarkan kepada van Asselt jabatan sebagai Opziener (Penilik atau Pengawas termasuk bidang pengadilan lokal, tetapi terutama mengawasi  gudang kopi pemerintah) dengan gaji 75 Gulden perbulan.
Van Asselt undur diri dari kantor Gubernur, seraya mengatakan akan mempertimbangkan tawaran Tuan Gubernur. Beliau merenungkan penjelasan-penjelasan tuan Gubernur saat membujuk beliau untuk menerima usulan petinggi itu. Dalam telinga beliau masih terngiang  kata-kata bujukan sang petinggi  yang menantangnya dengan pertanyaan apakah dia yang masih muda belia itu sudah jenuh hidup dan ingin mati? Salah satu kalimat yang selalu terngiang di telinganya, yang menurut pikiran van Asselt  ialah imbauan penuh visi Misio Dei: ”Tetapi pergilah kepada kaum Batak di Sipirok; saya akan mengangkat Anda menjadi pegawai negeri dengan jabatan Opziener (Penilik atau Pengawas). Semua orang akan datang kepada Anda membawakan segala perkaranya. Dengan demikian Anda akan punya banyak kesempatan untuk bertemu dan berkomunikasi dengan mereka dan juga belajar bahasa mereka. Dan apabila Anda sudah menguasai bahasa mereka, barulah Anda mampu untuk memberitakan Injil itu kepada mereka.” (van Asselt, 1911: 4).
Memang van Asselt masih  berusia 24 tahun, namun beliau sudah memiliki visi Misio Dei, suruhan Tuhan Allah menjadi mitra kerja Allah untuk memberitakan dan membawakan cinta Kasih Allah kepada semua orang. Kini, melalui sang Gubernur Sumatra, Tuhan menempatkannya di tengah umat manusia di Sipirok, luat Angkola, daerah dan manusia yang belum pernah dikenalnya, baik bahasa, budaya dan masalah-masalah mereka. Di Sipirok, daerah dataran tinggi di Bukit Barisan Sumatra dengan ketinggian 600 meter dari laut, demikian tulis van Asselt dalam buku hariannya (van Asselt, 1911: 3-5; J.R. Hutauruk, 2009: 20-22).
Dengan keyakinan yang pasti bahwa Tuhan Allah yang menempatkannya sebagai Opziener untuk memberitakan dan menunjukkan cinta Kasih Allah. Memang itulah yang terjadi pada diri Pdt. G. van Asselt selama melayani di Sipirok dan di luarnya. Tugas kependetaannya tidak pernah kabur karena tugas pokoknya sebagai pegawai negeri pemerintah Hindia Belanda. Hingga awal 1860, van Asselt bertugas sebagai Opziener, kemudian menggabungkan diri dengan para utusan lainnya yang datang ke Tanah Batak. 

Gerrit van Asselt di Sipirok Pendiri Sekolah Perdana di Sipirok.
Benar apa yang dinyatakan Tuan Gubernur Provinsi Sumatra Barat itu, bahwa van Asselt punya banyak kesempatan untuk mengenal dan berbaur dengan kaum Batak saat mereka membawakan perkara-perkara mereka kepadanya dan melakukan tugas sebagai penjaga produksi kopi Sipirok. G. van Asselt melaporkan keputusan-keputusannya atas berbagai perkara kepada atasannya di Padangsidempuan, yaitu kepada Tuan Kontelir. Beliau memiliki banyak kesempatan untuk bertemu dengan masyarakat Batak, baik di tengah tugasnya sebagai opziener, yang berfungsi sebagai tuan kobun kopi pemerintah, membujuk masyarakat supaya menyetor hasil panennya ke gudang kopi pemerintah di Sipirok, atau menjadi pengawas dalam pembangunan jalan yang mengubungkan Lumut dan Natal.
Van Asselt bukan hanya mengenal Sipirok, tetapi juga daerah-daerah yang jauh di luarnya.  Van Asselt pernah dipindahkan ke Sibolga dan Lumut. Bukan hanya luat Angkola yang dikenal van Asselt, tetapi beliau diutus oleh Gubernur ke pedalaman Tanah Batak yang masih diluar pendudukan Belanda untuk memutus perkara-perkara penduduk di sana. Sambil melakukan tugasnya sebagai opziener, van Asselt punya perhatian pada ragam manusia yang datang dan pergi kepada pusat onan tradisonal, di mana beliau bukan hanya melihat ragam bawaan hasil produksi tanaman dan ternak, tetapi juga manusia sebagai barang dagangan yang dapat dibeli para pembeli.
Onan Sipirok
Pasar tradisional Sipirok punya tempat tersendiri dalam sejarah Misio Dei di Sipirok. Di sana van Asselt bertemu  dengan orang-orang yang datang dari wilayah Toba dan Silindung membawa barang dagangan mereka berupa kuda, kerbau, sapi, tetapi juga manusia yang jatuh  pada status ‘hatoban’ (hamba), biasanya karena kalah judi,  kena sandera orang di hutan,  sebagai pampasan perang atau keturunan hatoban. Tradisi ini meluas bukan hanya di Utara tetapi juga di Selatan, termasuk di Parausorat.
Uniknya bahwa pertemuan Opziener Belanda Pdt. G. van Asselt dengan para hatoban yang digelar di tengah Onan Sipirok, rupanya itulah cikal bakal pendidikan di Sipirok. Karena ketergerakan hati van Asselt melihat para hatoban, beliau membeli mereka dengan uang sendiri mulai dari harga  160 Mark (uang rupiah Jerman senilai 160 kaleng beras) untuk membeli pemuda Djaogot asal Bakkara dari tepi Danau Toba, hingga  membeli tiga anak muda, dua anak gadis dan seorang anak perempuan berumur 4 tahun, dengan harga rata-rata 70 Mark (van Asselt, 1911: 11-12; J.R.Hutauruk, 2014:13-24). Merekalah murid-murid perdana dari van Asselt.
Kemudian atasan van Asselt yaitu Kontelir Padangsidempuan masih menyerahkan kepada van Asselt 5 anak yang juga beliau beli dari pasar. Van Asselt memberi mereka tempat tinggal dan pangan setiap hari, yaitu makan nasi setiap hari sebagimana biasanya menu kaum Batak. Tidak lama kemudian datang beberapa anak yang diantar oleh orangtuanya, dan kemudian juga beberapa raja mengantarkan anak-anak mereka kepada van Asselt dengan harapan supaya mereka ikut pandai dan cerdas. 
Van Asselt memberikan mata pelajaran tentang ajaran dan etika Kristen disamping mata pelajaran pokok yaitu membaca, berhitung, menulis, ilmu bumi dan bahasa daerah (Angkola) dan bahasa Melayu. Pada akhir tahun ajaran, atasan van Asselt, yaitu Kontelir dari Padangsidempuan berkunjung secara tiba-tiba ke sekolah asuhan van Asselt.  Tuan Kontelir menyaksikan kemampuan yang luar biasa dari beberapa anak didik van Asselt, antara lain dua dari mereka sangat dikagumi Tuan Kontelir yaitu Panambai, dulu status hatoban dan Ngalum, anak seorang raja (Kepala Kuria).
Menyaksikan sukses pendidikan atas pimpinan van Asselt, Tuan Kontelir memberikan instruksi pada van Asselt membuka dua sekolah rakyat untuk luat Angkola, satu dekat Sipirok dan satu lagi di Baringin serta mengangkat dua dari anak didiknya yang terbaik, dari kalangan keluarga raja, sebagai tenaga pengajar. Tuan Kontelir akan memberikan gaji mereka setiap bulan, 25 Gulden. Kedua sekolah itu telah didirikan  dengan bangunan yang masih sederhana. Dan  pada tanggal 5 Agustus 1858, van Asselt dengan resmi membuka kedua sekolah itu, pagi hari meresmikan sekolah dekat Sipirok dan sore harinya meresmikan sekolah di Baringin. Dua mantan muridnya menjadi guru perdana di sana. Itulah kebangkitan anak-anak luat Angkola melalui pendidikan perdana rintisan dan pimpinan   van Asselt sebagai pegawai negeri pemerintah Hindia Belanda dengan kekuatan imannya.
Beliau sendiri heran melihat perkembangan yang berlangsung sedemikian cepat. Beliau menoleh ke belakang saat beliau pada tanggal 26 Januari 1857 belum mengetahui bahasa Angkola sepatah pun, namun pada tanggal 5 Agustus 1858, dua orang muridnya sudah menjadi guru Sekolah Dasar di Sipirok dan Baringin. Suatu perkembangan yang tidak pernah terbayangkan oleh van Asselt, terlebih mengingat   awal perjumpaannya dengan anak-anak didiknya yang pernah membuatnya frustrasi karena  mereka  belum  biasa duduk tenang dan mendengar suara guru, tetapi pada akhirnya  beliau menyaksikan  anak-anak muda Angkola yang berbakat dan sangat cepat menangkap pelajaran (van Asselt, 1911: 21 ”…dass die Batak begabte Menschen sind und sehr gut lernen koennen .”; baca juga hlm. 18-21).
Van Asselt masih diberi tugas sebagai  pejabat Kontelir  Sibolga, ibu kota keresidenan Tapanuli. Beliau menggantikan Kontelir Kleerens, yang wafat  26 September 1858. Beliau harus meninggalkan luat Sipirok tempat pelayanannya pertama di Sumatra menuju tempatnya yang baru Lumut. Beliau dibantu  oleh dua orang mantan muridnya di Lumut.  Bagi van Asselt meninggalkan Sipirok dan sekolah binaannya di Sipirok itu tidaklah mudah. Masa dinasnya sebagai pegawai negeri Gubernemen Belanda diperpanjang 16 bulan lagi, sehingga beliau resmi menanggalkan dinas pemerintah Belanda tanggal 19 Maret 1861 sekaligus awal dinas baru di bawah lembaga Zending Batak-Mission.

      Main Tampubolon
Sebuah peristiwa yang tak dapat van Asselt lupakan dari Lumut ialah perjumpaannya dengan seorang anak muda yang melarikan diri dari hukuman orang tuanya di Barus, yaitu hukuman pasung, diikat pada sebuah kayu dan ditempatkan di bawah kolong rumah, dengan sedikit makanan dan minuman (van Asselt, 1911: 32-34). Dia berhasil melepaskan diri, lalu melarikan diri dari Barus hingga akhirnya sampai di Lumut dan bekerja di sebuah toko Tionghoa. Dia pernah mendapat tegoran keras dari van Asselt sebab tega menyiksa seekor kuda dihadapannya.  Beliau memerintahkan  seorang polisi untuk menangkapnya dan diberi nasihat agar tidak lagi melakukannya. Peristiwa ini, bagi pemuda tersebut telah membangkitkan semangat untuk dapat berjumpa dengan van Asselt dan akan memohon agar dia diizinkan jadi pembantu rumah dan pekarangannya. Jalan yang ditempuhnya bukanlah jalan langsung, tetapi melalui suruhannya, yang dilakukan sampai tiga kali. Baru ketiga kalinya, permohon pemuda itu dikabulkan.
Salah satu ucapan pemuda itu yang membuat hati van Asselt luluh dan terbuka menerima permohonannya ialah pernyataannya yang mengatakan bahwa Tuan van Asselt telah menunjukkan  belaskasihannya kepada seekor kuda, apalagi kepada manusia?  Ungkapan dan kesaksian ini bagi van Asselt punya makna mendalam. Pemuda itu namanya si Main berusia sekitar 18 tahun. Dialah nanti salah seorang penerima baptisan perdana di Sipirok pada hari Pesta Paskah, Minggu  31 Maret 1861 bersama seorang pemuda bernama Pagar. Nama baptis dari si Main (Tampubolon) adalah Jakobus dan Pagar dengan nama baptisnya Simon Petrus (Siregar).
Tentang pembabtisan itu, van Asselt bersaksi bahwa bagi beliau dan teman sekerjanya Pdt. Betz sekeluarga, hari itu adalah hari pengucapan syukur, bukan saja karena domba Paskah mati untuk mereka, tetapi juga karena mereka dapat merayakan baptisan pertama di Tanah Batak yang luas. Masih terngiang di telinga van Asselt suara lantang dari kedua pemuda itu saat mengucapkan Pengakuan Percaya mereka kepada Yesus yang mati di kayu salib demi dosa-dosa mereka, dan bangkit lagi dari kematian demi pembenaran mereka di hadapan Tuhan Allah Pencipta. Beliau tidak dapat melupakan kehadiran banyak orang, baik mereka yang masih menganut agama animis, agama Islam dan para tetangga yang ikut melihat peristiwa baru yang pertama kali dilakukan di gedung gereja yang masih sederhana di Sipirok.
Van Asselt membacakan liturgi baptisan dalam bahasa Belanda dan membaptis pertama-tama anak kecil dari keluarga Betz dengan nama Wilhem (Betz), kemudian si Main dengan nama Jakobus dan si Pagar dengan nama Simon Petrus. Sesuatu yang lebih besar dilihat van Asselt dibalik peristiwa baptisan perdana itu, yaitu suatu masa yang lebih cerah, membangkitkan semangat manusia Sipirok dan sekitarnya. Inilah ucapan profetis Pdt. G. van Asselt: “Hari itu adalah suatu hari, di mana roh yang berdiam dalam diriku sangat bersukaria; karena dalam diri kedua orang penerima baptisan kudus itu saya melihat musim panen akbar sebagai lanjutan baptisan perdana ini. Ada kata-kata bijak dari dunia Cina yang mengatakan:’siapa yang dapat melihat baik, dia akan melihat yang tidak nampak.’ Maka saya dapat berkata:’Siapa percaya, maka dia akan melihat Juruselamat sebagai Terang dunia termasuk dunia kegelapan kaum yang masih berada di bawah kepercayaan animisme.’” (van Asselt, 1911: 37; baca  36-37;  J.R. Hutauruk, 2009: 35). Pada hari Paskah kedua, van Asselt beserta seluruh jemaat termasuk Jakobus dan Simon Petrus merayakan Perjamuan Kudus. Van Asselt melayankan khotbah dengan teks Alkitab dari Yes. 52:13-15.    

Para pelayan baru untuk Luat Angkola
Kehadiran dan pelayanan van Asselt di Sipirok dan sekitarnya sangat menentukan jalannya pekabaran Injil di luat Sipirok dan Angkola, bahkan sampai ke tanah Batak sekitar danau Toba. Rumahnya jadi rumah tumpangan setiap orang, termasuk para misionaris yang datang ke luat Sipirok dan Angkola. Para misionaris yang hidupnya sama dengan beliau yaitu mencari nafkah untuk hidup keseharian sambil memberitakan Injil. Dammerbur tiba tanggal 16 Juli 1860,  kemudian Koster , kedua pelayan baru itu mendapat tumpangan di rumah van Asselt.   
Van Hoefen, suruhan Inspektur Zending Rheinische Missionsgesellschaft (Batak Mission) dengan mata kepala sendiri  menyaksikan siapa van Asselt bagi manusia sekitarnya, yaitu penolong dan guru bagi setiap orang disekitarnya, termasuk bagi para utusan baru dari Jerman. Van Hoefen memberitahukan tujuan kedatangannya ke Sumatra, khususnya ke pantai Barat Sumatra untuk mencari lapangan pelayanan untuk beberapa misionaris RMG yang luput dari pembantaian orang Eropa di Kalimantan, di tengah kaum Dayak. Van Hoefen sekaligus mengajak agar van Asselt sudi masuk ke lembaga zending tersebut, supaya para tenaga baru itu bergabung dengan para utusan RMG (van Asselt, 1911: 34). Van Asselt menerima tawaran itu dengan syarat apabila jemaat Ermelo yang mengutusnya itu setuju pada rencana penggabungan itu. Inilah awal sejarah kesepakatan para misionaris, yang bermuara pada Konferensi mereka yang pertama tanggal 7 Oktober 1861 di Sipirok, tempat pelayanan van Asselt sejak 1857 (van Asselt, 1911: 39). Kesediaan dan peranan van Asselt pada proses penginjilan di Sumatra bagian Utara itu sungguh menentukan masa depan penginjilan yang hanya dilayankan sebuah lembaga Zending yaitu RMG atau Kongsi Barmen atau Batak-Mission.
Keputusan van Asselt masuk ke lembaga Zending “Batak-Mission” diikuti oleh Betz, sedang Dammerbur melanjutkan  pelayanannya secara mandiri, tetapi  kemudian hari bergabung dengan Koster dan van Dalen, di bawah  naungan lembaga zending Java-Komitee, yang sudah lama membuka pelayanannya  di Pulau Jawa. Van Asselt sendiri pada saat resmi jadi pelayan atas nama Zending “Batak-Mission” menerima pengabsahan dirinya sebagai misionaris ordinant  atau ‘ordinierter Missionar’ (van Asselt, 1911: 34), dengan demikian punya status yang  sama dengan para pelayan utusan Batak-Mission.  Pengesahan itu punya dua arti: beliau sudah diordinasi oleh jemaat Ermelo, jemaat pengutus beliau, kemudian diakui sah oleh Batak-Mission atau beliau sebelumnya belum diordinasi oleh jemaat Ermelo. Kita tidak mungkin melanjutkan diskusi tentang apa arti pengesahan itu, biarlah itu jadi bahan diskusi dan penelitian di lain kesempatan. Tetapi sebagai pendeta utusan van Asselt punya hak dan tanggungjawab memberikan sakramen baptisan dan sakramen perjamuan kudus kepada anggota jemaat di Luat Angkola.  
Pada tanggal 25 Agustus 1861  utusan baru Heine bertemu dengan  van Asselt, dipandu pemuda Jakobus Tampubolon, kala van Asselt berada pada jamuan makan  oleh satu keluarga Angkola  teman dekatnya. Heine menunjukkan surat jalannya dari Inspektur Fabri, menjelaskan bahwa Heine utusan Batak-Mission  untuk Sumatra (van Asselt, 1911: 39). Besoknya, mereka berdua pergi ke Bungabondar dengan naik kuda, satu pos penginjilan yang wajar dikenalkan kepada   Heine. Tiga hari kemudian , tanggal 28 Agustus 1861 tiba sudah muncul misionaris Koster dan van Dalen beserta istri. Kedatangan mereka bagi van Asselt adalah saat istimewa, sebab tunangannya menitipkan fotonya untuk diberikan kepada van Asselt. Beliau butuh waktu untuk mengenal wajah tunangannya, barulah beliau percaya bahwa foto itu benar foto tunangannya, yang sudah ditinggalkannya di negeri Belanda selama 5½ tahun.
Seperti kita uraikan di atas, bahwa keputusan van Asselt sangat berarti bagi kelanjutan Misi Tuhan di Luat Angkola dan juga di seluruh Tanah Batak, karena beliau telah membuka jalan menuju kesepakatan bersama melakukan Misio Dei seperti mereka lakukan pada Konferensi perdana tangal 7 Oktober 1861 di Sipirok. Keberhasilan beliau  mengenalkan Kasih Tuhan di Sipirok dan sekitarnya melalui Sekolah dan pelayananannya sebagai opziener, yang menembus batas-batas social, sosiologis, ekonomi  dan agama demi Misio Dei. Gereja dalam Missio Dei itu adalah gereja yang melampaui  batas-batas bahasa dan sosial. Itulah gereja yang dicita-citakan Pdt. Gerrit van Asselt selama pelayanannya di Sipirok dan juga di tempat lain. Anggota jemaat dari kalangan raja maupun anggota jemaat dari kalangan budak atau mantan budak, sama dalam jemaat Tuhan. Para mantan muridnya yang berlatarbelakang social yang berbeda adalah sahabat dan saudara dalam Misio Dei.

Carl Johann Klammer di Sipirok (1861-1872)
Klammer berhasil memelihara hasil pelayanan van Asselt sejak 1857, bahkan mengembangkannya dari segi sarana fisik maupun pelayanan di bidang jemaat dan sekolah. Beliau punya hubungan baik dengan para pejabat pemerintah Belanda di Sipirok. Tuan Gubernur menyerahkan sekolah yang dipimpin oleh van Asselt kepada Klammer.
Klammer menyuruh anak-anak sekolah datang ke rumahnya sebagai ruangan sekolah, menunggu saat yang baik untuk membangun ruangan yang lebih baik dan lebih besar. Perhatian beliau nampak di bidang pendidikan melalui sekolah dasar. Klammer berencana membangun sekolah di Pagaran Padang dan Parausorat, demikian isi surat  beliau ke Pimpinan Pusat Batak-Mission di Wuppertal, Jerman (Ber. RMG, 1862: 277-281). Pada kunjungan pertamanya ke Baringin, beliau memindahkan sekolah di sana ke sebuah sopo yang lebih layak dijadikan ruangan sekolah.
Kunjungan dinas inspeksi Kontelir Krusen dari Padangsidempuan ke Sipirok membawa perubahan yang sangat berarti bagi pelayanannya. Tuan Krusen berkenan mengunjungi Klammer di rumahnya. Pada saat itu, hujan turun yang membuat jalan melalui kampung-kampung berlumpur, sehingga tuan Kontelir dengan susah payah menembus hujan dan jalan berlumpur dan kotor penuh dengan kotoran lembu atau sapi yang lalu lalang pada malam hari. Esok harinya, tuan Kontelir memerintahkan bawahannya membangun jalan baru melewati rumah Klammer menuju pusat perkantoran Gubernemen Sipirok. Pembangunan jalan itu telah  membuat setasi zending Sipirok terletak pada jalan protokol di Sipirok, bukan lagi di belakang kampung-kampung Batak yang belum teratur.
Selain itu, tuan Kontelir Krusen masih memberikan kepada Klammer rumah tinggal van Asselt yang sudah rusak karena gempa 1862 dengan harga murah. Klammer mengumpulkan bahan-bahan bangunan yang masih dapat digunakan dengan harapan dapat membangun setasi zending Sipirok sesegera mungkin, tetapi dengan bangunan yang layak berdiri berdampingan dengan rumah-rumah kediaman para pegawai Gubernemen yang biasanya megah. Klammer sangat sadar betul bahwa setasi zending di Sipirok harus menampilkan wajah yang menyamai gedung-gedung pemerintahan dan istana para Kepala Kuria yang megah di kota Sipirok yang semakin modern, sehingga masyarakat luat Sipirok itu tidak melihat sebelah mata bangunan-bangunan di Setasi Sipirok, khususnya gedung gereja, sekolah dan rumah tinggal pendeta.
Seorang misionaris yang ditempatkan di kota Sipirok yang semakin modern tidak dapat mengelak dari kegiatan membangun sarana fisik yang lebih layak, setara dengan bangunan-bangunan di Sipirok. Beliau sadar bahwa tugas pokoknya ialah membangun manusia menjadi manusia yang berguna dan mampu meningkatkan taraf hidupnya sehingga semakin layak melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat untuk dirinya dan sesama serta kemuliaan bagi Tuhan Allah Yang Maha Kasih. Pemerintah Belanda juga sangat mengharapkan luat Sipirok dan Angkola jadi lumbung sumber daya manusia bagi pembangunan luat Sipirok dan sekitarnya, antara lain di bidang pemeritahan daerah, usaha dan pendidikan.
Klammer selalu memelihara hubungan baik dengan para misionaris lainnya, baik dengan rekannya asal Ermelo juga asal Barmen (RMG). Beliau dengan sukarela membantu mereka meningkatkan pelayanan mereka di tempat yang sudah dihunjuk untuk mereka, karena mereka datang untuk misi yang sama yaitu Missio Dei.  Setasi Baringin di sebelah selatan Sipirok, Bungabondar, Parausorat dan setasi-setasi yang dilayani oleh teman-temannya dari Ermelo,   Java Comite dan terakhir dari lembaga Doopgezinde Zending (Gereja Baptis).
Di bidang pendidikan umum, mereka menghadapi tantangan yang sama, yaitu kehadiran para murid sekolah yang belum menentu. Pada waktu musim menanam padi dan panen, anak-anak ikut membantu orang tua masing-masing.  Mereka juga menghadapi masalah yang sama di bidang pengajaran agama Kristen, yaitu kekuatan budaya dan adat lama yang sulit terpisahkan dari roh-roh nenek moyang dan kekuatan-kekuatan gaib atau magis, demikian pula kekuatan agama Islam yang lebih dulu mengakar ditengah penduduk luat Angkola dan Mandailing. Kerukunan dalam keluarga sering terganggu oleh masalah-masalah sosial-ekonomi dan pembagian warisan nenek-moyang.
Ditengah masalah-masalah tersebut berdiri jemaat-jemaat lokal di luat Angkola. Gedung gereja pertama di Sipirok telah selesai dibangun Klammer. Menara gedung gereja itu punya keunikan.  Pada puncak menara terlihat sebuah ikon ayam yang sedang berkokok. Menurut Klammer, ikon itu mengingatkan setiap orang merenungkan bagaimana dulu murid Yesus yaitu Simon Petrus tersadar akan penyangkalannya terhadap diri Yesus di hadapan para ibu yang mengatakan bahwa dia adalah seorang pengikut Yesus, tetapi dia menyangkal, sampai subuh ketika ayam sedang berkokok tiga kali.
Tetapi yang paling menggembirakan hati setiap misionaris adalah kebangkitan yang muncul di tengah setiap setasi/jemaat melalui para warga jemaat yang menjadi pelita, yang bercahaya ditengah penduduk/masyarakat sekitar. Nama-nama mereka telah tercatat dalam banyak tulisan di dunia maya, buku dan narasi keluarga-keluarga keturunan mereka, yang nanti akan kita sebut. Nama-nama mereka jadi kebanggaan generasi berikutnya. Inilah hasil pendidikan, yang dikelola pemerintah Hindia Belanda maupun oleh Zending dan juga sekolah-sekolah dari ragam pesantren di luat Sipirok. Kebangkitan itu mempersatukan masyarakat setempat, membuka sekat-sekat lama untuk memasuki sejarah bersama penduduk luat Angkola, sejarah yang menghargai harkat manusia yang selalu mencari kebaikan dan kemajuan manusia seutuhnya.

Sekolah Katekhet di Parausorat: 1868-1873
Sekolah Katekhet atau Sekolah Guru atau Sikola Tinggi di Parausorat menambah terang cahaya yang bersinar di luat Angkola. Jemaat Parausorat sudah berdiri sejak pelayanan van Asselt, namun faktor tenaga yang minim membuat tidak dapat dikembangkan. Pasca pelayanan beliau di Sipirok, tempat itu selalu dalam perhatian para misionaris di luat Angkola.
Ingwer Ludwig Nommensen, yang kelak jadi Ephorus Batak-Mission (Gereja Batak) yang gagal memasuki Tanah Batak pedalaman melalui Barus pernah ditempatkan di Parausorat. Beliau segera ke sana dan membangun sebuah pondok sederhana terbuat dari bahan bambu, baik lantai maupun dindingnya. Udara Parausorat termasuk dingin dan berembus kencang, juga bagi Nommensen orang Eropa itu. Beliau membuat pipa bambu untuk mengalirkan air minum sampai ke dekat pondoknya. Untuk melindunginya dari gangguan binatang buas seperti harimau, yang sering mencari mangsanya sampai di tempat tinggal Nommensen, beliau menggali parit dan tembok tanah di sekeliling pondoknya.
Nommensen dapat melakukan pembangunan itu karena penduduk setempat tidak menggangu, malahan membiarkan dan menolongnya. Ada tiga sumber air panas dekat pondoknya. Melihat keadaan penduduk yang mengidap ragam penyakit, mulai dari kulit yang kudisan, sakit mata, perut, dan lain-lain, Nommensen menggunakan keahliannya untuk mengobati mereka. Itulah kegiatan yang membuka jalan mendekatkan beliau kepada masyarakat Parausorat.
Kedekatan kepada masyarakat setempat jadi modal beliau untuk membuka sekolah yang sangat sederhana karena hanya terdiri dari beberapa baris bangku. Beliau harus sabar menerima kehadiran beberapa anak Parausorat. Waktunya lebih banyak merawat sekolah yang sudah dibuka di Waringin, tempat yang dipercayakan kepada Nommensen, tidak jauh dari Parausorat. Beliau pergi ke sana sesering mungkin menapaki pematang sawah yang membentang, selama ¾ jam. Beliau sedapat mungkin ingin memikat perhatian anak-anak yang datang melalui cerita-cerita dari Alkitab, melatih anak-anak bernyanyi. Nommensen mau membujuk mereka supaya mereka datang ke Parausorat bergabung dengan anak-anak di sana.
Tetapi ada sebuah berita yang beliau dituliskan ke Barmen dan menjadi isi laporan tahunan Kongsi Barmen, itulah yang kita gunakan menjadi sumber infomasi tentang kehadiran Nommensen di Parausorat (JB RMG, 1863: 42-43). Di sana dicatat bahwa Nommensen menghadapi peraturan pemerintah Belanda  tentang pemindahan sekolah di Waringin, juga semua penduduk Parausorat ke daerah Siprirok dan Bungabondar. Anak-anak Parausorat dan Waringin harus masuk di Sekolah Dasar Negeri di Sipirok dan Bungabondar. Dengan demikian seluruh kegiatan Nommensen di Parausorat bakal berakhir. Apakah ada niat Gubernemen Belanda menggunakan daerah Parausorat yang berada pada kaki gunung itu untuk kepentingan ekonomi Gubernemen di Angkola?
Masalah ini disampaikan Nommensen kepada rekan-rekannya di Sipirok dan Bungabondar, memperbincangkan apakah lebih baik menutup kegiatan zending Kongsi Barmen di Parausorat dan membuka pelayanan zending di Utara sebagaimana impian Nommensen.  Mungkin kebijakan pemerintah Belanda berubah, karena sejarah pembangunan luat Sipirok melalui pendidikan berlanjut pasca pelayanan Nommensen. Sekalipun masa pelayanan Nommensen singkat, namun beliau tidak dapat melupakannya, termasuk karena keterbukaan penduduk setempat saat beliau butuh bantuan. Beliau tak dapat melupakan Parausorat, karena di sanalah    beliau mengawali  karya besarnya di Tanah Batak, yaitu menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru yang sudah dimulainya   di Sipirok dan Parausorat, lalu dilanjutkannya nanti di Huta Dame, Silindung.  
Kedatangan seorang tenaga baru dari Jerman membuat perubahan drastis di Parausorat, seorang lulusan Perguruan Tinggi di Jerman, yaitu Pdt. Dr. August Schreiber, misionaris pertama dengan latar belakang Perguruan Tinggi Negeri,  punya keahlian bukan saja di bidang Teologi tetapi juga di bidang kesehatan/medis. Beliau diberi pula tugas memimpin seluruh kegiatan pelayanan RMG di Tanah Batak dengan jabatan sebagai “Praeses”, yang nanti berubah dengan nama jabatan “Ephorus”. 
Schreiber melanjutkan pelayanan di tengah-tengah warga jemaat yang ditemukannya di Parausorat dan Baringin sekitarnya, juga  membuka sebuah sekolah untuk mendidik tenaga pribumi menjadi guru sekolah yang mampu melayani jemaat dan sekaligus sekolah dasar. Beliau dibantu oleh jemaat Sipirok dan Bungabondar, melalui tenaga misionaris setempat dan warga jemaat setempat.
Schreiber berhasil memilih lima dari antara kaum muda yang terbaik dan telah menerima baptisan kudus menjadi siswa Sekolah Tinggi. Tahun ajaran perdana dimulai 1868. Sesuai dengan kebiasaan Eropa menyebut nama baptis orang tanpa marga, beliau menyebut nama-nama baptis siswanya seperti Thomas dari Sipirok, Paulus, Markus (Siregar) dan  Johannes (Siregar) dari Bungabondar sedang  Ephraim (Harahap) dari Baringin (Ber. RMG, 1870: 71; 70-81; 1871: 51-54 ; J.U.Siregar, 1999: 91-94 ). Tidak lama kemudian, Schreiber memberikan kesempatan ikut masuk tahun ajaran perdana itu seorang putra Kepala Kuria dari Baringin, namanya Wilhelm Djamuda, yang  sudah menerima baptisan kudus. 
Setiap pagi, Schreiber memberikan ragam mata pelajaran bagi mereka, mata pelajaran tentang Pengetahuan Isi Alkitab, khususnya narasi-narasi Alkitab tentang para tokoh Alkitab, kemudian mata pelajaran umum seperti Sejarah Dunia dan Geografi. Sejarah Dunia yang beliau kenalkan berpusat pada Sejarah Dunia Barat, seperti mengenalkan siapa Konstintinus Agung atau Perang Dunia I. Dari Ilmu Bumi (Geografi), para siswa mendengar dan melihat peta benua  Asia, Eropa dan Afrika, tetapi dimulai dengan geografi Hindia Belanda. Mata pelajaran yang asing bagi mereka itulah yang membuka pikiran mereka melihat dunia yang sangat asing bagi mereka, namun itulah isi pengetahuan dasar dulu yang memang menjadi pola pedidikan umum saat itu di wilayah-wilayah jajahan Belanda.
Sesudah dua tahun belajar, para siswa telah menyelesaikan studi mereka dan pada Hari Raya Paska Kedua 1870, mereka telah diberi tempat pelayanan dan diberkati – ‘abgeordnet und eingesegnet’ (Ber. RMG, 1871: 45; 43-45; 46-56). Mereka ditempatkan  dalam wilayah pelayanan para misionaris di luat Angkola untuk mengajar anak-anak sekolah dan membantu para misionaris di jemaat-jemaat yang sudah berdiri. Mereka menunjukkan sikap yang tulus dan komit kepada tugas pelayanan mereka di sekolah dan jemaat, sehingga Schreiber melihat bahwa cara perekrutan yang beliau lakukan sangat tepat. Beliau hanya bertugas untuk memberikan penguatan ilmu dan karakter  kepada manusia Angkola untuk mampu  membangun manusia sesamanya di tengah proses Misio Dei di dunia Angkola, baik sebagai pelayan di jemaat dan sekolah zending maupun di bidang tata pemerintahan.
Gelombang kedua segera dibuka 1870, dibantu oleh tenaga yang baru sampai dari Eropa yaitu Chr. Leipoldt. Schreiber berhasil memilih 12 orang siswa angkatan kedua, di mana empat dari mereka sebagai guru terbaik dan terampil terpilih pula ikut masuk di Seminari Sipoholon,vTarutung untuk mengikuti kursus Sekolah Pendeta selama dua tahun. Siswa gelombang kedua menerima pelajaran bahasa Melayu dan Jerman. Bahasa Melayu dibutuhkan untuk mampu berkomunikasi dengan warga non Angkola, tetapi  terutama mengikuti kurikulum pendidikan umum negeri. Disamping aksara baru yaitu aksara Latin (Barat), mereka juga mempelajari aksara Batak (Angkola).
Gelombang ketiga dibuka pula 1872, namun karena istri Schreiber jatuh sakit, beliau serta keluarga  harus pulang ke Eropa.  Gelombang ketiga itu harus dilanjutkan oleh Leipoldt sendiri. Ketika gelombang ketiga tamat tahun 1875, Leipoldt harus kembali ke Eropa membawa istri beliau yang sakit, sehingga kelanjutan Sekolah Tinggi Parausorat tak menentu. Tenaga baru dari Jerman tak kunjung tiba, dan tenaga para misionaris yang sedang bertugas di Sipirok tidak dapat diharapkan  mengemban tugas mengajar di Parausorat. Sikola Tinggi Parausorat akhirnya ditutup 1875.
Sekalipun usianya singkat, sumbangan Sekolah Tinggi Parausorat sangat menentukan kebangkitan anak-anak Sipirok ikut dalam era pembangunan luat Angkola dan di luar luat Angkola.

Kontribusi Sekolah Katekhet di Parausorat
Sekolah Katekhet di Parausorat berkontribusi di bidang pembangunan manusia seutuhnya adalah bagian yang tak terpisahkan dari partisipasi sekolah guru negeri dan jenjang pendidikan lainnya (MULO dan HIS) yang didirikan pemerintah Belanda di luat Angkola dan Mandailing, seperti Kweekschool di Padangsidempuan 1874 dan jauh sebelum itu di Tano Bato (1862-1874) yang dipimpin oleh putra Mandailing Willem Iskandar, alumni Sekolah Rendah Penyabungan  (1853-1855) (Wikipedia Bahasa Indonesia). Semua pusat pendidikan itu menjadi sumber kekuatan membangun luat Angkola dan Mandailing, bahkan bersinar sampai di seluruh Nusantara.
Markus Siregar dan Johannes Siregar kelak menjadi pendeta perdana dari kalangan pribumi Batak tahun 1885. Pdt. Markus Siregar melalui pelayanannya sebagai pendeta di jemaat-jemaat Luat Angkola dan Mandailing ikut membangun karakter manusia pembangun. Laporan Tahunan atau Barita Jujur Taon (BJT: 5 laporan tahunan sejak 1891) beliau, menjadi saksi bagi kita betapa beliau dan keluarganya mengabdikan diri secara total untuk pembangunan manusia seutuhnya.  Pdt. Johannes Siregar ditempatkan Kongsi Barmen di Tapanuli Utara, di Muara hingga akhir hidupnya. Sama halnya dengan Pdt. Markus Siregar dan Pdt. Johannes Siregar, kita dapat membaca Laporan Tahunan para  pendeta Batak (328 BJT) lainnya dalam sebuah kumpulan Laporan Tahunan para pendeta Batak 1891-1959, yang baru saja diluncurkan di Medan dengan judul  Ula Jala Surathon! Barita Jujur Taon Pandita Batak 1891-1959, Jilid I- IV.  Dalam buku ini kita dapat membaca laporan tahunan Pdt.Markus Siregar saat beliau bekerja di Parlagutan Sijorang ( 1891-1903 ), laporan tahunan Pdt.Petrus Nasution di Padangmatinggi ( 1892 – 1913 ), Pdt.Elias Siregar di Lancat (1901-1904) dan laporan-laporan pendeta lainnya yang ditempatkan di Luat Angkola dan Mandailing. Mereka bekerja dengan hati yang tulus, pikiran yang cerdas dan iman yang kuat.
Keturunan Pdt. Markus Siregar,  Pdt. Johannes Siregar, demikian juga keturunan  Pdt. Petrus Nasution  ikut  dengan para keluarga besar para pendeta perdana lainnya  pada Jubileum 100 tahun kependetaan 1985 di Kampus STT-HKBP Pematangsiantar.
Salah seorang alumni perdana Kweekschool Padangsidempuan (1884) telah menjadi pelopor pembangunan manusia seutuhnya melalui karya-karya beliau di bidang pendidikan dan usaha, namanya Rajiman   Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada, kelahiran Batunadua 1874  (‘Tapanuli Selatan Dalam Angka: HIS, MULO dan Kweekschool di Padangsidempuan Tempo Dulu’). Gr. Ephraim  Harahap gelar Sutan Gunung Tua, alumni Sekolah Katekhet Parausorat karena ketangguhan beliau dalam menjalankan tugas keguruan serta hubungannya dengan masyarakat, akhirnya diangkat oleh pemerintah Belanda bekerja sebagai  jaksa, dan kemudian menjadi Hoofddjaksa (Jaksa Kepala), pegawai pribumi yang pangkatnya  tertinggi di seluruh wilayah Keresidenan Tapanuli (1885-1910) ( Lance Castles, 2001: 22).
Salah seorang pemuda murid lulusan sekolah rakyat yang dipimpin oleh Pdt. Ingwer Ludwig Nommensen (1862-1864) di Parausorat  juga membaktikan diri untuk pembangunan manusia seutuhnya.  Beliau sudah siap   mengemban tugas sebagai guru, namun  jadi staf (penulis atau sjriver) Asisten Residen Mandailing dan Angkola di Padang Sidempuan 1875 dan akhirnya jadi jaksa. Nama beliau adalah Syarif Anwar gelar Sutan Gunung Tua.  Karakter membangun manusia seutuhnya, yang didalamnya selalu ada garam mendidik atau karakter guru, beliau turunkan kepada putra-putranya. Beliau punya dua anak, yang pertama adalah Djamin Harahap gelar Baginda Soripada dan Mangaraja Hamonangan.
Melalui pendidikan yang diraihnya, Djamin Harahap bekerja sebagai mantri polisi jauh di luar luat Angkola, yaitu di Medan, Pantai Sumatra bagian Timur, kemudian diangkat jadi jaksa yang ditempatkan di beberapa kota di Sumatra Timur dan Tapanuli. Putra kedua ialah  Mangaradja Hamonangan,  mengawali karirnya di Sipirok sebagai guru dan pada akhir dinasnya mulai membangun usaha di Padangsidempuan hingga akhir hayatnya. Kedua abang adik itu berhasil menyekolahkan anak-anak mereka hingga meraih pendidikan pasca-sarjana di dalam dan di luar negeri. Djamin Harahap adalah ayah dari tokoh nasional Amir Syarifoedin gelar Sutan Soaloon dan Mangaraja Hamonangan adalah ayah dari tokoh nasional Prof. Dr. Todung  Harahap gelar Soetan Gunung Mulia.
Kedua putra luat Angkola, Sipirok, tersebut terkenal sebagai pendidik bangsa, pembangun manusia seutuhnya. Mr. Amir Syarifoedin di tengah kesibukannya di bidang politik nasional, beliau tak lupa membaktikan diri di jemaat Batak pertama di Batavia/Jakarta, bahkan melayankan khotbah mingguan di gereja Batak Kernolong ( Van de Wal, 2014: 317-318 ). Prof. Dr. Soetan Gunung Mulia terkenal baik di bidang pendidikan dan politik kebangsaan. Beliau adalah salah satu dari kaum pribumi yang dipilih jadi anggota DPR (1922) bentukan zaman dulu yang namanya Volksraad. Beliau lebih mengutamakan pendidikan ketimbang politik, sehingga beliau pergi untuk kedua kalinya negeri Belanda  untuk studi pasca-sarjana di bidang Pedagogik, dan meraih gelar Doktor Pendidikan. Semua biaya studi ditanggung oleh orangtua beliau, biaya yang sangat mahal, sehingga hanya orang yang luar biasa kemampuannya di bidang ekonomi yang mampu melakukannya.
Disamping mengemban jabatan sebagai Menteri Pendidikan di beberapa pemerintahan Indonesia, Prof. Dr. Soetan Gunung Mulia juga mengabdikan diri di bidang kegerejaan, antara lain membentuk PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), dulu DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) 1950-an, dan sebelumnya tahun 1930-an ikut mendirikan Sekolah Tinggi Theologi (H.Th.S) di Jakarta yang kini jadi STT Jakarta, serta anggota Majelis Pusat HKBP (1930-1950). Beliau ikut membangun Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) tahun 1950-an (Kompilasi Akhir Matua Harahap dalam ‘Tapanuli Selatan Dalam Angka’).
Parada Harahap yang ikut membangkitkan rasa kebangsaan Indonesia melalui organisasi politik dan dunia kewartawanan nasional sejak awal dekade abad ke-20. Surat Kabar ‘Sinar Merdeka’ menjadi alat ampuh untuk menebarkan semangat kemerdekaan Indonesia di luat Angkola dan Mandailing.
Nama-nama di atas hanya mengingatkan kita pada banyak nama-nama tokoh lokal dan nasional bangsa Indonesia yang dipersiapkan untuk membangun satu bangsa yang terdiri dari ragam bahasa, adat, budaya, suku dan agama, namun mereka hidup rukun dan saling menghargai demi tujuan yang sama, yaitu membangun manusia seutuhnya demi kehidupan bersama sebuah bangsa dan negara di mana kita hidup kini yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pusat-pusat pendidikan modern di luat Angkola dan Mandailing sejak 1850-an-1940-an, termasuk Sekolah Rakyat pimpinan Pdt. G. van Asselt di Sipirok dan Sekolah Katekhet di Parausorat, telah melahirkan manusia-manusia pembangun yang menyumbangkan tenaga penggerak dan pembangun manusia seutuhnya dalam terang Misio Dei yang melampaui segala batas dan sekat sosial, geografis, budaya dan agama.    
Kesimpulan
Kehadiran Pdt. G. van Asselt menjadi salah satu awal  perjalanan Misio Dei di luat Angkola. Kesediaannya menerima tawaran dan imbauan pejabat tinggi di Propinsi Sumatra Barat, Gubernur Ariens yang tak berkenan pada keinginannya itu, telah memberikan peluang baginya untuk membangun manusia seutuhnya, manusia yang terbuka kepada kebutuhan dan kehadiran sesama manusia ciptaan Tuhan.
Sebagai pegawai negeri, van Asselt bekerja dalam Misio Dei, menjadi suatu alat membangun Kerajaan Tuhan di luat Angkola, tanpa membedakan asal-usul silsilah, suku, bangsa, agama dan budaya. Hal tersebut dilakukannya sebagai pendeta, utusan jemaat Ermelo yang mengutusnya dalam nama Tuhan Allah Trinitatis. Beliau menjadi penolong dan penunjuk jalan bagi para pendeta, utusan berbagai lembaga zending dan kegerejaan di Eropa, seperti Klammer, Nommensen, Betz, Schuetz, Dammerbur, dan lain-lain.
Pelayanan mereka di bidang pendidikan yang berorientasi pada pembangunan manusia seutuhnya merupakan bagian integral dalam gerakan pendidikan yang diemban oleh Gubernemen Belanda di luat Angkola, yang berpusat di Padangsidempuan, Sipirok, Bungabondar, Parasusorat, Tano Bato, dan lain-lain. 
Para alumni berbagai sekolah umum (tingkat rendah dan menengah) dan sekolah guru (sekolah Katekhet dan Kweekschool) menjadi pembawa obor kebangkitan luat Angkola, bahkan sampai ke tingkat nasional. Harapan kita kini adalah agar kita generasi kini tetap menyalakan obor pembangunan itu untuk masa depan umat manusia ciptaan Tuhan dalam melakukan berbagai kreasi mewujudkan keutuhan ciptaan Tuhan,  keadilan serta kedamaian di tengah umat ciptaan Tuhan.
Penutup
Dari uraian singkat di atas, saya memahami judul uraian di atas ‘Parau Sorat Bangkit’, sebagai  seruan untuk bangkit membangun manusia seutuhnya kini dan mendatang sebagai kelanjutan pembangunan yang sudah dilakukan oleh para pendahulu kita di luat Angkola dan Mandailing ini. Situasi dapat berubah, namun semangat membangun manusia seutuhnya harus kita pertahankan, malah digandakan, karena tantangan kini jauh berbeda dengan tantangan dulu. Membangun manusia seutuhnya adalah membangun kemandirian dan kreasi-kreasi baru yang dapat memanfaatkan alam ciptaan Tuhan, budaya hidup rukun dan damai dengan sesama yang sudah dirawat oleh para pendahulu kita di luat Angkola dan Mandailing ini. Membangun manusia rohani dan jasmani, karena manusia itu telah diciptakan Tuhan sempurna.
‘Parausorat Bangkit’ berarti bahwa kita berada dalam sejarah Misio Dei, yang sejak awal Tuhan bekerja di tengah-tengah manusia ciptaannya di luat Angkola dan Mandailing. Kita adalah pelaku dalam Misio Dei, sebagaimana para pendahulu kita dulu digunakan Tuhan Allah menjadi alat di tangan-Nya.
Pembangunan Parausorat Center adalah momen yang sangat tepat untuk membangkitkan kembali semangat membangun manusia pembangun di tengah gereja dan masyarakat di mana kita hidup dan berkarya dalam terang Misio Dei yang tak putus-putusnya sejak penciptaan dunia ini. Semangat membangun dengan sikap terbuka, inklusif dan dialogis dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama.
Selamat Ulang Tahun GKPA ke-42 (1975-2017) dan selamat membangun manusia seutuhnya melalui Pembangunan Parausorat Center (PSC) hari ini 26 Oktober 2017.

Medan/Padangsidempuan, 26 Oktober 2017

Kepustakaan
August, Schreiber., German Pastor and Translator, dalam <hhttps://de.wikipedia.org/wiki/August_Schreiber_(Missionar)>
Aus den Berichten Missionars Schreiber’s (Dari laporan-laporan Misionar Schreiber, dalam Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft (Ber. RMG – Berita-berita dari Lembaga Misi Rhein), Maret 1870: 65-81.
Berichte von Miss. Schreiber (Laporan-laporan Misionar Schreiber), dalam Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft (Ber. RMG), Pebruari 1871: 43-56.
Bosch, David J., 1999, Transformasi Misi Kristen. Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah dan Berubah, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Castles, Lance., 2001, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatra: Tapanuli 1915-1940, Jakarta: KPG.
Hutauruk, J.R. (penerjemah), 2009, Pandita G.van Asselt. Parbarita Na Uli Di Tano Batak: 1857-1875, Pearaja-Tarutung: Kantor Pusat HKBP.
Hutauruk, J.R., 2011,  Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus. Sejarah 150 Tahun Huria Kristen Batak Protestant (HKBP) 7 Oktober 1861 – 7 Oktober 2011, Pearaja, Tarutung: Kantor Pusat HKBP.
Hutauruk,J.R., 2014, Diakonal HKBP.Sejarah Pelayanan Diakonal HKBP 1857-2013, Jakarta.
Hutauruk, J.R., 2017, Ula Jala Surathon! Jilid I Distrik Angkola/Tapanuli Selatan, Silindung. Barita Jujur Taon Pandita Batak, 1891-1959, Medan: LAPiK.
Klammer, C., Sipirok, 16 Maret 1862, dalam Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft  (Ber. RMG), Oktober 1862: 274-281.
Nommensen, I.L. di Parausorat, dalam Jahresbercht der Rheinischen Missionsgesellschaft (JB. RMG - Laporan Tahunan dari Lembaga Misi Rhein), 1863: 40-46.
Nuraini, Cut, 2004, Permukiman Suku Batak Mandailing, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Prof. Dr. Mr.Todung  Harahap …: ”Tapanuli Selatan Dalam Angka”, 13/11/15 oleh Kompilator Akhir Matua Harahap, dalam http://akhirmh.blogspot.co.id/search/label/Sejarah Mandailing
Harahap, Ramli SN. (editor), 2011, Bunga Rampai. Seratus Lima Puluh Tahun Kekristenen di Luat Angkola, Padangsidempuan: Kantor Pusat GKPA.
Siregar,J.U., 1999, Dari Gereja Zending Ke GKPA, Padangidempuan: Kantor Pusat GKPA.
Sihombing, J., t.t., Sejarah ni Huria Kristen Batak Protestant, 1861-1961, Medan: Philemon & Liberty.
Sitompul, A.A., 2005, Sitotas Nambur Hakristenon di Tano Batak, Jakarta: Dian Utama.
Van Asselt, Gerrit, 1911, Aus den Anfaengen der Batak-Mission. Nach den Aufzeichnungen des heimgegangenen Missionars van Asselt, Barmen: Verlag des Missionshauses.
Van de Wal, Hans, 2014, Terbelah Dalam Kancah Revolusi. Kaum Protestan  Belanda dan Pekabaran Injil Belanda Menghadapi Revovolusi Indonesia, Kutoarjo: Yayasan Cemara.
Willem Iskandar, dalam:<Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas>






[1] Disampaikan pada Seminar Sehari Ulang Tahun ke-42 Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA), di Padangsidempuan, 26 Oktober 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Renungan hari ini: "APAKAH KAMU MAU PERGI JUGA?" (Yohanes 6:67)

  Renungan hari ini:   "APAKAH KAMU MAU PERGI JUGA?"   Yohanes 6:67 (TB2) Lalu kata Yesus kepada kedua belas murid-Nya: "Apak...