Minggu, 28 Oktober 2018
Kotbah: Yesaya 58:4-12 Bacaan: 2Korintus 9:6-15
Minggu ini kita akan memasuki Minggu Keduapuluh dua Setelah Trinitatis. Dalam Minggu ini kita akan membahas tema “Jemaat yang Berdiakonia”. Jemaat sebagai basis Gereja sejatinya harus mampu melakukan tugas diakonia. Secara harafiah, kata diakonia(Ibrani:“syeret”) berarti memberikan pertolongan atau pelayanan. Dalam bahasa Yunani, kata diakonia disebut diakoneinartinya melayani dan diakonosartinya pelayan. Dan secara luas pada zaman Perjanjian Baru diartikan menyiapkan makanan sebagai korban kepada dewa-dewi dan pada masa itu kata ini memang tidak memiliki arti yang “terhormat” karena digunakan hanya untuk para pelayan dan para hamba. Namun pada perkembangannya diakonia lebih diartikan melayani dalam arti umum untuk melayani kebutuhan jemaat.
Dalam praktik bergereja, diakonia itu terbagi dalam tiga bagian besar, yakni:
Pertama, diakonia Karitatif. Diakonia karitatif mengandung pengertian perbuatan dorongan belas kasihan yang bersifat kedermawanan atau pemberian secara sukarela. Motivasi perbuatan karitatif pada dasarnya adalah dorongan prikemanusiaan yang bersifat naluriah semata-mata. Pelayanan gereja terutama pada tindakan-tindakan karitatif atau amal berdasar pada Mat. 25:31-36. Model ini merupakan model yang dilakukan secara langsung, misalnya orang lapar diberikan makanan (roti). Diakonia ini didukung dan dipraktikkan oleh instansi gereja karena dianggap dapat memberikan manfaat langsung yang segera dapat dilihat dan tidak ada risiko sebab didukung oleh penguasa. Diakonia jenis ini merupakan produk dan perkembangan dari industrialisaasi di Eropa dan Amaerika Utara pada abad ke-19
Kedua, diakonia Reformatif atau Pembangunan. Model diakonia ini lebih menekankan pembangunan. Pendekatan yang dilakukan adalah Community Development seperti pembangunan pusat kesehatan, penyuluhan, bimas, usaha bersama simpan pinjam, dan lain-lain. Analogi model ini adalah bila ada orang lapar berikan makanan (roti, ikan) dan pacul atau kail supaya ia tidak sekedar meminta tetapi juga mengusahakan sendiri. Pada jenis ini, diakonia tidak lagi sekedar memberikan bantuan pangan dan pakaian, tetapi mulai memberikan perhatian pada penyelenggaraan kursus keterampilan, pemberian atau pinjaman modal pada kelompok masyarakat.
Ketiga, diakonia Transformatif. Dalam perspektif ini, diakonia dimengerti sebagai tindakan Gereja melayani umat manusia secara multi-dimensional (roh, jiwa dan tubuh) dan juga multi-sektoral (ekonomi, politik, cultural, hukum dan agama). Diakonia bukan lagi sekedar tindakan-tindakan amal (walaupun perlu dan tetap dilakukan) yang dilakukan oleh Gereja melainkan tindakan-tindakan transformatif yang membawa manusia dengan sistem dan struktur kehidupannya yang menandakan datangnya Kerajaan Allah. Diakonia ini bukan hanya berarti memberi makan, minum, pakaian dan lain-lain, tetapi bagaimana bersama masyarakat memperjuangkan hak-hak hidup. Diakonia transformatif atau pembebasan boleh digambarkan dengan gambar mata terbuka. Artinya, diakonia ini adalah pelayanan mencelikkan mata yang buta dan memampukan kaki seseorang untuk kuat berjalan sendiri.
Ketiga jenis diakonia ini silih berganti dilakukan gereja (baca: jemaat) pada situasi dan kondisi yang berbeda-beda. Artinya, Gereja bisa saja memakai dan menggunakan ketiga model berdiakonia ini sesuai dengan kebutuhannya.
Dalam teks kotbah Minggu ini kita akan belajar bagaimana jemaat mampu berdiakonia. Apakah yang dilakukan oleh jemaat dalam rangka berdiakonia?
Pertama, jemaat harus peduli dengan sesama warga jemaat dan orang lain (ay. 6-7). Sebagai jemaat kita harus mampu memperhatikan warga jemaat yang menderita kelaparan, yang tidak punya rumah tinggal, dan yang tidak punya baju. Gereja mendorong warga jemaatnya untuk bertindak memberikan perhatian dan bahkan menolong mereka yang mengalami kelaparan, tidak punya rumah tinggal dan tidak punya pakaian. Bahkan Gereja harus punya budget (anggaran) untuk menolong mereka sebagai bukti bahwa gereja adalah lembaga kasih dan lembaga sosial yang berdiakonia.
Kedua,jemaat tidak lagi mengenakan kuk kepada sesama dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah (ay. 9). Sebagai warga jemaat, kita tidak lagi melakukan perhambaan dan penindasan baik secara verbal dan non verbal. Kita tidak melakukan pencemaran nama baik orang lain dengan segala fitnah dan gossip yang mematikan kehidupan orang lain. Kita harus menghindari diri dari perusakan harkat dan martabat orang lain, sebaliknya sebagai warga jemaat kita harus saling menolong dan menghargai sesama. Sebagai orang percaya kita tidak melakukan yang memberatkan sesama, apalagi mencelakakan mereka.
Ketiga,kita berusaha menahan diri tidak menikmati apa yang diinginkan diri sendiri, tetapi memberikannya untuk memenuhi kebutuhan orang yang tak berdaya (ay. 10). Betapa Tuhan berang ketika umat-Nya menjalankan puasa hanya sebagai ritual belaka, dan menuntut Tuhan menjawab doa karena mereka merasa sudah melakukan kewajiban yang diminta (ayat 1-3). Kelihatannya saja mereka mencari dan merendahkan diri di hadapan Tuhan, tetapi sehari-harinya, mereka tidak takut melakukan apa yang jahat, seolah-olah Tuhan tidak ada (ay. 4-5). Tuhan berjanji menyertai, bahkan memuaskan kebutuhan kita, ketika dalam puasa kita merelakan bagian kita untuk memenuhi kebutuhan orang lain (ay. 11). Sikap itu dikatakan akan “membangun reruntuhan” yang sudah lama tak bisa dihuni (ay. 12). Belas kasihan dapat menembus hati yang keras hingga mereka juga dapat mengenal hidup yang berkenan kepada Tuhan. Betapa baiknya jika kita mengambil waktu untuk berdoa puasa dan menjalankannya seperti yang Tuhan kehendaki. Kita ditolong makin bertumbuh mengasihi dan makin mengandalkan-Nya; sesama pun dibawa makin mengenal-Nya melalui kasih kita kepada mereka. Kiranya Tuhan memampukan kita menjadi warga jemaat yang berdiakonia yang baik bagi sesama warga jemaat dan orang lain agar kita menjadi berkat bagi sesama. (rsnh)
Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN