Jumat, 23 Maret 2018

KOTBAH MINGGU PALMARUM Minggu, 25 Maret 2018: Wahyu 19:6-10

Minggu, 25 Maret 2018

Kotbah: Wahyu 19:6-10  Bacaan: Mazmur 99:1-5


Minggu ini kita memasuki Minggu Palmarum. Minggu Palmarum. Umat Kristiani menyambut hari yang khusus ini sebagai hari yang penting, lima hari menjelang Hari Raya Jumat Agung. Pada tahun ini Hari Raya Jumat Agung jatuh pada tanggal 31 Maret 2018. Dalam Minggu Palmarum, biasanya kita membawa daun palem ke Gereja. Daun palem adalah lambang keadilan, kebaikan, dan kebijaksanaan sehingga tepatlah jika mereka ingin memperoleh perkara-perkara itu pada diri Tuhan Yesus. Minggu Palmarum tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan Hari Raya Jumat Agung. Makna utama minggu Palmarum yaitu: Minggu penghayatan akan arti penderiataan, juga dimaksud sebagai minggu pemuliaan bagi nama Tuhan Yesus. Dua hal yaitu penderitaan dan kemuliaan seolah berlangsung menyatu. Maka makna dari minggu palmarum berarti menyiapkan penderitaan Kristus, melalui pemuliaan terhadap pribadi Tuhan Yesus.

Minggu ini kita akan membahas tema “Sembahlah Allah Raja Mahakuasa”. Kita menyembah Yesus sebagai Allah Raja Mahakuasa yang datang ke dunia ini untuk kali yang kedua. Gambaran kedatangan-Nya kali kedua itu oleh Yohanes digambarkan sebagai mempelai Anak Domba Allah. Dalam penglihatannya di Wahyu 19:6-10, Yohanes melihat dan mendengar suara himpunan besar orang banyak, yang memuji Allah karena hari pernikahan Anak Domba telah tiba. Istilah ini mungkin lebih mudah dipahami jika dikaitkan dengan tahap pernikahan di jaman Yesus saat itu.

Adat pernikahan orang Yahudi saat itu terbagi ke dalam tiga bagian utama.
Pertama, ikatan menikah yang disepakati oleh orangtua kedua mempelai. Orangtua dari mempelai pria, atau si mempelai pria itu sendiri, harus membayar mahar kepada mempelai perempuan atau orangtua mempelai perempuan. Proses ini sama dengan konsep pertunangan hari ini. Ketika Maria mengandung Yesus, Maria dan Yusuf sudah berada di tahapan pertama ini (Mat. 1:18; Luk. 2:5).

Tahap kedua, biasa berlangsung setahun setelahnya. Mempelai pria, ditemani oleh pendampingnya, datang ke rumah mempelai perempuan di tengah malam, diikuti iring-iringan pembawa obor di sepanjang jalan. Si mempelai perempuan akan bersiap-siap bersama pendampingnya. Kemudian, mereka dijemput untuk ikut bergabung dengan iring-iringan pembawa obor menuju rumah mempelai pria. Adat ini yang digambarkan oleh perumpamaan mengenai sepuluh wanita (Mat. 25:1-13).

Tahap ketiga, adalah pesta pernikahan itu sendiri, yang bisa berlangsung sampai berhari-hari, seperti kisah pernikahan di Kanaan (Yoh. 2:1-2). 

Penglihatan Yohanes di kitab Wahyu merupakan tahap ketiga dari pesta pernikahan menurut adat orang Yahudi saat itu. Berarti, dua tahap dari pernikahan dianggap sudah berlangsung. Tahap pertama digenapi di dunia ini ketika setiap orang sudah beriman-percaya kepada Kristus sebagai Juru Selamatnya. Mahar yang harus dibayarkan kepada orangtua mempelai (Allah Bapa) adalah darah Kristus sendiri mewakili mempelai perempuan. Gereja di bumi hari ini seolah-olah menjadi tunangan Kristus. Seperti halnya para perempuan di perumpamaan di Matius 25:1-13, semua orang-percaya harus dengan sabar dan setia menanti kedatangan Mempelai Pria (kedatangan Yesus untuk kedua kalinya).

Tahap kedua disimbolkan oleh peristiwa pengangkatan Gereja kelak, ketika Kristus datang menjemput mempelai perempuan-Nya untuk dibawa ke rumah Bapa-Nya. Perjamuan nikah Anak Domba akan menjadi tahap ketiga dan terakhir. Kita percaya kalau perjamuan nikah Anak Domba ini akan berlangsung di surga; terjadi antara tahap Pengangkatan orang-percaya dan tahap kedatangan Yesus untuk kedua kalinya ke dunia (ketika masa Tribulasi masih berlangsung).

Orang-orang yang menghadiri perjamuan nikah ini tidak hanya Gereja saja sebagai Mempelai Kristus, tetapi juga orang-orang kudus lainnya. Termasuk mereka yang berasal dari Perjanjian Lama – mereka yang memang belum dibangkitkan tubuhnya, tetapi jiwanya sudah bersama-sama dengan kita di surga. Seperti yang malaikat perintahkan supaya dituliskan oleh Yohanes, “Berbahagialah mereka yang diundang ke perjamuan nikah Anak Domba” (Why. 19:9). Perjamuan nikah Anak Domba adalah perayaan agung bagi mereka yang sudah hidup dalam anugerah Kristus! 

Kerinduan kita semua sebagai gereja-Nya adalah menjadi mempelai Kristus pada saat Perjamuan Kawin Anak Domba nanti.

Dari perikop ini kita mau belajar beberpa hal dalam rangka menyembah Allah Raja Yang Mahakuasa itu, yakni:

Pertama, kita harus siap menjadi pengantin (ay. 7).  Kesiapan kita terlihat dari diri kita sendiri. Adapun ciri-ciri Pengantin yang telah siap ialah:
1.   Memiliki kedewasaan rohani. “Sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (Ef. 4:13). Salah satu syarat dalam pernikahan adalah orang yang dewasa, bukan anak-anak. Bagaimana mungkin seorang anak kecil dapat melakukan pernikahan? Karena itu sebagai umat Tuhan yang siap menjadi Mempelai-Nya, kita harus semakin dewasa rohani. Bukan berdasarkan berapa lamanya kita menjadi orang Kristen, tetapi seberapa tingkat iman percaya kita kepada Tuhan.
2.   Mengasihi Yesus lebih dari segalanya. “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat. 10:37). Hanya pasangan yang saling mengasihi yang menjadi pasangan yang siap menikah. Jika seseorang tidak mengasihi pasangannya, bagaimana ia bisa menikah. Atau jika seseorang lebih mengasihi orang lain, bagaimana ia dapat menikah dengan pasangannya, karena tidak ada orang yang mau diselingkuhi. Dan tanda-tanda seorang yang siap menikah adalah bertambah mengasihi, setiap hari semakin dekat hatinya dengan pasangannya. Apakah kita semakin bertambah mengasihi Yesus? Apakah kita menanti-nantikan kedatangan-Nya?

Kedua, kita harus siap berpakaian lenan halus (ay. 8). Lenan halus berbicara tentang kekudusan. Bagaimana cara supaya dapat mengenakan kekudusan sebagai pakaian kita. Caranya ialah:
(a) Berusaha mengejar kekudusan. “Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan” (Ibr. 12:14).
(b) Bertekad untuk hidup kudus dengan kemauan untuk selalu hidup kudus. Kita harus mengejar kekudusan itu. Apakah kita tetap hidup dalam kekudusan pada saat tidak ada seorang pun melihat perbuatan kita? Apakah kita tetap hidup dalam kekudusan di saat dunia menawarkan perbuatan yang tidak kudus? Apakah kekudusan itu sudah menjadi gaya hidup kita?
(c) Hidup dalam kekudusan. “Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus” (1Ptr. 1:14-16). Tidak cukup dalam tekad tapi kekudusan harus dilakukan senantiasa dalam hidup kita. Kita harus menjauhi dosa. Kekudusan mengandung pengertian terpisah dari cara-cara fasik dunia dan dipisahkan untuk mengasihi, melayani dan menyembah Allah. Biarlah kekudusan bukan hanya menjadi kerinduan kita saja, tetapi juga menjadi gaya hidup kita.

Apa yang mau kita renungkan dari teks Wahyu 19:6-10 ini?

Pertama, analogi sepasang mempelai pria dan wanita menggambarkan perjalanan hubungan yang intim antara Yesus Kristus dengan umat yang dikasihi-Nya.  Relasi yang intim dengan Tuhan dapat dirasakan oleh setiap orang percaya sejak Yesus menebus mereka di kayu salib.  Ketika umat Tuhan menjalani komitmen untuk bersatu dengan Yesus, maka mereka akan semakin mengasihi-Nya dan semakin serupa dengan-Nya.  Dan pada akhirnya, umat Tuhan menyadari bahwa tidak ada satupun yang dapat memisahkan mereka dari kasih-Nya; entahkah hal tersebut adalah kehilangan, kehancuran, badai, penganiayaan, bahkan kematian tidak dapat memisahkan umat Tuhan dari kasih-Nya.  Kasih Yesus menjadi sebuah fondasi yang kokoh untuk setiap umat Tuhan tetap dapat mengandalkan-Nya. Namun, ketika Allah menghampiri umat-Nya, maka hal tersebut murni semata-mata hanya karena inisiatif dari Allah sendiri.  Relasi Allah dengan umat-Nya adalah sebuah inisiatif yang Allah mulai terlebih dahulu, sama seperti para tamu undangan yang diundang oleh Sang Anak Domba, terpilih hanya karena Dia berkarunia.  Sehingga, relasi dengan Allah hanya didapat tatkala Allah sendiri yang beranugerah.

Hal yang paling penting tentang hubungan antara Tuhan dengan umat-Nya, dan bagaimana Dia mengasihi umat-Nya, bukanlah “bagaimana caranya”, tetapi ketika orang percaya menjadi milik kepunyaan-Nya.  Seperti yang dikatakan dalam Yesaya 49:16 “Lihat, Aku telah melukiskan engkau di telapak tangan-Ku; tembok-tembokmu tetap di ruang mata-Ku.”  Setiap umat Tuhan adalah milik-Nya. Oleh karena itu, orang Kristen masa kini perlu memiliki relasi yang intim dengan Tuhan.

Kedua, relasi yang intim pun harus disertai dengan perbuatan-perbuatan untuk menunjukkan kecintaan pasangan satu dengan yang lainnya.  Sang Anak Domba telah memberikan nyawa-Nya untuk menebus mempelai wanita-Nya sebagai bukti cinta kasih-Nya.  Kini giliran sang mempelai wanita, yaitu umat Tuhan, untuk mengenakan kasih-Nya dengan cara melakukan perbuatan-perbuatan benar, perbuatan-perbuatan kasih, tindakan iman, sukacita di dalam melayani dan bertahan terhadap penganiayaan. Perbuatan-perbuatan tersebut antara lain adalah memperhatikan kebutuhan sesama yang berkekurangan, memberi, memperjuangkan keadilan sosial, melayani Tuhan di gereja, menginjili, dan masih banyak lagi.

Ketiga, namun perlu disadari adalah bahwa hubungan intim yang terjalin dapat “terbunuh” karena si mempelai wanita dapat sewaktu-waktu tidak setia kepada pasangannya.  Kitab Hosea menggambarkan hal ini dengan sangat baik.  Hosea, sang nabi yang mengasihi Tuhan rela menikahi seorang pelacur bernama Gomer.  Ketika Hosea menikahi Gomer, bolak-balik Hosea menebus Gomer karena dia tidak setia dan kembali melakukan persundalan.  Hubungan Hosea dan Gomer menjadi simbol bagaimana Tuhan tetap mengasihi umat-Nya ketika umat-Nya tidak setia.  Seperti Gomer, umat Tuhan memiliki kecenderungan untuk berpaling dari Allah kepada berhala-berhala lain.

Penyembahan berhala diidentikan dengan orang-orang primitif yang menyembah patung, seperti penyembahan lembu emas, Baal, atau Dagon.  Kebanyakan dari umat percaya masa kini tidak lagi dicobai dengan penyembahan berhala – menyembah patung – seperti itu.  Maka dari itu umat Tuhan tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka dicobai setiap hari untuk menjadi penyembah berhala karena bentuk penyembahan yang berbeda. (rsnh)


Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN

Renungan hari ini: PERGI KE RUMAH TUHAN

Renungan hari ini:

PERGI KE RUMAH TUHAN


Mazmur 122:1 (TB) Nyanyian ziarah Daud. Aku bersukacita, ketika dikatakan orang kepadaku: "Mari kita pergi ke rumah TUHAN"

Psalms 122:1 (NRSV) I was glad when they said to me, "Let us go to the house of the LORD!”

Pergi ke rumah TUHAN adalah kewajiban setiap orang percaya. Mengapa? Karena di sana kita bertemu dengan TUHAN yang akan memberikan segala berkat yang kita butuhkan. Di sana kita akan berjumpa dengan semua orang percaya dan akan saling mendukung dan mendoakan satu sama lainnya. Perasaan apa yang muncul di hati kita saat kita pergi ke rumah TUHAN? Seringkali “sukacita”  bukanlah jawaban yang ada di hati kita bukan? Bagi orang-orang yang aktif terlibat dalam pelayanan mungkin yang terbayang adalah keletihan yang akan dihadapi sepanjang hari Minggu. Sebagian orang mungkin merasa tidak enak, ada yang mengganjal kalau belum ke gereja. Ada pula yang merasa berbeban berat karena harus bertemu Ibu A atau Bapak B. Ada pula yang merasa biasa-biasa saja karena ke gereja adalah bagian dari agenda rutin mingguan.

Daud mengungkapkan betapa bersukacita dan bergairahnya dia ketika orang mengajak dia pergi ke rumah Tuhan. Mazmur ini banyak berbicara tentang Yerusalem. Yerusalem menjadi sumber  sukacita dan gairah Daud bukan karena kota itu sendiri, melainkan karena adanya Bait Allah di situ. Dalam konteks kita, kita bisa meletakkan gereja dalam pandangan yang sama seperti Daud memandang Yerusalem.

Apa perasaan kita waktu melangkahkan kaki ke gereja? Kita bisa mendengar gaung kerinduan hati Daud untuk melangkahkan kakinya ke Yerusalem. Di sana ia akan bertemu dengan saudara dan teman, orang-orang  yang mencintai Tuhan. Di sana juga ada Rumah Tuhan. Di gereja kita bersekutu dengan sesama anak Tuhan, saudara seiman. Kita disegarkan kembali oleh perjumpaan dengan Allah.

Waktu melangkahkan kaki ke gereja, apa perasaan kita? Adakah kita memiliki sukacita dan gairah seperti yang Daud miliki? Jika sukacita dan gairah itu telah pudar dimakan waktu, dimakan kesibukan kita di gereja, dimakan oleh  keletihan pelayanan kita, inilah saatnya kita berhenti dan berdoa, meminta Tuhan memulihkan kembali sukacita dan  gairah untuk datang ke rumah Tuhan: bersekutu dengan saudara seiman dan memuji Allah.

Daud adalah pribadi yang sangat dekat dengan Tuhan. Syair dan lagu yang dia ciptakan dalam Kitab Mazmur merupakan ungkapan kerinduan hatinya kepada Tuhan. Daud amat bersukacita bila ada orang yang mengajaknya pergi ke rumah Tuhan. Mengapa? Sebab dia bersyukur bukan hanya dia saja yang mengasihi rumah Tuhan tetapi juga jemaat.

Mari kita renungkan beberapa alasan atau motivasi dalam ibadah.

Pertama, apakah kita beribadah karena terpaksa? Terpaksa karena dijemput, atau diajak. Terpaksa sebab kalau tidak datang besoknya pasti difollow up. Ibadah yang terpaksa tidak akan menjadi berkat, tetapi justru menjadi beban sehingga tidak mengalami sukacita.

Kedua, apakah kita beribadah karena rutinitas? Rutinitas dalam ibadah seringkali menciptakan kebosanan dan rasa hambar. Apakah hanya kebiasaan saja kita beribadah, kalau hari Minggu ke gereja? Ibadah yang hanya rutinitas akan membuat Kekristenan agamawi, tidak ada dinamika dan sukacita dalam hati kita.

Ketiga, apakah kita beribadah karena kerinduan kepada Tuhan? Sebuah kerinduan datang dari hati, tanpa dorongan atau paksaan dari orang lain. Datang ibadah dengan kerinduan menyenangkan hati Tuhan, bersekutu dengan-Nya dan mendengar suara-Nya. Ibadah yang didasari oleh kerinduan akan menjadi berkat dan mendatangkan sukacita dalam kehidupan kita.

Setiap kita datang ke rumah TUHAN kita harus memiliki sikap yang baik dan benar, yakni:

Pertama, kita harus memiliki sukacita. Sukacita adalah salah satu tanda kalau kita cinta sama rumah Tuhan. Saat kita cinta, kita akan mengalami sesuatu yang menggembirakan. Tidak perlu dipaksakan dan dibuat-buat, semangat dan sukacita tersebut akan terpancar sendiri dari dalam ke luar.

Kedua, kita harus memiliki hari yang sukarela. Kita yang mengaku cinta rumah TUHAN pasti tidak perlu diminta dua kali untuk mau menjadi volunteer (alias tidak dibayar, alias sukarela) untuk gereja-Nya.

Ketiga, kita harus memberikan yang terbaik. Tanpa harus dipaksa ataupun diminta, kita akan memberikan yang terbaik yang dapat kita berikan. Bukan supaya dipuji orang lain, atau dikagumi orang banyak. Tetapi semata-mata karena kita tidak rela Gereja Tuhan mendapat perlakuan yang bukan the best!

Keempat, kita menjadi tuan rumah, bukan tamu. Ini salah satu tanda paling mudah dilihat. Kita akan menjadi tuan rumah (host) kepada saudara-saudara kita, misalnya dengan melayani tanpa diminta, karena kita merasa memiliki dan menjadi bagian dari "rumah" Tuhan.   Tamu datang untuk dilayani, tetapi tuan rumah akan melayani tamu-tamunya.

Itulah beberapa tanda kalau kita menyayangi gereja kita. Apakah kamu memancarkan tanda-tanda tersebut? Karena itu, marilah kita pergi ke rumah TUHAN dengan sukacita agar kita memperoleh berkat-Nya yang berkelimpahan. (rsnh)


Selamat berkahir pekan dan besok ke Gereja

Renungan hari ini: “BELAJAR MENGENAL KRISTUS" (Efesus 4:20)

  Renungan hari ini:   “BELAJAR MENGENAL KRISTUS"   Efesus 4:20 (TB2) "Tetapi, bukan dengan demikian kamu belajar mengenal Kristus...