KOTBAH MINGGU XXII SETELAH TRINITATIS
Minggu, 08 Nopember 2020
“TANGUNGG JAWAB ORANG KRISTEN DALAM POLITIK”
Kotbah: 1 Timotius 2:1-7 Bacaan: Daniel 6:1-15
Minggu ini kita akan memasuki Minggu Keduapuluh dua Setelah Trinitatis. Dalam Minggu ini kita akan membahas tema “Tanggung jawab Orang Kristen dalam Politik”. Sebagai warga negara yang baik, kita haruslah punya tanggung jawab kepada politik. Kata politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang berarti kota yang berstatus negara (city state).Aristoteles dan Plato menganggap politik adalah suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik yang terbaik. Pada waktu itu Aristoteles menyebut politik dengan zoon politikon yang kemudian terus berkembang menjadi polites (warga negara), politeia (hal-hal yang berhubungan dengan negara), politika (pemerintahan negara), lalu terakhir menjadi politikos (kewarganegaraan).
Dengan demikian dapat disimpulkan pengertian politik adalah segala urusan yang menyangkut negara atau pemerintahan melalui suatu sistem politik yang menyangkut penentuan tujuan dari sistem tersebut dan cara mencapai tujuan tersebut.
Perikope Minggu ini kita diarahkan agar sebagai warga jemaat yang baik sekaligus sebagai warga negara (politiikos) yang baik kita harus punya tanggung jawab yang baik dalam menjaga kota (polis) kita. Apakah tanggung jawab kita dalam berpolitik di Negara kita ini?
Pertama, kita harus berdoa bagi bangsa kita. Perhatikan kata “Pertama-tama”. Kata “pertama-tama” tidak berhubungan dengan ke-pertama-an tentang waktu tetapi ke-pertama-an tentang kepentingan. Ini menunjukkan bahwa apa yang akan dibicarakan dalam ayat ini merupakan sesuatu yang dianggap sangat penting oleh Paulus. “Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur”. Penekanan dari kata ini adalah adanya kebutuhan dari pihak kita, yang menyebabkan kita lalu memohon kepada Allah. Gagasan yang dasari adalah perasaan/kesadaran akan kebutuhan kita. Tak seorangpun akan membuat permohonan kecuali suatu perasaan/ kesadaran akan kebutuhan telah membangunkan suatu keinginan. Doa dimulai dengan suatu perasaan atau kesadaran akan kebutuhan. Doa dimulai dengan suatu keyakinan bahwa kita tidak bisa menghadapi hidup kita sendiri. Perasaan atau kesadaran akan kelemahan manusia merupakan dasar dari semua pendekatan kepada Allah.
Timbul pertanyaan kita sekarang, untuk siapakah kita berdoa?
a. Untuk semua orang. Dalam kehidupan doa kita, kita harus berdoa untuk semua orang. Kita tidak boleh membatasi doa kita hanya pada diri kita sendiri, atau pada keluarga dan teman. Ini menentang doktrin Limited Atonement (= Penebusan Terbatas). Doa harus dinaikkan untuk semua orang - karena semua membutuhkan kasih karunia dan belas kasihan dari Allah; pengucapan syukur harus diberikan untuk semua, karena semua bisa diselamatkan. Tidakkah pengarahan ini secara tak langsung menunjukkan bahwa Kristus mati untuk seluruh umat manusia? Bagaimana kita bisa bersyukur demi kepentingan mereka jika tidak ada belas kasihan untuk mereka, dan tak ada jalan yang telah disediakan dengan mana mereka dapat diselamatkan? ... karena Kristus telah mati untuk semua, ada dasar yang cukup untuk pengucapan syukur dan pujian demi kepentingan seluruh umat manusia
b. Untuk raja-raja dan untuk semua pembesar. Perintah untuk berdoa bagi negara dan pemerintah juga ada dalam Perjanjian Lama. “… supaya mereka selalu mempersembahkan korban yang menyenangkan kepada Allah semesta langit dan mendoakan raja serta anak-anaknya” (Ezr. 6:10). “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yer. 29:7).Kalau kota ke mana orang-orang Yahudi itu dibuang saja harus didoakan, lebih-lebih negara kita sendiri, di mana kita hidup. Mengapa kita diperintah secara khusus untuk mendoakan pemerintah dan penguasa? Alasannya adalah, bahwa begitu banyak kehidupan kita tergantung pada karakter dan rencana mereka; bahwa keamanan hidup, kebebasan, dan milik, begitu tergantung kepada mereka. ... Keselamatan dari seorang raja, dalam dirinya sendiri, tidak lebih penting dari keselamatan seorang petani atau budak; tetapi kesejahteraan dari ribuan orang tergantung kepada pemerintah, dan karena itu pemerintah harus dijadikan pokok doa yang khusus.
Jadilah Jemaat yang rajin berdoa! Rajin berdoa tidak dimaksudkan untuk diri sendiri saja. Kita harus menjadi pendoa syafaat bagi orang lain juga. Mengapa kita harus menjadi pendoa syafaat bagi orang lain juga? Karena keselamatan Allah dimaksudkan untuk semua orang. Doa kita harus disertai juga dengan syukur, karena meski belum dikabulkan kita yakin bahwa Tuhan mendengar dan akan memberikan apa yang baik kepada anak-anak-Nya.
Kedua, kita harus mampu hidup dalam ketegangan. Sebagai warga jemaat dan warga negara yang baik kita harus mampu hidup dalam ketegarangan. Apa maksudnya ketegangan? Paulus memberi nasihat yang khusus pada saat itu. Karena itu Paulus kemudian memberi dasar yang lebih umum. Dan dasar yang lebih umum itu ada pada ayat 3-6. Kenapa sih kita harus mendoakan pejabat dan raja yang mungkin korup, mungkin kejam, mungkin menindas orang Kristen? Karena prinsipnya di ayat 3-6,
3 Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juru Selamat kita, 4 yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran. 5 Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, 6 yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia: itu kesaksian pada waktu yang ditentukan.
Jadi kenapa harus mendoakan orang-orang yang mungkin menekan kita? Karena Allah ingin semua diselamatkan.Pegang prinsip itu, karena berlaku di mana-mana. Dan Allah yang kita percayai itu adalah Allah yang punya hasrat menyelamatkan semua, tanpa kita harus menerjemahkan: untuk konteksmu ya doakanlah raja itu, untuk konteks kita sekarang, mungkin lain. Pegang prinsip umum ini.
Namun ketahuilah bahwa prinsip fundamental ini: Allah ingin semua selamat, dan bahwa kita punya Juru Selamat satu satunya yakni Kristus itu, juga ternyata tidak sederhana. Harus ditafsirkan dengan bertanggung jawab. Mengapa tidak sederhana? Sebab di dalamnya ada ketegangan. Coba Anda baca baik baik. Sepertinya tidak klop, karena ada dua prinsip yang kayaknya tumpang tindih.
Prinsip yang pertama—kalau Anda lihat ayat ke-3 dan ke-4— sepertinya Allah itu universal. Dikatakan di sini, “Allah mau supaya semua orang diselamatkan.” Semua! Universal! Tidak peduli agamanya apa, tidak peduli apakah dia percaya Yesus atau tidak, Allah ingin semuanya selamat. Ini prinsip universal.
Prinsip yang kedua, tiba-tiba, pada ayatnya yang ke-5 dan ke-6, menciut menjadi partikular, menjadi sangat spesifik. Hanya satu Juru Selamat kita, pengantara kita, yaitu manusia Yesus Kristus. Apa artinya? Tidak ada Juru Selamat lain, tidak ada pengantara lain. Lo, ini bagaimana? Di satu pihak, Allah itu universal, semua ingin diselamatkan, dan di lain pihak hanya satu, melalui Yesus Kristus. Bagaimana ini, kok sepertinya ada ketegangan. Mana yang harus kita pilih?
Nah, sebenarnya sikap kita terhadap orang yang beriman lain, sangat ditentukan dari bagaimana kita menyikapi ketegangan ini. Dan hari ini saya ingin mengatakan kepada Anda sekalian bahwa kita tidak perlu memilih yang mana yang universal atau yang partikular. Allah ingin semua selamat, atau hanya melalui Yesus. Sebab dua-duanya benar.Dua-duanya, walaupun tidak mudah diperdamaikan, harus diterima bersama-sama. Dipegang bersama-sama. Hiduplah di dalam ketegangan itu, sebab jauh lebih mudah untuk menerima salah satu, dan mengabaikan yang lain.
Ada orang-orang yang terlalu universalis, terlalu menekankan bahwa Allah ingin semuanya selamat maka kita harus terbuka pada agama-agama lain dst., tapi mengabaikan prinsip lain bahwa hanya melalui Yesus itulah kita memperoleh keselamatan. Namun ada juga orang Kristen yang sebaliknya. Mengutuk lainnya. Pokoknya Yesus. Orang yang tidak percaya Yesus, masuk neraka. Orang yang tidak jadi Kristen, tidak selamat. Namun ia mengabaikan bahwa ada sebuah hasrat universal yang Allah tunjukkan, “Aku ingin semua diselamatkan.” Dan kita sering kali berada pada salah satu kutub ini. Menjadi terlalu universalis atau terlalu partikular.
Lalu bagaimana solusinya? Saya mau katakan bahwa tidak ada solusi. Solusinya adalah memegang kedua-duanya. Tidak perlu diselesaikan. Hiduplah dalam ketegangan itu. Dan itulah cara hidup, cara pandang gereja pada umumnya di seluruh dunia.
Lalu bagaimana sikap kita dalam menghadapi ketegangan ini? Setidaknya ada tiga sikap yang harus kita lakukan, yakni:
Satu, kita tidak bisa menunjuk jalan keselamatan selain Yesus Kristus. Tidak ada nama lain yang kita beritakan selain Yesus Kristus. Ini partikular atau universal? Partikular, tapi jangan cuma itu, karena kalau cuma itu akan menjadi partikularis yang terlalu eksklusif.
Kedua, pada saat bersamaan, kita tidak bisa membatasi kuasa penyelamatan Allah kita. Kita bukan Allah. Kita tidak bisa membatasi, “Oh, kalau begitu kamu tidak selamat.” Tidak bisa! Kuasa penyelamatan Allah itu melampaui kita, bukan hak kita. Apa artinya? Ini lebih partikular atau universal? Universal. Lo, lalu bagaimana?
Ketiga, kita harus menghargai ketegangan ini, mengakui ketegangan ini, dan tidak berusaha menyelesaikannya. Susah toh? Ketegangan, tapi ya sudah, biarkan saja, karena kalau kedua-duanya dipegang, malah jadi benar. Kalau Anda cuma pegang salah satu, jadi salah.
Nah, itu implikasinya besar dalam sikap kita ketika kita bertemu dengan orang-orang yang berbeda iman dengan kita. Jadi kalau ada oknum pendeta yang terlalu universalis, terlalu bicara tentang Allah yang ingin semua orang selamat, lalu baik-baik dengan semua orang yang beriman lain tapi kemudian mengabaikan Kristus, maka ramai-ramai pendeta akan berkata, “Hai, jangan lupa engkau beritakan Kristus!” Begitu pun sebaliknya kalau ada oknum pendeta yang terlalu partikularis: “Pokoknya Yesus,” yang lainnya disalah-salahkan, dihakimi, maka ramai-ramai pendeta yang lain akan berkata, “Hai, jangan begitu, karena Allah ingin semua selamat. Universal!” Ketegangan itu yang terjadi. Maka panggilan kita adalah untuk menjaga ketegangan itu. Untuk menghidupi ketegangan itu.
Sebab implikasinya adalah, ketika kita punya pemahaman yang universal, maka kita jadi terbuka pada mereka yang berbeda iman, pada Pak Haji, pada biksu itu, pada orang yang tidak seiman dengan kita. Terbuka! Sebaliknya kalau kita menekankan yang partikular, kita jadi committed pada iman kita, punya komitmen tegas. Nah, dua-duanya juga dijaga, jadi terbuka yang penuh komitmen, dan komitmen yang terbuka.
Dan implikasi selanjutnya, yang kedua adalah, melalui apa menerjemahkan keterbukaan itu? Melalui dialog. Bersahabatlah sebanyak mungkin dengan orang yang berbeda dengan Anda. Teman-teman saya yang beragama lain, yang Islam, yang Buddhis, yang Kong Hu Cu, banyak sekali, dan kami sangat bersahabat. Dialog. Namun komitmen pada Kristus itu membuat kita punya tugas lain, bukan hanya dialog, melainkan juga penginjilan. “Celakalah aku jika aku tidak memberitakan kabar baik itu,” kata Paulus.
Bagaimana caranya mendamaikan kedua-duanya? Dengan menerima kedua-duanya: dialog dan misi. Dialog yang misional, dan misi yang dialogis. Dua-duanya. Gereja yang hidup dalam ketegangan ini— menurut hemat saya—adalah gereja yang sehat. Orang Kristen yang rela hidup dalam ketegangan ini adalah orang Kristen yang sehat secara spiritual.
Gereja yang terlalu terbuka hanya untuk berdialog, untuk diterima oleh dunia ini tanpa memberitakan Yesus, yang menyembunyikan Yesus di belakang, adalah gereja yang mengkhianati imannya. Gereja yang memberitakan Injil dengan penuh kekuatan, orang-orang Kristen yang selalu memberitakan Kristus tanpa sikap bersahabat, akan menjadi orang-orang Kristen yang arogan. Hidupilah kedua-duanya. Ini seperti menempatkan kita pada seutas tali, dan kita hanya punya kayu penyeimbang. Di sebelah kiri kita menjadi universalis, dan di sebelah kanan kita menjadi partikularis. Dan hanya ada satu cara untuk bisa bertahan di atas. Apa itu?
Berjalan dalam keseimbangan, kadang ke sana, kadang ke sini. Kadang saat gereja kita menjadi agak universalis, diimbangkan. Begitu juga kalau terlalu eksklusif. Terus begitu, sampai kita tiba di tujuan. Jangan pernah menyembunyikan Kristus demi persahabatanmu dengan dunia, tapi jangan juga mengerdilkan Kristus dengan mengasingkan dirimu dari dunia. Berjalanlah dalam ketegangan itu. Tuhan memberkati kita. (rsnh)
Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN