Sabtu, 13 Juni 2020

Kotbah Minggu 1 Setelah Trinitatis Minggu, 14 Juni 2020 "JAUHILAH KETAMAKAN" (Lukas 12:13-21)

Kotbah Minggu 1 Setelah Trinitatis
Minggu, 14 Juni 2020

"JAUHILAH KETAMAKAN
Kotbah: Lukas 12:13-21 Bacaan: Amsal 22:22-29



Minggu ini kita memasuki Minggu 1 Setelah Trinitatis. Tema yang akan kita renungkan adalah “Jauhilah Ketamakan”. Ketamakan adalah keinginan untuk mendapatkan kekayaan secara “berlebihan”. Yang dimaksud dengan berlebihan ialah ketika seseorang “Mengingini yang menggantikan kerinduan akan Tuhan dengan kesukaan pada barang-barang.” Hal ini menunjukkan bahwa Tuhanlah yang harus diutamakan dalam segala sesuatu. Jadi, ketamakan adalah dosa dalam hati, yang kemudian berbuah dalam tindakan seseorang dengan cara hidup yang hanya mencari kekayaan dan menampung kekayaan duniawi untuk menyenangkan diri sendiri. 

Perumpamaan Yesus dalam Lukas 12:13-21 ini merupakan jawaban Yesus atas permintaan seseorang agar Yesus membela dia mengenai harta warisan. Yesus menolak permintaan itu, sebaliknya mengingatkan bahwa keterikatan pada harta kekayaan itu berbahaya (ay. 15; bnd. 1Tim. 6:9-10).

Yesus menyebut orang kaya tersebut bodoh. Mengapa Yesus menyebut orang kaya yang datang kepada-Nya itu bodoh? Pertama, karena ia mengira kekayaannya itu segala-galanya. Bahwa hidupnya terjamin dengan adanya gandum melimpah di lumbungnya. Padahal, Yesus di kesempatan lain sudah mengingatkan bahwa menimbun harta di dunia itu sia-sia (Mat. 6:19). Malah kebanyakan harta menimbulkan rasa was-was dan kuatir akan kehilangan. Bahkan ada orang yang selalu merasa tidak cukup dengan kelimpahan yang sudah dimiliki. Seperti komentar dari mulut seorang hartawan terkenal di dunia modern, bahwa ia akan merasa cukup kalau ia bisa mendapat sedikit lebih lagi dari kekayaan yang ia miliki sekarang!

Kedua, karena di hadapan Allah orang kaya itu miskin! Hidupnya hanya berfokus pada hartanya, sebenarnya pada diri sendiri. Ia tidak pernah berpikir sedikitpun bahwa Allah akan meminta pertanggungjawaban atas hidupnya. Ia tidak pernah mengumpulkan harta di surga (bnd. Mat. 6:20). Harta dunianya tidak bisa dia bawa ke surga. Orang lain pun tidak pernah merasakan berkat karena kekayaannya itu, kecuali setelah ia mati. Dengan kata lain, ia dikatakan miskin karena hidupnya tidak berguna di mata Allah.

Kaya di hadapan Allah ialah merasa cukup karena anugerah-Nya. Sehingga ia sanggup memberi kepada mereka yang membutuhkan. Sebaliknya, walaupun harta banyak, tetapi tidak mampu memberi itu tandanya miskin. 

Dampak dari Ketamakan
Timbul pertanyaan kita sekarang, apakah dampak dari sifat ketamakan kita akan harta dunia ini? Ada beberapa dampak ketamakan manusia akan harta duniawi ini, yakni:

Pertama, merugikan diri sendiri (1Tim. 6: 9-10). Akibat dari gaya hidup yang mencintai kekayaan dan mementingkan diri sendiri, maka ia akan merugikan diri sendiri. Firman Tuhan ini jelas bahwa keinginan untuk menjadi kaya akan membuat orang jatuh ke dalam berbagai masalah yang mencelakakan, dan membinasakan. Bahkan orang percaya pun yang melakukan hal demikian tentu mereka sudah menyimpang dari iman dan terjerumus dalam berbagai dukacita.

Bila menyaksikan media sosial ataupun layar televisi, tentu banyak kasus kejahatan yang ditayangkan dengan berbagai motif, dan salah satunya ialah yang berkaitan dengan cinta harta duniawi, seperti kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh beberapa pejabat negara, yang kemudian berujung di balik jeruji besi. Bahkan bukan hanya mereka, tetapi juga siapa saja yang mencintai kekayaan duniawi atau memiliki sifat tamak akan berakhir dengan penyesalan dalam jeruji besi, atau sebaliknya tidak pernah merasa bersalah. Hal-hal yang demikian telah tertulis dalam Alkitab, sebagai contoh Gehazi yang mendapat hukuman (penyakit kusta) dari Tuhan karena cinta akan harta (2 Raj. 5:21-27). Kisah-kisah seperti ini menunjukkan bahwa orang yang menginginkan harta pasti mendapat hukuman, dan yang berujung pada kerugian atas diri sendiri.

Kedua, merusak hubungan persaudaraan dalam keluarga. Akibat dari perebutan harta warisan dalam keluarga itu, tentu mengakibatkan hubungan orang itu dan saudaranya menjadi rusak. Hal ini dapat dilihat dari pengaduan orang itu kepada Yesus tentang masalah pembagian warisan. Orang itu melihat warisan adalah fokus utamanya sebagaimana dijelaskan oleh beberapa penafsir bahwa yang diinginkan orang itu adalah warisan atau kekayaan, tetapi bukan keadilan. Ini menunjukkan bahwa kasih kepada saudaranya menjadi pudar, di mana keinginan (tamak) untuk mendapatkan warisan yang lebih telah membuat orang itu merusak hubungan persaudaraan antara mereka dalam keluarga, bahkan ia mengorbankan perintah Tuhan Yesus tentang mengasihi sesama (Mat. 22:39), dan yang telah diajarkan sejak zaman Perjanjian Lama. 

Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa orang yang tamak akan kekayaan akan melakukan berbagai cara yang curang untuk mendapatkan kekayaan (Ams. 21:6), seperti menipu atau mencuri untuk mendapatkan harta benda. Cara-cara yang demikian merupakan tindakan yang merugikan orang lain, di mana orang yang melakukan hal demikian telah merusak hubungannya dengan sesama. Dengan demikian, orang tidak akan mempercayai orang yang berlaku curang untuk mendapatkan harta. Contohnya  perebutan harta warisan dalam sebuah keluarga karena menginginkan warisan. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara saudara dalam sebuah keluarga menjadi rusak.

Ketiga, merusak hubungan dengan Allah. Selain hubungan persaudaraan menjadi rusak, maka hubungan antara dia dengan Allah juga menjadi rusak. Dalam perumpamaan ini, Yesus mengajarkan bahwa pandangan Allah terhadap orang yang tamak dan mementingkan diri sendiri tentu hidupnya akan diambil Allah sendiri (Luk. 12:20). Kisah orang kaya dan Lazarus menggambarkan hukuman Allah terhadap orang kaya itu, di mana setelah orang kaya itu meninggal dunia dan ternyata ia berada di tempat penyiksaan, ia memohon kepada Abraham supaya mengutus seorang pergi untuk memperingatkan sanak saudaranya yang masih hidup, supaya mereka terhindar dari tempat sengsara itu (Luk. 16:27-28). Hal ini jelas bahwa semasa hidup orang kaya itu, ia tidak menggunakan kekayaannya untuk melayani orang yang membutuhkan seperti Lazarus, bahkan dapat dikatakan bahwa orang kaya ini tidak hidup dalam pertobatan di hadapan Allah. Dalam kasus perumpamaan Lukas 12:16-21, bahwa orang kaya itu akan segera dihukum Allah karena ia hidup hanya untuk dirinya sendiri, bahkan ditegaskan dalam ayat 21 bahwa hanya orang yang kaya di hadapan Allah saja yang beroleh hidup. 

Demikian juga dengan setiap orang percaya yang menginginkan harta benda untuk menjadi kaya, akan jatuh ke dalam berbagai masalah yang mencelakakan, bahkan menenggelamkan mereka ke dalam keruntuhan dan kebinasaan (1 Tim. 6:9). Walaupun seseorang memiliki suatu jabatan yang baik dalam pekerjaannya dan memberikan penghasilan yang baik, namun memiliki motivasi untuk mencari harta demi keuntungan dan kepentingan sendiri, maka ia akan mengalami hal yang seperti Rasul Paulus katakan.

Hal ini dengan tegas dikatakan dalam Alkitab bahwa orang yang menjadikan harta benda sebagai pusat dalam kehidupannya, maka ia sedang berada dalam hukuman Allah, di mana tindakannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah yang adalah Hakim yang adil, dan yang menghukum orang yang berbuat dosa. Itulah sebabnya, Tuhan Yesus telah memberikan peringatan yang tegas dalam Lukas 12:15, 20 bahwa orang yang hidupnya hanya mencari kekayaan akan mendapat hukuman dari Allah sendiri. Ini menunjukkan bahwa hubungan dengan Allah menjadi rusak karena dosa ketamakan, di mana orang yang tamak tidak menjadikan Allah sebagai yang terutama dalam hidupnya. Jadi, kenyataan yang demikian menunjukkan bahwa hubungannya dengan Allah menjadi rusak.

Berjaga-jaga dan Waspada Terhadap Ketamakan
Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa kekayaan adalah milik Allah (bnd. Kej. 1:29), yang juga diberikan kepada manusia.  Namun, seringkali manusia salah memiliki persepsi tentang kekayaan dan juga menjadikan kekayaan sebagai yang terutama dalam hidup, sehingga ada peringatan untuk berhati-hati terhadap kekayaan secara materi. Ada yang menjelaskan dalam Matius 6:33 tentang “carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya” bahwa Yesus berbicara tentang majikan manusia yang utama – apakah itu Allah atau uang, dan dasar kepercayaan, sikap serta motivasi hidup. Selanjutnya semua tahap kebutuhan hidup akan dipenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa Allahlah yang harus menjadi yang terutama dalam hidup, dan bukan kekayaan yang menggantikan posisi Allah sebagai yang terutama dalam hidup manusia.

Hal ini berarti bahwa “orang Kristen yang dewasa mengandalkan kebutuhannya pada Allah dan dengan rela membantu orang lain tanpa bertanya berapa banyak yang akan diperoleh.” Artinya bahwa Allahlah yang dijadikan sebagai yang terutama dalam hidup, dan berkat materi yang diperoleh pula tidak digunakan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga berbagi dengan sesama yang membutuhkan. Orang yang demikian menunjukkan bahwa ia belajar mencukupkan diri dengan pemberian Allah, dan mengucap syukur atas pemberian Allah (bnd. 1 Tim. 6:7-8). 

Renungan
Apa yang hendak kita renungkan dari Firman TUHAN dalam Minggu ini?

Pertama, tempatkanlah harta pada posisi yang benar. ”Jangan menjadi hamba uang” (Ibr. 13:5a). Jadikan Tuhan sebagai Tuan atas diri kita, dan jadikan uang yang dikaruniakan-Nya sebagai “hamba” yang kita manfaatkan sesuai dengan kehendak-Nya.

Kedua, bersikap benar terhadap harta, yaitu memiliki rasa cukup. Ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan yang besar (2 Tim. 6:6). Rasa cukup menjauhkan orang dari ketamakan dan memburu uang (2 Tim. 6:7-10).  Rasa cukup membuat orang senantiasa bersyukur kepada Tuhan, hidup akur dengan saudara, dan menjadi berkat bagi orang-orang lain.

Ketiga, memakai uang dengan benar, untuk mendatangkan manfaat bagi sesama dan memuliakan Allah. Alkitab mengajar kita untuk memuliakan Allah dengan harta yang kita miliki (Ams. 3:9).  Janganlah hanya menimbun harta di dunia untuk diri sendiri, tetapi pakailah uangmu untuk mendukung misi Allah di dunia ini dan menjadi berkat bagi sesama. Itulah cara untuk menyimpan harta di surga (Mat. 6:19-21). Orang-orang percaya harus menjadi bijak terhadap harta, yaitu menempatkan harta, menyikapi harta, dan menggunakan harta dengan benar, untuk menghindari akhir hidup yang sia-sia. Karena itu, hindarilah pola hidup yang tamak, tetapi kuasailah segala harta yang kita miliki untuk kemuliaan TUHAN. (rsnh)

Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN!

Renungan hari ini: “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH” (Daniel 3:3)

  Renungan hari ini:    “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH”   Daniel 3:3 (TB2) "Lalu berkumpullah para wakil raja, para penguasa, para bupa...