Minggu, 25 Maret 2018
Kotbah: Wahyu 19:6-10 Bacaan: Mazmur 99:1-5
Minggu ini kita memasuki Minggu Palmarum. Minggu Palmarum. Umat Kristiani menyambut
hari yang khusus ini sebagai hari yang penting, lima hari menjelang Hari Raya
Jumat Agung. Pada tahun ini Hari Raya Jumat Agung jatuh pada tanggal 31 Maret
2018. Dalam Minggu Palmarum, biasanya kita membawa daun palem ke Gereja. Daun
palem adalah lambang keadilan, kebaikan, dan kebijaksanaan sehingga tepatlah
jika mereka ingin memperoleh perkara-perkara itu pada diri Tuhan Yesus. Minggu
Palmarum tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan Hari Raya Jumat Agung.
Makna utama minggu Palmarum yaitu: Minggu penghayatan akan arti penderiataan,
juga dimaksud sebagai minggu pemuliaan bagi nama Tuhan Yesus. Dua hal yaitu
penderitaan dan kemuliaan seolah berlangsung menyatu. Maka makna dari minggu
palmarum berarti menyiapkan penderitaan Kristus, melalui pemuliaan terhadap pribadi
Tuhan Yesus.
Minggu ini kita akan membahas tema “Sembahlah Allah Raja Mahakuasa”. Kita
menyembah Yesus sebagai Allah Raja Mahakuasa yang datang ke dunia ini untuk
kali yang kedua. Gambaran kedatangan-Nya kali kedua itu oleh Yohanes
digambarkan sebagai mempelai Anak Domba Allah. Dalam penglihatannya di
Wahyu 19:6-10, Yohanes melihat dan mendengar suara himpunan besar orang banyak,
yang memuji Allah karena hari pernikahan Anak Domba telah tiba. Istilah ini
mungkin lebih mudah dipahami jika dikaitkan dengan tahap pernikahan di jaman
Yesus saat itu.
Adat pernikahan orang Yahudi saat itu terbagi ke dalam tiga bagian utama. Pertama, ikatan menikah yang disepakati oleh orangtua kedua mempelai. Orangtua dari mempelai pria, atau si mempelai pria itu sendiri, harus membayar mahar kepada mempelai perempuan atau orangtua mempelai perempuan. Proses ini sama dengan konsep pertunangan hari ini. Ketika Maria mengandung Yesus, Maria dan Yusuf sudah berada di tahapan pertama ini (Mat. 1:18; Luk. 2:5).
Tahap kedua, biasa berlangsung setahun setelahnya. Mempelai pria, ditemani oleh pendampingnya, datang ke rumah mempelai perempuan di tengah malam, diikuti iring-iringan pembawa obor di sepanjang jalan. Si mempelai perempuan akan bersiap-siap bersama pendampingnya. Kemudian, mereka dijemput untuk ikut bergabung dengan iring-iringan pembawa obor menuju rumah mempelai pria. Adat ini yang digambarkan oleh perumpamaan mengenai sepuluh wanita (Mat. 25:1-13).
Tahap ketiga, adalah pesta pernikahan itu sendiri, yang bisa berlangsung sampai
berhari-hari, seperti kisah pernikahan di Kanaan (Yoh. 2:1-2).
Penglihatan Yohanes di kitab Wahyu merupakan tahap ketiga dari pesta pernikahan menurut adat orang Yahudi saat itu. Berarti, dua tahap dari pernikahan dianggap sudah berlangsung. Tahap pertama digenapi di dunia ini ketika setiap orang sudah beriman-percaya kepada Kristus sebagai Juru Selamatnya. Mahar yang harus dibayarkan kepada orangtua mempelai (Allah Bapa) adalah darah Kristus sendiri mewakili mempelai perempuan. Gereja di bumi hari ini seolah-olah menjadi tunangan Kristus. Seperti halnya para perempuan di perumpamaan di Matius 25:1-13, semua orang-percaya harus dengan sabar dan setia menanti kedatangan Mempelai Pria (kedatangan Yesus untuk kedua kalinya).
Tahap kedua disimbolkan oleh peristiwa pengangkatan Gereja kelak, ketika Kristus datang menjemput mempelai perempuan-Nya untuk dibawa ke rumah Bapa-Nya. Perjamuan nikah Anak Domba akan menjadi tahap ketiga dan terakhir. Kita percaya kalau perjamuan nikah Anak Domba ini akan berlangsung di surga; terjadi antara tahap Pengangkatan orang-percaya dan tahap kedatangan Yesus untuk kedua kalinya ke dunia (ketika masa Tribulasi masih berlangsung).
Orang-orang yang menghadiri perjamuan nikah ini tidak hanya Gereja saja sebagai Mempelai Kristus, tetapi juga orang-orang kudus lainnya. Termasuk mereka yang berasal dari Perjanjian Lama – mereka yang memang belum dibangkitkan tubuhnya, tetapi jiwanya sudah bersama-sama dengan kita di surga. Seperti yang malaikat perintahkan supaya dituliskan oleh Yohanes, “Berbahagialah mereka yang diundang ke perjamuan nikah Anak Domba” (Why. 19:9). Perjamuan nikah Anak Domba adalah perayaan agung bagi mereka yang sudah hidup dalam anugerah Kristus!
Kerinduan
kita semua sebagai gereja-Nya adalah menjadi mempelai Kristus pada saat
Perjamuan Kawin Anak Domba nanti.
Dari perikop ini kita mau belajar beberpa
hal dalam rangka menyembah Allah Raja Yang Mahakuasa itu, yakni:
Pertama, kita harus siap menjadi pengantin (ay. 7). Kesiapan kita terlihat dari diri kita sendiri.
Adapun ciri-ciri Pengantin yang telah siap ialah:
1. Memiliki kedewasaan rohani. “Sampai kita
semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang anak
Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus”
(Ef. 4:13). Salah satu syarat dalam
pernikahan adalah orang yang dewasa,
bukan anak-anak. Bagaimana mungkin seorang anak kecil dapat melakukan
pernikahan? Karena itu sebagai umat Tuhan yang siap menjadi Mempelai-Nya, kita
harus semakin dewasa rohani. Bukan berdasarkan berapa lamanya kita menjadi
orang Kristen, tetapi seberapa tingkat iman percaya kita kepada Tuhan.
2. Mengasihi Yesus
lebih dari segalanya. “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih
daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya
laki-laki atau perempuan lebih daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat.
10:37). Hanya
pasangan yang saling mengasihi yang menjadi pasangan yang siap menikah. Jika
seseorang tidak mengasihi pasangannya, bagaimana ia bisa menikah. Atau jika
seseorang lebih mengasihi orang lain, bagaimana ia dapat menikah dengan
pasangannya, karena tidak ada orang yang mau diselingkuhi. Dan tanda-tanda
seorang yang siap menikah adalah bertambah mengasihi, setiap hari semakin dekat
hatinya dengan pasangannya. Apakah kita semakin bertambah mengasihi Yesus?
Apakah kita menanti-nantikan kedatangan-Nya?
Kedua, kita harus siap berpakaian lenan halus (ay. 8). Lenan
halus berbicara tentang kekudusan. Bagaimana cara supaya dapat mengenakan
kekudusan sebagai pakaian kita. Caranya ialah:
(a) Berusaha mengejar kekudusan. “Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan
kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan”
(Ibr. 12:14).
(b) Bertekad untuk hidup
kudus dengan kemauan untuk selalu hidup kudus. Kita harus mengejar
kekudusan itu. Apakah kita tetap hidup dalam kekudusan pada saat tidak ada
seorang pun melihat perbuatan kita? Apakah kita tetap hidup dalam kekudusan di
saat dunia menawarkan perbuatan yang tidak kudus? Apakah kekudusan itu sudah
menjadi gaya hidup kita?
(c) Hidup dalam kekudusan. “Hiduplah sebagai
anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu
kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama
seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah
kamu, sebab Aku kudus” (1Ptr. 1:14-16). Tidak cukup dalam tekad tapi kekudusan harus
dilakukan senantiasa dalam hidup kita. Kita harus menjauhi dosa. Kekudusan
mengandung pengertian terpisah dari cara-cara fasik dunia dan dipisahkan untuk
mengasihi, melayani dan menyembah Allah. Biarlah kekudusan bukan hanya menjadi
kerinduan kita saja, tetapi juga menjadi gaya hidup kita.
Apa yang mau kita renungkan dari teks Wahyu
19:6-10 ini?
Pertama, analogi sepasang mempelai pria dan wanita menggambarkan perjalanan
hubungan yang intim antara Yesus Kristus dengan umat yang dikasihi-Nya.
Relasi yang intim dengan Tuhan dapat dirasakan oleh setiap orang percaya sejak
Yesus menebus mereka di kayu salib. Ketika umat Tuhan menjalani komitmen
untuk bersatu dengan Yesus, maka mereka akan semakin mengasihi-Nya dan semakin
serupa dengan-Nya. Dan pada akhirnya, umat Tuhan menyadari bahwa tidak
ada satupun yang dapat memisahkan mereka dari kasih-Nya; entahkah hal tersebut
adalah kehilangan, kehancuran, badai, penganiayaan, bahkan kematian tidak dapat
memisahkan umat Tuhan dari kasih-Nya. Kasih Yesus menjadi sebuah fondasi
yang kokoh untuk setiap umat Tuhan tetap dapat mengandalkan-Nya. Namun, ketika
Allah menghampiri umat-Nya, maka hal tersebut murni semata-mata hanya karena
inisiatif dari Allah sendiri. Relasi Allah dengan umat-Nya adalah sebuah
inisiatif yang Allah mulai terlebih dahulu, sama seperti para tamu undangan
yang diundang oleh Sang Anak Domba, terpilih hanya karena Dia berkarunia.
Sehingga, relasi dengan Allah hanya didapat tatkala Allah sendiri yang
beranugerah.
Hal yang
paling penting tentang hubungan antara Tuhan dengan umat-Nya, dan bagaimana Dia
mengasihi umat-Nya, bukanlah “bagaimana caranya”, tetapi ketika orang percaya
menjadi milik kepunyaan-Nya. Seperti yang dikatakan dalam Yesaya 49:16
“Lihat, Aku telah melukiskan engkau di telapak tangan-Ku; tembok-tembokmu tetap
di ruang mata-Ku.” Setiap umat Tuhan adalah milik-Nya. Oleh karena itu,
orang Kristen masa kini perlu memiliki relasi yang intim dengan Tuhan.
Kedua, relasi yang intim pun harus disertai dengan
perbuatan-perbuatan untuk menunjukkan kecintaan pasangan satu dengan yang
lainnya. Sang Anak Domba telah memberikan nyawa-Nya untuk
menebus mempelai wanita-Nya sebagai bukti cinta kasih-Nya. Kini giliran
sang mempelai wanita, yaitu umat Tuhan, untuk mengenakan kasih-Nya dengan cara
melakukan perbuatan-perbuatan benar, perbuatan-perbuatan kasih, tindakan iman,
sukacita di dalam melayani dan bertahan terhadap penganiayaan.
Perbuatan-perbuatan tersebut antara lain adalah memperhatikan kebutuhan sesama
yang berkekurangan, memberi, memperjuangkan keadilan sosial, melayani Tuhan di
gereja, menginjili, dan masih banyak lagi.
Ketiga, namun perlu disadari adalah bahwa hubungan intim yang
terjalin dapat “terbunuh” karena si mempelai wanita dapat sewaktu-waktu tidak
setia kepada pasangannya. Kitab Hosea menggambarkan hal ini
dengan sangat baik. Hosea, sang nabi yang mengasihi Tuhan rela menikahi
seorang pelacur bernama Gomer. Ketika Hosea menikahi
Gomer, bolak-balik Hosea menebus Gomer karena dia tidak setia dan
kembali melakukan persundalan. Hubungan Hosea dan Gomer menjadi simbol
bagaimana Tuhan tetap mengasihi umat-Nya ketika umat-Nya tidak setia.
Seperti Gomer, umat Tuhan memiliki kecenderungan untuk berpaling dari Allah
kepada berhala-berhala lain.
Penyembahan
berhala diidentikan dengan orang-orang primitif yang menyembah patung, seperti
penyembahan lembu emas, Baal, atau Dagon. Kebanyakan dari umat percaya
masa kini tidak lagi dicobai dengan penyembahan berhala – menyembah patung –
seperti itu. Maka dari itu umat Tuhan tidak menyadari bahwa sebenarnya
mereka dicobai setiap hari untuk menjadi penyembah berhala karena bentuk penyembahan
yang berbeda. (rsnh)
Selamat
beribadah dan menikmati lawatan TUHAN