Sabtu, 28 Januari 2023

KOTBAH MINGGU EPIPHANIAS IV Minggu, 29 Januari 2023 “ALLAH SUMBER HIKMAT DAN KEKUATAN” (Ayub 12:13-15)

 KOTBAH MINGGU EPIPHANIAS IV

Minggu, 29 Januari 2023

 

“ALLAH SUMBER HIKMAT DAN KEKUATAN”

Kotbah: Ayub 12:13-15  Bacaan: 1 Korintus 1:26-31


 

Dalam Minggu ini kita memasuki Minggu Epipahnias IV. Tema kotbah yang akan kita renungkan “ALLAH Sumber Hikmat dan Kekuatan”. Istilah hikmat berasal dari kata “hakkam” yang berarti arif. Dari kata“hakkam” itu kita beroleh kata hakim. Bahwa hakim tidak selalu“hakkam”, itulah ironinya, karena itulah ketika Tuhan Allah bertanya kepada Salomo apa yang mau dimintanya, maka yang diminta Salomo adalah “hikmat” (1 Raj. 3:4-14). Ilmu membuat pintar. Maka ilmu dituntut dan dipelajari. Hikmat berisikan kearifan. Maka hikmat tidak dituntut, tapi diminta dari Allah. Sebab hanya Allah yang punya pengertian dan pertimbangan serta kekuatan melebihi semua kemampuan yang ada pada manusia. hikmat, harus diminta dari Tuhan, sebab hanya Tuhan yang menjadi sumber hikmat. Karena itu orang yang mau berhikmat, harus punya kedekatan dengan Tuhan.

 

Dalam perikope kotbah Minggu ini kita akan mempelajari bahwa ALLAH-lah sumber hikmat dan kekuatan itu. Penulis kitab Ayub menarasikan bahwa hikmat itu bisa juga diperoleh dari penderitaan yang kita alami. Dalam penderitaan terkandung banyak hikmat atau pelajaran hidup. Ketika Ayub diizinkan mengalami penderitaan yang luar biasa, semua harta dan anak-anaknya hilang, sakit-penyakit memenuhi seluruh kulitnya, ia duduk dalam abu, mengenakan kain kabung dan merendahkan diri. Sekalipun penderitaannya sangat luar biasa, namun ia menemukan banyak pelajaran hidup yang sangat berharga. Penderitaan yang dialami Ayub membuatnya mengakui kekuasaan dan hikmat Allah.

 

Ada beberapa pelajaran yang kita akan temukan dalam perikope ini bagaimana Allah menjadi sumber hikmat dan kekuatan di tengah-tengah hidup yang menderita.

 

Pertama, hikmat dan kekuatan manusia tidak ada artinya dibanding hikmat dan kekuatan Allah.
Banyak manusia menyombongkan diri dengan kekayaan, kepandaian dan kedudukannya. Pada hal semua itu tidak ada artinya. Dengan sekali sentuhan Allah, semua itu bisa hilang dalam waktu sekejab. Artinya, manusia tidak memiliki kekuatan yang luar bisa, tetapi hanya kekuatan yang biasa dan terbatas.

 

Kedua, kikmat Allah tidak terbatas adanya. Hikmat manusia dibatasi oleh pikirannya. Berapa besar otak manusia? Tidak ada yang lebih besar dari ukuran kepalanya. Manusia yang sombong mencoba memahami Tuhan dengan otaknya yang kecil. Akan tetapi hikmat Allah tidak terbatas, alam semesta ini tidak dapat membatasi panjang, dalam dan lebar dari hikmat Allah. 

 

Ketiga, dalam masalah atau penderitaan terkandung banyak hikmat. Belajar dari kesulitan, kegagalan dan penderitaan adalah baik. Kita bisa mendapat banyak hikmat di dalamnya. Kita bisa belajar betapa lemahnya dan terbatasnya kekuatan manusia yang terdiri dari darah dan daging ini. Rentan dengan segala celaka dan penyakit. Sebaliknya kekuatan dan hikmat Tuhan yang akan melindungi kita dari segalanya.

 

Pertanyaan kita sekarang adalah apakah hikmat Allah itu dan apa bedanya dengan pengetahuan? Hikmat terkait erat dengan pengetahuan, namun hikmat harus dibedakan dari pengetahuan. Dalam bahasa Yunani, pengetahuan adalah gnosis dan hikmat adalah sophia. Filsafat, philosohia, pada dasarnya adalah mencintai hikmat. Dalam bahasa Latin, hikmat sapientia dibedakan dari pengetahuan scientia. Scientia adalah pengetahuan akan satu obyek, sedangkan sapiential melibatkan bukan saja pengetahuan tetapi juga tindakan yang sepadan dengan pengetahuan itu. Manusia disebut homo sapiens, makhluk yang berhikmat. Ia bukan saja memiliki pengetahuan, tetapi mampu menerapkan pengetahuannya menjadi solusi bagi masalah yang dihadapi dalam hidupnya. Misalnya, ia bukan saja memiliki pengetahuan tentang api, tetapi mampu menggunakan api untuk memasak, menghangatkan diri, dsb. Dengan demikian hikmat secara sederhana dapat diartikan sebagai ketrampilan dalam menerapkan pengetahuan untuk hidup yang baik dan benar. Namun pengajaran Alkitab tentang hikmat melebihi konsep ini. Di bawah ini kita akan melihat beberapa hal tentang hikmat menurut pengajaran Firman Allah.

 

Mengapa kita harus mencari dan meminta hikmat dan kekuatan Allah? Ada beberapa alasan, yakni: 

 

Pertama, karena Kitab Suci menekankan perlunya orang-orang percaya mencari hikmat. Penulis Amsal dengan lugas berkata: “Perolehlah hikmat, perolehlah pengertian” (Ams. 4:5). Mereka yang kekurangan hikmat, hendaklah memintakannya kepada Allah (Yak. 1:5). Bahkan Yesus Kristus pun bertumbuh dalam hikmat-Nya (Luk. 2:52) dan Ia mengajar orang banyak dengan penuh hikmat (Mrk. 6:2). Contoh klasik pencarian hikmat dapat dilihat dalam cerita Salomo. Saat Allah menjanjikan untuk mengabulkan apapun yang dimintanya, Salomo tidak meminta harta, umur panjang, maupun kemenangan atas musuh. Ia, sebaliknya, meminta hikmat, yakni “hati yang faham menimbang perkara,” untuk dapat “membedakan yang baik dan yang jahat,” sehingga mampu untuk memimpin bangsa Israel. Allah berkenan kepada permintaan Salomo, dan memberikannya hikmat sehingga ia menjadi orang yang paling bijak di Timur (1 Raj. 3:5-12; 4:29-30). 

 

Kedua, agar kita bisa membedakan antara hikmat yang bersumber dari Allah atau manusia. Kitab Suci membedakan dua macam hikmat, yakni: hikmat duniawi dan surgawi (Yak. 3:13-18). Hikmat duniawi memiliki 3 ciri seperti: “dari dunia, dari nafsu manusia, dan setan-setan.” Dunia, nafsu manusia, dan setan tidak bisa menjadi sumber hikmat, karena semua hikmat berasal dari Allah. Maka dalam Yakobus 3:15 hikmat duniawi artinya hikmat yang telah tercemar oleh dunia, oleh nafsu manusia, dan oleh setan. Hikmat duniawi terbatas. Ia hanya berguna untuk memahami kehidupan dalam dunia ini. Hikmat duniawi tidak mampu menembus ke dalam rahasia-rahasia Kerajaan Allah. Dengan hikmat duniawi manusia berdosa tidak mampu memahami rahasia penyelamatan Allah melalui jalan salib, oleh sebab itu mereka memandang pemberitaan salib sebagai kebodohan (1 Kor. 1:21, 23, 27). Namun apa yang dianggap bodoh oleh dunia ternyata jauh lebih berhikmat (1 Kor. 1:25). Oleh sebab itu hikmat duniawi adalah kebodohan bagi Allah (1 Kor. 3:19). Untuk memahami rahasia Kerajaan Allah yang berguna untuk hidup benar di dunia hari ini dan di dunia yang akan datang manusia perlu hikmat surgawi. Sementara hikmat surgawi adalah murni, damai, ramah, penurut, penuh belas kasihan, dan buah-buah yang baik (Yak. 3:17). Hikmat duniawi berdasarkan kekuatan akal budi manusia, sedangkan hikmat surgawi berdasarkan iluminasi Roh Kudus melalui Firman-Nya. Tanpa terang Roh Kudus sedalam apapun hikmat yang dimiliki oleh manusia, mereka tidak akan mampu menembus rahasia hidup kekal dalam Yesus Kristus. Hikmat duniawi, yang tidak tunduk kepada Firman Allah sebagai satu-satunya kebenaran, adalah kebodohan di hadapan Allah (1 Kor. 3:19). 

 

Bagaimana carakita untuk mendapatkan hikmat dari Allah ini? Ada beberapa cara yang harus kita lakukan: 

 

Pertama, manusia berdosa harus datang kepada Kristus, Ia adalah Hikmat Allah yang sejati (1 Kor. 1:24).Mazmur dan Amsal berkata permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan (Mzm. 110:10; Ams. 9:10). Sebagaimana mata yang buta tidak akan bisa melihat pelangi yang indah dan telinga yang tuli tidak akan mampu mendengar musik yang merdu, maka hanya mereka yang dicerahkan oleh Hikmat Allah yang sejati akan mampu memahami hikmat surgawi. 

 

Kedua, manusia berdosa harus mengakui kebodohan diri sendiri. Halangan utama dalam mendapatkan hikmat surgawi adalah keangkuhan dari hikmat duniawi. Saat kita merasa telah berhikmat, maka kita akan kehilangan hikmat yang lebih tinggi dan yang lebih dalam. Maka Paulus berkata: “Jika ada di antara kamu yang menyangka dirinya berhikmat menurut dunia ini, biarlah ia menjadi bodoh, supaya ia berhikmat” (1 Kor. 3:18). 

 

Ketiga, orang-orang percaya harus berdoa memohon agar Roh Kudus mencerahkan mata rohani mereka sehingga mereka memperoleh hikmat surgawi (Yak. 1:5). Sesuai dengan janji-Nya, Ia akan memberikan mereka hikmat dengan kemurahan sebagaimana Ia telah memberikannya kepada Salomo yang meminta kepada-Nya.

 

RENUNGAN

 

Apa yang perlu kita renungkan dalam Minggu Epiphanias IV ini? 

 

Pertama, sebagai manusia beriman kita sangat membutuhkan hikmat Allah untuk mengatasi semua pergumulan hidup kita. Manusia di ciptakan Tuhan dilengkapi dengan hikmat pengetahuan. Sebagai manusia yang berbeda dari ciptaan Tuhan yang lainnya, manusia dapat mengarahkan hidupnya untuk dapat mengenal mana yang baik untuk dirinya. Itu sebabnya di ayat 11 dikatakan “telinga menguji kata-kata, langit-langit mengecap makanan”. Sebab dari dalam diri kita yang diciptakan oleh Tuhan telah di tanamkan hikmat untuk dapat menentukan yang terbaik bagi diri kita. 

 

Kedua, kita membutuhkan hikmat di luar dirikita sendiri. Mengandalkan hikmat yang ada dalam diri saja tidak cukup. Karena hikmat manusia itu terbatas, sehingga kita harus berhati-hati dalam menggunakan hikmat yang ada dalam diri kita jangan sampai kita menjadi orang yang tinggi hati. Kita membutuhkan hikmat dari luar dirikita sendiri. Supaya kita memiliki pengetahuan yang lebih dalam tentang kehidupan ini, maka kita memerlukan hikmat yang berasal dari luar diri kita. Contohnya: guru pengajar di sekolah; buku yang di terbitkan oleh ilmuwan; nasehat dari yang di tuakan; dan juga pikiran dan masukan orang lain. Itu sebabnya di ayat 12 dikatakan: “hikmat ada pada orang yang tua, pengertian pada orang yang lanjut umurnya”. Sebab kita bisa belajar dari orang yang sudah terlebih dahulu mengetahui tentang kehidupan ini, dari mereka yang sudah terlebih dahulu belajar dan mengalami tentang apa yang terjadi dalam kehidupan. Namun ternyata kita tidak bisa hanya mengandalkan hikmat dunia ini. Sebab kita bisa saja di lenyapkan oleh hikmat dunia ini, sebab banyak hal dalam kehidupan ini yang tidak dapat di capai oleh nalar dan pengetahuan manusia. Hal ini bisa kita lihat dari kejadian yang di alami oleh Ayub, seharusnya sahabat-sahabatnya itu memberikan semangat supaya Ayub kuat menghadapi pergumulannya, namun yang terjadi justru sahabatnya itu menghakimi Ayub. Dari sini dapat kita lihat bahwa jika hanya mengandalkan pikiran manusia kita bisa saja tersesat. 

 

Ketiga, kita harus lebih mengutamakan hikmat Allah daripada hikmat manusia dan dunia. Untungnya Ayub memiliki iman yang besar kepada Tuhan, dia sudah terlebih dahulu berdoa dan menyerahkan hidupnya pada Tuhan, sehingga dia tidak di sesatkan oleh para sahabatnya. Dalam ayat 13 dikatakan “Tetapi pada Allahlah hikmat dan kekuatan, Dialah yang mempunyai pertimbangan dan pengertuan”. Yesus Kristus yang datang ke dunia adalah hikmat yang datang dari sorga. Kabar baik yang dibawa oleh Yesus adalah hikmat bagi kita untuk mengenal dan memahami dan juga mengetahui jalan kebenaran tentang kehidupan ini. Dengan hikmat Allah dalam diri kita, maka kita dapat memahami yang tidak dapat di pahami oleh dunia ini, segala sesuatu menjadi mungkin walaupun dunia ini menganggap itu ada sesuatu yang mustahil. Kotbah Minggu ini menasihatkan kepada kita untuk tidak bergantung pada hikmat manusia, melainkan kita harus bergantung kepada hikmat dan kekuatan Allah. Karena itu, teruslah berusaha mencari dan memohon hikmat dari Allah agar kita mampu menghadapi dan menyelesaikan sega persoalan dan pergumulan hidup kita. (rsnh)

 

Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN

Renungan hari ini: “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH” (Daniel 3:3)

  Renungan hari ini:    “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH”   Daniel 3:3 (TB2) "Lalu berkumpullah para wakil raja, para penguasa, para bupa...