Kotbah Minggu 7 Setelah Trinitatis
Minggu, 31 Juli 2022
"HIKMAT YANG DARI ATAS”
(BISUK NA SIAN GINJANG)
Kotbah: Yakobus 3:13-18 Bacaan: Pengkotbah 2:18-23
Kita telah memasuki Minggu 7 Setelah Trinitatis. Tema yang akan kita renungkan adalah “Hikmat yang dari Atas”. Tema ini menarik kita ulas sebab minimal ada dua sumber hikmat yang kita kenal, yakni: hikmat yang datang dari atas dan hikmat yang datangnya dari dunia. Hikmat yang dari atas adalah hikmat yang didahului dengan kemurnian, tidak tercampur. Jadi jika kita melayani dengan kemurnian, maka hasilnya adalah seperti buah yang baik, buah yang berkenan. Sebaliknya, hikmat yang dari dunia adalah hikmat yang ditandai dengan: iri hati dan kepentingan diri sendiri. Jika hikmat yang dari atas disebut buah yang baik, maka hikmat yang dari dunia disebut buah yang busuk. Ini jelas buah yang tidak menyukakan hati Tuhan. Hikmat yang dari atas berasal dari Tuhan yang terdiri dari kebenaran yang ditaburkan dalam damai, untuk kita supaya hidup dalam damai (1 Kor. 1:24). Jika kita ingin mendapatkan hikmat dari atas, maka haruslah kita menerima Kristus yang di salibkan, satu pelayanan yang patut kita teladani, pelayanan yang murni dan menimbulakan perdamaian antara kita dengan Allah.
Hikmat, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti kebijakan, kearifan dan kesaktian. Kebijakan berasal dari kata bijak yang berarti selalu menggunakan akal budi, cerdik dan pandai. Kebijakan artinya kebijaksanaan, kepandaian dan kemahiran. Kearifan diartikan kecendekiaan, kecerdikan dan kepandaian, dan kebijaksanaan. Sedangkan sejati berarti sebenarnya (tulen, murni, asli, tidak ada campuran). Secara leksikal, hikmat sejati adalah kebijaksanaan, kecerdikan, kepandaian dan kearifan yang murni dan sebenarnya. Secara alkitabiah, kita menemukan pernyataan dalam kitab Mazmur 111:10, yang menyatakan bahwa: “Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, semua orang yang melakukannya berakal budi yang baik. Puji-pujian kepada-Nya tetap untuk selamanya.” Sedangkan dalam Kitab Amsal 9:10, dinyatakan bahwa: “Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian.”
Sekarang, marilah kita pelajari Firman Tuhan yang kita renungkan kali ini. Yakobus dalam suratnya untuk dua belas suku di perantauan seperti ditulis dalam Surat Yakobus 3:13, mengatakan: “Siapakah di antara kamu yang bijak dan berbudi? Baiklah ia dengan cara hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemahlembutan.” Yakobus bertanya kepada mereka, yaitu dua belas suku di perantauan: Siapakah di antara kamu yang bijak dan berbudi? Siapakah di antara kamu yang berhikmat dan berakalbudi? Siapakah di antara kamu yang takut akan Tuhan? Jika ada, baiklah ia dengan cara hidup yang baik. Baiklah ia menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemahlembutan, yaitu hikmat yang bersumber dari Allah.
Dalam Yakobus 3:14, ia, Yakobus, mengingatkan mereka dan kita: “Jika kamu menaruh perasaan iri hati dan kamu mementingkan diri sendiri, janganlah kamu memegahkan diri dan janganlah berdusta melawan kebenaran!” Benar! Iri hati menimbulkan kebencian dan kebencian memicu perbantahan dan lerbantahan mengakibatkan pertengkaran. Oleh sebab itu, Yakobus mengingatkan, jika kamu menaruh perasaan iri hati, maka janganlah kamu bermegah! Jika kamu mementingkan diri sendiri, janganlah kamu memegahkan diri! Janganlah kamu berdusta melawan kebenaran! Mengapa?Yakobus menegaskan bahwa semua itu bukan hikmat yang dari Allah. Beginilah Firman Tuhan dalam Yakobus 3:15: “Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi dari dunia, dari nafsu manusia, dari setan-setan.” Karena hal yang demikian itu, menurut Yakobus, berasal dari dunia. Segala sesuatu yang dari dunia didorong oleh hawa nafsu manusia dan setan. Segala hawa nafsu manusia dan setan berujung pada kejahatan dan kebinasaan. Kemudian, Yakobus juga menyatakan bahwa iri hati dan mementingkan diri sendiri akan mengakibatkan kekacauan dan kejahatan. Alkitab mengatakan dalam Yakobus 3:16: “Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.”
Pertanyaan kita sekarang adalah apa yang hendak kita pelajari dari perikop kotbah ini?
Pertama, kita belajar tentang hikmat dari dunia, nafsu manusia, setan-setan (ay. 15). Mula-mula hikmat ini bekerja dalam hati. Hal ini seharusnya bisa terlihat dari ayat 14, tetapi ayat 14 dalam terjemahan NIV disebutkan: “But if you harbor bitter envy and selfish ambition in your hearts” (Tetapi jika kamu mempunyai iri hati yang pahit dan ambisi yang egois di dalam hatimu). Hikmat manusia akan menimbulkan beberapa hal dalam hati manusia, yakni:
a) Iri hati (ay. 14). Iri hati ini mewujudkan diri dalam ketidak-senangan melihat orang lain diberkati. Dalam 1 Korintus 13:4 dikatakan bahwa “kasih itu ... tidak cemburu”. Jadi jelas bahwa iri hati merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kasih. Kalau ada kasih, kita tidak akan iri hati, dan sebaliknya kalau ada iri hati maka disana tidak ada kasih! Dalam gereja, seharusnya sikap yang benar adalah seperti yang dikatakan Paulus dalam 1 Korintus 12:26, yaitu kalau seorang menderita, maka semua ikut menderita, tetapi kalau seorang diberkati, semua bersukacita (bukannya iri hati/ tidak senang!) Orang kristen sering iri hati melihat saudara seimannya mendapat rumah baru, mobil, pekerjaan yang tinggi gajinya, pacar yang cantik, dsb. Bahwa iri hati adalah sesuatu yang tidak bisa diremehkan/dibiarkan, terlihat dari pembunuhan yang dilakukan oleh Kain terhadap Habel, yang asal mulanya adalah iri hati! Karena itu, kalau saudara sering iri hati, sadarilah bahwa itu ditimbulkan dalam hati saudara oleh hikmat dari setan, dan bertobatlah! Mintalah Tuhan mengampuni dosa itu dan bahkan menyucikan diri saudara dari dosa itu.
b) Mementingkan diri sendiri (ay. 14). Ini adalah sikap masa bodoh terhadap orang lain, yang penting diri sendiri enak dan benar. Ini bisa mewujudkan diri dalam hal jasmani, misalnya pada waktu makan bersama kita mengambil makanan yang enak sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan orang lain. Tetapi ini juga bisa mewujudkan diri dalam hal rohani, misalnya kalau kita hanya memperhatikan kerohanian diri kita sendiri. Yang penting saya rajin berbakti, belajar Firman Tuhan, bersaat teduh, melayani dsb. Apakah orang kristen yang lain membolos dari kebaktian, menjadi suam/mundur, jatuh ke dalam dosa dsb, itu bukan urusan saya.
c) Menimbulkan menimbulkan kekacauan dan segala macam perbuatan jahat (ay 16). Jika kedua (iri dan mementingkan diri sendiri) hal tadi terus menerus bercokol di dalam hati kita, maka hidup kita akan menimbulkan kekacauan dan melakukan segala macam perbuatan jahat. Dosa dalam hati pasti akan memanifestasikan diri ke luar menjadi dosa yang kelihatan. Contoh: kalau kasih kita kepada Tuhan menjadi pudar, maka mungkin mula-mula kita masih bisa mempertahankan aktivitas rohani kita seperti biasa, sehingga semua itu tidak terlihat. Tetapi lambat atau cepat, aktivitas rohani kita akan terpengaruh, misalnya menjadi malas berdoa, malas mendengar Firman Tuhan, segan dalam melayani. Mungkin juga dosa-dosa yang sudah saudara tinggalkan akan kembali lagi, dan hal-hal duniawi menjadi makin penting / berharga bagi saudara! Dosa yang satu selalu menarik pada dosa yang lain. Setan sering mengajak kita untuk berbuat dosa dengan kata-kata “satu kali ini saja”! Mengapa? Karena dia tahu bahwa dosa yang satu selalu menarik kita pada dosa yang lain. Karena itu dalam Efesus 4:27 Paulus berkata “janganlah beri kesempatan kepada Iblis”. Kalau saudara memberi setan kesempatan/tempat berpijak, ia pasti akan menuntut kesempatan yang lain/tempat berpijak yang lebih luas, sampai saudara dikuasai dan dibinasakannya!
Kedua, kita belajar tentang Hikmat dari atas (ay. 17). Ada beberapa ciri dari orang yang mempunyai hikmat dari atas:
a) Murni (ay. 17). Murni berarti tidak ada campuran/kotoran. Campuran/kotoran itu bisa merupakan motivasi yang salah, atau ketidakbenaran. Dalam ayat 17 itu dikatakan “pertama-tama murni”, dan ini menunjukkan bahwa tanpa kemurnian, hal-hal yang lain di bawah ini tidak akan terjadi.
b) Pendamai (ay. 17). Ini menunjuk pada orang yang: tak senang mencari gara-gara/permusuhan, tak senang membalas kejahatan dengan kejahatan, tak senang mengadu domba, tetapi sebaliknya senang mendamaikan. Tetapi perlu diingat bahwa “pendamai” ini bukannya orang yang lebih senang kompromi dari pada gegeran, pada saat di mana gegeran itu sebetulnya dibutuhkan. Misalnya pada saat kita melihat ada korupsi atau pengajaran sesat dalam gereja. Ingat bahwa yang dinomorsatukan adalah “murni”, dan karena itu, dalam mempertahankan kemurnian itu bisa saja kita terpaksa harus mengorbankan perdamaian! Pada waktu Martin Luther melihat adanya begitu banyak ajaran dan praktik yang salah dari gereja Roma Katolik pada saat itu, apakah ia tetap memelihara perdamaian? Tidak, tetapi sebaliknya ia memakukan 95 tesisnya di pintu gereja Wittenberg, dan ini akhirnya menimbulkan perpecahan dalam gereja! Beranikah kita menyalahkan Martin Luther dan menganggapnya sebagai orang yang tidak cinta damai? Jika perhatian yang paling utama adalah untuk kemurnian, maka damai boleh dihancurkan dalam pertengkaran kebenaran. Merupakan suatu ucapan yang bersemangat dari Luther bahwa lebih baik langit dan bumi bercampur aduk menjadi satu dari pada satu titik kebenaran binasa.
c) Peramah (ay. 17). Kata Yunani yang diterjemahkan “peramah” ini adalah epieikes. Seorang penafsir mengatakan bahwa “epieikes menyampaikan gagasan yang melunakkan dan melembutkan keadilan dengan belas kasihan. Contoh: sikap Yesus dalam Lukas 23:34. Sebetulnya kalau Yesus mau bersikap adil, Ia bisa saja langsung menghukum semua orang yang saat itu menyalibkan diri-Nya. Tetapi Ia berbelas kasihan kepada mereka, dan karena itu Ia berdoa supaya Bapa mengampuni mereka.
d) Penurut (ay. 17). Penurut bisa diartikan juga dengan bersifat tunduk. Ini menunjuk pada ketundukan kepada Tuhan, kepada kebenaran/Firman Tuhan, dan kepada orang yang Tuhan tempatkan di atas kita, seperti orang tua, suami, pemerintah, guru dsb. Ini juga menunjuk kepada orang yang tidak keras kepala, yang mau mengubah pendiriannya karena nasehat orang lain.
e) Penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik (ay. 17). Belas kasihan tidak boleh hanya dinyatakan dalam perasaan saja, tetapi harus dinyatakan dengan tindakan praktis, yaitu menolong orang yang dikasihani itu.
f) Tidak memihak (ay. 17). Ini berarti bahwa orang itu selalu bersikap adil, baik terhadap bawahan/pegawai, anak dsb.
g) Tidak munafik (ay. 17). Artinya: tidak bermuka dua, tidak suka bersandiwara.
h) Rendah hati (ay. 13b). Kerendahan hati datang dari hikmat, atau dengan kata lain, hikmat ini menimbulkan kerendahan hati.
Bagaiamanakah cara kita untuk mendapatkan hikmat yang dari atas itu? Ada beberapa hal yang harus kita lakukan agar kita memeroleh hikmat yang dari atas itu, yakni:
Pertama, kita harus belajar Firman Tuhan (ay. 13). Dalam ayat 13a disebutkan “Siapakah di antara kamu yang bijak dan berbudi?” Orang yang mempunyai banyak pengetahuan Firman Tuhan belum tentu bijak, tetapi orang tidak bisa bijak kalau tidak mempunyai pengetahuan Firman Tuhan. Karena itu maulah kita belajar Firman Tuhan, dan maulah berkorban waktu, tenaga, pikiran, bahkan uang untuk bisa belajar Firman Tuhan. Memang kalau saudara sudah banyak belajar dan mengerti Firman Tuhan, maka pada waktu kita belajar, kita tidak bisa mendapatkan sebanyak seperti pada waktu kita masih belum mengerti apa-apa. Tetapi justru di sini ketekunan kita dalam belajar Firman Tuhan sangat dibutuhkan!
Kedua, kita harus meminta hikmat dari Tuhan (bnd. Yak. 1:5). Tuhan berjanji bahwa kalau kita kekurangan hikmat, dan kita memintanya kepada Tuhan dengan iman, ia pasti akan memberikannya kepada kita. Pernahkah kita berdoa untuk meminta hikmat?
Ketiga, kita harus menjaga hati kita masing-masing (Ams, 4:23). Kalau kita sudah mempunyai hikmat dari atas, jangan mengira bahwa setan tidak akan terus menerus berusaha untuk memasukkan hikmatnya (iri hati, egoisme) ke dalam hati kita. Karena itu kita harus selalu menjaga kebersihan hati kita. (rsnh)
Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN!