Jumat, 09 Februari 2018

UNGGUL MELAYANI DALAM KEBERSAMAAN DARI PERSPEKTIF ETIKA KRISTEN

UNGGUL MELAYANI DALAM KEBERSAMAAN DARI PERSPEKTIF ETIKA KRISTEN
 BAHAN KAJIAN PADA RAPAT PENDETA GKPA KE 55 TANGGAL 24 OKTOBER 2017
DI PADANGSIDIMPUAN
Oleh. Pdt. Kaleb Manurung, M.Th.




Pengantar sajian
       Kecenderungan manusia: “Semakin lama melakukan sesuatu pekerjaan yang sama, ada perasaan semakin jemu, bosan dan jatuh kedalam routinitas”. Hal ini bisa dialami oleh hamba Tuhan

Namun bagi seorang hamba Tuhan, seharusnya:
       “To know Christ more clearly, to love Christ more dearly and to serve Christ more effectively” (Mengenal Kristus semakin jelas, mengasihi Kristus  semakin dalam, dan melayani Kristus semakin effektif)
      
Pengenalan yang benar menghasilkan pengakuan yang benar, pengakuan yang benar menghasilkan iman yang benar, dan iman yang benar mengakibatkan hidup yang benar. Band. Teologi eksplisit dan implisit.
       Pengenalan yang benar diwujudkan di dalam dan melalui ketaatan. “We get to know Him more deeply by doing His will

Mengasihi Dia dengan segenap hatiku dan mengasihi jemaat yang dipercayakan-Nya kepada kita, (band. 1Yoh 4: 11, 19. Yoh. 21: 17).
       Mengasihi Allah by doing His will with the whole heart, (band. Yoh. 14: 15, Kol 3: 23)

Maka pengenalan kita akan siapa yang kita layani, membawa kita semakin mengasihi-Nya, dan kasih kepada-Nya, sebagai modal yang mendorong kita untuk melayani Dia semakin effectively.

Kualitas pelayanan kita, ditentukan kualitas iman kita dan kualiatas iman kita ditentukan pengenalan kita, dan pengenalan kita ditentukan ketaatan atau pengalaman kita”.

Ada beberapa pokok yang perlu kita kaji dan pahami dalam mengwujudkan tema kita:

Pengertian Etika Kristen
      
Etika Kristen adalah ilmu teologia yang memberikan refleksi dan jawaban atas pertanyaan “Apa yang saya harus lakukan sebagai saya seorang yang percaya kepadaTuhan Jesus Kristus, sebagai saya seorang anggota gereja-Nya, dan sebagai saya seorang hamba-Nya.  (What ought I to do, what am I as a believer in Jesus Christ, as a member His church, and as His a servant, to do).

Perbedaan Etika dan Moral
       Paul Lehmann mengatakan: “Ethics is concern with the foundation of human behavior, and morality with actual practis or behavior on these foundation” (Etika adalah berhubungan dengan fundasi dari perbuatan manusia, dan moral adalah wujud dari perbuatan yang didasarkan atas fundasi tersebut). Maka dapat dikatakan moral adalah segala kesusilaan yang berlaku dan etika adalah pertimbangan tentang kesusilaan itu. Orang berbuat begitu atau berkorban itu adalah moral, tetapi apakah dia berbuat baik itu adalah etika.

Moral lebih menekankan wujud perbuatan yang sesuai dengan norma, hukum yang berlaku, sementara etika tidak hanya melihat wujud perbuatan sesuai dengan norma, hukum yang berlaku, tetapi juga motivasi hati di dalam berbuatan. Etika tidak bisa tanpa moral tetapi moral belum tentu mengandung etika. Karena Allah tidak hanya melihat wujud dari perbuatan tetapi juga motivasi hati di dalam melakukannya, band 1 Sam. 16: 7.

Etika Kristen menekankan bahwa tujuan yang baik harus dicapai atas dasar yang baik dan dengan cara yang baik. Tujuan yang baik sama pentingnya dengan cara yang baik untuk mencapainya. (J. Verkuyl, Etika Ktisten, 1979, 15-16)

Dasar Pelayanan
      
Dasar pelayanan yang kita lakukan adalah “panggilan Allah”. Panggilan adalah sebagai kehendak untuk mendengar dan meresponi panggilan Allah, berarti menaati atau melakukan apa yang didengar dari Allah.
       Panggilan bukan yang dikejar melainkan suatu anugerah Allah, maka tidak dapat disamakan dengan karier, karena panggilan bukan hanya berhubungan dengan “what I should do, but who I am”. Panggilan mengandung tanggapan yang kita berikan secara totalitas diri dan kesediaan kita menjadi “rekan sekerja Allah”.

Maka pelayanan yang kita lakukan adalah “pelayanan rohani”. Untuk itu bagi setiap pelayan dituntut suatu “kualitas rohani” (spirituality quality).

Kata “spirit” dalam Alkitab adalah ruakh (Ibr) dan pneuma (Jun) artinya nafas atau angin yang menggerakkan dan menghidupkan, yang memberi semangat yang  dibutuhkan untuk bergerak dan hidup, dan itu hanya kita dapatkan di dalam Roh Kudus.

Maka spiritualitas dapat dipahami sebagai sumber semangat untuk hidup, bertumbuh dan berkembang dalam semua bidang kehidupan, baik secara pribadi maupun bersama dengan orang lain, yang kita peroleh di dalam perjumpaan dengan Allah dan sesama.
       Andar Ismail mengatakan; “Spiritualitas adalah kualitas hidup dan gaya hidup seseorang sebagai hasil atau akibat dari hubungan, kedekatan, keakrabannya dengan Allah”. (Asnath N. Natar, Pelayanan, Spiritualitas, dan Pelayanan,2002, 7-8, 29)
      
Oleh karena itu, spiritualitas pelayan Kristen bukan terfokus pada religiously atau melakukan semua perilaku agama melainkan hubungan rohani yang dalam dengan Allah (hidup beragama dan beriman). Maka dapat dikatakan spiritualisa adalah ibadah yang berkaitan dengan hubungan pribadi dengan Allah berdasarkan pengenalan yang benar akan Tuhan secara intim setiap hari dengan Tuhan. (Yosafat B. , Integritas Pemimpin Pastoral, 2010, 27)

Maka kualitas kerohanian kita akan menentukan kualitas pelayanan yang kita lakukan.

Pelayanan adalah “panggilan Allah”. Kita dipanggil menjadi “hamba Tuhan”, berarti dasar pelayanan kita adalah kesadaran dan penghayatan bahwa hidup kita sudah ditebus dengan harga yang mahal untuk menjadi milik Tuhan. 1 Kor. 6: 19-20, 1 Pet. 1: 18-19

Makna, kebahagiaan dan tujuan hidup seorang hamba adalah melayani untuk menyenangkan hati tuannya, karena itu dia dengan sukarela mengabdikan seluruh hidup kita kepada tuannya, dan melakukan pelayanannya dengan sungguh-sungguh dan tulus, band Mat.20:28.

Sesuai dengan tujuan hidupnya sebagai hamba yaitu untuk menyenangkan hati tuannya, maka seorang hamba mempunyai kerinduan dan berusaha mencari tahu kehendak tuannya di dalam seluruh aspek kehidupan dan pelayanan nya, sehingga dia dapat melayani dan menyenangkan tuannya “more effectively”, (Ef. 5: 15- 18).

Kita dipanggil menjadi “hamba” berarti dipanggil untuk “melayani”, maka perlu memahami pengertian dan makna “melayani” dalam Alkitab: (Andar Ismail, Selamat melayani Tuhan, 2004, 2-5).

       Diakoneo artinya orang yang mempergunakan potensi yang ada padanya untuk kepentingan pekerjaan Tuhan. Setiap pelayan mempunyai dan diberi karunia yang berbeda untuk saling melengkapi, 1Kor. 14:12. Dan kita dinasehati untuk mengobarkan (fun into flame) karunia kita miliki, 1Tim.4:14, bnd. 1Tim. 6: 7.

       Douleo artinya orang mengabdikan dirinya kepada Tuhan yang dilakukan atas dasar kesadaran akan penebusan terhadap dirinya, 1Kor.6:19-20, yang membuat dia melayani dengan rendah hati, band. 1Kor. 4: 7. Jabatan pelayanan adalah pembagian tugas tanggung jawab bukan hierarki.

       Leitourgeo artinya bekerja bukan untuk kepentingan dan kesenangan pribadi tetapi kesenangan dari tuan yang dilayani, bnd.1Ptr. 5: 2.
       Menyenangkan hati Allah adalah merupakan tujuan dari semua pelayanan yang kita lakukan. 2Kor.5: 15; Rom. 14: 7-9, “Jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan”.

Latreuo artinya menyembah kepada Tuhan. Apa yang kita lakukan dalam pelayanan adalah merupakan persembahan kita kepada Tuhan, berarti kita melakukan yang terbaik dan dengan segenap hati kita. Rm.12:1-2, Kol.3:23.

Nilai yang kita lakukan di hadapan Tuhan ditentukan dasar, cara dan motivasi hati dalam melakukannya, band Rom 11: 36. Plato berkata; “Siapa yang mau jadi pelayan?” Sebaliknya Yesus berkata; Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan”, Luk. 22: 27

Pelayanan sebagai panggilan dan profesi
      
Ada dua pendapat; Menolak pelayanan sebagai profesi dengan alasan bahwa pelayanan adalah “panggilan rohani” dan tidak bisa disamakan dengan profesi yang lain. Menerima pelayanan sebagai panggilan rohani dan sebagai profesi. Pelayanan sebagai panggilan religious (rohani) sebenarnya sejalan pelayanan sebagai profesi

Untuk itu perlu dipahami pengertian “profesi”, yaitu kombinasi techne dan ethos, pengatahuan teknis dan praktek yang berkombinasi dengan tingkah laku yang bertanggung jawab, atau perpaduan pengetahuan dan karakter. Maka profesional berarti menjalakan pekerjaannya dengan pengetahuan, ketrampilan dan disiplin etika yang baik.

James Glasse mengatakan, ciri seorang profesional adalah terdidik (mempunyai pengetahuan); ahli (mempunyai ketrampilan); Instusional (anggota asosiasi pelayan atau denominasi); bertanggung jawab (berikrar akan bertindak secara kompeten); dan berdedikasi (berikrar akan memberikan yang terbaik/berharga)

Kedua pandangan ini saling melengkapi dan meneguhkan, oleh karena “pelayanan” adalah suatu panggilan religious (rohani), maka pelayan seharusnya lebih menghargai tanggung jawab sebagaimana yang terjadi dengan seorang profesional, kalaupun pelayanan gerejawi tidak dapat disejajarkan dengan profesi-profesi yang lain. Sebaliknya kita harus menolak godaan untuk bersembunyi di balik alasan “panggilan religious” untuk menghindari tuntutan kewajiban moral. (Richard M. Gula, Etika Pastoral, 2010, 25-26)

Oleh karena pelayanan adalah suatu panggilan rohani (Allah), maka seorang “pelayan” harus melakukan tugas pelayanannya lebih profesional dari orang profesional di bidang yang lain, karena tanggung jawabnya bukan hanya secara organisatoris tetapi kepada Allah.
       Pelayan Tuhan adalah kaum profesional yang harus mengabdi kepada Tuhan dengan stardar yang berlaku bagi yang profesional, dan panggilan Allah adalah merupakan unsur yang hakiki yang membuat seorang pelayan melakukan pelayanannya secara profesional. (Joe E. Trull, Etika Pelayan Gereja, 2002, hal 36-42)

Melayani Dalam Kebersamaan
      
Sangat penting disadari dan dihayati setiap pelayan; “Tidak seorangpun menjalankan pelayanan sendirian. Setiap orang melayani dalam kolegialitas dengan pelayan yang lain”. Maka bagaimana para pelayan memandang orang lain yang melayani bersama, apakah sebagai “rekan sekerja” yang ingin mencapai target spiritual sebagai tujuan bersama, atau memandangnya sebagai “saingan”, dan mau mengalahkan mereka dengan kompetisi yang tidak sehat?

Apakah rekan sekerja yang kooperatif dengan talenta masing, atau rekan sekerja yang bersaing tidak sehat dengan kelebihan yang dimiliki, sehingga saling menjatuhkan?
Tentu semua pelayan adalah rekan sekerja dan mempunyai tanggung jawab terhadap satu sama lain, tanggung jawab kepada profesi pelayan gereja dan tanggung jawab kepada Allah. Hal ini sangat vital bagi pekerjaan Kerajaan Allah. Menjadi pelayan yang baik lebih mencakup hubungan “kerja sama” dengan rekan sekerja. (Joe E. Trull, Etika Pelayan Gereja, 2002, 165-167)

Makna rekan sekerja (kolegialitas) para pelayan gerejawi juga dinyatakan pada makna “tahbisan”, dimana tahbisan tidak hanya berhubungan dengan “denominasi”, tetapi juga merupakan perayaan keanggotaan dalam kolegialitasan (kebersamaa) dan mengikrarkan kesetiaan dan partisipasi pelayanan gerejawi, kita dapat bandingkan dengan makna ungkapan “satohonan”. (Joe E. Trull, Etika Pelayan Gereja, 2014, 39-40), Yang secara bersama-sama harus menghayati dan melakukan “Poda Tohonan Pendeta GKPA”.

Dasar Untuk Mengwujudkan kebersamaan
      
Karena di dalam Kristus ada nasehat, penghiburan kasih, persekutuan Roh, kasih mesra dan belas kasihan…; Hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa dan satu tujuan. (Fil. 2: 1-2).
       Semua ingredient (bahan/unsur) untuk mengwujudkan “kebesamaan=kesatuan” ada di dalam Kristus. Kebesamaan itu hanya bisa di wujudkan di dalam Kristus, dan ada di dalam Kristus. “Dipersatukan di dalam Kristus”.

Ada empat unsur yang menjadi dasar untuk mengwujudkan kebersamaan (the same heart and mind); Pertama: Nasihat dan penghiburan kasih (encouragement), melalui mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Kristus bagi mereka; Kedua: Kasih Kristus yang mereka sudah alami menggerakkan mereka; Ketiga: Mendapat bagian dan sharing di dalam satu Roh; Keempat: Ada Kasih mesra dan belas kasihan (affection and sympathy) dari Kristus bagi mereka. Hal-hal inilah yang membuat mereka to strive together-striving side by side, that make them live in harmony and stand firm. (Peter D. Koehne, Philippians, 26-27). Mereka mempunyai status dan Roh yang sama, membuat mereka mampu mempererat dan merawat “kebersamaan” yang menciptakan keindahan. Apa yang dilakukan untuk mengwujudkan dan merawat kebersamaan itu?

“Di dalam Kristus”, menegaskan bahwa setiap orang harus berada di dalam Kristus, band. Yoh. 14: 20; Gal. 2:20. Berarti masing-masing mempunyai hubungan/persekutuan yang dekat dengan Kristus. Hidup di dalam Kristus dan Kristus hidup di dalam hidupnya.
       Maka kedekatan, keakraban dengan Kristus dalam hidup yang kita hidupi, menentukan kedekatan, keakraban satu dengan yang lain (kebersamaan )
       Hal itu menandaskan bahwa terwujudnya “kebersamaan” sebagai pelayan di GKPA ditentukan “kualitas rohani” para pelayan di GKPA. (rohani dan rohana)

 Dalam hubungan ini, yang perlu dikembangkan (promote) untuk mengwujudkan kebersamaan adalah: Kerendahan hati.
“Kerendahan hati” adalah merupakan syarat mutlak untuk bisa menerima satu dengan yang lain, tanpa mempercakapan kekurangan dan kelebihan satu dengan yang lain, band.1 Kor. 15: 7. Keberagaman yang ada akan menyempurnakan lukisan potert diri kita, yang membuat semakin indah, karena saling melengkapi.
       Tuhan Yesus telah memberikan contoh praktis apa artinya “kerendahan hati”, (Fil. 2: 5-8), Dan Tuhan Yesus (remind) kita untuk mengikuti dan menghidupi teladan-Nya, Mat. 11: 29

Merendahkan hati satu dengan yang lain, membuat Allah menjadi sahabat dan Allah akan memberkati kita, dan kesombongan membuat Allah menjadi musuh. Karena Allah menentang orang yang sombong, tetapi mengasihi orang yang rendah hatinya. (1Pet. 5: 5). Dosa kesombongan adalah mendahului dan membawa kepada kehancuran, dan kerendahan hati mendahului kehormatan, (Ams. 8:12).

Kunci kerendahan hati: Menyadari dan menghayati bahwa segalanya adalah “pemberian dari Dia, oleh Dia dan untuk Dia (1Kor.4: 7; Rom. 11: 36).

Hal yang perlu dihindarkan (minimize) untuk mengwujudkan kebersamaan
      
“Mementingkan diri sendiri” (do nothing from selfishness or conceit).  Memikirkan kepentingan diri sendiri bukanlah salah, namun hal itu menjadi masalah besar, jika tidak memikirkan kepentingan orang lain juga (bersama) (Fil.2: 3-4). Memajukan kepentingan sendiri seharusnya dalam rangka mencari dan memajukan kepentingan “bersama” dan kepentingan pelayanan secara umum di GKPA. Perlu diwaspadai arus perubahan yang begitu cepat, yang mengubah gaya hidup dari “kebersamaan”, menjadi gaya hidup selfy”.

Egoisme menjadi penghambat besar untuk mengwujudkan “kebersaman”, karena di mana ada sikap “mementingkan diri sendiri”, maka disana akan terjadi berbagai bentuk kekacauan dan segala macam perbuatan jahat, (Yak 3: 16).

Sebaliknya kita dinasehatkan untuk juga mencari bahkan mengutamakan kepentingan orang lain “bersama”, kita bandingkan dengan perintah “mengasihi diri dan sesama”.
       Mengasihi adalah “hukum berganda”, Kasih terhadap Allah dan sesama, kasih terhadap diri sendiri dan kepada sesama manusia.

Kasih kepada sesama merupakan “perwujudan” kasih kepada Allah. Mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri, juga menyatakan bahwa kasih terhadap sesama manusia adalah juga merupakan wujud kasih terhadap diri sendiri, band. Mat 7: 12 “Treat each other as you would like to be treated” (perlakukan satu dengan yang lain seperti engkau ingin diperlakukan). (Henk ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama lagi, Etika Perjanjian Baru, 2001, 32-39)

Hal ini dapat diwujudkan jika kasih Allah (kasih yang benar) hidup di dalam kehidupan kita. Karena hukum kebenaran berkata: “Kita hanya dapat memberi dengan apa yang ada pada kita”. Kita dapat mengasihi dengan benar jika kita memiliki kasih yang benar, band. Yoh. 13: 34.
       Kasih kita kepada Allah menentukan kasih terhadap diri sendiri, dan kasih terhadap diri sendiri menentukan kasih kita terhadap satu dengan yang lain. Mengasih Kristus more deeply, berarti mengasihi diri sendiri dan sesama more deeply too.

Menggunakan IPTEK untuk membangun kebersamaan.

       IPTEK mempunyai dampak positif dan negative, bahkan dampak positif dapat dipergunakan untuk yang tidak positif. IPTEK akan sangat menolong jika dipakai sebagai alat untuk memberikan kesejahteraan, kedamaian, kebahagiaan umat manusia dan keharmonisannya dengan lingkungan. Namun akan menjadi malapetaka, jika Iptek menjadi tujuan, dan yang menguasai dan mengendalikan manusia. Maka persoalannya tidak terletak pada IPTEK tetapi pada manusia yang menguasainya.
       Sikap Etika Kristen terhadap IPTEK, menerima dan mensyukuri dampak positif dari IPTEK sebagai anugerah Tuhan untuk menolong kehidupan dan pelayanan yang lebih mudah dan meningkatnya. Bersikap kritis, dan menolak dampak negatif IPTEK. (Robert P. Borrong, Kapita Selekta Bioetik, 2007, 6-14)
       Menguasai dan menggunakan IPTEK yang positif untuk tujuan yang baik, termasuk membangun “kebersamaan”. IPTEK yang positif bisa menjadi penolong atau perongrong kehidupan, termasuk kebersamaan, dan itu ditentukan “jari” kita. Artinya, jika kita menguasai penggunaan nya, akan sangat menolong untuk memperlancar kehidupan dan pelayanan, tetapi jika sebaliknya, maka akan membawa masalah….! Misalnya penggunaan media sosial.

Penutup Sajian dan Kesimpulan
        
       Melayani dengan unggul akan terwujud jika setiap pelayan menyadari dan menghayati dasar dan tugas panggilannya untuk melayani sebagai seorang hamba Tuhan. Kebersamaan dalam pelayanan ditentukan oleh kualitas rohani setiap pelayan, karena “kebersamaan” sebagai pelayan, tidak ditentukan oleh peraturan secara organisasi/denominasi, tetapi kebersamaan di dalam Kristus.
       Maka kita dapat berkata: Pelayanan kami akan unggul jika kami melayani di dalam “kebersamaan”.




Catatan: Sumber Buku Bacaan

1.    J. Verkuyl, Etika Ktisten Bagian Umum, Jakarta; BPK Gunung Mulia, 1979, 15-16
2.    Yosafat B, Integritas Pemimpin Pastoral, Yogyakarta; Andi, 2010, 27
3.    Richard M. Gula, Etika Pastoral Dilengkapi dengan kode etik, Yogyakarta; Kanisius, 2010, 25-26
4.    Asnath N. Natar, (ed), Pelayan, Spiritualitas, dan Pelayanan, Yogyakarta; Taman Pustaka Kristen & Fakultas Teologi UKDW, 2012, 7-8, 29
5.    Joe E. Trull dan James E. Carter, Etika Pelayan Gereja Peranan Moral dan Tanggung Jawab Etis Pelayan Gereja, Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2002, hal 36-42
6.    Peter D. Koehne, The Letter To The Philippians, Adelaide, South Australia, Lutheran Publishing House,   26-27
7.    Henk Ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama lagi, Etika Perjanjian Baru, Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2001, 32-39
8.    Andar Ismail, Selamat Melayani Tuhan, Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2004, 2-5
9.    Robert P. Borrong, Kapita Selekta Bioetik Perspektif Kristiani, Bandung; Jurnal Info Media, 2007, 6-14



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Renungan hari ini: "APAKAH KAMU MAU PERGI JUGA?" (Yohanes 6:67)

  Renungan hari ini:   "APAKAH KAMU MAU PERGI JUGA?"   Yohanes 6:67 (TB2) Lalu kata Yesus kepada kedua belas murid-Nya: "Apak...