Minggu, 11 April 2021

Renungan hari ini: “TAAT SAMPAI MATI” (Filipi 2:8)

 Renungan hari ini:

 

“TAAT SAMPAI MATI”




 

Filipi 2:8 (TB) "Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib"

 

Philippians 2:8 (NET) "He humbled himself, by becoming obedient to the point of death – even death on a cross!"

 

Kata “taat” mempunyai arti: senantiasa tunduk, patuh (kepada Tuhan, pemerintah, dsb.); tidak berlaku curang; setia; saleh; kuat beribadah. Ketaatan sangat menentukan keberhasilan anak Tuhan dalam mengikut Dia seperti telah dicontohkan Yesus sendiri. Bukankah kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa oleh sebab tidak taat merespons perintah Allah? Dan dosa terus berlanjut dilakukan oleh manusia sampai sekarang. Sesungguhnya Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia dalam menentukan suatu pilihan namun semua tindakan mengandung konsekuensi/akibatnya. 

 

Alkitab memberikan banyak contoh tentang siapa yang taat dan siapa yang tidak taat serta akibat yang harus ditanggungnya. Misal: Abram membuktikan ketaatannya kepada Allah sekalipun perintah-Nya belum jelas ke mana dia harus pergi namun akibat dari ketaatannya dia sangat diberkati dan menjadi bangsa besar untuk memberkati orang lain. Berbeda dengan apa yang dialami oleh Yunus saat Tuhan memerintahkan dia pergi ke Niniwe untuk mengabarkan Injil keselamatan. Dia tidak taat dan pergi ke Tarsis sehingga dia harus menanggung akibatnya yaitu masuk dalam perut ikan selama tiga hari tiga malam untuk menjalani pengalaman kematian (Yun. 1:1-3, 17).

 

Yesus telah memberikan contoh sempurna dengan merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati di kayu salib. Salib menjadi tempat penderitaan-Nya terakhir dan di atas kayu salib itu seluruh penderitaan manusia ditanggung-Nya, diteguhkan dengan perkataan-Nya, “Sudah selesai” (Yoh. 19:30). 

 

Karena ketaatan Yesus kepada Bapa-Nya, Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya Nama di atas segala nama (Flp. 2:9). Konsep ini sangat berlawanan dengan konsep dunia. Yesus memperoleh Nama besar tak tertandingkan didahului dengan merendahkan diri serendah-rendahnya, melepaskan kedudukan-Nya sebagai Allah serta mengo-songkan diri-Nya, mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dampaknya, di dalam Nama Yesus segala yang ada di langit, yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi bertekuk lutut. Ini menunjukkan bahwa kuasa-Nya tidak terbatas dan kemenangan mutlak diraih-Nya atas semua musuh sehingga timbul pengakuan yang menyatakan tidak ada kemuliaan lain di luar Nama Yesus Kristus.

 

Mengapa Yesus harus rela taat sampai mati? Ada beberapa alasan mengapa Yesus rela taat sampai mati, yakni:

 

Pertama, untuk menjembatani jarak antara manusia dengan Allah yang suci. Satu kalimat yang sering diperdebatkan adalah: “Apakah benar di atas kayu salib, Allah Bapa meninggalkan Allah Putra?”. Apakah di dalam diri Allah Tritunggal terdapat dua kehendak yang berlawanan? Apakah benar Yesus Kristus mengalami keterpisahan dengan Allah Bapa? Yang jelas Yesus mengalami kesendirian: malaikat-malaikat menyaksikan kelahiran Kristus, melayani Dia sesudah dicobai selama 40 hari – 40 malam, menjaga kubur Yesus dll; tetapi di Bukit Golgota, malaikat-malaikat itu tidak tampak, suara Allah tidak terdengar bahkan kegelapan di siang hari bolong merajalela. Allah Bapa tidak meninggalkan Yesus, yang terjadi adalah ketaatan-Nya, bukan hanya taat di dalam melaksanakan tugas-Nya tetapi bahkan ”… taat sampai mati…” (Flp. 2:8). Mulai dari Filipi 2:7, Yesus mengosongkan diri-Nya (Yunani: Eluton ekenpsen, membuat tidak berefek apa yang dimiliki), lalu Ia menjadi manusia (Yoh. 1:1), kemudian mengambil rupa seorang hamba (Flp. 2:9) dan kemudian Ia mati bahkan mati di atas kayu salib di antara penyamun – Dia dipersamakan dengan orang berdosa.Dapatkah kita melihat degradasi status Yesus Kristus? Seolah-olah semakin lama semakin jauh jarak perjalanan yang Yesus tempuh meninggalkan Allah Bapa, namun Yesus rela melakukan semua itu demi mencari manusia yang berdosa. Jarak itu semakin jauh ketika manusia menolak Tuhan Yesus. Ketaatan Yesus untuk mati di kayu Salib menjadi jembatan, yang mengatasi jarak antara manusia berdosa dengan Allah yang suci. Yesus Kristus telah memberitahukan kepada kita bahwa perjalanan-Nya dari sorga untuk mencari orang berdosa, telah sampai pada titik paling bawah, paling hina, dan paling dalam yang tidak akan bisa dilakukan oleh siapapun juga.

 

Kedua, untuk menggenapi tuntutan akibat dosa. Mengapa Yesus Kristus harus rela taat sampai mati? Sejak kita masih anak-anak bahkan sebelum bisa membaca dan mengenal hukum yang tertulis, Allah sudah menaruh di dalam hati kita naluri keadilan. Karena itulah pada diri Allah yang juga menuntut keadilan. Ini dasar pemikiran yang penting. Sampai di sini tidakkah kita sadar dan memliki perasaan bahwa setiap dosa dan pelanggaran menuntut nilai keadilan di dalamnya? Adakah dosa atau pelanggaran tanpa konsekwensi keadilan di dalamnya? Untuk keadilan itulah Allah Bapa “mengijinkan” Yesus ke atas kayu salib, supaya genaplah tuntutan keadilan karena setiap pelanggaran yang telah kita lakukan. Yesus dipaku di atas kayu salib bukan karena kuasa Herodes atau Pilatus atau bahkan Imam Besar; semuanya itu terjadi karena penghakiman Allah. Di dalam Yesaya 53:10 dengan sangat jelas disebutkan bahwa Allah Bapa telah menetapkan untuk meremukkan Dia. Ini mungkin menjadi kalimat yang tidak pernah kita mengerti seutuhnya. Bapa menetapkan untuk menghakimi anak? Siapakah yang tega melakukannya? Hanya satu hal yang memungkinkan hal itu terjadi: karena sifat dan karakter hukum dalam diri Allah yang suci dan itu bertentangan dengan dosa manusia yang jahat dan melukai hati Tuhan. Ini merupakan pengadilan yang berat.Tanpa Yesus taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib rasanya tidak pernah akan ada pengampunan karena dosa dan kesalahan manusia. Itu sebabnya ketika Yesus berseru: “Sudah genap!” ini merupakan ekspresi kemenangan besar dan kekuasaan besar karena sekarang tidak ada lagi tuntutan atas dosa manusia yang belum terbayarkan. Semuanya sudah tuntas dan sempurna. Yesus Kristus tidak perlu naik ke kayu salib lagi, satu kali untuk selama-lamanya khasiat kayu salib terus dapat kita rasakan.

 

Ketiga, untuk menjamin dalam kemuliaan. Tanpa kematian tidak akan ada kemuliaan. Ini sebuah paradoks tetapi mengandung kebenaran sejati. Jika satu biji gandum tidak mati, ia tidak akan menghasilkan biji gandum yang lain. Pernahkah kita berpikir dan mendiskusikan sebuah pertanyaan ini: “apakah perampok di sebelah kanan Tuhan Yesus itu benar-benar sudah bertobat dan diselamatkan?” apakah yang menjadi indikasi bahwa dia sunguh-sunguh sudah bertobat?Indikasi pertobatan yang pertama adalah:_ Dia berkata kepada perampok yang lain: “Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima hukuman yang sama?… tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah” (Luk. 23:41). Dia sangat mengerti konsep keadilan dan penghukuman atas sebuah pelanggaran._ Dia berkata kepada Yesus: “Ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja” (Luk 23:-42-43). Di atas kayu salib tertulis: “Inilah Raja Orang Yahudi” dan mereka ternyata malah menghina Yesus, bagaimana mungkin seorang Raja nampak kalah dan tak berdaya? Perampok itu memiliki konsep kerajaan Allah yang eskatologis sifatnya. Imannya jauh melangkah sampai kedatangan Yesus yang kedua kalinya. Itulah sebabnya Yesus berkata: “Hari ini juga engkau akan ada bersama dengan Aku di dalam Firdaus”. Melalui ketaatan-Nya sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib; Yesus sedang menapaki jalan menuju kepada kemuliaan yang kekal. Karena itu, marilah kita belajar taat hingga mati seperti Yesus agar kita mendapatkan kemuliaan bersama-Nya. (rsnh)

 

Selamat memulai karya dalam Minggu ini

Renungan hari ini: “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH” (Daniel 3:3)

  Renungan hari ini:    “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH”   Daniel 3:3 (TB2) "Lalu berkumpullah para wakil raja, para penguasa, para bupa...