Rabu, 28 Maret 2018

KOTBAH KAMIS PUTIH Kamis, 29 Maret 2018 “BERSERAH PADA KEHENDAK ALLAH”

Kamis, 29 Maret 2018

Kotbah: Yohanes 18:1-11  Bacaan: Matius 26:36-46


Malam ini kita akan merayakan Kamis Putih.  Kamis Putih adalah hari pertama dari Tri Hari Suci Paskah. Kamis Putih ini menandai dimulainya Triduum Paskah. Pada hari ini kita merayakan kembali perjamuan Malam Terakhir yang dilakukan Yesus bersama 12 Rasul. Dikatakan sebagai perjamuan terakhir karena pada malam itu Yesus dikhianati oleh murid-Nya, Yudas Iskariot. Malam itu, Yesus menunjukkan kasih-Nya hingga rela kehilangan nyawa bagi seluruh manusia di dunia. Pada malam itu Yesus menyerahkan tubuh dan darah-Nya pada Bapa di Surga dalam wujud roti dan anggur yang diberikan kepada para rasul untuk memberi kekuatan bagi mereka. Yesus juga meminta apa yang Dia lakukan malam itu terus dilakukan oleh para pengikut-Nya.

Pada perayaan Kamis Putih ini kita akan membahas tema “Berserah kepada kehendak Allah”. Yesus sebagai TUHAN tidak mau menggunakan ke-TUHAN-an-Nya untuk mengelak dan melarikan diri dari peristiwa yang menakutkan dan mematikan ini. Yesus tidak mengelak untuk ditangkap dan dihukum serta disalib di kayu salib di Golgota. Tetapi Yesus berserah dan pasrah kepada kehendak Allah yang mengutus-Nya ke dunia ini sebagai tebusan umat manusia yang berdosa.

Timbul pertanyaan kita sekarang, bagaimanakah sikap Yesus waktu Ia ditangkap?

Pertama, Yesus berinisiatif menyerahkan diri (ay. 4-6). Tuhan tahu segala sesuatu yang mendatangi-Nya, dan dalam terang pengetahuan ini Ia keluar untuk menemui tentara-tentara itu. Ia sama sekali tidak “ditangkap”. Ia yang melakukan inisiatif dan Ia menyerahkan diri-Nya sendiri. Pertama-tama Ia bertanya siapa yang sedang mereka cari. Ketika mereka berkata: “Yesus dari Nazaret”, Ia menjawab: “Akulah Dia / Aku adalah”, yang bisa berarti “Aku adalah Yesus dari Nazaret”. Tetapi jawaban ini ada dalam gaya ilahi (lih. 8:58). Ini pasti merupakan gerakan yang paling tidak terduga dari Dia. Tentara-tentara datang secara diam-diam untuk menangkap orang rendahan yang lari. Dalam kegelapan mereka menemukan diri mereka sendiri dihadapkan pada seseorang yang memerintah, yang bukannya melarikan diri tetapi datang menemui mereka dan berbicara kepada mereka dalam bahasa ilahi.

Bahasa ilahi ini terlihat dari kata-kata “Akulah Dia” secara hurufiah hanyalah “I am” (= Aku adalah). Ini disebut bahasa ilahi karena dihubungkan dengan kata-kata “Aku adalah Aku” dalam Keluaran 3:14a, dan “Akulah Aku” [NIV: “I AM” (= Aku adalah)] dalam Keluaran 3:14b.

Para tentara Romawi, tidak mungkin mengerti “bahasa ilahi” itu, tetapi mereka pasti bisa merasakan kewibawaan dari Yesus. Kata-kata Yesus “Akulah Dia” menyebabkan para penangkap-Nya rebah dan jatuh ke tanah (ay. 6).

Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan betapa mengerikan dan menakutkan bagi orang jahat suara Kristus nanti, pada waktu Ia naik ke atas tahta untuk menghakimi dunia. Pada saat itu (pada saat Ia ditangkap) Ia berdiri sebagai Domba yang siap untuk dikorbankan, dan keagungan-Nya, sejauh kita melihatnya secara lahiriah / dari luar, sama sekali hilang. Tetapi pada saat Ia mengucapkan sepatah kata, musuh-musuh-Nya yang bersenjata dan berani jatuh ke tanah. Dan apa kata yang Ia ucapkan? Ia tidak mengguntur dengan suatu pengucilan yang menakutkan terhadap mereka, tetapi hanya menjawab: “Akulah Dia”. Apa yang akan terjadi, pada saat Ia datang nanti, bukan untuk dihakimi oleh manusia, tetapi untuk menjadi Hakim bagi orang yang hidup dan orang yang mati; bukan dalam penampilan yang buruk dan hina, tetapi bersinar dalam kemuliaan surgawi, dan diiringi malaikat-malaikatNya.

Jika dalam perendahan-Nya Ia hanya berkata kepada tentara-tentara itu “Akulah Dia” dan mereka rebah ke belakang; bagaimana ketakutan dari musuh-musuh-Nya pada waktu Ia akan menyatakan diri-Nya sendiri secara lebih penuh sebagai “Aku adalah Aku”.

Kedua, Yesus berusaha melindungi murid-murid-Nya (ay. 7-9). Kristus mengucapkan ayat 7-8 untuk melindungi domba-domba-Nya (ay. 9). Gembala yang baik memikirkan domba-domba-Nya pada saat Ia menuju pada penangkapan, pengadilan dan kematian. Mungkin hal ini ada di belakang permintaan-Nya bagi mereka untuk mengulang bahwa adalah “Yesus dari Nazaret” yang sedang mereka cari. Dari mulut mereka sendiri, dalam pernyataan yang diulang dua kali, Ia sebenarnya mengarahkan mereka untuk menyatakan bahwa urusan mereka bukanlah dengan murid-murid.

Kita harus meniru Kristus dalam persoalan ini, yaitu dalam penderitaan apapun tetap memikirkan orang lain! Apa yang Yesus lakukan ini menunjukkan bahwa keadaan kritis apapun tidak bisa menghancurkan keselamatan kita!

Karena itu, kapanpun orang jahat atau setan menyerang kita, janganlah kita meragukan bahwa Gembala yang baik ini siap menolong kita dengan cara yang sama.

Ketiga, waktu Petrus membela-Nya dengan pedang, Yesus  justru menegur Petrus (ay. 10-11a). Petrus menghadapi situasi kritis itu dengan caranya sendiri dan dengan kekuatannya sendiri (ay. 10), dan Yesus menegurnya (ay. 11a;  Mat. 26:52-54), dan lalu menyembuhkan telinga orang yang putus itu (Luk. 22:51).

a)   Peristiwa ini menunjukkan keberanian Petrus. Sekalipun tindakannya ini salah, tetapi dalam tindakan ini kita juga melihat suatu hal yang positif dalam diri Petrus yaitu keberaniannya menghadapi ratusan tentara demi Kristus. Petrus akan segera menyangkal Tuannya, tetapi pada saat itu ia siap untuk menghadapi ratusan orang sendirian demi Kristus. Kita boleh berbicara mengenai sikap pengecut dan kegagalan Petrus, tetapi kita tidak boleh melupakan keberaniannya yang luhur / agung pada saat ini.
b)   Apa salahnya Petrus sehingga ia ditegur? Tindakan Petrus bertentangan dengan rencana Allah tentang kematian Kristus untuk menebus dosa manusia. Sebetulnya membela diri dalam keadaan terpaksa tidaklah salah; lihat orang Yahudi pada jaman Ester (Est. 9). Tetapi dalam kasus penangkapan Kristus ini, Kristus memang harus ditangkap dan mati untuk dosa kita. Ini dinyatakan oleh Kristus dengan berkata bahwa Ia harus minum cawan yang diberikan oleh Bapa kepadaNya (ay. 11b). Jadi di sini Petrus melakukan sesuatu yang bertentangan Rencana Allah, dan karena itu ia disalahkan.
     
      Tindakan Petrus ini bisa menyebabkan fitnahan yang ditujukan kepada Kristus kelihatannya benar. Fitnahan / tuduhan terhadap Yesus banyak sekali, misalnya Ia difitnah / dituduh sebagai: penjahat (Yoh. 18:30), menganggap diri sebagai raja (Yoh. 18:33-35  19:12), penyesat bangsa Yahudi, melarang membayar pajak kepada Kaisar (Luk. 23:2a).

Keempat, Yesus rela meminum cawan yang diberikan Bapa kepada-Nya. Ayat 11b – “bukankah Aku harus minum cawan yang diberikan Bapa kepadaKu?”.
a)   Yesus tahu akan kehendak Bapa, dan karena itu Ia berkata bahwa Ia harus meminum cawan itu. Tadinya waktu di Taman Getsemani, Ia berdoa supaya cawan itu berlalu, tetapi menambahinya dengan kata-kata: “janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Mat. 26:39b), dan “jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendakMu!” (Mat. 26:42b). Tetapi sekarang Ia tahu bahwa Ia harus meminum cawan itu.
b)   Dalam Kitab Suci kata “cawan” / “anggur” sering berhubungan dengan penderitaan dan murka Allah (Mzm. 75:9; Yes. 51:17,22;  Yer. 25:15; Yehz. 23:31-33; Why. 14:10). Jadi “cawan” di sini menunjuk pada penderitaan sebagai akibat dari murka Allah yang seharusnya dipikul oleh manusia sebagai hukuman atas dosa-dosa mereka. Kristus “meminum cawan / anggur itu”, dengan membiarkan diri-Nya ditangkap, dicambuki, disalibkan sampai mati, supaya kita tidak perlu meminum cawan / anggur itu.

Peristiwa malam Kamis Putih ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa seorang pemimpin bukanlah pihak yang dilayani, melainkan pihak yang melayani. Dewasa ini, kita sering melihat pemimpin yang maunya dilayani saja, tetapi dia tidak pernah melayani. Ada juga pemimpin yang ingin mendapatkan pelayanan yang eksklusif, tetapi tidak pernah memberi pelayanan yang eksklusif kepada rakyat-Nya. Mari kita bahas semua kejadian yang terjadi saat makna Kamis Putih supaya kita tahu apa saja yang bisa kita pelajari dalam Kamis Putih. Pada peristiwa ini, kita bisa mempelajari banyak hal dari Yesus Kristus dengan segala kesederhanaan dan kerendahan hati-Nya.

Perenungan kita malam ini adalah apakah makna dari Kamis Putih bagi kita?

Pertama, kita harus belajar melayani dengan kerendahan hati. Simbol pelayanan kerendahan hati ini ditunjukkan Yesus dengan perintah untuk melakukan pembasuhan kaki. Perintah ini hanya terdapat dalam Injil Yohanesdan tidak terdapat dalam Injil sinoptik (MatiusMarkus, dan Lukas) lainnya. Kaki adalah bagian yang kotor dalam tubuh manusia. Kaki manusia menginjak debu tanah. Pembasuhan merupakan sebuah bentuk dari simbolisasi tata gerak. Kegiatan membasuh kaki adalah hal yang sudah biasa dilakukan oleh orang Yahudi pada zaman Yesus. Proses pembasuhan kaki itu biasanya dilakukan oleh bawahan terhadap atasan. Dalam dunia Yunani, pembasuhan kaki adalah hal yang hina, yang biasa dilakukan oleh budak.  Namun yang istimewa di sini, pembasuhan kaki ini dilakukan oleh Yesus yang adalah Guru kepada murid-muridnya. Yesus melakukan sebuah ritual yang biasa dilakukan dengan cara yang tidak berbeda. Yesus melakukan pekerjaan yang seharusnya tidak layak dilakukan oleh seorang Guru. Tata gerak membasuh kaki ini menyimbolkan suatu teladan untuk merendahkan diri dan melayani. Yesus melakukan pekerjaan yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang Guru kepada murid-Nya. Tata gerak membasuh kaki ini menyimbolkan suatu teladan untuk merendahkan diri dan melayani.

Tindakan Yesus membasuh kaki merupakan tindakan simbolis yang menyimbolkan penyerahan diri, pembersihan, pengampunan, pembaharuan, kemuridan dan ibadah. Penyerahan diri yang dimaksudkan adalah penyerahan diri Yesus dalam kematian untuk "menebus dosa"/"membersihkan" orang lain. Pembasuhan kaki yang Yesus lakukan juga menyimbolkan kerendahan hati dan keinginan untuk menjadi "hamba" yang mau melayani orang yang hina sekalipun.

Kedua, kita harus berdoa dan mengasihi musuh kita. Sebelum Yesus ditangkap, Dia berdoa di Taman Getsemani. Kisah di Taman Getsemani ini juga mengajarkan kepada kita untuk tetap setia berdoa kepada Allah Bapa. Berdoa adalah komunikasi dengan Tuhan. Kita harus tetap menjaga komunikasi dengan Allah supaya perjalanan kita di dunia itu terberkati oleh Tuhan. Untuk kamu yang jarang berdoa, mulailah membiasakan diri untuk berdoa kembali karena doa itu penting. Ingatlah Ora et Labora. Petrus adalah hamba yang setia. Hal ini tentu ditunjukkan ketika dia melakukan perlawanan terjadap prajurit yang ingin menangkap Yesus. Petrus memotong kuping salah satu prajurit. Nama prajurit tersebut adalah Malkhus. Namun, Yesus justru marah dengan perbuatan Petrus dan memilih untuk menyembuhkan kuping Malkhus. Yesus memberikan teladan kepada kita bahwa kekerasan tidak boleh dilawan dengan kekerasan. Dia adalah sosok yang anti-kekerasan dan memilih jalan damai. Yesus Kristus memilih jalan salib daripada kekerasan karena dia sadar bahwa takdir-Nya sudah ditentukan sejak lama.

Ketiga, kita harus menghindari nafsu duniawi yang akan membawa kita kepada maut. Yudas Iskariot adalah murid Yesus yang akan menyerahkan Yesus untuk dihukum salib. Yesus sudah memberikan “kode” kepada para murid-Nya bahwa salah satu di antara 12 Rasul akan mengkhianati-Nya. Lalu, kenapa Yudas justru menjual Yesus? Apakah Yesus menjual Yesus demi harta? Yudas menjual Yesus kepada para Imam dengan harga hanya 30 keping perak yang bila kita ubah ke dollar itu adalah sekitar 19 dollar Amerika. Bila kita konversikan ke rupiah dengan 1 rupiah adalah 13.000, itu setara dengan Rp 247.000. Tentu hal ini itu sangat murah. Jadi, Yudas bukan ingin menjual Yesus dengan harapan uang, tetapi harapan lain. Seperti orang Yahudi saat itu, Yudas ingin menjadikan Yesus sebagai pemimpin revolusi orang Yahudi untuk melakukan pemberontakan terhadap Kekaisaran Romawi. Hal ini pernah dilakukan oleh Judas Makabe yang melakukan pemberontakan melawan Kekaisaran Seleukid dan akhirnya mendirikan Dinasti Hasmonea. Sayangnya, kerajaan tersebut tidak bertahan lama.

Yudas Iskariot berharap Yesus mau memimpin pemberontakan melawan Roma. Sayangnya, Yesus mengajarkan murid-Nya untuk taat kepada Kaisar. Jadi, Yesus sendiri tidak memiliki minat untuk menjadi pemimpin di dunia karena dia sudah menjadi Pemimpin di surga. Oleh sebab itu, Yudas menjual Yesus kepada para Imam dengan harapan akan terjadi revolusi di Kota Yerusalem ketika Yesus diadili oleh Pilatus. Namun, harapan tersebut tidak terkabulkan karena Yesus sendiri memilih jalan salib. Tentu hal ini mengecewakan Yudas Iskariot. Dia pun mengembalikan uang tersebut kepada para Imam. Yudas pun memilih mengakhiri hidupnya karena rencananya yang gagal dan rasa malu yang sangat mendalam. Apa yang dilakukan oleh Yudas mengajarkan kita satu hal. Nafsu duniawi tidak bisa menggagalkan penggenapan Firman Allah. Saat berdoa, kita sering ingin doa kita terkabulkan oleh Allah dan ketika tidak terkabul maka kita akan kecewa kepada Allah. Padahal, Allah memiliki rencana yang lebih indah dari itu.

Dari beberapa kisah itu, kita bisa mempelajari banyak hal. Kita bisa belajar dari Yesus bahwa Yesus adalah sosok yang rendah hati dan melayani seperti yang tergambar dalam Kisah Perjamuan Terakhir dan Taman Getsemani. Kita juga harus belajar dari apa yang terjadi pada Yudas yang karena nafsunya ingin menjadikan Yesus sebagai pemimpin politik justru berakhir kepada maut. Yesus juga mengajarkan kita untuk melawan kekerasan dengan kebaikan. Karena itu, sama seperti Yesus, kitapun harus mampu berserah kepada kehendak Allah dalam menjalani kehidupan ini. (rsnh)


Selamat Merayakan Ibadah Kamis Putih

Renungan hari ini: “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH” (Daniel 3:3)

  Renungan hari ini:    “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH”   Daniel 3:3 (TB2) "Lalu berkumpullah para wakil raja, para penguasa, para bupa...