Jumat, 19 April 2019

Renungan hari ini: JANGAN TAWAR HATI

Renungan hari ini: 

JANGAN TAWAR HATI



1 Samuel 17:32 (TB) Berkatalah Daud kepada Saul: "Janganlah seseorang menjadi tawar hati karena dia; hambamu ini akan pergi melawan orang Filistin itu" 

1 Samuel 17:32 (NET) David said to Saul, “Don’t let anyone be discouraged. Your servant will go and fight this Philistine!” 

Jangan tawar hati ketika menghadapi musuh yang berat. Tetapi kita malah harus semakin berani menghadapninya. Salah satu sejarah Alkitab yang mengajarkan kita soal iman dan keberanian adalah ketika Daud kecil mengalahkan seorang raksasa Goliat di lembah Tarbantin. Hanya dengan bersenjatakan ketapel, Daud akhirnya berhasil merobohkan sang raksasa itu. Sementara sang raksasa kala itu bahkan mengenakan perisai lengkap yang mahal dan senjata lembing yang terbuat dari tembaga. Jika keduanya dibandingkan, maka pertarungan saat itu sangatlah tidak seimbang. Seorang anak kecil yang hanya setinggi 3 meter si raksasa harus bertarung mengorbankan nyawa.

Jika kita memposisikan diri sebagai Daud, tentulah kita juga akan merasa terintimidasi dan dipenuhi dengan ketakutan yang sangat. Tapi saat itu, Daud malah mampu menumbangkan lawannya itu. Kemenangan Daud itulah akhirnya tercatat sebagai kemenangan fenomenal, yang hingga hari ini masih terus diingat.

Sebagian dari kita mungkin tahu atau selalu bertanya-tanya soal rahasia dari keberhasilan Daud mampu mengalahkan raksasa. Berdasarka cerita lengkapnya yang tercatat dalam 1Samuel 17:1-31, setidaknya ada empat cara yang digunakan Daud untuk mengalahkan masalah besar, seperti raksasa Goliat dan hal ini patut kita teladani.

Pertama, jangan fokus pada masalah, tapi fokus pada Tuhan. Saat tubuh dan perlengkapan dan persenjataan Goliat sama sekali sangat jauh daripada yang dia punya, Daud tidak memandang hal itu sebagai kekalahan atau menimbulkan ketakutan. Tapi dia tetap memandang Tuhan dan kebesaran-Nya. Lihat bagaimana reaksi Daud ketika mendengar intimidasi Daud yang menakutkan seluruh prajurit Israel? Lalu berkatalah Daud kepada orang-orang yang berdiri di dekatnya: “Apakah yang akan dilakukan kepada orang yang mengalahkan orang Filistin itu dan yang menghindarkan cemooh dari Israel? Siapakah orang Filistin yang tak bersunat ini, sampai ia berani mencemoohkan barisan dari pada Allah yang hidup?” (1Sam. 17: 26).Ayat ini menggambarkan bahwa Daud sama sekali tidak memandang masalah melainkan fokus pada Tuhan yang dia sembah dan yang selalu bersamanya. Karena itu, selama kita tetap hidup sesuai ketetapanNya, kita hanya perlu memenangkan diri, karena Firman Tuhan berkata “Dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu” (Yes. 30:15).

Kedua, jangan pernah tawar hati. Di ayat 32 dituliskan, Berkatalah Daud kepada Saul: “Janganlah seseorang menjadi tawar hati karena dia; hambamu ini akan pergi melawan orang Filistin itu.”  Perhatikan bagaimana Daud bisa percaya diri menghadapi raksasa Filistin itu. Dia hanyalah seorang anak kecil yang wajahnya masih kemerah-merahan dan bahkan keluarganya saja tidak menganggapnya sebagai anak yang berharga dan istimewa.Tapi kepercayaannya kepada Tuhan, membuat dia berani. Daud tahu bahwa jika Tuhan ada bersamanya ia tidak perlu tawar hati terhadap apapun. Merujuk pada kitab Amsal, disana kitapun diingatkan bahwa dengan tawar hati ketika menghadapi situasi sulit, kekuatan kita akan segera menyusut sehingga kita tidak punya daya lagi untuk menghadapinya. “Jika engkau tawar hati pada masa kesesakan, kecillah kekuatanmu” (Ams. 24:10).

Ketiga, mengingat pertolongan Tuhan di masa lalu. Selain fokus pada Tuhan saja, keberanian dan rasa percaya diri Daud saat diperhadapkan pada masalah besar timbul dari pengalaman-pengalaman pribadinya bersama Tuhan. Dia menyadari bahwa Tuhan selalu menjaga dan melindunginya dalam setiap pekerjaannya sebagai gembala. Dalam salah satu percakapannya dengan Raja Saul, Daud menyampaikan pengalamannya sebagai gembala yang pernah mengalahkan singa dan beruang yang berusaha menyerang domba-dombanya (baca 1Sam. 17: 34-37).

Keempat, memakai persenjataan yang ada padanya. Berbeda dengan Goliat yang dilengkapi dengan persenjataan tembaga dan perisai. Saat itu, Daud malah hanya punya sebuah ketapel di tangannya, yang biasa dia pakai saat menggembalakan domba. Lalu dia memilih lima batu licin dan ditaruhnya dalam kantung gembala yang dibawanya. Setelah itu, dia datang mendekati lawannya dan menghajarnya hanya dengan batu kecil yang ditembakkan melalui ketapelnya itu. Daud memakai apa yang ada padanya dan berkat penyertaan Tuhan benda sederhana itu bisa berkekuatan luar biasa.

Bandingkan dengan reaksi kita pada umumnya ketika menghadapi masalah besar. Bukankah pikiran kita sering tertutupi oleh rasa takut dan kepanikan sehingga kita lebih cenderung fokus kepada apa yang tidak kita miliki ketimbang memeriksa terlebih dahulu apa yang ada pada kita? Akan sangat baik apabila kita bisa tetap tenang dan melihat dahulu apa yang kita punya sebelum kita buru-buru panic. Kita sering berpikir terlalu jauh lalu mengabaikan bahwa solusinya mungkin saja bisa timbul lewat penyelesaian sederhana. Mungkin hanya sesuatu yang sederhana, tetapi seperti Daud, kita harus percaya bahwa ditangan Tuhan itu bisa menjadi senjata luar biasa untuk mengatasi persoalan.

Di atas dari semua cara yang dilakukan Daud, kemenangannya melawan Goliat juga tidak terlepas dari imannya kepada Tuhan. Dia tahu diapa Tuhan yang dia percayai dan menerima janji kemenangan yang dinyatakan Tuhan atas dia (baca 1Sam. 17: 46-47). 

Musuh yang kita hadapi di masa ini mungkin bukanlah manusia secara fisik seperti raksasa Goliat. Tapi musuh atau lawan kita bisa berasal dari beragam hal, mulai dari masalah keluarga, hubungan, keuangan dan sebagainya. Tapi apapun masalahnya, Wahyu mengingatkan kita bahwa satu-satunya cara untuk mengalahkan musuh adalah dengan menggunakan senjata iman kita yaitu oleh kuasa darah Anak Domba dan oleh perkataan kesaksian (Why. 12:11). Itulah senjata yang kita punya, sama seperti Daud menggunakan senjata yang dia punya. Karena itu, janganlah tawar hati tetapi beranilah melawan musuh dengan mengandalkan TUHAN agar kita beroleh kemenangan. (rsnh)

Selamat berakhir pekan dan merayakan Sabtu Sunyi serta besok ke Gereja

KOTBAH JUMAT AGUNG Jumat, 19 April 2019 “YESUS TERKUTUK KARENA DOSA KITA”

Jumat, 19 April 2019

Kotbah: Markus 15:22-32  Bacaan: Mika 7:7-13



Hari ini kita merayakan hari besar umat Kristiani yang mengagungkan yakni Peringatan Hari Kematian Yesus, Jumat Agung.Disebut Jumat Agung karena pada hari inilah Yesus mati disalibkan di Golgota demi menanggung dosa manusia dan dunia ini.

Pada Ibadah Jumat Agung ini kita akan membahas tema “Yesus terkutuk karena dosa kita”.Secara umum, kutuk dipahami sebagai keadaan yang sangat negatif, yaitu keadaan dimana seseorang tertimpa malapetaka, bisa dalam bentuk penyakit, kesusahan, atau bencana yang tidak ada habisnya menimpa kehidupan. Biasanya juga, orang memahami bahwa kutuk itu bisa terjadi karena kesalah- annya sendiri atau kesalahan leluhurnya yang ditimpakan kepadanya. Berat atau ringannya kutuk yang ditanggung, berdasarkan besar kecilnya kesalahan yang dibuat, atau kuat tidaknya janji yang diingkari (dalam hal ini keterikatan perbuatan salah dan pelanggaran janji kepada suatu kuasa di luar manusia; sebutlah itu dewa, roh-roh orang yang sudah meninggal, Iblis, bahkan seringkali dikaitkan juga dengan Tuhan). 

Apakah artinya kutuk itu? 
Dalam cerita-cerita rakyat, sering istilah kutuk dipakai untuk menjelaskan perubahan keadaan dari baik menjadi buruk oleh karena kesalahan dari pelaku yang pantas dikenai ku- tuk. Ketika ucapan kutuk disampaikan atau beberapa cerita kutuk disampaikan dalam bentuk mantra, maka terjadilah kutukan yang telah dilontarkan. Misalnya, dalam cerita rakyat Sumatera Barat, Malin Kundang, kisah tentang kedurhakaan seorang anak kepada Ibunya. Kesedihan sang Ibu melihat perilaku anaknya, membuatnya mengucapkan kutuk terhadap anaknya sendiri. Akibatnya anak itu menjadi patung. Ada banyak kisah-kisah rak- yat lainnya, bukan hanya di dunia Timur, teta- pi juga di dunia Barat, menggambarkan kutuk sebagai ucapan dengan harapan buruk terjadi atas orang yang dituju. 

Kutuk atau (berkat) merupakan pernyataan dengan kuasa yang merujuk kepada keberadaan supranatural, yang memiliki kuasa untuk melakukan apa yang jahat atau (apa yang baik). Dengan kata lain, penyebutan kutuk oleh manusia adalah merupakan kisah takhayul kuno/primitif. Ini dikatakan bukan berarti bahwa kutuk dari Allah juga merupakan takhayul primitif. Kutuk yang dari Allah adalah sangat nyata dan ada dalam bentuk penghukuman. Secara umum kutuk diartikan sama dengan hukuman (punishment), yaitu keadaan di mana seseorang menerima hukuman akibat apa yang telah diperbuatnya. Dalam bahasa Ibrani, kutuk dituliskan dengan beberapa istilah sinonim, yaitu “arar, qalal, dan ala”. Arti yang paling mendasar dari istilah ini adalah pengutukan, yaitu keadaan menginginkan kerugian orang lain (Ayb. 31:30; Kej. 12:3). Pengertian lain yang muncul dari istilah ini adalah untuk menguatkan janji yang dibuatnya sendiri (Kej. 24:41; 26:28: Neh. 10:29). Satu lagi pengertian yang muncul dari istilah ini adalah untuk menjamin kebenaran kesaksian-nya dalam hukum (1Raj. 8:31; bnd. dengan Kel. 22:11). Adalah hal yang sangat umum dalam istilah Ibrani, satu kata terdiri dari beberapa makna. Karena itu perlu diperhatikan konteks dari penempatan istilah tersebut, sehingga didapatkan pengertian yang tepat terhadap penggunaannya. Penggunaan istilah yang merujuk pada pengertian pengutukan, akan terlihat bagaimana dan dimana istilah ini ditempatkan. 

Pertama,jika Allah mengucapkan kutuk, pertama-tama berkenaan dengan celaan atas dosa(Bil. 5:21, 23; Ul. 29:19, 20). 

Kedua,kutuk ialah penghukuman Allah atas dosa(Bil. 5:22, 24, 27; Yes. 24:6). 

Ketiga,orang yang menderita akibat-akibat dosa karena penghakiman dan penghukuman Allah(Bil. 5:21, 27; Yer.29:18). 

Jadi jelas dituliskan dalam Alkitab, bahwa kutuk merupakan penghukuman Allah kepada manusia yang berkaitan dengan dosa, yaitu perbuatan melawan dan memberontak atau tidak taat kepada Allah. Keadaan terkutuk adalah keadaan dimana seseorang menjadi seteru Allah. Terhadap musuh-Nya, Allah memiliki keputusan tindakan yang tidak dapat ditawar lagi, yaitu penghancuran dan pemusnahan. 

Jadi jelas dituliskan dalam Alkitab, bahwa kutuk merupakan penghukuman Allah kepada manusia yang berkaitan dengan dosa, yaitu perbuatan melawan dan memberontak atau
tidak taat kepada Allah.  Misalnya, dituliskan dalam Ulangan 32:40-41 – “Sesungguhnya, Aku mengangkat tangan-Ku ke langit, dan berfirman: Demi Aku yang hidup selama-lamanya, apabila Aku mengasah pedang-Ku yang berkilat-kilat, dan tangan-Ku memegang penghukuman, maka Aku membalas dendam kepada lawan-Ku, dan mengadakan pembalasan kepada yang mem- benci Aku.” 

Kutuk bukanlah sekedar kata-kata biasa, atau kata-kata buruk yang asal diucapkan. Bagi orang Ibrani, perkataan itu bisa hanya merupakan ucapan bibir saja jika tidak didukung oleh roh yang cakap untuk melaksanakannya (2Raj. 18:20). Tetapi perkataan itu bisa memiliki kuasa, dalam arti jika jiwa berkuasa, maka kata-katanya dirasuki kuasa juga (Pkh. 8:4; 1Raj. 21:4). Jadi dalam pengertian tertentu, perkataan kutuk itu bukan hanya sekedar sebuah ucapan di bibir saja. Ada suatu kuasa yang melatarbelakanginya, sehingga perkataan yang diucapkan itu dapat menjadi alat untuk merugikan seseorang atau member- kati seseorang. Itu sebabnya di dalam Alkitab, kutuk selalu dikontraskan dengan berkat. Sebagai suatu kenyataan bahwa kedua istilah ini merupakan ungkapan kata-kata yang punya potensi untuk menjadikannya baik atau menjadikannya buruk. 

Timbul pertanyaan kita, apakah kekuatan kutuk itu? Ketika kutuk dinyatakan kepada seseorang, sesungguhnya harus dipahami bahwa ini bukan sekedar kata-kata dengan harapan buruk terjadi kepada seseorang, tetapi sesuatu yang buruk atau bencana pastilah terjadi kepada orang itu tanpa bisa dipertanyakan lagi. Kata-kata dari kutuk itu memiliki kekuatan atau kuasa yang menimbulkan akibat atas apa yang telah dikatakannya. Jadi, memang kutuk selalu menunjuk pada keberadaan supranatural yang memiliki kuasa untuk menjadikan sesuatu yang buruk terjadi dalam diri seseorang. 

Pada zaman Alkitab penyampaian kutuk terhadap seseorang, sekelompok orang bahkan suatu bangsa dapat dilakukan dalam berbagai cara. Beberapa melakukannya dengan cara menuliskan sumpah serapah dalam sebuah gulungan kitab atau perkamen (kertas dari kulit binatang), lalu dilemparkan menurut arah angin, yang kemudian diyakini bahwa perkamen yang berisi sumpah serapah (kutuk) itu akan sampai pada tujuan yang dimaksudkan. Dalam pengertian yang lebih khusus, ada suatu kuasa yang bertindak sebagai penyampai berita atau pembawa pesan kejahatan itu, sehingga pesan yang berisi dengan kutukan itu pasti akan sampai kepada orang atau alamat yang dituju. Perhatikan apa yang Zakharia tuliskan dalam Zakharia 5:1-3 – “gulungan kitab yang terbang” yang berisi kutukan atau sumpah serapah itu “yang menimpa seluruh negeri.” Gulungan kitab yang terbang itu pasti akan menemukan jalannya ke rumah setiap pencuri dan orang yang bersumpah palsu demi nama Tuhan. Ternyata, nampak dalam tulisan Zakharia ini, bahwa Tuhan, sebagai Pribadi yang berkuasa, mengarahkan kepada siapa gulungan kitab yang berisi sumpah serapah itu akan diterima. 

Jadi kutukan itu bukan sekedar apa yang tertulis atau tulisan dalam kertas atau gulungan kitab itu, tetapi kuasa yang mendorongnya untuk sampai ke tempat tujuan sebenarnya, yang membuat tulisan itu penuh dengan kekuatan dan kuasa untuk terjadi terhadap orang yang dituju. Itulah sebabnya dapat dikatakan, bahwa kalau hanya kata-kata atau tulisan saja yang ditujukan kepada seseorang, jika tanpa ada kuasa tertentu di baliknya, yang mendorong tulisan kutukan itu menjadi sebuah kenyataan yang menghancurkan bagi seseorang, maka tulisan-tulisan itu tidak akan pernah ada efek atau akibatnya. Secara umum, nama dari para dewa atau kuasa tertentu seringkali dipakai untuk menyertai kata-kata kutuk yang keluar dari mulut seseorang. Misalnya ketika Goliat mengutuk Daud, ia memanggil para allahnya. “Lalu demi para allahnya orang Filis- tin itu mengutuki Daud” (1Sam. 17:43). Hal ini dilakukan sebagai legitimasi kekuatan supranatural yang terkandung dalam kutukan tersebut. 

Selain dari pengertian di atas, kata kutuk berasal dari kata Yunani anathema,yang berasal dari bahasa Ibrani kherem,yang berarti sesuatu yang terkutuk, sesuatu yang harus disingkirkan, sampai pemusnahan total (misalnya, Im. 27:28; Bil.21:3). Sebenarnya pengertian utama dari kata anathema ini adalah “sesuatu atau seseorang yang di- persembahkan (di Bait Allah)” dengan kekuatan janji atau nazar. Jadi, ketika ada korban yang dipersembahkan kepada Tuhan sebagai penebusan salah atau pengampunan dosa bagi seseorang, maka korban itu tertimpa kutuk, yang mestinya kutuk itu tertanggung atas diri orang yang bersalah itu. Itu sebabnya, hukuman yang dijatuhkan kepada korban adalah tanpa ampun. Seperti halnya sebuah korban, jika orang atau hewan yang dikorbankan, maka harus sampai mati (Im. 27:28-29; 1Kor. 12:3; 16:22; Gal.1:9).

Dalam pelayanan dan kasihnya kepada orang Israel, Paulus pernah mengatakan, “Bahkan, aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku, kaum se- bangsaku secara jasmani (Rm. 9:3).” Senada dengan apa yang dikatakan Paulus, jauh sebelum itu Musa juga menyatakan hal yang sama, demi kasihnya kepada Israel, “Tetapi sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu – dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari kitab yang telah Kau tulis” (Kel.32:32). Namun Allah tidak pernah memberikan kesempatan atau mengizinkan apa yang dinyatakan oleh dua hamba-Nya yang setia di zaman yang berbeda itu terwu- jud. Kutuk atas dosa manusia itu terlalu berat jika ditanggungkan kepada seseorang, sekalipun ia memiliki kasih yang sangat besar kepada sesamanya. Karena menjadi kutuk atau menanggung kutuk, itu membawa pada kenyataan penghukuman tanpa ampun. 

Dalam hal ini kutuk juga bisa berarti keadaan terpisah dari Allah. Membayangkan keadaan ini saja sudah menjadi hal yang mengerikan. Yang dilakukan baik oleh Musa mau pun Paulus, tentulah bukan pernyataan basa basi. Kesediaan untuk menjadi kutuk, dalam hal ini yang dikorbankan, hanya mungkin terjadi oleh seorang yang memiliki rasa kasih yang besar, sehingga ia bersedia mengorbankan jiwanya seperti halnya ia mengorbankan tubuhnya, demi orang-orang yang dikasihinya itu. 

Kutuk juga bisa berarti keadaan terpisah dari Allah. Sesungguhnya, dari keseriusan pernyataan ini, bahkan kita dapat mengukur seperti apa Musa dan Paulus mengasihi umat Tuhan dan orang-orang yang belum percaya. Sampai mereka bersedia menjadi kutuk agar orang lain diselamatkan. Tidak ada hal yang berkaitan dengan kasih, yang lebih besar dari ini. Namun, jika sampai pada pengertian kutuk semacam ini tidak ada yang pernah bisa dan mungkin mencapainya kecuali dilakukan oleh Allah sendiri di dalam Yesus Kristus, yang se- cara nyata menjadi kutuk untuk menggantikan apa yang seharusnya ditanggung oleh manu- sia. Keadaan sebagai orang terkutuk ditang- gung-Nya, terpisah dari Allah, dihukum tanpa ampunan, dan mencapai klimaks atau totalitasnya pada kematian. Baik pernyataan Musa maupun Paulus lebih berupa keinginan, yang kalau mungkin diwujudkan, mereka bersedia menanggungnya. Pernyataan ini saja sudah sangat luar biasa ketika dinyatakan oleh seorang hamba Allah. Namun hal demikian tidak pernah terjadi pada mereka. 

Pengertian kutuk semacam ini tidak ada yang pernah bisa dan mungkin mencapainya kecuali dilakukan oleh Allah sendiri
di dalam Yesus Kristus,
yang secara nyata menjadi kutuk untuk menggantikan apa yang seharusnya ditanggung oleh manusia. 

Maka dengan jelas, kita dapat merasakan betapa gelap dan ngerinya keadaan terpisah dari Allah dalam tanggungan kutuk pada diri-Nya, yang nampak dalam salah satu pernyataan sebelum kematian-Nya, “Eli, Eli, lama sabakhtani?” – Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”Tidak ada kengerian yang lebih hebat dari kenyataan ini: Ditinggalkan oleh Allah. Sesungguhnya memang tidak ada seorang pun yang sanggup menanggung kutuk itu dengan sempurna, sekalipun ia bersedia. Jadi yang dilakukan oleh Yesus, bukan sekedar menunjukkan kebaikan hati yang berlebihan karena kesediaan-Nya menanggung. Jika kita memahami seberapa besar kekuatan kutuk yang ditanggungkan atas diri-Nya, maka kesadaran akan kebesaran cinta kasih-Nya kepada umat manusia mesti- nya tidak lagi diragukan. 

Ketika dalam tradisi gereja mula-mula dicatat bahwa orang-orang Kristen dikejar dan dipaksa untuk mengutuki Yesus, tentu ini menjadi penghinaan yang mengerikan, jika dibandingkan dengan keberadaan Yesus sendiri yang adalah mulia. Dalam kemuliaan-Nya ia menjadi kutuk menggantikan manusia, dan manusia berbalik mengutuki-Nya. Tidak ada yang lebih hina dari yang dilakukan manusia, selain ketika ia mengutuki Allah yang telah menanggung kutuk dirinya. Sekali lagi harus diingat, bahwa tindakan mengutuki itu bukan sekedar mengata-ngatai, tetapi lebih kepada tindakan penyingkiran, memisahkan Dia dari hidup kita. 

Pertanyaan kita selanjutnya adalah mengapa Yesus rela terkutuk bagi kita?

Pertama,karena semua orang sedang hidup di bawah kutuk hukum Taurat. Mengapa? Karena setiap pelanggaran atas perintah hukum Taurat adalah berarti kematian. Ingat mengenai firman Allah tentang “Berkat dan Kutuk” dalam kitab Ulangan 11:26 dan seterusnya. Barangsiapa melanggar ketentuan dan perintah Allah maka akan menerima kutuk, bukan berkat.  Menjadi pertanyaan tentunya apakah ada yang bisa melakukan hukum Taurat secara sempurna? Seorang pun tidak ada yang bisa melakukannya dengan sempurna, karena semua syariat hukum Taurat itu begitu sulit dipenuhi oleh manusia yang hidupnya penuh dosa dan hawa nafsu. Jadi, pada dasarnya semua orang Israel bahkan semua manusia di dunia sedang berada di bawah kutuk hukum Taurat karena ketidakmampuan mereka memenuhi semua tuntutan syariat itu. Semua orang seharusnya menerima kutukan itu yaitu kematian yang hina, secara jasmani dan rohani, terputus selamanya dari hubungan dengan Allah sang pencipta.

Kedua, Yesus menjadi Jalan Penebusan bagi semua kutuk hukum Taurat itu. Yesus Kristus adalah Sang Penebus dari Allah yang tidak terkontaminasi dengan sel sperma dan sel telur manusia. Terbentuknya janin Yesus Kristus dalam rahim perawan Maria tidak terjadi oleh karena bertemunya sel sperma dan sel telur, tetapi Allah memakai rahim Maria untuk mengandung bayi Allah yang dikerjakan oleh kuasa Roh Kudus.  Itu sebabnya Yesus Kristus murni dan suci adanya, karena tidak terkontaminasi oleh hawa nafsu dan dosa manusia. Oleh karena dikandung oleh seorang manusia maka Yesus Kristus disebut sebagai Anak Manusia, meskipun Dia adalah Allah sendiri.  Alkitab menyebut Yesus Kristus sebagai Anak Allah bukan berarti bahwa Allah diperankkan dan memperanakkan sebagaimana halnya manusia, tetapi kata “Anak Allah” menunjukkan bahwa Yesus datang dari Allah dan pribadi Yesus adalah sama dengan Allah. 

Yesus yang tidak berdosa, merupakan tebusan yang layak untuk menanggung kutuk hukum Taurat yang seharusnya diterima manusia. Penebusan berarti pembebasan. Seorang penebus tidak boleh dari kalangan pendosa.  Seorang penjamin napi yang keluar dari penjara, tidak boleh merupakan orang yang sedang menjalani hukuman penjara. Seorang penjamin harus berada di luar penjara supaya pantas untuk menjamin. Demikian halnya dengan Yesus Kristus, Ia menjadi Penebus yang layak bagi semua manusia karena Dia tidak berdosa, Dia suci dan tidak termasuk orang yang harus dihukum. Yesus Kristus bukanlah seorang yang pantas untuk dikutuk atau menerima kutukan sebab Ia benar dan tidak berdosa.

Ketiga, Yesus Kristus menanggung kutukan yang harusnya diterima manusia. Yang seharusnya disalib adalah semua manusia. Alkitab berkata bahwa “tidak ada seorangpun yang benar, semuanya sudah berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” Dan, firman Tuhan berkata: “upah dosa adalah maut”. Semuanya, tidak terkecuali, saudara dan saya, kita semua sudah berdosa dan patut menerima Kutuk Dosa yaitu Kematian. Kitalah yang seharusnya disalibkan sebagai tanda menerima kutukan itu. Tetapi, Yesus Kristus yang suci dan tidak berdosa itu telah menanggung semua kutukan yang seharusnya kita terima. Ia menggantikan kita, Ia mengambil tempat kita di kayu salib, ia membebaskan kita dari kutukan dan memberikan anugerah kehidupan kepada kita. Itulah sebabnya ayat dalam Galatia 3:13 menyebutkan kutipan ayat dalam Perjanjian Lama bahwa terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib. Dengan demikian, Yesus Kristus menggenapi nubuatan dan aturan Allah dengan menjadi korban tebusan bagi dosa umat manusia.

Karya penebusan Yesus Kristus akan menyelamatkan semua manusia tetapi manusia yang bagaimana? Hanya orang-orang yang percaya akan penebusan Yesus Kristus lah yang akan diselamatkan dan yang mengakui bahwa Dia adalah Tuhan. Kalau kita membaca renungan firman Tuhan ini, maka ini merupakan kesempatan buat kita untuk memilih jalan kehidupan atau jalan kematian, berkat atau kutuk.  Anugerah keselamatan tersedia di dalam Yesus Kristus melalui iman saudara kepada-Nya. Jangan tunda esok hari, sebab hari esok belum tentu milik kita, percayalah kepada Yesus Kristus dan berdoalah demikian: “Tuhan Yesus, aku percaya engkau adalah Tuhan dan Juruselamat yang telah datang dari sorga ke dunia untuk menebus dosa-dosa manusia. Engkau telah mati disalib menanggung kutuk dosaku dan semua manusia, Engkau telah bangkit dan naik ke surga berkuasa atas segalanya. Aku percaya kepada-Mu Tuhan Yesus, ampunilah segala dosaku, dan masuklah dalam hatiku. Terima kasih Tuhan Yesus, Amin. (rsnh)

Selamat merayakan Hari Kematian Yesus Kristus

Renungan hari ini: “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH” (Daniel 3:3)

  Renungan hari ini:    “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH”   Daniel 3:3 (TB2) "Lalu berkumpullah para wakil raja, para penguasa, para bupa...