Jumat, 19 Februari 2021

Renungan hari ini: “MEMPERTAHANKAN NYAWA AKAN KEHILANGAN NYAWA” (Matius 10:39)

 Renungan hari ini:

 

“MEMPERTAHANKAN NYAWA AKAN KEHILANGAN NYAWA”




 

Matius 10:39 (TB) "Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya"

 

Matthew 10:39 (NET) "Whoever finds his life will lose it, and whoever loses his life because of me will find it"

 

Berbicara tentang nyawa atau jiwa, kemungkinan kita berpendapat bahwa ini hanya masalah hidup atau mati di mana, mati dianggap hanya sekadar berhenti bernafas. Nyawa dalam konteks ini menjadi sangat menarik karena mengacu pada satu pemahaman: barang siapa mempertahankan nyawanya, sama saja mempertahankan cara hidupnya. Selanjutnya, anggapan bahwa manusia bisa menyelesaikan persoalan hidupnya dan menyelamatkan diri sendiri, justru salah. Karena keselamatan tidak tergantung pada kemampuan manusia. Keselamatan merupakan anugerah Allah. Karena itu, barang siapa berani kehilangan nyawanya karena Kristus, maka ia akan mendapatkannya.

 

Prinsip-prinsip apa saja yang hendak kita pelajari dari paradoks ini? 

 

Pertama, berani berserah penuh kepada Tuhan. Keberanian ini bersifat mutlak, dan merupakan tuntutan dari Tuhan yang tidak bisa ditawar-tawar. Maka kita harus berani mempersembahkan, mempertaruhkan seluruh hidup kita ke dalam tangan Tuhan. Prinsip pertama ini, bisa jadi merupakan bagian yang tidak kita sukai. Tetapi jika ditanyakan, apakah kita rela mati untuk Kristus? Kita semua pasti menjawab, Rela. Hal ini mirip dengan ketika Petrus ditanya oleh Yesus, beberapa saat sebelum menyerahkan diri pada pasukan tentara Romawi. Saat itu Petrus menjawab, Guru, orang lain boleh lari, tetapi aku tidak. Namun Yesus yang mengetahui isi hati manusia mengatakan, Petrus, sebelum ayam berkokok, kau telah tiga kali menyangkal Aku. Dan ternyata perkataan Yesus itu terbukti, sebab Petrus melarikan diri begitu tentara datang menangkap Yesus.

 

Dari paparan di atas dapat kita lihat bahwa pada awalnya Petrus memang punya semangat yang bagus. Dan kita pun seharusnya memiliki semangat yang bagus. Tetapi biarlah kita menjelajahi secara jujur hati nurani sendiri, agar tidak terjebak pada statemen emosi kosong belaka. Jujur pada hati nurani, menjadikan kita peka untuk mencermati sikap hidup kita. 

 

Kalau secara jujur kita menemukan bahwa kita tidak berani berserah diri, berdoalah supaya kita semakin dikuatkan Tuhan. Berdoalah, memohon belas kasihan dari Roh Kudus, yang akan menuntun dan memampukan kita menyerahkan seluruh jiwa raga pada Tuhan. Berani berserah artinya sama dengan berani kehilangan segala yang kita miliki bahkan kehilangan nyawa. Sikap berani kehilangan ini pernah dicontohkan oleh Rasul Paulus dengan berkata, Ada pun hidupku ini bukannya aku lagi, tetapi Kristus hidup di dalam aku. Waktu dia kehilangan dirinya, justru dia mendapatkan kesejatian dirinya.

 

Barang siapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya. Dan barang siapa yang kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. (Matius 10: 39)

 

Sikap berani kehilangan ini pernah dicontohkan oleh Rasul Paulus dengan berkata, Ada pun hidupku ini bukannya aku lagi, tetapi Kristus hidup di dalam aku. Waktu dia kehilangan dirinya, justru dia mendapatkan kesejatian dirinya. 

 

Kenapa kita harus berserah diri? Karena dulu kita berkuasa penuh atas diri kita, sehingga kita tidak mau mengendalikan diri, juga tidak mau diatur.  Tetapi sekarang kita harus berserah diri, mau diatur oleh Tuhan. Dan bukan diri kita lagi yang menjadi pemerintah atas hidup kita, tetapi Tuhan.

 

Kedua, kita harus berani melupakan diri. Dalam hal ini kita harus melupakan identitas, kepuasan, kebanggaan, kebahagiaan di waktu lampau yang kita sebut sebagai hidup lama. Sebagai gantinya, sekarang kita mesti berani berpindah ke dalam kehidupan yang baru, yang sesuai dengan selera dan kehendak Tuhan. Jika ingin mendapatkan kehidupan yang baru, maka rela-lah kehila-ngan. Berani berserah, berani melepas harga diri, atau melupa-kan diri sendiri. 

 

Dalam Alkitab sering ditemukan istilah manusia lama dan manusia baru. Kita jangan mau terus berkutat sebagai manusia lama, melainkan harus hidup sebagai manusia baru. Jika kita tetap hidup sebagai manusia lama, dan tidak pernah mau menjadi manusia yang baru, maka kita tidak akan pernah merasakan betapa nikmatnya menjadi manusia baru itu. Dan oleh karena kita hanya berkutat pada kemanusiaan lama itu, maka nilai kepercayaan yang ada pada kita pun menjadi sia-sia.

 

Namun perlu dicamkan, melupakan diri dalam konteks ini tidak sama dengan lupa diri. Lupa diri adalah sesuatu yang negatif, karena lupa diri adalah suatu kondisi yang tidak terkendali (out of con-trol). Keberanian melupakan diri yang kita maksudkan di sini adalah kemauan yang utuh untuk mena-ruh seluruh kehendak Allah men-jadi kehendak yang final di dalam hidup kita. Selanjutnya, kehendak Allah yang sudah terpateri di dalam hidup itu kita laksanakan dalam aktivitas sehari-hari. Jadi, penye-rahan mutlak kepada Tuhan, itu menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Kita harus berani berserah diri dan melupakan diri.

 

Kedua kata kunci tersebut, yakni berserah diri dan melupakan diri, sangat penting kita resapi supaya kita tidak berkutat hanya ke-pada diri, kebutuhan diri, semangat diri, tetapi berkutat pada kehendak Allah. Kita pun semestinya senantiasa bertanya pada diri sendiri, Apa yang diinginkan Allah untuk saya lakukan, sehingga  pengabdian saya total kepada Dia? Dan jika kita mampu menjawab-nya, yakni dengan mampu melak-sanakannya, ini akan menjadi kesukaan tersendiri di dalam hidup kita. Itulah yang membuat kita mengalami dan mendapatkan kesejatian hidup. Kita mendapatkan kesejatian hidup ketika kita berani melupakan diri kita yang dulu, kehidupan yang lama itu, sehingga mendapatkan diri yang sekarang, yang baru. Ini terjadi karena kita berani berserah.

 

Ketiga, yakni berani berkorban untuk Tuhan, menuntut kita untuk mempersembahkan seluruh kehidupan untuk Tuhan. Sehingga dengan demikian, di dalam kehilangan kita akan mendapatkan. Dan di dalam kehilangan itulah kita akan menemukan. Alkitab memberi satu ilustrasi yang menarik, yakni biji gandum tidak akan pernah tumbuh menjadi sebatang pohon gandum kalau biji itu tidak mati lebih dahulu. Kenapa? Karena biji gandum yang mati itu harus terlebih dahulu membelah dirinya. Dan oleh karena kematian, dan kemudian membelah dirinya itulah biji gandum tersebut mendapatkan kehidupan. Dengan kata lain, biji gandum mendapatkan kehidupan (yang baru) justru kalau dia membelah dirinya terlebih dahulu. Jika dibandingkan dengan manu-sia, maka manusia harus berani mengorbankan dirinya untuk Tu-han, baru kemudian memperoleh hidup yang baru.

 

Maka keberanian untuk berserah, keberanian melupakan diri, dan keberanian untuk berkorban, sangat kita butuhkan untuk membelah diri kita sehingga dari diri kita muncul kehidupan dan pengharapan. Jadi penyerahan diri bukan suatu wujud dari ketidak-berdayaan. Mengorbankan sesuatu bukan berarti akan kehilangan sesuatu. Melupakan diri tidak berarti kehilangan diri. Tetapi yang akan kita dapatkan justru sebaliknya, yakni kehidu-pan, kekuatan, dan identitas diri yang baru. Karena itu, jangan takut kehilangan nyawa sebab Dia akan memberikan kita kehidupan yang kekal. (rsnh)

 

Selamat berakhir pekan dan besok kita beribadah kepada TUHAN

Renungan hari ini: “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH” (Daniel 3:3)

  Renungan hari ini:    “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH”   Daniel 3:3 (TB2) "Lalu berkumpullah para wakil raja, para penguasa, para bupa...