Sabtu, 29 Januari 2022

KOTBAH MINGGU EPIPHANIAS IV Minggu, 30 Januari 2022 “ DIPANGGIL UNTUK MENGASIHI” (Yeremia 1:4-10)

 KOTBAH MINGGU EPIPHANIAS IV

Minggu, 30 Januari 2022

 

 DIPANGGIL UNTUK MENGASIHI

Kotbah: Yeremia 1:4-10.  Bacaan: 1 Korintus 12:1-3




 

Dalam Minggu ini kita memasuki Minggu Epipahnias IV. Tema kotbah yang akan kita renungkan “Dipanggil untuk Mengasihi”. Tema ini unik Mengapa? Karena dalam perikope yang kita baca tidak ada satu ayat pun bicara soal mengasihi. Namun demikian kita akan mencoba bagaimana mengaitkan tema ini dengan teks yang kita baca. Memang harus kita akui dan yakini bahwa seseorang akan mampu mengasihi jika dia terlebih dahulu dipanggil oleh TUHAN menjadi hamba-Nya. Dari situlah kita masuk. Kita akan mampu mengasihi TUHAN, mengasihi sesama kita, keluarga kita, para pelayan TUHAN, jika kita sudah memiliki hati yang terpanggil dan dipanggiloleh TUHAN. Bagaimanakah TUHAN memanggil kita menjadi hamba-Nya? Untuk menjawab pertanyaan ini kita akan belajar dari pemanggilan Yeremia sebagai hamba-Nya. 

 

Tuhan memilih dan memanggil Yeremia. Yeremia dipanggil dan ditetapkan Tuhan menjadi nabi sebelum Yeremia dilahirkan bahkan sebelum ia ada dalam rahim ibunya (Yer. 1:5). Apa yang disampaikan dalam ayat 5 ini mungkin saja menggiring orang berpikir soal “takdir”: bahwa Yeremia sudah “ditakdirkan” Allah untuk menjadi nabi. Pemanggilan dan penetapan Yeremia sebagai nabi “sebelum ia dilahirkan” bahkan “sebelum ia ada dalam rahim ibunya” sama sekali bukan menjelaskan bahwa Yeremia telah “ditakdirkan” menjadi nabi, melainkan sebuah penegasan bahwa terpanggilnya Yeremia menjadi nabi merupakan inisiatif Allah. Allah-lah yang menjadi “inisiator” pemilihan dan penetapan itu, dan bahwa dasar pemilihan Yeremia terletak pada Allah sendiri dan tidak terpengaruh oleh pihak lain.

 

Kenapa Yeremia yang muda dan cenderung penakut yang dipanggil? Peristiwa panggilan Allah kepada Yeremia adalah suatu peristiwa yang di luar akal manusia karena kita tidak dapat memahami akan pemikiran dan rencana Allah. Untuk mengemban tugas yang begitu berat (ay. 10) seharusnya dibutuhkan seorang yang luar biasa bukan? Tapi siapakah Yeremia? Ia tidak mempunyai kemampuan yang hebat, belum berpengalaman bahkan cenderung penakut (ay. 6). Hal yang lebih membingungkan kita lagi adalah, ketika Yeremia mengutarakan keengganan dan ketakutannya, Allah seakan-akan tidak mengindahkan perasaan Yeremia justru terkesan “memaksanya” (ay. 7). Kalau pun Allah memberikan dorongan dan berusaha menenteramkan hatinya (ay. 8), tidakkah ini terlalu minim untuk tugas yang maha berat dan sukar ini? Apalagi Allah juga tidak menjelaskan secara rinci tugas dan tanggung jawabnya. Hal yang menonjol dari bacaan kita kalau kita amati peristiwa ini dengan lebih seksama, di hadapan kita dipaparkan tentang ”Allah yang penuh kuasa” dan ”manusia yang lemah”. Allah ingin memperlihatkan kepada manusia bahwa: kuat, hebat, mampu, dan berani bukan berarti ”keberhasilan”. Namun ini tidak berarti bahwa Allah memakai siapa saja yang lemah. Sebaliknya Ia telah mengenal, menguduskan, dan menetapkan sebelum memanggil seseorang (ay. 5). Allah telah berhitung dan tentu saja perhitungan-Nya tidak mungkin meleset.

 

Tuhan yang memanggil dan melengkapi Yeremia. Tidak cukup sampai di sini, setelah ungkapan keengganan Yeremia: “Ah Tuhan Allah!” Allah menjumpai Yeremia dengan firmanNya dan memberikan “sentuhan” kepada titik kelemahan Yeremia (ay. 7-9). Allah menyentuh mulutnya, hasilnya sangat luar biasa: sejak saat itu “mulut”-nya dipakai Allah untuk “memekakkan” telinga umat Allah yang murtad. Ia yang semula enggan dan takut untuk menyampaikan firman Allah justru menjadikan firman itu sumber kekuatan dan sukacitanya (Yer. 15:16).

 

Yeremia mengetahui dengan jelas tentang panggilannya menjadi nabi.  Juga dapat dilihat bahwa pemahaman Yeremia yang jelas akan panggilannya sebagai nabi (Yer. 1:17), seiring dengan penegasan Allah yang berulang-ulanglah (mis. Yer. 3:12; Yer. 7:2,27-28; Yer. 11:2,6; Yer. 13:12-13; Yer. 17:19-20) yang memungkinkan dia untuk memberitakan nubuatnya dengan tegas dan setia kepada Yehuda kendatipun tanggapan yang terus diterimanya adalah permusuhan, penolakan, dan penganiayaan (mis. Yer. 15:20-21).

 

Tuhan juga memanggil dan mengutus kita. Yeremia dipanggil dan ditetapkan Tuhan menjadi nabi sebelum Yeremia dilahirkan bahkan sebelum ia ada dalam rahim ibunya (Yer. 1:5). Bercermin dari firman ini tidaklah salah jika kita memahami bahwa tidak ada seorang pun yang lahir secara kebetulan bahkan lahir tanpa tujuan. Tetapi setiap orang lahir ke bumi adalah bagian dari “campur tangan” Tuhan untuk melaksanakan tugas tertentu dari-Nya. Seperti nabi Yeremia dipanggil dan ditetapkan menjadi solusi bagi Israel yang berontak, kelahiran kita pun harus kita yakini sebagai sesuatu yang “special”.  Dan seperti Yeremia, kita (orang Kristen) adalah juga orang-orang yang Tuhan panggil dan tetapkan untuk menyampaikan firman (kehendak) Tuhan. Dan harus diingat bahwa penugasan Tuhan bagi kita bukanlah pilihan atau keputusan kita, tetapi Tuhanlah yang menentukannya bagi kita. Itu berarti, kita menjadi pendeta, guru agama, penatua, diaken, itu bukanlah prestasi atau usaha kita, melainkan lebih merupakan inisiatif Tuhan sendiri. Karena itu kita tidak patut “membusungkan dada”, apalagi sampai tidak taat pada panggilan dan penetapan Tuhan.

 

Kenapa kita berani mengaku ”dengan segenap hatiku”? Apa yang membuat kita berani berkata ‘ya dengan segenap hatiku’ atas panggilan-Nya, berani melangkah walau terbatas? Yeremia yang telah “diundang”  dan  “ditarik”  Allah  keluar  dari keterbatasan yang dimilikinya untuk kemudian “menggantungkan segalanya” pada Tuhan. Kita juga diingatkan agar segera keluar dari rasa keterbatasan kita yang menjadikan kita enggan dan takut melaksanakan panggilan Tuhan. Bersama Allah, kita berjalan.

 

Tantangan yang dihadapi pelayan Tuhan. Pemberitaan firman Tuhan seringkali hanya dipandang sebagai berita yang mewartakan sukacita, kedamaian, dan kabar baik bagi manusia. Padahal, firman Tuhan juga mengandung berita yang menggoncangkan, meresahkan, dan mengancam kehidupan manusia seperti berita yang harus disampaikan oleh Yeremia kepada bangsa Yehuda. Apa yang disampaikan Yeremia tentulah sangat menyakitkan, meresahkan, dan mengancam. Bagaimana mungkin bangsa pilihan Allah akan dihancurkan oleh bangsa-bangsa kafir? Berita yang mengusik kemapanan, menggoncang ’status quo’, menjungkirbalikkan konsep-konsep yang sudah dianut masyarakat, hanya mendatangkan risiko yang tidak kecil bagi sang pembawa berita, mungkin nyawa pembawa berita itu menjadi taruhannya. Itulah sebabnya Yeremia gentar karena ia memahami betul risiko ini (1:17). Allah pun sudah memahami reaksi apa yang akan ditunjukkan oleh Yeremia. Karena itu Allah menggunakan berbagai cara untuk menyentuh seluruh aspek pribadinya seperti fisik, imaginasi, intelektual, dan perasaan. Walau tidak disebutkan bagaimana akhirnya Yeremia bersedia memenuhi panggilanNya, namun pasal-pasal berikutnya menceritakan bagaimana ia menyatakan suaraNya. Allah telah berhasil meyakinkan Yeremia betapa pentingnya berita bencana itu harus disampaikan kepada Yehuda supaya mereka nantinya dapat kembali menjadi umat pilihan Allah yang kudus dan taat. Yeremia terus mewartakan suara Allah walau tidak ada yang mendengar, walau dibuang dalam pengasingan, bahkan nyawanya menjadi taruhan. Demikian jugalah setiap orang Kristen harus berperan seperti Yeremia: mewartakan kebenaran yang akan membuat telinga jemaat yang korupsi merah, membuat orang yang menyalahgunakan kekuasaan kebakaran jenggot, membuat orang kaya yang kerjanya kolusi tidak bisa tidur nyenyak, dll. Mungkin, seperti Yeremia, kita akan enggan bahkan takut. Namun, jika kita membiarkan Allah menyentuh seluruh aspek kepribadian kita, niscaya kita akan memiliki keberanian untuk tak henti-hentinya menyampaikan firman Tuhan, menyuarakan pertobatan.

 

Bagaimana sikap kita terhadap panggilan Allah. Sama seperti Yeremia berlakulah seperti anak kecil. Apakah Yeremia masih tetap seperti anak kecil sepanjang kariernya? Apabila kita menyelusuri kitab Yeremia, maka kita menemukan bahwa akhir hidup Yeremia tidak seperti Salomo dan Saul. Yeremia tidak menjadi sangat berkuasa dan kaya raya seperti Salomo. Dia juga tidak menjadi sombong dan acuh terhadap Tuhan, seperti Saul. Melainkan, Yeremia tetap seperti seorang anak kecil. ”Engkau telah membujuk aku, ya Tuhan, dan aku telah membiarkan diriku dibujuk” Yeremia berlaku jujur. Ia mengutarakan seluruh perasaan terhadap Tuhan. Ia merasa dibohongi atau dijebak oleh Tuhan. Karena semula ia sudah menduga bahwa beban yang diberikan kepadanya terlalu besar. Tetapi karena Allah telah berjanji akan menyertainya dan melepaskannya maka, Yeremia telah menerima panggilan tersebut. Tetapi, setelah Yeremia menjalankan tugas panggilannya, maka ia merasa tidak sanggup lagi. Ia berkata kepada Tuhan, sbb.: ‘Engkau panggil aku sebagai nabi, penyambung lidahMu, tetapi aku tidak menduga bahwa panggilan tersebut sebegitu berat. Engkau membohongi aku dan menjebak aku.’ Dalam hal ini Yeremia berbicara seperti seorang anak kecil. Seorang anak kecil selalu jujur, mereka berbicara seperti apa yang ada dalam pikirannya. Anak kecil memiliki  empat karakter umum yakni:mereka jujur terhadap perasaan mereka; mereka merasa lemah, bergantung kepada Bapanyamereka selalu mengajukan pertanyaandan mereka ingin belajar sesuatu yang baru.


RENUNGAN

 

Apa yang mau kita renungkan dari Firman ini?

 

Pertama,, panggilan. Sesungguhnya apa yang menjadi dasar eksistensi dan kehidupan Yeremia adalah panggilan Allah (Yer. 1:5); dan panggilan Allah ini mendahului eksistensi Yeremia. Seakan-akan hidupnya ada karena adanya panggilan Allah. "God has called me therefore I am," nampaknya inilah yang ingin Yeremia katakan pada ayat 5. Setiap keberadaan ciptaan pasti ada "raison d'etre," yaitu alasan untuk ada. Bagi Yeremia "raison d'etre"-nya. adalah panggilan Allah. Prinsip seperti ini patut menjadi prinsip hidup kita sebagai orang Kristen. Kesadaran akan panggilan Allah haruslah melandasi eksistensi dan hidup kita sebagai orang Kristen. Bukankah kita adalah Gereja (ekklesia), yaitu umat yang dipanggil keluar untuk tujuan yang mulia?

 

Kedua, menyadari panggilan. Menyadari panggilan pada hakikatnya berarti menyadari kehendak dan tujuan Tuhan dalam hidup kita. Setiap orang Kristen—sadar atau tidak sadar—mengemban panggilan Tuhan dalam hidupnya. Panggilan Tuhan tidak berarti dalam pengertian yang khusus, seperti nabi, rasul, pendeta, penginjil, dll. Tidak banyak orang dipanggil untuk mengemban panggilan khusus ini. Namun setiap orang Kristen yang sudah ditebus dalam Kristus Yesus, pastilah mengemban tujuan keselamatan yang Allah berikan. Rasul Paulus mengatakan bahwa kita adalah buatan Allah yang diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik; dan Allah menghendaki supaya kita menjalani hidup kristiani kita dalam pekerjaan baik itu (Ef. 2:10). Kesadaran terhadap panggilan Tuhan yang demikian merupakan kesadaran yang sangat fundamental; tanpa kesadaran ini kita tidak mungkin dapat mencapai kehidupan yang kristiani yang seutuhnya. Panggilan Allah selalu merupakan panggilan yang ingin menjadikan kita berguna dalam misi dan pekerjaanNya. Kita menyadari diri kita sebagai orang Kristen, tetapi kita tidak menyadari panggilan, tujuan dan kegunaan hidup kita sebagai orang Kristen. Bukankah ini suatu ironi? Persoalan klasik ini analog dengan persoalan ini: Saya tahu saya manusia tapi saya tidak tahu tujuan hidup saya sebagai manusia. Dan yang lebih ironis adalah bukan kita tidak menyadari panggilan Tuhan, kita tidak mau menyadari panggilan Tuhan dalam hidup kita.

 

Ketiga, melakukan panggilan. Sering kali orang Kristen bukan menolak panggilan Tuhan dalam hidupnya, melainkan menghindari atau menunda panggilan Tuhan. Seperti Yeremia, kita bisa membuat berbagai alasan untuk menolak atau menghindari panggilan Tuhan. Misalnya dengan alasan: tidak mampu, belum layak, belum saatnya, belum memungkinkan, dll. Kalau kita menunggu sampai kita mampu, layak dan memungkinkan pasti kita tidak akan pernah berbuat untuk memenuhi panggilan Tuhan. Kita menghindar untuk menunda dan kita menunda untuk menghindar; akhirnya sebagai seorang Kristen kita tidak melakukan apapun dihadapanNya. Allah memanggil kita bukan karena kita mampu, layak dan berpotensi. la memanggil kita karena kehendakNya, yaitu supaya kita hidup menjalani dan melakukan panggilanNya. Seorang teolog bernama Karl Barth pernah mengatakan: "Tanpa Allah manusia mau, tetapi manusia tidak mampu. Tanpa manusia Allah mampu, tetapi Allah tidak mau." Dalam kenyataan Allah senantiasa memakai manusia dalam mewujudkan misi dan kehendak-Nya. Allah memanggil dan memakai kita manusia bukan karena tanpa kita Allah tidak berdaya, tetapi karena kehendak-Nya. Demikian juga Allah memanggil Yeremia bukan karena keharusan bagi Allah, tetapi karena kehendakNya. Di samping itu, rasa takut juga sering menjadi penghalang bagi kita untuk melakukan panggilan Tuhan. Ada berbagai rasa takut yang mungkin kita hadapi: Takut kecewa, takut gagal, takut tidak bisa, dll. Rasa takut yang menyelimuti perasaan dan pikiran Yeremia, membuatnya menghindari dari panggilan Tuhan atas dirinya. Tetapi Tuhan berkata: "Janganlah takut..." (Yer. 1:8). Sesungguhnya panggilan Allah merupakan dasar kita menjalani kehidupan kristiani. Sudahkah kita menyadari dan melakukannya? Maksim-maksim (prinsip) berikut ini mungkin berguna bagi kita: "To do is to be" (Sokrates). "To be is to do" (Immanuel Kant). "I am what I do" (M. Buber). "To be or not to be"(William Shakespeare). Namun kehidupan dengan semboyan laissez-faire (individualistis yang semau gue), "to be do be do" (F. Sinatra) pastilah kehidupan yang tidak memenuhi panggilan Tuhan. Sebagai orang Kristen kita harus meneladani Tuhan kita Yesus Kristus: "My food is to do the will of Him who sent Me and to accomplish His work." (Yoh. 4:34). (rsnh)

 

Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN

Renungan hari ini: “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH” (Daniel 3:3)

  Renungan hari ini:    “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH”   Daniel 3:3 (TB2) "Lalu berkumpullah para wakil raja, para penguasa, para bupa...