Kamis, 04 Juni 2020

Renungan hari ini: HIDUP OLEH ROH

Renungan hari ini:

HIDUP OLEH ROH



Galatia 5:25 (TB) "Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh"

Galatians 5:25 (NET) "If we live by the Spirit, let us also behave in accordance with the Spirit”

Perkataan Paulus ini perlu kita cermati dengan baik, “Hiduplah oleh Roh”. Kalimat tersebut dalam bahasa Yunani menggunakan kalimat: “pneumati peripateite”. Kalimat tersebut diartikan sebagai: “berjalanlah oleh/dengan/dalam Roh”. Kata "oleh" adalah untuk menandai seseorang itu hidup kepada, bagi, untuk, dan dengan Roh Kudus. Artinya seseorang itu adalah pelaku dari sebuah tindakan yang seharusnya dia lakukan dengan segenap hati. Latar belakang Paulus menuliskan surat ini adalah karena keprihatinan Paulus atas berbaliknya jemaat Galatia dari iman Kristen sebagai pedoman hidup kepada hukum Taurat yang sudah dicampur dengan tradisi-tradisi bahkan lebih daripada itu mereka menghambakan diri kepada allah-allah yang pada hakikatnya bukan Allah (Gal. 4:8, 9).  

Timbul pertanyaan kita sekarang, apakah makna dengan Hidup oleh Roh? Untuk menjawab ini kita harus melihat landasan firman Tuhan untuk tema tersebut diambil dari Galatia 5:16-26. Ketika kita membaca teks tersebut, maka kita menemukan bahwa rasul Paulus mengulang sebanyak dua kali tentang hidup oleh Roh.

Bagian yang pertama,  kita temukan dalam Galatia 5:16b, rasul Paulus menulis dalam nada perintah:“hiduplah oleh Roh”. Kalimat tersebut dalam bahasa Yunani menggunakan kalimat: “pneumati peripateite”.Kalimat tersebut diartikan sebagai: “berjalanlah oleh/dengan/dalam Roh”. 

Kalimat perintah peripateite (berjalanlah/hiduplah), berasal dari kata dasar: peripateô”. Rasul Paulus acap kali memakai kata tersebut dalam tulisan-tulisannya. Itu dilakukan karena rasul Paulus memberikan penekanan-penekanan khusus, yaitu:

1)      Setiap orang yang hidup oleh Roh menunjukkan adanya perkembangan yang positif. Maksudnya ialah bahwa hidupnya memperlihatkan suatu progres atau kemajuan yang signifikan. “Berjalan” di sini bukanlah berjalan di tempat, apalagi berjalan mundur, melainkan berjalan maju. Artinya, seseorang yang hidup oleh Roh, semestinya bergerak maju dalam keimanannya dan dalam kehidupan kerohaniannya. 
2)      Mengelola dan mengontrol diri sendiri (self control). Jadi, “berjalan” yang Paulus maksudkan bukanlah berjalan karena dorongan faktor luar, melainkan sepenuhnya karena kesadaran diri sendiri. Dengan demikian, seseorang yang hidup dalam Roh bergerak atas dasar kesadaran sendiri, termasuk kesediaan untuk dibimbing dan diarahkan oleh Roh Kudus.

Untuk mengimbangi “hidup” (peripateô) seperti ini, maka peran Roh Kudus adalah “memimpin” dalam pengertian agesthe (ay. 18), yang berakar dari kata agô (memimpin). Pengertian agô di sini yaitu mengarahkan atau mendampingi dengan memberikan pengaruh yang terkadang bersifat desakan. Jadi, sebagai orang percaya, kita perlu menundukkan ego kita di bawah kendali Roh Kudus dan membiarkan Roh Kudus bertindak seperti guru atau panglima dalam hidup kita.

Bagian yang kedua, muncul pada ayat 25a “Hidup oleh Roh” diterjemahkan dari teks Yunani: zômen pneumati. Kata zômen (hidup) berakar dari kata zaô merujuk pada hidup yang baik dan teratur. Karenanya, peran Roh Kudus digambarkan dengan kata memimpin (ay. 25b. Secara harfiah, kata ini berarti “berjalan dalam iring-iringan yang teratur”. Artinya, sebagai orang percaya, kita cukup mengikuti arah dan menjaga diri kita agar tidak keluar dari barisan yang ada.

Dari kedua frasa di atas, maka jelaslah bahwa “hidup oleh Roh” berbicara tentang proses kepemimpinan Roh Kudus dalam hidup kita, baik dalam proses pembentukan ke arah yang lebih baik, maupun dalam proses memelihara keteraturan hidup kita.

Pertanyaannya, darimana kita mengetahui bahwa ada Roh Kudus dalam diri kita? Dalam Kisah Para Rasul 2:38, Rasul Petrus berkata, “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia, yaitu Roh Kudus”. Setiap orang yang telah bertobat dan dibaptis, maka ia telah menerima Roh Kudus di dalam dirinya. Jadi, baptisan bukanlah ukuran seseorang telah menerima Roh Kudus (bnd. Kis. 8: 16), melainkan dibutuhkan “pertobatan”. Dalam bahasa Yunani, “bertobat” menggunakan kata metanoeô, yang secara harfiah berarti “mengalami perubahan pikiran”.

Cara berpikir seseorang menentukan sikap dan perilakunya sehari-hari. Karena itu, pertobatan yang paling hakiki adalah bagaimana kita mengalami perubahan paradigma dengan memiliki cara berpikir seperti Kristus (1Kor. 2: 16). Sebab, jika perubahan sikap dan perilaku kita hanya didorong oleh ketakutan akan hukuman atau neraka, maka fungsi dan peran Gereja tidak akan jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi pada zaman Yesus. 

Mereka bertindak dengan cara menakut-nakuti umat jika umat tidak mau tunduk dan patuh pada “hukum Taurat”. Model pendekatan seperti ini tidak disukai oleh Yesus, sebab tidak mendorong umat untuk menyadari pentingnya perubahan sikap dan perilaku itu. Karena itu, Yesus melakukan pendekatan melalui penyadaran, yang membutuhkan respon pikiran yang matang dari kita. (rsnh)

Selamat berkarya untuk TUHAN


Renungan hari ini: BERBAHAGIALAH JIKA DINISTA

Renungan hari ini:

BERBAHAGIALAH JIKA DINISTA



1 Petrus 4:14 (TB) "Berbahagialah kamu, jika kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu"

1 Peter 4:14 (NET) "If you are insulted for the name of Christ, you are blessed, because the Spirit of glory, who is the Spirit of God, rests on you”

Kontradiksi memang dalam mengikut Yesus. Kita harus mampu berbahagia walau kita sedang dinista. Ini suatu sikap yang berlawanan dengan teori dunia. Dalam kehidupan dunia, jika kita dinista orang, maka kita harus menistanya lagi dengan nista yang lebih kejam agar dia tahu diri. Tetapi ajaran iman Kristen berbanding terbalik dengan dunia ini. Kita malahan harus mampu berbahagi kendatipun kita menerima nista dari orang.

Banyak orang Kristen alergi dengan kata “nista”. Mereka menganggap kalau menjadi orang Kristen juga harus dinista, lalu apa keuntungannya mengikut Yesus? Bukankah kita dijanjikan damai sejahtera, hidup kekal di dalam Yesus? Pemahaman tidak utuh seperti inilah yang membuat banyak orang Kristen tersandung dan gagal mengikut Yesus.

Dalam nas hari ini kita akan belajar dengan kata “nista”. Petrus sendiri adalah salah satu rasul yang dekat dengan Yesus Kristus. Petrus sudah mengalami “naik turun” pelayanan bersama Tuhan Yesus. Ia pernah dipuji Tuhan, namun pernah juga dihardik Tuhan, dan pada akhirnya menyangkal Tuhan Yesus walaupun pada akhirnya ia bertobat dan menjadi salah satu pemimpin jemaat mula-mula. Sejarah gereja juga mencatat bagaimana Petrus akhirnya mati dengan disalib terbalik karena ia merasa tidak pantas untuk disalib seperti Tuhannya.

Oleh karena itu, dalam tulisannya, Petrus sangat kuat membagikan Firman mengenai penggembalaan (karena ia telah banyak belajar dari Gembala Agung yaitu Tuhan Yesus Kristus), dan juga mengenai penderitaan. Dari apa yang tertulis dalam Alkitab, Petrus sendiri setidaknya sudah 2 kali ditahan di penjara karena imannya. Oleh sebab itu kitab 1 Petrus penuh dengan ajaran mengenai hidup menderita sebagai orang percaya karena iman kepada Kristus.

Petrus mengatakan bahwa siksaan atau penderitaan kepada orang Kristen itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Itu adalah suatu hal biasa dan bisa dianggap sebagai ujian (ay. 12). Sama seperti murid yang sekolah harus menghadapi ujian sebagai hal yang biasa bahkan harus dihadapi jika ingin naik kelas, maka bagi orang Kristen, siksaan dan penderitaan harus dianggap sebagai suatu ujian untuk naik level ke tingkat yang lebih tinggi. Orang Kristen harus memandang penderitaan sebagai suatu sukacita, karena dengan demikian kita boleh ikut ambil bagian dalam penderitaan Kristus supaya kita boleh dimuliakan bersama-sama dengan Kristus (ay. 13). Ingat bahwa tidak ada mahkota kemuliaan tanpa penderitaan salib (There is no crown without cross).

Di sisi lain, Tuhan juga mengatakan bahwa orang Kristen harus bisa berbahagia jika kita dinista karena nama Kristus (ay. 14a). Ingat, ini bukan berarti kita harus berbahagia jika dinista karena kesalahan atau dosa kita. Jika demikian keadaannya, justru kita harus merasa malu karena di situ kita sedang mempermalukan Tuhan (ay. 15-16). Kita harus ingat bahwa orang Kristen yang benar pasti memiliki Roh Allah di dalam dirinya (ay. 14b). Roh Allah itu yang harus kita jaga supaya kita tetap hidup dipimpin oleh Roh sehingga kita dapat memilih untuk tidak mau lagi menista Tuhan dan melukai hati-Nya.

Sekilas, urusan penistaan ini sepertinya banyak terjadi di luar lingkungan gereja/jemaat. Pola pikir orang Kristen pada umumnya adalah bahwa penistaan dilakukan oleh orang non Kristen kepada orang Kristen atau kepada Tuhan (yaitu Tuhannya orang Kristen). Pandangan ini sebenarnya tidaklah 100% tepat. Alkitab jelas menulis bahwa penghakiman (yaitu terkait penistaan kepada Tuhan) justru dimulai dari rumah Allah sendiri yaitu gereja atau jemaat (ay. 17a). Di sini Tuhan hendak mengatakan bahwa cukup banyak orang Kristen yang merasa sudah menjadi umat Allah, namun dari tindakan hidupnya, dari perkataannya, bahkan dari pikirannya mencerminkan bahwa mereka adalah para penista Tuhan. Orang-orang seperti ini merasa puas dengan datang ke gereja setiap hari Minggu, atau mungkin dengan mengambil bagian dalam pelayanan di gereja, padahal semua itu hanyalah pencitraan di hadapan manusia. Mereka terlihat terhormat di pandangan manusia namun terkutuk di pandangan Tuhan.

Dari gereja penghakiman Tuhan dimulai. Dan jika gereja saja dikenakan standar yang begitu tinggi (karena standarnya adalah sempurna seperti Tuhan Yesus), maka sudah pasti akan ada hukuman bagi mereka yang tidak percaya pada kebenaran Injil (ay. 17b). Ini berbicara kepada orang-orang yang sudah mendengar kebenaran Injil tetapi dengan sengaja memilih untuk tidak percaya dan tidak melakukan dan bukan kepada mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk mendengar Injil. Orang benar (orang Kristen) saja hampir-hampir tidak dapat diselamatkan (yang artinya masuk menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah untuk memerintah bersama-sama dengan Tuhan Yesus) karena standar keselamatan adalah hidup Tuhan Yesus sendiri. Oleh karena itu tentu orang non Kristen juga tidak mungkin menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah karena mereka tidak mengenal karya penyelamatan Yesus Kristus (ay. 18). Dalam hal ini mereka maksimal hanya masuk kategori orang-orang yang menjadi anggota masyarakat di langit yang baru dan bumi yang baru, yaitu bagi mereka yang mengasihi sesamanya (Mat, 25:31-46). 

Oleh karena itu, kita harus memandang bahwa jika kita sampai menderita dan dinista karena nama Tuhan Yesus Kristus, sesungguhnya kita sedang memperoleh anugerah Tuhan. Tidak semua orang Kristen mengalami penderitaan dan penistaan karena imannya. Oleh karena itu, kita harus memahami apa maksud Tuhan di balik penderitaan yang kita alami. Salah satu hal yang sering diajarkan Tuhan kepada orang Kristen adalah bahwa orang Kristen seharusnya tidak memiliki hak lagi atas hidupnya. Seluruh hidupnya adalah bagi Tuhan (Rm. 11:36, Gal. 2:19-20, Kol. 3:23). Semua harus kita serahkan kepada Tuhan karena semua adalah milik Tuhan, termasuk jiwa kita pun milik Tuhan (ay. 19). Jadi penderitaan dan penistaan yang mungkin kita alami karena nama Tuhan Yesus, pasti mengajarkan kita bahwa kita sudah tidak memiliki diri kita sendiri. Tuhanlah yang memiliki diri kita. Apa lagi yang bisa kita banggakan dan pertahankan di dunia ini? Bukankah bagian kita adalah hidup bagi Tuhan dengan semaksimal mungkin sehingga nama Tuhan dipermuliakan? Karena itu, biarlah kita dinista karena kebenaran, asalkan kita tidak menista Tuhan dengan segala tipu daya, penyesatan dan kemunafikan. (rsnh)

Selamat berkarya untuk TUHAN

Renungan hari ini: “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH” (Daniel 3:3)

  Renungan hari ini:    “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH”   Daniel 3:3 (TB2) "Lalu berkumpullah para wakil raja, para penguasa, para bupa...