PARAUSORAT
BANGKIT
Parbinsar
ni Mata ni Ari Hakaristenon di Luat Angkola[1]
J.R. Hutauruk
Pendahuluan
Tema Seminar ini kaya arti dan
makna: “Parausorat Bangkit”. Pertama,
pikiran kita diantar ke belakang, ke masa lalu, tempo dulu, sampai ke zaman nabi Abraham /Ibrahim, bahkan
sampai pada zaman penciptaan Tuhan Allah - Missio Dei atau Misi Allah (David J.
Bosch, 1999: 596-601).
Kedua:
Sejarah Parausorat adalah bagian Sejarah Misi Tuhan Allah yang sudah membumi di luat Parausorat, Angkola dan luat sekitarnya.
Sejarah Parausorat di Sipirok telah menjadi
saksi bahwa Tuhan Allah telah melakukan misi-Nya di tengah-tengah penduduk Parausorat. Menelisik bagaimana dulu manusia penghuni
Luat Angkola tergerak menerima cinta Kasih Tuhan Allah, menjadi pelajaran
berharga bagi kita. Karena cinta Kasih Tuhan Allah itu telah mengubah manusia
luat Angkola kembali kepada harkatnya semula yaitu manusia beriman, berbudaya
(karya), cinta alam dan yang paling penting meningkatkan rasa persaudaraan dan
kerukunan.
Ketiga,
sejarah Misi Allah terus berjalan hingga kini. Bagaimana kita generasi abad
ke-21 ini tetap bangkit, jangan tertidur, jangan terlena, melainkan tetap hidup
beriman, berbudaya (berkarya), bersaudara dan peduli lingkungan alam ciptaan Tuhan.
Misio
Dei di Sipirok Luat Angkola
Parausorat sepanjang sejarahnya yang dapat kita liput
adalah suatu luat yang punya adat dan budaya yang tinggi, diikat oleh rasa persaudaraan sedarah,
semarga, seadat, seluat dan memuja arwah nenek-moyang dan debata Tinggi
Mulajadi na bolon. Budaya sosial yang menciptakan adanya golongan hatoban bukanlah budaya arus besar, tetapi budaya
harajaon yang menjunjung tinggi harkat manusia yang ingin mencapai kemuliaan
(hasangapon), banyak keturunan (hagabeon) dan banyak harta (berilmu, bertani
atau berdagang).
Semangat demikian rupa tetap
mendorong manusia Parausorat maju ke depan, terbuka pada
kemungkinan-kemungkinan yang berada di depan sana, sekalipun terjadi konflik
antar desa atau keluarga. Dengan semangat kekeluargaan itu, manusia Parausorat
menghadapi perubahan demi perubahan hingga awal abad ke-19 saat tiga kekuatan
politis, ekonomi, agama dan budaya memasuki dunia Parausorat, yaitu kekuasaan
kaum Padri dari Sumatra Barat, perluasan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda
yang datang dari arah selatan, yaitu dari Sumatra Barat dan kedatangan para
pedagang dan pegawai penganut agama
Islam dari Sumatra Barat dan juga para misionaris/pendeta dari benua Eropa.
Gerakan kaum Padri itu lahir ditengah manusia
Minangkabau, yang melakukan pembaharuan di bidang kehidupan beragama sejak awal
abad ke 19 dan sejak 1820-an kaum Padri
memasuki wilayah tetangga Mandailing, Angkola hingga sampai di wilayah-wilayah
sekitar Danau Toba, di mana penduduknya
sebagian sudah menganut agama Islam, namun sebagian besar masih menganut
agama animisme seperti penduduk
sekitar Danau Toba di bagian utara.
Akibatnya bukanlah membawa perubahan ke arah yang memakmurkan sebaliknya
memiskinkan dan menghancurkan desa-desa beserta penduduknya (Lance Castles, 2001: 13; 16-23).
Namun manusia Batak, khususnya penduduk Sipirok,Parausorat
dan Bungabondar, tidak hanya meratapi nasibnya, melainkan bangkit kembali dan
terbuka kepada zaman yang berada di depan sana. Rasa takut yang sempat menghantui pikiran dan
hati mereka tidak membuat mereka kehilangan harapan untuk bisa bangkit kembali melalui kekuatan-kekuatan baru. Darah peziarah
generasi pendiri luat-luat di Angkola dan Mandailing tetap mengalir dalam tubuh
raga dan jiwa mereka. Mereka
melawan rasa takut dan terbuka kepada
peluang-peluang yang bakal datang serta harapan dapat bangkit lagi dari
keterpurukan akibat ulah kaum Padri yang menggunakan kekerasan dan penghancuran
sendi-sendi kehidupan.
Dalam sejarah sosial Sipirok, Parausorat
dan Bungabondar, kedatangan dan kehadiran pemerintah Hindia Belanda berlangsung
atas undangan beberapa raja di
luat Angkola dan Mandailing untuk membebaskan mereka dari tindak kekerasan dan
kebrutalan kaum Padri. Manusia Parausorat dan luat lainnya sadar bahwa opsi
terbaik kala itu ialah merelakan diri berada di bawah kuasa penjajah baru,
yaitu pemerintah Hindia Belanda yang telah menguasai seluruh pulau-pulau Nusantara
sejak mereka menggantikan penguasa Portugis abad ke-17. Parausorat dan
luat-luat lainnya di bagian utara Sumatra merupakan wilayah terakhir yang belum
berada di bawah kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda. Dengan mBungasuknya Sipirok, Parausorat
dan Bungabondar ke dalam kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda, terbuka pula peluang-peluang baru untuk bangkit kembali
melalui rencana dan program pemerintah Hindia Belanda di wilayah-wilayah
pendudukannya termasuk Parasorat. Mereka sadar bahwa alat memperjuangkan
kebebasan saat itu bukanlah senjata api, tetapi senjata ilmu pengetahuan (pendidikan)
dan keterampilan.
Pemerintah Belanda butuh tenaga
manusia yang terampil di berbagai bidang seperti bidang administrasi
(perkantoran), pertanian, kehutanan, perkebunan, infrastruktur ( jalan dan jembatan),
pendidikan, dan lain-lain. Untuk itu, pemerintah Hindia Belanda dari Batavia
(Jakarta) mengangkat para pejabat pemerintah Belanda, seperti Gubernur,
Residen, Asisten Residen dan eselon terbawah yaitu Controleur atau Kontelir. Posisi
di bawah Konterlir adalah para pejabat pemerintahan lokal, dari kaum pribumi. Dalam hal ini, pemerintah
Belanda mengambil kebijakan merekrut para pejabat lokal dari kalangan raja dari
setiap luat di Angkola dan Mandailing. Dari antara mereka yang terbaik dan
terdekat pada pemerintah Belanda dipilih menjadi Kepala Kuria, yang menerima gaji
tetap dari pemerintah. Merekalah yang memimpin pemerintahan lokal “Kuria” dan
bertanggungjawab kepada Kontelir setempat.
Tenaga manusia yang terampil
itu sangat dibutuhkan pemerintah Belanda, baik dari kalangan penduduk setempat
maupun dari negeri jiran seperti dari Minangkabau, bahkan siapa pun yang
berminat untuk itu. Lapangan kerja itu terbuka bagi siapapun, tanpa membedakan
asal-usul, ras atau agama, karena yang dibutuhkan ialah tenaga manusia yang
terampil, terpercaya, jujur dan tidak korupsi. Itulah lowongan kerja yang
terbuka lebar untuk semua orang yang memenuhi syarat, yaitu keterampilan.
Meskipun pemerintah
Hindia Belanda di negeri asalnya
Belanda, di mana agama Kristen Protestan (Calvinis- Reform) adalah agama negara, yang dibiayai Kerajaan Belanda atau negara, tetapi mereka memberlakukan prinsip dan sikap netral terhadap semua agama di Nusantara. Sehingga setiap orang penduduk di
Nusantara, bebas melakukan
agamanya masing-masing dan setiap
orang memiliki kebebasan untuk memilih
agama mana yang dianutnya. Dan
kebijakan-kebijakan yang dilakukan Gubernemen Belanda di Luat Angkola dan
Mandailing berorientasi pada pembangunan manusia suutuhnya guna membangun ekonomi dan administrasi pemerintahan
Belanda di Luat Angkola dan Madailing.
Pada
saat pembentukan dan pertumbuhan pemerintahan Belanda di luat Angkola itu pulalah kedatangan para pembawa ‘Hakristenon di luat Angkola’, yang diawali oleh kehadiran
seorang pendeta tetapi jabatannya adalah opziener , salah satu dari dinas
kepegawaian yang sangat dibutuhkan oleh industri perkebunan Belanda di Luat
Angkola dan Mandailing. Para pemberita Injil Hakristenon mengenalkan ciinta
kasih Tuhan Allah melalui pemberitaan Injil (Baptisan Kudus) dan pendidikan yang mencelikkan
pancaindera dan hati mereka, sehingga dapat mendengar dan melihat
perbuatan-perbuatan Tuhan Allah sebagai tanda
cinta Kasih Tuhan Allah kepada mereka yang menerimanya. Dan semua pertumbuhan
dan berubahan pasca Padri dapat kita telusuri dan pahami di bawah terang Misio Dei di luat Angkola dan sekitarnya.
Gerrit
van Asselt di Sipirok, Luat Angkola (1857-1861)
Jemaat Ermelo di Negeri Belanda
mengutus Pdt. Gerrit van Asselt (1832-1911)
ke Pulau Sumatra. Beliau tiba di kota
pelabuhan Padang, 2
Desember 1856, satu-satunya pintu masuk ke Pulau Sumatra saat itu. Besoknya,
beliau menghadap Gubernur Ariens untuk Sumatra, melaporkan diri dan meminta izin memberitakan Injil di wilayah Padang
Julu, Sumatra Barat (G. van
Asselt, 1911: 2-5; 6 dst). Van Asselt tidak berniat untuk
pergi ke Tanah Batak.
Gubernur menolak permintaan
beliau dengan alasan keamanan dan mengusulkan supaya pergi ke Tanah Batak yang
sudah dalam wilayah pendudukan Belanda, bukan ke tanah Batak yang masih berada
di luar kekuasaan Belanda. Gubernur menyebut nama Sipirok di luat Angkola. Di
sana, pemerintah Belanda sedang
membangun daerah tersebut baik dari tata pemerintahan maupun dari segi
pembangunan di bidang infrastruktur, pertanian/perkebunan kopi dan kehutanan, dan lain-lain. Tuan
Gubernur menawarkan kepada van Asselt jabatan sebagai Opziener (Penilik atau Pengawas termasuk bidang pengadilan lokal, tetapi terutama mengawasi gudang kopi pemerintah) dengan gaji 75 Gulden perbulan.
Van Asselt undur diri dari
kantor Gubernur, seraya
mengatakan akan mempertimbangkan tawaran Tuan Gubernur. Beliau merenungkan
penjelasan-penjelasan tuan
Gubernur saat membujuk beliau untuk menerima usulan petinggi itu. Dalam telinga
beliau masih terngiang kata-kata bujukan
sang petinggi yang menantangnya dengan
pertanyaan apakah dia yang masih muda belia itu sudah jenuh hidup dan ingin
mati? Salah satu kalimat yang selalu
terngiang di telinganya, yang menurut pikiran van Asselt ialah imbauan penuh visi Misio Dei: ”Tetapi pergilah kepada kaum Batak di
Sipirok; saya akan mengangkat Anda menjadi pegawai negeri dengan jabatan
Opziener (Penilik atau Pengawas). Semua orang akan datang kepada Anda
membawakan segala perkaranya. Dengan demikian Anda akan punya banyak kesempatan
untuk bertemu dan berkomunikasi dengan mereka dan juga belajar bahasa mereka.
Dan apabila Anda sudah menguasai bahasa mereka, barulah Anda mampu untuk
memberitakan Injil itu kepada mereka.” (van Asselt, 1911: 4).
Memang van Asselt masih berusia 24 tahun, namun beliau sudah memiliki
visi Misio Dei, suruhan Tuhan Allah menjadi mitra kerja Allah untuk
memberitakan dan membawakan cinta Kasih Allah kepada semua orang. Kini,
melalui sang Gubernur Sumatra, Tuhan
menempatkannya di tengah umat manusia di Sipirok, luat Angkola, daerah dan
manusia yang belum pernah dikenalnya, baik bahasa, budaya dan masalah-masalah
mereka. Di Sipirok, daerah dataran tinggi di Bukit Barisan Sumatra dengan
ketinggian 600 meter dari laut, demikian tulis van Asselt dalam buku hariannya
(van Asselt, 1911: 3-5; J.R. Hutauruk, 2009: 20-22).
Dengan keyakinan yang pasti
bahwa Tuhan Allah yang menempatkannya sebagai Opziener untuk memberitakan dan
menunjukkan cinta Kasih Allah. Memang
itulah yang
terjadi pada diri Pdt. G. van Asselt selama melayani di Sipirok dan di luarnya.
Tugas kependetaannya tidak
pernah kabur karena tugas pokoknya sebagai pegawai negeri pemerintah Hindia Belanda. Hingga awal 1860, van Asselt bertugas sebagai Opziener, kemudian menggabungkan diri
dengan para utusan lainnya yang datang ke Tanah Batak.
Gerrit van
Asselt di Sipirok Pendiri Sekolah Perdana di Sipirok.
Benar apa yang dinyatakan Tuan
Gubernur Provinsi Sumatra Barat itu, bahwa van Asselt punya banyak kesempatan
untuk mengenal dan berbaur dengan kaum Batak saat mereka membawakan
perkara-perkara mereka kepadanya dan melakukan tugas sebagai penjaga produksi kopi
Sipirok. G. van Asselt melaporkan keputusan-keputusannya atas berbagai perkara kepada atasannya di
Padangsidempuan, yaitu
kepada Tuan Kontelir. Beliau memiliki banyak
kesempatan untuk bertemu dengan masyarakat Batak, baik di tengah tugasnya sebagai opziener, yang
berfungsi sebagai tuan kobun kopi pemerintah, membujuk masyarakat supaya
menyetor hasil panennya ke
gudang kopi pemerintah di Sipirok, atau menjadi pengawas dalam pembangunan
jalan yang mengubungkan Lumut dan Natal.
Van Asselt bukan hanya mengenal
Sipirok, tetapi juga daerah-daerah yang jauh di luarnya. Van Asselt pernah dipindahkan ke Sibolga dan
Lumut. Bukan hanya luat Angkola yang dikenal van Asselt, tetapi beliau diutus
oleh Gubernur ke pedalaman Tanah Batak yang masih diluar pendudukan Belanda
untuk memutus perkara-perkara penduduk di sana. Sambil melakukan tugasnya
sebagai opziener, van Asselt punya perhatian pada ragam manusia yang datang dan pergi kepada pusat onan tradisonal, di mana beliau bukan hanya melihat ragam bawaan
hasil produksi tanaman dan ternak, tetapi juga manusia sebagai barang dagangan
yang dapat dibeli para pembeli.
Onan
Sipirok
Pasar tradisional Sipirok punya
tempat tersendiri dalam sejarah Misio Dei di Sipirok. Di sana van Asselt bertemu dengan orang-orang yang datang dari wilayah
Toba dan Silindung membawa barang dagangan mereka berupa kuda, kerbau, sapi,
tetapi juga manusia yang jatuh pada
status ‘hatoban’ (hamba), biasanya karena kalah judi, kena sandera orang di hutan, sebagai pampasan perang atau keturunan hatoban.
Tradisi ini meluas bukan hanya di Utara tetapi juga di Selatan, termasuk di
Parausorat.
Uniknya bahwa pertemuan Opziener Belanda Pdt. G. van Asselt dengan para hatoban yang digelar
di tengah Onan Sipirok, rupanya itulah cikal bakal pendidikan di
Sipirok. Karena ketergerakan hati van Asselt melihat para hatoban, beliau
membeli mereka dengan uang sendiri mulai dari harga 160 Mark (uang rupiah Jerman senilai 160
kaleng beras) untuk membeli pemuda
Djaogot asal Bakkara dari tepi Danau Toba, hingga membeli tiga anak muda, dua anak gadis dan
seorang anak perempuan berumur 4 tahun, dengan harga rata-rata 70 Mark (van
Asselt, 1911: 11-12;
J.R.Hutauruk, 2014:13-24). Merekalah murid-murid perdana dari van Asselt.
Kemudian atasan van Asselt yaitu Kontelir Padangsidempuan masih
menyerahkan kepada van Asselt 5 anak yang juga beliau beli dari pasar. Van
Asselt memberi mereka tempat tinggal dan pangan setiap hari, yaitu makan nasi
setiap hari sebagimana biasanya menu kaum Batak. Tidak lama kemudian datang
beberapa anak yang diantar oleh orangtuanya, dan kemudian juga beberapa raja
mengantarkan anak-anak mereka kepada van Asselt dengan harapan supaya mereka
ikut pandai dan cerdas.
Van Asselt memberikan mata
pelajaran tentang ajaran dan etika Kristen disamping mata pelajaran pokok yaitu
membaca, berhitung, menulis, ilmu bumi dan bahasa daerah (Angkola) dan bahasa
Melayu. Pada akhir tahun ajaran, atasan van Asselt,
yaitu Kontelir dari Padangsidempuan berkunjung secara tiba-tiba ke sekolah
asuhan van Asselt. Tuan Kontelir
menyaksikan kemampuan yang luar biasa dari beberapa anak didik van Asselt, antara lain dua dari mereka sangat
dikagumi Tuan Kontelir yaitu Panambai,
dulu status hatoban dan Ngalum, anak
seorang raja (Kepala Kuria).
Menyaksikan sukses pendidikan
atas pimpinan van Asselt, Tuan Kontelir memberikan instruksi pada van Asselt
membuka dua sekolah rakyat untuk luat Angkola, satu dekat Sipirok dan satu lagi
di Baringin serta mengangkat
dua dari anak didiknya yang terbaik, dari kalangan keluarga raja, sebagai tenaga pengajar. Tuan Kontelir akan
memberikan gaji mereka setiap bulan, 25 Gulden.
Kedua sekolah itu telah didirikan dengan
bangunan yang masih sederhana. Dan pada
tanggal 5 Agustus 1858, van
Asselt dengan resmi membuka kedua sekolah
itu,
pagi hari meresmikan sekolah
dekat Sipirok dan sore harinya meresmikan
sekolah
di Baringin. Dua mantan muridnya menjadi guru perdana di sana. Itulah
kebangkitan anak-anak luat Angkola melalui pendidikan perdana rintisan dan pimpinan van Asselt
sebagai pegawai negeri pemerintah
Hindia Belanda dengan kekuatan imannya.
Beliau sendiri heran melihat
perkembangan yang berlangsung sedemikian
cepat. Beliau menoleh ke belakang saat beliau pada tanggal 26 Januari 1857
belum mengetahui bahasa Angkola sepatah pun, namun pada tanggal 5 Agustus 1858, dua orang
muridnya sudah menjadi guru Sekolah Dasar di Sipirok dan Baringin. Suatu
perkembangan yang tidak pernah terbayangkan oleh van Asselt, terlebih
mengingat awal perjumpaannya dengan anak-anak didiknya yang
pernah membuatnya frustrasi karena mereka belum biasa duduk tenang dan mendengar suara guru,
tetapi pada akhirnya beliau menyaksikan anak-anak muda Angkola yang berbakat dan sangat
cepat menangkap pelajaran (van Asselt, 1911:
21 ”…dass
die Batak begabte Menschen sind und sehr gut lernen koennen .”; baca
juga hlm. 18-21).
Van Asselt masih diberi tugas
sebagai pejabat Kontelir Sibolga, ibu kota keresidenan Tapanuli. Beliau menggantikan Kontelir Kleerens, yang wafat 26 September 1858. Beliau harus meninggalkan
luat Sipirok tempat pelayanannya pertama di Sumatra menuju tempatnya yang baru
Lumut. Beliau dibantu oleh dua orang
mantan muridnya di Lumut. Bagi van
Asselt meninggalkan Sipirok dan sekolah binaannya di Sipirok itu tidaklah mudah.
Masa dinasnya sebagai pegawai negeri Gubernemen Belanda diperpanjang 16 bulan
lagi, sehingga beliau resmi menanggalkan dinas pemerintah Belanda tanggal 19
Maret 1861 sekaligus awal dinas baru di bawah lembaga Zending Batak-Mission.
Main Tampubolon
Sebuah peristiwa yang tak dapat van Asselt
lupakan dari Lumut ialah perjumpaannya dengan seorang anak muda yang melarikan
diri dari hukuman orang tuanya di Barus, yaitu hukuman pasung, diikat pada
sebuah kayu dan ditempatkan di bawah kolong rumah, dengan sedikit makanan dan
minuman (van Asselt, 1911: 32-34).
Dia berhasil melepaskan diri, lalu
melarikan diri dari Barus hingga akhirnya
sampai di Lumut
dan bekerja di sebuah toko
Tionghoa. Dia pernah mendapat tegoran keras dari van Asselt sebab tega menyiksa
seekor kuda dihadapannya. Beliau memerintahkan seorang polisi untuk menangkapnya dan diberi nasihat agar tidak
lagi melakukannya. Peristiwa ini, bagi
pemuda tersebut telah membangkitkan semangat untuk dapat berjumpa dengan van Asselt dan akan memohon
agar dia diizinkan jadi pembantu rumah dan pekarangannya. Jalan yang
ditempuhnya bukanlah jalan langsung, tetapi melalui suruhannya, yang dilakukan sampai tiga kali. Baru ketiga
kalinya, permohon pemuda itu dikabulkan.
Salah satu ucapan pemuda itu
yang membuat hati van Asselt luluh dan terbuka menerima permohonannya ialah pernyataannya yang mengatakan bahwa Tuan van Asselt telah menunjukkan belaskasihannya kepada seekor kuda, apalagi
kepada manusia? Ungkapan dan kesaksian ini bagi van Asselt punya makna mendalam.
Pemuda itu namanya si Main berusia sekitar 18 tahun. Dialah nanti salah seorang
penerima baptisan perdana di Sipirok pada hari Pesta Paskah, Minggu 31 Maret 1861 bersama seorang pemuda bernama Pagar.
Nama baptis dari si Main (Tampubolon) adalah Jakobus dan Pagar dengan nama
baptisnya Simon Petrus (Siregar).
Tentang pembabtisan itu, van Asselt bersaksi bahwa bagi
beliau dan teman sekerjanya Pdt. Betz sekeluarga, hari itu adalah hari pengucapan syukur, bukan
saja karena domba Paskah mati untuk mereka, tetapi juga karena mereka dapat
merayakan baptisan pertama di Tanah Batak yang luas. Masih terngiang di telinga
van Asselt suara lantang dari kedua pemuda itu saat mengucapkan Pengakuan Percaya mereka kepada Yesus yang mati di
kayu salib demi dosa-dosa mereka, dan bangkit lagi dari kematian demi
pembenaran mereka di hadapan Tuhan Allah Pencipta. Beliau tidak dapat melupakan kehadiran banyak
orang, baik mereka yang masih menganut agama animis, agama Islam dan para tetangga yang ikut melihat peristiwa
baru yang pertama kali dilakukan di gedung gereja yang masih sederhana di
Sipirok.
Van
Asselt membacakan liturgi
baptisan dalam bahasa Belanda dan membaptis pertama-tama anak kecil dari keluarga
Betz dengan nama Wilhem (Betz), kemudian si Main dengan nama Jakobus dan si
Pagar dengan nama Simon Petrus. Sesuatu yang lebih besar dilihat van Asselt
dibalik peristiwa baptisan perdana itu, yaitu
suatu masa yang lebih cerah, membangkitkan semangat manusia Sipirok dan
sekitarnya. Inilah ucapan profetis Pdt. G. van Asselt: “Hari itu adalah suatu hari, di mana roh yang berdiam dalam diriku
sangat bersukaria; karena dalam diri kedua orang penerima baptisan kudus itu
saya melihat musim panen akbar sebagai lanjutan baptisan perdana ini. Ada
kata-kata bijak dari dunia Cina yang mengatakan:’siapa yang dapat melihat baik,
dia akan melihat yang tidak nampak.’
Maka saya dapat berkata:’Siapa percaya, maka dia akan melihat Juruselamat
sebagai Terang dunia termasuk dunia kegelapan kaum yang masih berada di bawah
kepercayaan animisme.’” (van Asselt, 1911: 37; baca
36-37; J.R. Hutauruk,
2009: 35). Pada hari Paskah kedua, van Asselt beserta seluruh jemaat termasuk
Jakobus dan Simon Petrus merayakan Perjamuan Kudus. Van Asselt melayankan
khotbah dengan teks
Alkitab dari Yes. 52:13-15.
Para
pelayan baru untuk Luat Angkola
Kehadiran dan pelayanan van
Asselt di Sipirok dan sekitarnya sangat menentukan jalannya pekabaran Injil di
luat Sipirok dan Angkola, bahkan sampai ke tanah Batak sekitar danau Toba. Rumahnya jadi rumah tumpangan setiap orang,
termasuk para misionaris yang datang ke luat Sipirok dan Angkola. Para misionaris
yang hidupnya sama dengan beliau yaitu mencari
nafkah untuk hidup keseharian
sambil memberitakan Injil. Dammerbur tiba tanggal 16 Juli 1860, kemudian Koster , kedua pelayan baru itu mendapat
tumpangan di rumah van Asselt.
Van Hoefen, suruhan Inspektur
Zending Rheinische Missionsgesellschaft (Batak Mission) dengan mata kepala sendiri menyaksikan siapa van Asselt bagi manusia
sekitarnya, yaitu penolong dan guru bagi setiap orang disekitarnya, termasuk bagi
para utusan baru dari Jerman. Van Hoefen memberitahukan tujuan kedatangannya ke
Sumatra, khususnya ke pantai Barat Sumatra untuk mencari lapangan pelayanan
untuk beberapa misionaris RMG yang luput dari pembantaian orang Eropa di
Kalimantan, di
tengah kaum Dayak. Van Hoefen sekaligus mengajak agar van Asselt sudi masuk ke
lembaga zending tersebut, supaya para tenaga baru itu bergabung dengan para
utusan RMG (van Asselt, 1911: 34).
Van Asselt menerima tawaran itu dengan syarat apabila jemaat Ermelo yang
mengutusnya itu setuju pada rencana penggabungan itu. Inilah awal sejarah
kesepakatan para misionaris, yang bermuara pada Konferensi mereka yang pertama
tanggal 7 Oktober 1861 di Sipirok, tempat pelayanan van Asselt sejak 1857 (van
Asselt, 1911: 39). Kesediaan
dan peranan van Asselt pada proses penginjilan di Sumatra bagian Utara itu
sungguh menentukan masa depan penginjilan yang hanya dilayankan sebuah lembaga
Zending yaitu RMG atau Kongsi Barmen atau Batak-Mission.
Keputusan van Asselt masuk ke
lembaga Zending “Batak-Mission” diikuti oleh Betz, sedang Dammerbur
melanjutkan pelayanannya secara mandiri,
tetapi kemudian hari bergabung dengan
Koster dan van Dalen, di bawah naungan
lembaga zending Java-Komitee, yang sudah lama membuka pelayanannya di Pulau Jawa. Van Asselt sendiri pada saat
resmi jadi pelayan atas nama Zending “Batak-Mission” menerima pengabsahan dirinya sebagai misionaris ordinant atau ‘ordinierter
Missionar’ (van Asselt, 1911: 34),
dengan demikian punya status yang sama
dengan para pelayan utusan Batak-Mission.
Pengesahan
itu punya dua arti: beliau sudah diordinasi oleh jemaat Ermelo, jemaat pengutus
beliau, kemudian diakui sah oleh Batak-Mission atau beliau sebelumnya belum
diordinasi oleh jemaat Ermelo. Kita tidak mungkin melanjutkan diskusi tentang
apa arti pengesahan
itu, biarlah itu jadi bahan diskusi dan penelitian di lain kesempatan. Tetapi
sebagai pendeta utusan van Asselt punya hak dan tanggungjawab memberikan
sakramen baptisan dan sakramen perjamuan kudus kepada anggota jemaat di Luat
Angkola.
Pada tanggal 25 Agustus
1861 utusan baru Heine bertemu dengan van Asselt, dipandu pemuda Jakobus Tampubolon, kala van
Asselt berada pada jamuan makan oleh
satu keluarga Angkola teman dekatnya.
Heine menunjukkan surat jalannya dari Inspektur Fabri, menjelaskan bahwa Heine
utusan Batak-Mission untuk Sumatra (van
Asselt, 1911: 39).
Besoknya, mereka
berdua pergi ke Bungabondar dengan naik kuda, satu pos penginjilan yang wajar
dikenalkan kepada Heine. Tiga hari kemudian , tanggal 28 Agustus
1861 tiba sudah muncul misionaris Koster dan van Dalen beserta istri.
Kedatangan mereka bagi van Asselt adalah saat istimewa, sebab tunangannya menitipkan fotonya untuk diberikan kepada
van Asselt. Beliau butuh waktu untuk mengenal wajah tunangannya, barulah beliau
percaya bahwa foto itu benar
foto tunangannya, yang sudah ditinggalkannya di negeri Belanda selama 5½ tahun.
Seperti kita uraikan di atas,
bahwa keputusan van Asselt sangat berarti bagi kelanjutan Misi Tuhan di Luat
Angkola dan juga di seluruh Tanah Batak, karena beliau telah membuka jalan
menuju kesepakatan bersama melakukan Misio Dei seperti mereka lakukan pada
Konferensi perdana tangal 7 Oktober 1861 di Sipirok. Keberhasilan beliau mengenalkan Kasih Tuhan di Sipirok dan
sekitarnya melalui Sekolah dan pelayananannya sebagai opziener, yang menembus batas-batas social, sosiologis, ekonomi dan agama demi Misio Dei. Gereja dalam Missio
Dei itu adalah gereja yang melampaui
batas-batas bahasa dan sosial. Itulah gereja yang dicita-citakan Pdt. Gerrit
van Asselt selama pelayanannya di Sipirok dan juga di tempat lain. Anggota jemaat dari kalangan raja maupun anggota
jemaat dari kalangan budak atau mantan budak, sama dalam jemaat Tuhan. Para
mantan muridnya yang berlatarbelakang social yang berbeda adalah sahabat dan
saudara dalam Misio Dei.
Carl
Johann Klammer di Sipirok (1861-1872)
Klammer berhasil memelihara
hasil pelayanan van Asselt sejak 1857, bahkan
mengembangkannya dari segi sarana fisik maupun pelayanan di bidang jemaat dan sekolah. Beliau
punya hubungan baik dengan para pejabat pemerintah Belanda di Sipirok. Tuan
Gubernur menyerahkan sekolah yang dipimpin oleh van Asselt kepada Klammer.
Klammer menyuruh anak-anak sekolah datang ke rumahnya sebagai ruangan sekolah, menunggu saat
yang baik untuk membangun ruangan yang lebih baik dan lebih besar. Perhatian
beliau nampak di bidang pendidikan
melalui sekolah dasar. Klammer berencana membangun sekolah di Pagaran Padang
dan Parausorat, demikian isi surat
beliau ke Pimpinan Pusat Batak-Mission di Wuppertal, Jerman (Ber. RMG, 1862: 277-281). Pada kunjungan pertamanya ke Baringin,
beliau memindahkan sekolah di sana ke sebuah sopo yang lebih layak dijadikan ruangan sekolah.
Kunjungan dinas inspeksi
Kontelir Krusen dari Padangsidempuan ke Sipirok membawa perubahan yang sangat berarti
bagi pelayanannya. Tuan
Krusen berkenan mengunjungi Klammer di rumahnya. Pada saat itu, hujan turun yang membuat jalan melalui kampung-kampung
berlumpur, sehingga tuan
Kontelir dengan susah payah menembus hujan dan jalan berlumpur dan kotor penuh
dengan kotoran lembu atau sapi yang lalu lalang pada malam hari. Esok harinya, tuan Kontelir memerintahkan bawahannya membangun
jalan baru melewati rumah Klammer menuju pusat perkantoran Gubernemen Sipirok.
Pembangunan jalan
itu telah membuat setasi zending Sipirok
terletak pada jalan protokol di Sipirok, bukan lagi di belakang kampung-kampung Batak yang belum
teratur.
Selain
itu, tuan
Kontelir Krusen masih memberikan kepada Klammer rumah tinggal van Asselt yang
sudah rusak karena gempa 1862 dengan harga murah. Klammer mengumpulkan bahan-bahan bangunan yang masih
dapat digunakan dengan harapan dapat membangun setasi zending Sipirok sesegera mungkin, tetapi dengan
bangunan yang layak berdiri berdampingan dengan rumah-rumah kediaman para
pegawai Gubernemen yang biasanya megah. Klammer sangat sadar betul bahwa setasi
zending di Sipirok harus menampilkan wajah yang
menyamai gedung-gedung pemerintahan dan istana para Kepala Kuria yang megah di
kota Sipirok yang semakin modern, sehingga masyarakat luat Sipirok itu tidak melihat sebelah mata
bangunan-bangunan di Setasi Sipirok, khususnya gedung gereja, sekolah dan rumah tinggal pendeta.
Seorang misionaris yang
ditempatkan di kota Sipirok yang semakin modern tidak
dapat mengelak dari kegiatan membangun sarana fisik yang lebih layak, setara
dengan bangunan-bangunan di Sipirok. Beliau sadar bahwa tugas pokoknya ialah
membangun manusia menjadi manusia yang berguna dan mampu meningkatkan taraf hidupnya sehingga semakin layak melakukan
hal-hal yang baik dan bermanfaat untuk
dirinya dan sesama serta kemuliaan bagi Tuhan Allah Yang Maha Kasih. Pemerintah
Belanda juga sangat
mengharapkan luat Sipirok dan Angkola jadi lumbung sumber daya manusia bagi pembangunan luat Sipirok dan
sekitarnya, antara lain di
bidang pemeritahan daerah, usaha dan pendidikan.
Klammer selalu memelihara
hubungan baik dengan para misionaris lainnya, baik dengan rekannya asal Ermelo juga asal
Barmen (RMG). Beliau dengan sukarela membantu mereka meningkatkan pelayanan
mereka di tempat yang sudah dihunjuk untuk mereka, karena mereka datang untuk misi
yang sama yaitu Missio Dei. Setasi Baringin di sebelah selatan Sipirok, Bungabondar, Parausorat dan setasi-setasi yang dilayani oleh teman-temannya
dari Ermelo, Java Comite dan terakhir
dari lembaga Doopgezinde Zending (Gereja Baptis).
Di bidang pendidikan umum,
mereka menghadapi tantangan yang sama, yaitu kehadiran para murid sekolah yang
belum menentu. Pada
waktu musim menanam padi dan panen,
anak-anak ikut membantu orang tua masing-masing. Mereka juga menghadapi masalah yang sama di bidang pengajaran agama Kristen, yaitu
kekuatan budaya dan adat lama yang sulit terpisahkan dari roh-roh nenek moyang
dan kekuatan-kekuatan gaib atau magis, demikian pula kekuatan agama Islam yang
lebih dulu mengakar ditengah penduduk luat
Angkola dan Mandailing. Kerukunan dalam keluarga sering terganggu oleh
masalah-masalah sosial-ekonomi
dan pembagian warisan nenek-moyang.
Ditengah masalah-masalah
tersebut berdiri jemaat-jemaat lokal di luat Angkola. Gedung gereja pertama di
Sipirok telah selesai dibangun Klammer. Menara gedung gereja itu punya
keunikan. Pada puncak menara terlihat sebuah
ikon ayam yang sedang berkokok. Menurut Klammer, ikon itu mengingatkan setiap
orang merenungkan bagaimana dulu murid Yesus yaitu Simon Petrus tersadar akan
penyangkalannya terhadap diri Yesus di hadapan para ibu yang mengatakan bahwa
dia adalah seorang pengikut Yesus, tetapi dia menyangkal, sampai subuh ketika
ayam sedang berkokok tiga kali.
Tetapi yang paling
menggembirakan hati setiap misionaris adalah kebangkitan yang muncul di tengah setiap setasi/jemaat melalui para warga
jemaat yang menjadi pelita, yang bercahaya ditengah penduduk/masyarakat
sekitar. Nama-nama mereka telah tercatat dalam banyak tulisan di dunia maya, buku dan narasi keluarga-keluarga keturunan
mereka, yang nanti akan kita sebut. Nama-nama mereka jadi kebanggaan generasi
berikutnya. Inilah hasil pendidikan, yang
dikelola pemerintah Hindia Belanda maupun
oleh Zending dan juga sekolah-sekolah dari ragam pesantren di luat Sipirok.
Kebangkitan itu mempersatukan masyarakat setempat, membuka sekat-sekat lama
untuk memasuki sejarah bersama penduduk luat Angkola, sejarah yang menghargai
harkat manusia yang selalu mencari kebaikan dan kemajuan manusia seutuhnya.
Sekolah
Katekhet di Parausorat: 1868-1873
Sekolah Katekhet atau Sekolah
Guru atau Sikola Tinggi di Parausorat menambah terang cahaya yang bersinar di luat Angkola. Jemaat Parausorat sudah berdiri
sejak pelayanan van Asselt, namun faktor tenaga
yang minim membuat tidak
dapat dikembangkan. Pasca
pelayanan beliau di Sipirok, tempat itu selalu dalam perhatian para misionaris
di luat Angkola.
Ingwer
Ludwig Nommensen, yang kelak jadi Ephorus Batak-Mission (Gereja
Batak) yang gagal memasuki Tanah Batak pedalaman melalui Barus pernah
ditempatkan di Parausorat. Beliau segera ke sana dan membangun sebuah pondok
sederhana terbuat dari bahan bambu, baik lantai maupun dindingnya. Udara
Parausorat termasuk dingin dan berembus kencang, juga
bagi Nommensen orang Eropa itu. Beliau membuat pipa bambu untuk mengalirkan air
minum sampai ke dekat pondoknya.
Untuk melindunginya dari gangguan binatang buas seperti harimau, yang sering
mencari mangsanya sampai di tempat tinggal Nommensen, beliau menggali parit dan
tembok tanah di sekeliling
pondoknya.
Nommensen dapat melakukan pembangunan
itu karena penduduk setempat tidak menggangu, malahan membiarkan dan menolongnya. Ada tiga sumber air panas
dekat pondoknya. Melihat keadaan penduduk yang mengidap ragam penyakit, mulai dari kulit yang kudisan,
sakit mata, perut, dan lain-lain,
Nommensen menggunakan keahliannya untuk mengobati mereka. Itulah kegiatan yang
membuka jalan mendekatkan beliau kepada masyarakat Parausorat.
Kedekatan kepada masyarakat
setempat jadi modal
beliau untuk membuka sekolah yang sangat sederhana karena hanya terdiri dari
beberapa baris bangku. Beliau harus sabar menerima kehadiran beberapa anak
Parausorat. Waktunya lebih banyak merawat sekolah yang sudah dibuka di Waringin, tempat yang dipercayakan
kepada Nommensen, tidak jauh dari Parausorat. Beliau pergi ke sana sesering
mungkin menapaki pematang sawah
yang membentang, selama
¾ jam. Beliau sedapat mungkin ingin memikat perhatian anak-anak yang datang
melalui cerita-cerita dari Alkitab, melatih anak-anak bernyanyi. Nommensen mau
membujuk mereka supaya mereka datang ke Parausorat bergabung dengan anak-anak
di sana.
Tetapi ada sebuah berita yang
beliau dituliskan ke Barmen dan menjadi isi laporan tahunan Kongsi Barmen,
itulah yang kita gunakan menjadi sumber infomasi tentang kehadiran Nommensen di
Parausorat (JB RMG, 1863: 42-43). Di sana dicatat bahwa Nommensen
menghadapi peraturan pemerintah Belanda
tentang pemindahan sekolah di Waringin, juga semua penduduk Parausorat
ke daerah Siprirok dan Bungabondar. Anak-anak Parausorat dan Waringin harus
masuk di Sekolah Dasar Negeri di Sipirok dan Bungabondar. Dengan demikian
seluruh kegiatan Nommensen di Parausorat bakal berakhir. Apakah ada niat
Gubernemen Belanda menggunakan daerah Parausorat yang berada pada kaki gunung
itu untuk kepentingan
ekonomi Gubernemen di Angkola?
Masalah ini disampaikan Nommensen kepada rekan-rekannya
di Sipirok dan Bungabondar, memperbincangkan apakah lebih baik menutup kegiatan
zending Kongsi Barmen di Parausorat dan membuka
pelayanan zending
di Utara sebagaimana impian
Nommensen. Mungkin kebijakan pemerintah Belanda berubah, karena sejarah
pembangunan luat Sipirok melalui pendidikan berlanjut pasca pelayanan
Nommensen. Sekalipun masa pelayanan Nommensen singkat, namun beliau tidak dapat
melupakannya, termasuk karena
keterbukaan penduduk setempat saat beliau butuh bantuan. Beliau tak dapat
melupakan Parausorat, karena di sanalah
beliau mengawali karya besarnya
di Tanah Batak, yaitu menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru yang sudah
dimulainya di Sipirok dan Parausorat, lalu dilanjutkannya nanti di Huta Dame,
Silindung.
Kedatangan seorang tenaga baru
dari Jerman membuat perubahan drastis di Parausorat, seorang lulusan Perguruan
Tinggi di Jerman, yaitu Pdt. Dr. August
Schreiber, misionaris pertama dengan latar belakang Perguruan Tinggi Negeri, punya keahlian bukan saja di bidang Teologi
tetapi juga di bidang kesehatan/medis. Beliau diberi pula tugas memimpin
seluruh kegiatan pelayanan RMG di Tanah Batak dengan jabatan sebagai “Praeses”,
yang nanti berubah
dengan nama jabatan “Ephorus”.
Schreiber melanjutkan pelayanan
di tengah-tengah warga jemaat yang ditemukannya di Parausorat dan Baringin
sekitarnya, juga membuka sebuah sekolah
untuk mendidik tenaga pribumi menjadi guru sekolah yang mampu melayani jemaat
dan sekaligus sekolah dasar. Beliau dibantu oleh jemaat Sipirok dan Bungabondar, melalui tenaga
misionaris
setempat dan warga jemaat
setempat.
Schreiber berhasil memilih lima
dari antara kaum muda yang terbaik dan telah menerima baptisan kudus menjadi
siswa Sekolah Tinggi. Tahun ajaran perdana dimulai 1868. Sesuai dengan
kebiasaan Eropa menyebut nama baptis orang tanpa marga, beliau menyebut
nama-nama baptis siswanya seperti Thomas dari Sipirok, Paulus, Markus (Siregar) dan
Johannes (Siregar) dari
Bungabondar sedang Ephraim (Harahap) dari Baringin (Ber. RMG, 1870: 71; 70-81; 1871: 51-54 ; J.U.Siregar, 1999: 91-94 ). Tidak lama kemudian, Schreiber memberikan kesempatan ikut masuk
tahun ajaran perdana itu seorang putra Kepala Kuria dari Baringin, namanya
Wilhelm Djamuda, yang sudah menerima
baptisan kudus.
Setiap pagi, Schreiber memberikan ragam mata pelajaran bagi
mereka, mata pelajaran tentang Pengetahuan Isi Alkitab, khususnya narasi-narasi
Alkitab tentang para tokoh Alkitab, kemudian mata pelajaran umum seperti
Sejarah Dunia dan Geografi. Sejarah Dunia yang beliau kenalkan berpusat pada
Sejarah Dunia Barat, seperti mengenalkan siapa Konstintinus Agung atau Perang
Dunia I. Dari Ilmu Bumi (Geografi), para siswa mendengar dan melihat peta
benua Asia, Eropa dan Afrika, tetapi
dimulai dengan geografi Hindia Belanda. Mata pelajaran yang asing bagi mereka
itulah yang membuka pikiran mereka melihat dunia yang sangat asing bagi mereka,
namun itulah isi pengetahuan dasar dulu yang memang menjadi pola pedidikan umum
saat itu di wilayah-wilayah jajahan Belanda.
Sesudah dua tahun belajar, para
siswa telah menyelesaikan studi
mereka dan pada Hari Raya Paska Kedua 1870, mereka telah diberi tempat
pelayanan dan diberkati – ‘abgeordnet und eingesegnet’ (Ber. RMG, 1871: 45; 43-45; 46-56).
Mereka ditempatkan dalam wilayah
pelayanan para misionaris di luat Angkola untuk mengajar anak-anak sekolah dan
membantu para misionaris di jemaat-jemaat yang sudah berdiri. Mereka
menunjukkan sikap yang tulus dan komit kepada tugas pelayanan mereka di sekolah
dan jemaat, sehingga Schreiber melihat bahwa cara perekrutan yang beliau
lakukan sangat tepat. Beliau hanya bertugas untuk memberikan penguatan ilmu dan
karakter kepada manusia Angkola untuk
mampu membangun manusia sesamanya di
tengah proses Misio Dei di dunia Angkola, baik sebagai pelayan di jemaat dan
sekolah zending maupun di bidang tata pemerintahan.
Gelombang kedua segera dibuka
1870, dibantu oleh tenaga yang baru
sampai dari Eropa
yaitu Chr. Leipoldt. Schreiber berhasil
memilih 12 orang siswa angkatan kedua, di mana empat dari mereka sebagai guru
terbaik dan terampil terpilih pula ikut masuk di Seminari Sipoholon,vTarutung untuk mengikuti kursus Sekolah Pendeta
selama dua tahun. Siswa
gelombang kedua menerima pelajaran bahasa
Melayu dan Jerman. Bahasa Melayu dibutuhkan untuk mampu berkomunikasi dengan
warga non Angkola, tetapi terutama
mengikuti kurikulum pendidikan umum negeri. Disamping aksara baru yaitu aksara Latin (Barat), mereka juga
mempelajari
aksara Batak (Angkola).
Gelombang ketiga dibuka pula 1872, namun karena istri
Schreiber jatuh sakit, beliau serta keluarga
harus pulang ke Eropa. Gelombang
ketiga itu harus dilanjutkan oleh Leipoldt sendiri. Ketika gelombang ketiga
tamat tahun 1875, Leipoldt harus
kembali ke Eropa membawa istri beliau yang sakit, sehingga kelanjutan Sekolah Tinggi Parausorat tak
menentu. Tenaga baru dari Jerman tak kunjung tiba, dan tenaga para misionaris
yang sedang bertugas di Sipirok tidak dapat diharapkan mengemban tugas mengajar di Parausorat. Sikola Tinggi Parausorat akhirnya ditutup 1875.
Sekalipun usianya singkat,
sumbangan Sekolah Tinggi Parausorat sangat menentukan kebangkitan anak-anak
Sipirok ikut dalam era pembangunan luat Angkola dan di luar luat Angkola.
Kontribusi Sekolah
Katekhet di Parausorat
Sekolah Katekhet di Parausorat berkontribusi di bidang pembangunan manusia
seutuhnya adalah bagian yang tak terpisahkan dari partisipasi sekolah guru
negeri dan jenjang pendidikan lainnya (MULO dan HIS) yang didirikan pemerintah Belanda di luat Angkola dan Mandailing, seperti Kweekschool di Padangsidempuan 1874
dan jauh sebelum itu di Tano Bato (1862-1874) yang dipimpin oleh putra
Mandailing Willem Iskandar, alumni Sekolah Rendah Penyabungan (1853-1855) (Wikipedia
Bahasa Indonesia). Semua pusat pendidikan itu menjadi sumber kekuatan membangun
luat Angkola dan Mandailing, bahkan bersinar
sampai di seluruh Nusantara.
Markus Siregar dan Johannes
Siregar kelak menjadi pendeta perdana dari kalangan pribumi Batak tahun 1885. Pdt. Markus Siregar melalui pelayanannya
sebagai pendeta di jemaat-jemaat Luat Angkola dan Mandailing ikut membangun
karakter manusia pembangun. Laporan Tahunan atau Barita Jujur Taon (BJT: 5
laporan tahunan sejak 1891) beliau,
menjadi saksi bagi kita betapa beliau dan keluarganya mengabdikan diri secara
total untuk pembangunan manusia seutuhnya.
Pdt. Johannes Siregar
ditempatkan Kongsi Barmen di Tapanuli Utara, di Muara hingga akhir hidupnya.
Sama halnya dengan Pdt. Markus Siregar dan Pdt. Johannes Siregar, kita dapat
membaca Laporan Tahunan para pendeta
Batak (328 BJT) lainnya dalam sebuah kumpulan Laporan Tahunan para pendeta
Batak 1891-1959, yang baru saja diluncurkan di Medan dengan judul ‘Ula
Jala Surathon! Barita Jujur Taon Pandita Batak 1891-1959, Jilid I- IV. Dalam buku ini kita dapat membaca laporan
tahunan Pdt.Markus Siregar saat beliau bekerja di Parlagutan Sijorang (
1891-1903 ), laporan tahunan Pdt.Petrus Nasution di Padangmatinggi ( 1892 –
1913 ), Pdt.Elias Siregar di Lancat (1901-1904) dan laporan-laporan pendeta
lainnya yang ditempatkan di Luat Angkola dan Mandailing. Mereka bekerja dengan
hati yang tulus, pikiran yang cerdas dan iman yang kuat.
Keturunan Pdt. Markus Siregar,
Pdt. Johannes Siregar, demikian juga keturunan Pdt. Petrus Nasution ikut
dengan para keluarga besar para pendeta perdana lainnya pada Jubileum 100 tahun kependetaan 1985 di
Kampus STT-HKBP Pematangsiantar.
Salah seorang alumni perdana
Kweekschool Padangsidempuan (1884) telah menjadi pelopor pembangunan manusia
seutuhnya melalui karya-karya beliau di bidang pendidikan dan usaha, namanya Rajiman
Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada, kelahiran Batunadua
1874 (‘Tapanuli Selatan Dalam Angka:
HIS, MULO dan Kweekschool di Padangsidempuan Tempo
Dulu’). Gr. Ephraim Harahap gelar Sutan Gunung Tua,
alumni Sekolah Katekhet Parausorat karena ketangguhan beliau dalam menjalankan
tugas keguruan serta hubungannya dengan masyarakat, akhirnya diangkat oleh pemerintah Belanda bekerja sebagai jaksa,
dan kemudian menjadi Hoofddjaksa (Jaksa Kepala), pegawai pribumi yang
pangkatnya tertinggi di seluruh wilayah
Keresidenan Tapanuli (1885-1910) ( Lance
Castles, 2001: 22).
Salah seorang pemuda murid
lulusan sekolah rakyat yang dipimpin oleh Pdt. Ingwer
Ludwig Nommensen (1862-1864) di Parausorat
juga membaktikan diri untuk pembangunan manusia seutuhnya. Beliau sudah siap mengemban tugas sebagai guru, namun jadi staf (penulis atau sjriver) Asisten Residen Mandailing dan Angkola di Padang Sidempuan
1875 dan akhirnya jadi jaksa. Nama beliau adalah Syarif Anwar gelar
Sutan Gunung Tua. Karakter
membangun manusia seutuhnya, yang didalamnya selalu ada garam mendidik atau
karakter guru, beliau turunkan kepada putra-putranya. Beliau punya dua anak,
yang pertama adalah Djamin Harahap gelar
Baginda Soripada dan Mangaraja
Hamonangan.
Melalui pendidikan yang diraihnya, Djamin Harahap bekerja sebagai mantri polisi
jauh di luar luat
Angkola, yaitu di Medan, Pantai Sumatra bagian Timur, kemudian diangkat jadi
jaksa yang ditempatkan di beberapa kota di Sumatra Timur dan Tapanuli. Putra
kedua ialah Mangaradja Hamonangan,
mengawali karirnya di Sipirok sebagai guru dan pada akhir dinasnya mulai
membangun usaha di Padangsidempuan hingga akhir hayatnya. Kedua abang adik itu
berhasil menyekolahkan anak-anak mereka hingga meraih pendidikan pasca-sarjana
di dalam dan di luar negeri. Djamin Harahap adalah ayah dari tokoh nasional Amir Syarifoedin gelar Sutan Soaloon dan
Mangaraja Hamonangan adalah ayah dari tokoh nasional Prof. Dr. Todung
Harahap gelar Soetan Gunung Mulia.
Kedua putra luat Angkola, Sipirok,
tersebut terkenal sebagai
pendidik bangsa, pembangun manusia seutuhnya. Mr. Amir
Syarifoedin di tengah kesibukannya di bidang
politik nasional, beliau tak lupa membaktikan diri di jemaat Batak pertama di
Batavia/Jakarta, bahkan melayankan khotbah mingguan di gereja Batak Kernolong (
Van de Wal, 2014: 317-318 ). Prof. Dr. Soetan
Gunung Mulia terkenal baik di bidang pendidikan dan politik kebangsaan. Beliau
adalah salah satu dari kaum pribumi yang dipilih jadi anggota DPR (1922)
bentukan zaman dulu yang namanya Volksraad. Beliau lebih mengutamakan
pendidikan ketimbang politik, sehingga beliau pergi untuk kedua kalinya negeri
Belanda untuk studi pasca-sarjana di
bidang Pedagogik, dan meraih gelar Doktor Pendidikan. Semua biaya studi
ditanggung oleh orangtua beliau, biaya yang sangat mahal, sehingga hanya orang
yang luar biasa kemampuannya di bidang ekonomi yang mampu melakukannya.
Disamping
mengemban jabatan sebagai Menteri Pendidikan di beberapa
pemerintahan Indonesia, Prof. Dr. Soetan Gunung Mulia juga mengabdikan diri di
bidang kegerejaan, antara lain membentuk
PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), dulu DGI (Dewan Gereja-gereja di
Indonesia) 1950-an, dan
sebelumnya tahun 1930-an ikut
mendirikan Sekolah Tinggi Theologi
(H.Th.S) di Jakarta yang kini jadi STT Jakarta, serta anggota Majelis Pusat
HKBP (1930-1950).
Beliau ikut membangun Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) tahun 1950-an (Kompilasi Akhir Matua Harahap dalam ‘Tapanuli Selatan Dalam Angka’).
Parada Harahap yang ikut
membangkitkan rasa kebangsaan Indonesia melalui organisasi politik dan dunia
kewartawanan nasional sejak awal dekade abad ke-20. Surat Kabar ‘Sinar Merdeka’
menjadi alat ampuh untuk menebarkan semangat kemerdekaan Indonesia di luat Angkola dan Mandailing.
Nama-nama di atas hanya
mengingatkan kita pada banyak nama-nama tokoh lokal dan nasional bangsa
Indonesia yang dipersiapkan untuk membangun satu bangsa yang terdiri dari ragam
bahasa, adat, budaya, suku dan agama, namun mereka hidup rukun dan saling
menghargai demi tujuan yang sama, yaitu membangun manusia seutuhnya demi
kehidupan bersama sebuah bangsa dan negara
di mana kita hidup kini yaitu Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pusat-pusat pendidikan modern
di luat Angkola dan Mandailing
sejak 1850-an-1940-an, termasuk Sekolah Rakyat pimpinan Pdt. G. van Asselt di Sipirok dan Sekolah Katekhet
di Parausorat, telah
melahirkan manusia-manusia pembangun yang menyumbangkan tenaga penggerak dan
pembangun manusia seutuhnya dalam terang Misio Dei yang melampaui segala batas
dan sekat sosial,
geografis, budaya dan agama.
Kesimpulan
Kehadiran Pdt. G. van Asselt
menjadi salah satu awal perjalanan Misio
Dei di luat
Angkola. Kesediaannya menerima tawaran dan imbauan pejabat tinggi di Propinsi
Sumatra Barat, Gubernur Ariens yang tak berkenan pada keinginannya itu, telah
memberikan peluang baginya untuk membangun manusia seutuhnya, manusia yang
terbuka kepada kebutuhan dan kehadiran sesama manusia ciptaan Tuhan.
Sebagai pegawai negeri, van Asselt bekerja dalam Misio Dei, menjadi
suatu alat membangun Kerajaan
Tuhan di luat
Angkola, tanpa membedakan asal-usul silsilah, suku, bangsa, agama dan budaya. Hal tersebut dilakukannya sebagai pendeta,
utusan jemaat Ermelo yang mengutusnya dalam nama Tuhan Allah Trinitatis. Beliau
menjadi penolong dan penunjuk jalan bagi para pendeta, utusan berbagai lembaga
zending dan kegerejaan di Eropa, seperti Klammer, Nommensen, Betz, Schuetz,
Dammerbur, dan lain-lain.
Pelayanan mereka di bidang
pendidikan yang berorientasi pada pembangunan manusia seutuhnya merupakan bagian integral dalam gerakan
pendidikan yang diemban oleh Gubernemen Belanda di luat Angkola, yang berpusat di Padangsidempuan,
Sipirok, Bungabondar, Parasusorat, Tano Bato, dan lain-lain.
Para alumni berbagai sekolah
umum (tingkat rendah dan menengah) dan sekolah guru (sekolah Katekhet dan
Kweekschool) menjadi pembawa obor kebangkitan
luat
Angkola, bahkan sampai ke tingkat nasional. Harapan kita kini adalah agar kita
generasi kini tetap menyalakan obor pembangunan itu untuk masa depan umat
manusia ciptaan Tuhan dalam melakukan berbagai kreasi mewujudkan keutuhan
ciptaan Tuhan, keadilan serta kedamaian
di tengah umat ciptaan Tuhan.
Penutup
Dari uraian singkat di atas,
saya memahami judul uraian di atas ‘Parau Sorat Bangkit’, sebagai seruan untuk bangkit membangun manusia
seutuhnya kini dan mendatang sebagai kelanjutan pembangunan yang sudah dilakukan oleh para pendahulu
kita di luat
Angkola dan Mandailing ini. Situasi dapat berubah, namun semangat membangun
manusia seutuhnya harus kita pertahankan,
malah digandakan, karena tantangan kini jauh berbeda dengan tantangan dulu.
Membangun manusia seutuhnya adalah membangun kemandirian dan kreasi-kreasi baru
yang dapat memanfaatkan alam ciptaan Tuhan, budaya hidup rukun dan damai dengan
sesama yang sudah dirawat oleh para pendahulu kita di luat Angkola dan Mandailing ini. Membangun
manusia rohani dan jasmani,
karena manusia itu telah diciptakan Tuhan sempurna.
‘Parausorat Bangkit’ berarti
bahwa kita berada dalam sejarah Misio Dei, yang sejak awal Tuhan bekerja di
tengah-tengah manusia ciptaannya di luat
Angkola dan Mandailing. Kita adalah pelaku dalam Misio Dei, sebagaimana para
pendahulu kita dulu digunakan Tuhan Allah menjadi alat di tangan-Nya.
Pembangunan Parausorat Center
adalah momen yang sangat tepat untuk membangkitkan kembali semangat membangun
manusia pembangun di tengah gereja dan masyarakat
di mana kita hidup dan berkarya dalam terang Misio Dei yang tak putus-putusnya
sejak penciptaan dunia ini. Semangat
membangun dengan sikap terbuka, inklusif
dan dialogis dalam kehidupan berbangsa, bernegara
dan beragama.
Selamat Ulang Tahun GKPA ke-42
(1975-2017) dan selamat membangun manusia seutuhnya melalui Pembangunan
Parausorat Center (PSC) hari ini 26 Oktober 2017.
Medan/Padangsidempuan, 26 Oktober 2017
Kepustakaan
August, Schreiber., “German Pastor and Translator”, dalam <hhttps://de.wikipedia.org/wiki/August_Schreiber_(Missionar)>
Aus den Berichten Missionars
Schreiber’s (Dari
laporan-laporan Misionar Schreiber, dalam Berichte der Rheinischen
Missionsgesellschaft (Ber. RMG – Berita-berita dari Lembaga Misi Rhein), Maret 1870: 65-81.
Berichte von Miss. Schreiber (Laporan-laporan Misionar Schreiber), dalam Berichte der Rheinischen
Missionsgesellschaft (Ber. RMG), Pebruari 1871: 43-56.
Bosch, David J., 1999, Transformasi Misi Kristen. Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah dan Berubah, Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Castles, Lance., 2001, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatra: Tapanuli 1915-1940,
Jakarta: KPG.
Hutauruk, J.R. (penerjemah), 2009, Pandita G.van Asselt. Parbarita Na Uli Di Tano Batak: 1857-1875, Pearaja-Tarutung: Kantor
Pusat HKBP.
Hutauruk, J.R., 2011, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam
Kristus. Sejarah 150 Tahun Huria Kristen Batak Protestant (HKBP) 7 Oktober 1861
– 7 Oktober 2011, Pearaja, Tarutung:
Kantor Pusat HKBP.
Hutauruk,J.R., 2014, Diakonal
HKBP.Sejarah Pelayanan Diakonal HKBP 1857-2013, Jakarta.
Hutauruk, J.R., 2017, Ula
Jala Surathon! Jilid I Distrik Angkola/Tapanuli Selatan, Silindung. Barita
Jujur Taon Pandita Batak, 1891-1959, Medan: LAPiK.
Klammer, C., Sipirok, 16 Maret
1862, dalam Berichte
der Rheinischen Missionsgesellschaft (Ber.
RMG), Oktober 1862: 274-281.
Nommensen, I.L. di Parausorat,
dalam Jahresbercht der Rheinischen
Missionsgesellschaft (JB. RMG - Laporan
Tahunan dari Lembaga Misi Rhein), 1863: 40-46.
Nuraini, Cut, 2004, Permukiman
Suku Batak Mandailing, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Prof. Dr. Mr.Todung
Harahap
…: ”Tapanuli Selatan Dalam Angka”, 13/11/15 oleh
Kompilator Akhir Matua Harahap, dalam http://akhirmh.blogspot.co.id/search/label/Sejarah
Mandailing
Harahap, Ramli SN. (editor), 2011, Bunga
Rampai. Seratus Lima Puluh Tahun Kekristenen di
Luat Angkola, Padangsidempuan: Kantor Pusat GKPA.
Siregar,J.U., 1999, Dari Gereja
Zending Ke GKPA, Padangidempuan: Kantor Pusat GKPA.
Sihombing, J., t.t., Sejarah
ni Huria Kristen Batak Protestant, 1861-1961, Medan: Philemon
& Liberty.
Sitompul, A.A., 2005, Sitotas
Nambur Hakristenon di Tano
Batak, Jakarta: Dian Utama.
Van Asselt, Gerrit, 1911, Aus
den Anfaengen der Batak-Mission. Nach den Aufzeichnungen des heimgegangenen
Missionars van Asselt, Barmen: Verlag des Missionshauses.
Van de Wal, Hans, 2014,
Terbelah Dalam Kancah Revolusi. Kaum Protestan
Belanda dan Pekabaran Injil Belanda Menghadapi Revovolusi Indonesia,
Kutoarjo: Yayasan Cemara.
Willem Iskandar,
dalam:<Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas>
[1] Disampaikan pada Seminar Sehari Ulang Tahun
ke-42 Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA), di Padangsidempuan, 26 Oktober 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar