Kamis, 06 Januari 2022

Renungan hari ini: “KASIH KARUNIA ALLAH” (1 Korintus 15:10)

 Renungan hari ini:

 

“KASIH KARUNIA ALLAH”




 

1 Korintus 15:10 (TB) "Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku"

 

1 Corinthians 15:10 (NET) "But by the grace of God I am what I am, and his grace to me has not been in vain. In fact, I worked harder than all of them – yet not I, but the grace of God with me"

 

Kata “kasih karunia” (charis) muncul tiga kali di ayat 10. Bagian akhir ayat ini “tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku” benar-benar tidak memberi ruang sedikit pun bagi pembaca untuk membanggakan Paulus.

 

Melalui teks ini Paulus ingin mengajarkan bahwa kasih karunia Allah bukan hanya tidak boleh dilupakan, melainkan juga harus diletakkan di depan. Ketika kesaksian hidup kita memberi kesan lebih kuat kepada orang lain tentang betapa hebatnya kepandaian dan perjuangan kita, kesaksian itu telah merampas posisi kasih karunia. Kesan terdalam yang seharusnya menancap pada pikiran orang lain adalah tentang kehebatan Allah dalam mengasihi kita.

 

Banyak orang memahami kasih karunia hanya sebatas pemberian dari Allah. Anugerah adalah apa yang diberikan oleh Allah. Pemahaman seperti ini memberi kesan pasif pada kasih karunia. Kasih karunia adalah objek yang diberikan.

 

Tidak demikian halnya dengan Paulus. Di mata Paulus, kasih karunia Allah tampak lebih aktif. Kasih karunia adalah sarana perubahan (lit. “oleh kasih karunia”; LAI:TB “karena kasih karunia”). Kasih karunia yang melakukan sesuatu melalui Paulus (“tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku”).

 

Jika seseorang memahami kasih karunia secara terbatas - hanya sebagai sesuatu yang pasif – ia mungkin akan berpikir bahwa kasih karunia Allah dapat ditolak atau dibatalkan oleh manusia. Kasih karunia hanya dinilai sebagai sebuah tawaran atau pilihan. Semua bergantung pada manusia, entah ia bersedia menerima atau menolak tawaran ilahi itu.

 

Konsep semacam ini tidak ada dalam pikiran Paulus. Kasih karunia bersifat menentukan. Ia mengatakan bahwa kasih karunia Allah kepadanya tidak sia-sia (ou kenē egenēthē, lit. “tidak dijadikan kosong”). Subyek dari kalimat pasif ini adalah Allah (pasif ilahi). Allah memastikan bahwa kasih karunia-Nya akan sampai pada tujuan. Pilihan ilahi yang Allah sudah tetapkan bagi Paulus sejak ia dalam kandungan (Gal. 1:15) pada akhirnya digenapi.

 

Pertanyaan kita sekarangn, apa yang dikerjakan oleh kasih karunia Allah?

 

Pertama, kasih karunia menumbuhkan kesadaran tentang ketidaklayakan (ay. 9). Paulus mengakui bahwa dia bukan hanya yang terakhir (ay. 8), tetapi juga terkecil (ay. 9a). Ungkapan populer “the last but not the least” (yang terakhir tetapi bukan yang terkecil) tampaknya tidak berlaku dalam kasus ini. Pengakuan ini bahkan diucapkan oleh Paulus dengan penekanan: ia menambahkan subjek eksplisit egō, dan meletakkannya di awal kalimat. Kata kerja present tense yang digunakan (versi Inggris “I am the least of the apostles”) menunjukkan bahwa kesadaran ini bukan hanya ada di masa lalu, tetapi terus-menerus ada. Di antara semua rasul yang ada, Paulus selalu merasa diri sebagai yang terkecil.

 

Kedua, kasih karunia memberi kehidupan yang baru (ay. 10a). Pernyataan “aku adalah sebagaimana aku ada sekarang” mengungkap sebuah perubahan dan pergerakan hidup. Paulus sedang membandingkan hidupnya sekarang dengan yang lampau.

 

Berhenti pada perasaan ketidaklayakan (ay. 9) belum tentu membawa orang pada perubahan. Ada beberapa orang bahkan tenggelam dalam perasaan bersalah yang berlebihan, sehingga menghancurkan dirinya sendiri. Ada pula yang menangisi masa lalunya yang kelam, tetapi mereka tidak mau beranjak dari situasi tersebut. Masa lalu benar-benar menenggelamkan dan membelenggu mereka.

 

Tidak demikian halnya dengan perasaan bersalah dan tidak layak yang lahir dari kasih karunia Allah. Perasaan kudus ini mengarahkan seseorang pada kehidupan yang baru di dalam Kristus Yesus. Perasaan semacam ini tetap ada, namun bukan sebagai raja. Tetap teringat, namun tidak terikat.

 

Ketiga, perubahan hidup menjadi bukti bahwa kasih karunia dalam diri seseorang tidak sia-sia (ay. 10a). Kita tidak tahu siapa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk menerima kasih karunia-Nya. Ketika seseorang sudah menjalani transformasi hidup di dalam Kristus, di situlah kita baru mengetahui bahwa ia menerima kasih karunia Allah. Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada Yesus Kristus tanpa ditarik oleh Bapa (Yoh. 6:37, 44). Siapa saja yang dipanggil dan dibenarkan di dalam Kristus pasti sebelumnya sudah dipilih dan ditentukan oleh Allah sejak kekekalan (Rm. 8:29-30).

 

Keempat, kasih karunia membuat kita bekerja keras bagi Tuhan (ay. 10b). Bukti lain bahwa kasih karunia Allah bagi seseorang tidak sia-sia adalah kegigihan orang itu dalam pekerjaan Allah. Kata “bekerja keras” (kopiaō) pada dirinya sendiri sudah mengandung makna yang mencakup kesukaran. Ini bukan cuma bekerja biasa saja (1 Kor. 4:12). Di 1 Korintus 16:16a Paulus secara jelas mengungkapkan hal ini: “setiap orang yang turut bekerja (synergeō) dan berjerih payah (kopiaō)”. Jika ditambah keterangan “lebih daripada mereka semua” (perissoteron autōn pantōn) makna kesukaran tersebut menjadi semakin kentara.

 

Di bagian ini Paulus tentu saja tidak sedang menyombongkan dirinya di atas rasul-rasul yang lain. Untuk menghindari kesalahpahaman seperti ini, ia langsung menambahkan “tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku” (ay. 10b). Ia hanya menceritakan kondisi pelayanannya secara jujur dan apa adanya. Kesukaran, penderitaan, dan bahaya memang seolah-olah selalu menyertai Paulus ke mana pun dia ada (2 Kor. 11:23-28). Jadi, bukan hanya kasih karunia yang menyertai dia, tetapi juga semua derita dan bahaya.

 

Dari pernyataan Paulus di ayat 10b kita juga belajar bahwa kasih karunia tidak meniadakan kelemahan dan kesusahan. Hidup di dalam kasih karunia bukan berarti hidup tanpa bahaya. Sebaliknya, di dalam kelemahanlah kita menemukan kasih karunia sudah dicurahkan secara cukup bagi kita (2 Kor. 12:7-10). Penderitaan bukan bukti ketidakadaan kasih karunia dalam hidup seseorang. Justru ketangguhan dan ketabahan seseorang dalam menjalani semua kesusahan itu merupakan bukti kuat bahwa kasih karunia sedang bekerja dalam dirinya. Karena itu, marilah mesyukuri kasih karunia Allah yang kita terima dalam hidup kita. (rsnh)

 

Selamat berkarya untuk TUHAN

Renungan hari ini: “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH” (Daniel 3:3)

  Renungan hari ini:    “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH”   Daniel 3:3 (TB2) "Lalu berkumpullah para wakil raja, para penguasa, para bupa...