UNGGUL MELAYANI DALAM KEBERSAMAAN
DARI PERSPEKTIF ETIKA KRISTEN
BAHAN KAJIAN PADA RAPAT PENDETA GKPA KE 55 TANGGAL 24 OKTOBER 2017
DI PADANGSIDIMPUAN
Oleh. Pdt. Kaleb Manurung, M.Th.
BAHAN KAJIAN PADA RAPAT PENDETA GKPA KE 55 TANGGAL 24 OKTOBER 2017
DI PADANGSIDIMPUAN
Oleh. Pdt. Kaleb Manurung, M.Th.
Pengantar sajian
Kecenderungan manusia: “Semakin lama
melakukan sesuatu pekerjaan yang sama, ada perasaan semakin jemu, bosan dan
jatuh kedalam routinitas”. Hal ini bisa dialami oleh hamba Tuhan
Namun bagi seorang hamba Tuhan,
seharusnya:
“To
know Christ more clearly, to love Christ more dearly and to serve Christ more
effectively” (Mengenal Kristus semakin jelas, mengasihi Kristus semakin dalam, dan melayani Kristus semakin
effektif)
Pengenalan yang benar menghasilkan pengakuan yang
benar, pengakuan yang benar menghasilkan iman yang benar, dan iman yang benar
mengakibatkan hidup yang benar. Band. Teologi eksplisit dan implisit.
Pengenalan yang benar diwujudkan di dalam
dan melalui ketaatan. “We get to know Him
more deeply by doing His will”
Mengasihi Dia dengan segenap hatiku dan mengasihi
jemaat yang dipercayakan-Nya kepada kita, (band. 1Yoh 4: 11, 19.
Yoh. 21: 17).
Mengasihi Allah by doing His will with the whole heart, (band. Yoh. 14: 15, Kol
3: 23)
Maka pengenalan kita akan siapa yang kita layani,
membawa kita semakin mengasihi-Nya, dan kasih kepada-Nya, sebagai modal yang
mendorong kita untuk melayani Dia semakin effectively.
Kualitas pelayanan kita, ditentukan kualitas iman kita
dan kualiatas
iman kita ditentukan pengenalan kita, dan pengenalan kita ditentukan ketaatan
atau pengalaman kita”.
Ada beberapa pokok yang
perlu kita kaji dan pahami dalam mengwujudkan tema kita:
Pengertian Etika Kristen
Etika Kristen adalah ilmu teologia yang memberikan
refleksi dan jawaban atas pertanyaan “Apa yang saya harus lakukan sebagai saya
seorang yang percaya kepadaTuhan Jesus Kristus, sebagai saya seorang anggota
gereja-Nya, dan sebagai saya seorang hamba-Nya.
(What ought I to do, what am I as
a believer in Jesus Christ, as a member His church, and as His a servant, to
do).
Perbedaan Etika dan Moral
Paul Lehmann mengatakan: “Ethics is concern with the foundation of
human behavior, and morality with actual practis or behavior on these
foundation” (Etika adalah berhubungan dengan fundasi dari perbuatan
manusia, dan moral adalah wujud dari perbuatan yang didasarkan atas fundasi
tersebut). Maka dapat dikatakan moral adalah segala kesusilaan yang berlaku dan
etika adalah pertimbangan tentang kesusilaan itu. Orang berbuat begitu atau
berkorban itu adalah moral, tetapi apakah dia berbuat baik itu adalah etika.
Moral lebih menekankan wujud perbuatan yang sesuai
dengan norma, hukum yang berlaku, sementara etika tidak hanya melihat wujud
perbuatan sesuai dengan norma, hukum yang berlaku, tetapi juga motivasi hati
di dalam berbuatan. Etika tidak bisa tanpa moral tetapi moral belum tentu
mengandung etika. Karena Allah tidak hanya melihat wujud dari perbuatan tetapi
juga motivasi hati di dalam melakukannya, band 1 Sam. 16: 7.
Etika Kristen menekankan bahwa tujuan yang baik harus
dicapai atas dasar yang baik dan dengan cara yang baik. Tujuan yang baik sama
pentingnya dengan cara yang baik untuk mencapainya. (J. Verkuyl, Etika Ktisten,
1979, 15-16)
Dasar Pelayanan
Dasar pelayanan yang kita lakukan adalah “panggilan
Allah”. Panggilan adalah sebagai kehendak untuk mendengar dan meresponi
panggilan Allah, berarti menaati atau melakukan apa yang didengar dari Allah.
Panggilan bukan yang dikejar melainkan
suatu anugerah Allah, maka tidak dapat disamakan dengan karier, karena
panggilan bukan hanya berhubungan dengan “what I should do, but who I am”.
Panggilan mengandung tanggapan yang kita berikan secara totalitas diri dan
kesediaan kita menjadi “rekan sekerja Allah”.
Maka pelayanan yang kita lakukan adalah “pelayanan
rohani”. Untuk itu bagi setiap pelayan dituntut suatu “kualitas rohani” (spirituality
quality).
Kata “spirit” dalam Alkitab adalah ruakh (Ibr)
dan pneuma (Jun) artinya nafas atau angin yang menggerakkan dan
menghidupkan, yang memberi semangat yang
dibutuhkan untuk bergerak dan hidup, dan itu hanya kita dapatkan di
dalam Roh Kudus.
Maka spiritualitas dapat dipahami sebagai sumber
semangat untuk hidup, bertumbuh dan berkembang dalam semua bidang kehidupan,
baik secara pribadi maupun bersama dengan orang lain, yang kita peroleh di
dalam perjumpaan dengan Allah dan sesama.
Andar Ismail mengatakan; “Spiritualitas
adalah kualitas hidup dan gaya hidup seseorang sebagai hasil atau akibat dari
hubungan, kedekatan, keakrabannya dengan Allah”. (Asnath N. Natar, Pelayanan,
Spiritualitas, dan Pelayanan,2002, 7-8, 29)
Oleh karena itu, spiritualitas pelayan Kristen bukan
terfokus pada religiously atau melakukan semua perilaku agama melainkan
hubungan rohani yang dalam dengan Allah (hidup beragama dan beriman). Maka
dapat dikatakan spiritualisa adalah ibadah yang berkaitan dengan hubungan
pribadi dengan Allah berdasarkan pengenalan yang benar akan Tuhan secara intim
setiap hari dengan Tuhan. (Yosafat B. , Integritas Pemimpin Pastoral, 2010, 27)
Maka kualitas kerohanian kita akan menentukan kualitas
pelayanan yang kita lakukan.
Pelayanan adalah “panggilan Allah”. Kita dipanggil
menjadi “hamba Tuhan”, berarti dasar pelayanan kita adalah kesadaran dan
penghayatan bahwa hidup kita sudah ditebus dengan harga yang mahal untuk
menjadi milik Tuhan. 1 Kor. 6: 19-20, 1 Pet. 1: 18-19
Makna, kebahagiaan dan tujuan hidup seorang hamba
adalah melayani untuk menyenangkan hati tuannya, karena itu dia dengan sukarela
mengabdikan seluruh hidup kita kepada tuannya, dan melakukan pelayanannya
dengan sungguh-sungguh dan tulus, band Mat.20:28.
Sesuai dengan tujuan hidupnya sebagai hamba yaitu
untuk menyenangkan hati tuannya, maka seorang hamba mempunyai kerinduan dan
berusaha mencari tahu kehendak tuannya di dalam seluruh aspek kehidupan dan
pelayanan nya, sehingga dia dapat melayani dan menyenangkan tuannya “more
effectively”, (Ef. 5: 15- 18).
Kita dipanggil menjadi “hamba” berarti dipanggil untuk
“melayani”, maka perlu memahami pengertian dan makna “melayani” dalam Alkitab:
(Andar Ismail, Selamat melayani Tuhan, 2004, 2-5).
Diakoneo artinya orang yang mempergunakan
potensi yang ada padanya untuk kepentingan pekerjaan Tuhan. Setiap pelayan
mempunyai dan diberi karunia yang berbeda untuk saling melengkapi, 1Kor. 14:12.
Dan kita dinasehati untuk mengobarkan (fun into flame) karunia kita
miliki, 1Tim.4:14, bnd. 1Tim. 6: 7.
Douleo artinya orang mengabdikan dirinya
kepada Tuhan yang dilakukan atas dasar kesadaran akan penebusan terhadap
dirinya, 1Kor.6:19-20, yang membuat dia melayani dengan rendah hati, band.
1Kor. 4: 7. Jabatan pelayanan adalah pembagian tugas tanggung jawab bukan
hierarki.
Leitourgeo artinya bekerja bukan untuk
kepentingan dan kesenangan pribadi tetapi kesenangan dari tuan yang dilayani,
bnd.1Ptr. 5: 2.
Menyenangkan hati Allah adalah merupakan
tujuan dari semua pelayanan yang kita lakukan. 2Kor.5: 15; Rom. 14: 7-9, “Jika
kita hidup, kita hidup untuk Tuhan”.
Latreuo artinya menyembah kepada Tuhan. Apa yang kita
lakukan dalam pelayanan adalah merupakan persembahan kita kepada Tuhan, berarti
kita melakukan yang terbaik dan dengan segenap hati kita. Rm.12:1-2, Kol.3:23.
Nilai yang kita lakukan di hadapan Tuhan ditentukan
dasar, cara dan motivasi hati dalam melakukannya, band Rom 11: 36. Plato
berkata; “Siapa yang mau jadi pelayan?” Sebaliknya Yesus berkata; Aku ada di
tengah-tengah kamu sebagai pelayan”, Luk. 22: 27
Pelayanan sebagai panggilan dan profesi
Ada dua pendapat; Menolak pelayanan sebagai profesi
dengan alasan bahwa pelayanan adalah “panggilan rohani” dan tidak bisa
disamakan dengan profesi yang lain. Menerima pelayanan sebagai panggilan rohani
dan sebagai profesi. Pelayanan sebagai panggilan religious (rohani) sebenarnya sejalan pelayanan sebagai profesi
Untuk itu perlu dipahami pengertian “profesi”, yaitu
kombinasi techne dan ethos, pengatahuan teknis dan praktek yang
berkombinasi dengan tingkah laku yang bertanggung jawab, atau perpaduan
pengetahuan dan karakter. Maka profesional berarti menjalakan pekerjaannya
dengan pengetahuan, ketrampilan dan disiplin etika yang baik.
James Glasse mengatakan, ciri seorang profesional
adalah terdidik (mempunyai pengetahuan); ahli (mempunyai ketrampilan);
Instusional (anggota asosiasi pelayan atau denominasi); bertanggung jawab
(berikrar akan bertindak secara kompeten); dan berdedikasi (berikrar akan
memberikan yang terbaik/berharga)
Kedua pandangan ini saling melengkapi dan meneguhkan,
oleh karena “pelayanan” adalah suatu panggilan religious (rohani), maka pelayan seharusnya lebih menghargai
tanggung jawab sebagaimana yang terjadi dengan seorang profesional, kalaupun
pelayanan gerejawi tidak dapat disejajarkan dengan profesi-profesi yang lain.
Sebaliknya kita harus menolak godaan untuk bersembunyi di balik alasan
“panggilan religious” untuk menghindari tuntutan kewajiban moral. (Richard M.
Gula, Etika Pastoral, 2010, 25-26)
Oleh karena pelayanan adalah suatu panggilan rohani
(Allah), maka seorang “pelayan” harus melakukan tugas pelayanannya lebih
profesional dari orang profesional di bidang yang lain, karena tanggung
jawabnya bukan hanya secara organisatoris tetapi kepada Allah.
Pelayan Tuhan adalah kaum profesional
yang harus mengabdi kepada Tuhan dengan stardar yang berlaku bagi yang
profesional, dan panggilan Allah
adalah merupakan unsur yang hakiki yang membuat seorang pelayan melakukan
pelayanannya secara profesional. (Joe E. Trull, Etika Pelayan Gereja, 2002, hal
36-42)
Melayani Dalam Kebersamaan
Sangat penting disadari dan dihayati setiap pelayan;
“Tidak seorangpun menjalankan pelayanan sendirian. Setiap orang melayani dalam kolegialitas
dengan pelayan yang lain”. Maka bagaimana para pelayan memandang orang lain
yang melayani bersama, apakah sebagai “rekan sekerja” yang ingin
mencapai target spiritual sebagai tujuan bersama, atau memandangnya sebagai “saingan”,
dan mau mengalahkan mereka dengan kompetisi yang tidak sehat?
Apakah rekan sekerja yang kooperatif dengan talenta
masing, atau rekan sekerja yang bersaing tidak sehat dengan kelebihan yang
dimiliki, sehingga saling menjatuhkan?
Tentu semua pelayan adalah rekan sekerja dan mempunyai
tanggung jawab terhadap satu sama lain, tanggung jawab kepada profesi
pelayan gereja dan tanggung jawab kepada Allah. Hal ini sangat vital bagi
pekerjaan Kerajaan Allah. Menjadi pelayan yang baik lebih mencakup hubungan “kerja sama” dengan rekan sekerja. (Joe
E. Trull, Etika Pelayan Gereja, 2002, 165-167)
Makna rekan sekerja (kolegialitas) para pelayan
gerejawi juga dinyatakan pada makna “tahbisan”, dimana tahbisan tidak
hanya berhubungan dengan “denominasi”, tetapi juga merupakan perayaan
keanggotaan dalam kolegialitasan (kebersamaa) dan mengikrarkan kesetiaan
dan partisipasi pelayanan gerejawi, kita dapat bandingkan dengan makna ungkapan
“satohonan”. (Joe E. Trull, Etika Pelayan Gereja, 2014, 39-40), Yang
secara bersama-sama harus menghayati dan melakukan “Poda Tohonan Pendeta GKPA”.
Dasar Untuk Mengwujudkan kebersamaan
Karena di dalam Kristus ada nasehat, penghiburan
kasih, persekutuan Roh, kasih mesra dan belas kasihan…; Hendaklah kamu sehati
sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa dan satu tujuan. (Fil. 2: 1-2).
Semua ingredient (bahan/unsur)
untuk mengwujudkan “kebesamaan=kesatuan” ada di dalam Kristus. Kebesamaan itu
hanya bisa di wujudkan di dalam Kristus, dan ada di dalam Kristus.
“Dipersatukan di dalam Kristus”.
Ada empat unsur yang menjadi dasar untuk mengwujudkan
kebersamaan (the same heart and mind); Pertama: Nasihat dan penghiburan
kasih (encouragement), melalui mengetahui apa yang telah dilakukan oleh
Kristus bagi mereka; Kedua: Kasih Kristus yang mereka sudah alami menggerakkan
mereka; Ketiga: Mendapat bagian dan sharing di dalam satu Roh; Keempat: Ada
Kasih mesra dan belas kasihan (affection and sympathy) dari Kristus bagi
mereka. Hal-hal inilah yang membuat mereka to strive together-striving side
by side, that make them live in harmony and stand firm. (Peter D. Koehne,
Philippians, 26-27). Mereka mempunyai
status dan Roh yang sama, membuat mereka mampu mempererat dan merawat
“kebersamaan” yang menciptakan keindahan. Apa yang dilakukan untuk mengwujudkan
dan merawat kebersamaan itu?
“Di dalam Kristus”, menegaskan bahwa setiap orang
harus berada di dalam Kristus, band. Yoh. 14: 20; Gal. 2:20. Berarti masing-masing
mempunyai hubungan/persekutuan yang dekat dengan Kristus. Hidup di dalam
Kristus dan Kristus hidup di dalam hidupnya.
Maka kedekatan, keakraban dengan Kristus
dalam hidup yang kita hidupi, menentukan kedekatan, keakraban satu dengan yang
lain (kebersamaan )
Hal itu menandaskan bahwa terwujudnya “kebersamaan”
sebagai pelayan di GKPA ditentukan “kualitas rohani” para pelayan di
GKPA. (rohani dan rohana)
Dalam hubungan
ini, yang perlu dikembangkan (promote) untuk mengwujudkan kebersamaan
adalah: Kerendahan hati.
“Kerendahan hati” adalah merupakan syarat mutlak untuk
bisa menerima satu dengan yang lain, tanpa mempercakapan kekurangan dan
kelebihan satu dengan yang lain, band.1 Kor. 15: 7. Keberagaman yang ada akan menyempurnakan lukisan potert diri kita, yang
membuat semakin indah, karena saling melengkapi.
Tuhan Yesus telah memberikan contoh
praktis apa artinya “kerendahan hati”, (Fil. 2: 5-8), Dan Tuhan Yesus (remind)
kita untuk mengikuti dan menghidupi teladan-Nya, Mat. 11: 29
Merendahkan hati satu dengan yang lain, membuat Allah
menjadi sahabat dan Allah akan memberkati kita, dan kesombongan membuat Allah
menjadi musuh. Karena Allah menentang orang yang sombong, tetapi mengasihi
orang yang rendah hatinya. (1Pet. 5: 5). Dosa kesombongan adalah mendahului dan
membawa kepada kehancuran, dan kerendahan hati mendahului kehormatan, (Ams.
8:12).
Kunci kerendahan hati: Menyadari dan menghayati bahwa
segalanya adalah “pemberian dari Dia, oleh Dia dan untuk Dia (1Kor.4: 7; Rom.
11: 36).
Hal yang perlu dihindarkan (minimize)
untuk mengwujudkan kebersamaan
“Mementingkan diri sendiri” (do nothing from selfishness or conceit). Memikirkan kepentingan diri sendiri bukanlah
salah, namun hal itu menjadi masalah besar, jika tidak memikirkan kepentingan
orang lain juga (bersama) (Fil.2: 3-4). Memajukan kepentingan sendiri
seharusnya dalam rangka mencari dan memajukan kepentingan “bersama” dan kepentingan pelayanan secara umum di GKPA.
Perlu diwaspadai arus perubahan yang
begitu cepat, yang mengubah gaya hidup dari “kebersamaan”, menjadi gaya hidup “selfy”.
Egoisme menjadi penghambat besar untuk mengwujudkan
“kebersaman”, karena di mana ada sikap “mementingkan diri sendiri”, maka disana
akan terjadi berbagai bentuk kekacauan dan segala macam perbuatan jahat, (Yak
3: 16).
Sebaliknya kita dinasehatkan untuk juga mencari bahkan
mengutamakan kepentingan orang lain “bersama”, kita bandingkan dengan perintah
“mengasihi diri dan sesama”.
Mengasihi adalah “hukum berganda”, Kasih
terhadap Allah dan sesama, kasih terhadap diri sendiri dan kepada sesama
manusia.
Kasih kepada sesama merupakan “perwujudan” kasih
kepada Allah. Mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri, juga menyatakan
bahwa kasih terhadap sesama manusia adalah juga merupakan wujud kasih terhadap
diri sendiri, band. Mat 7: 12 “Treat each other as you would like to be
treated” (perlakukan satu dengan yang lain seperti engkau ingin
diperlakukan). (Henk ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama lagi, Etika Perjanjian
Baru, 2001, 32-39)
Hal ini dapat diwujudkan jika kasih Allah (kasih yang
benar) hidup di dalam kehidupan kita. Karena hukum kebenaran berkata: “Kita hanya dapat memberi dengan apa yang
ada pada kita”. Kita dapat mengasihi dengan benar jika kita memiliki kasih
yang benar, band. Yoh. 13: 34.
Kasih kita kepada Allah menentukan kasih
terhadap diri sendiri, dan kasih terhadap diri sendiri menentukan kasih kita
terhadap satu dengan yang lain. Mengasih Kristus more deeply, berarti mengasihi diri sendiri dan sesama more deeply too.
Menggunakan IPTEK untuk membangun
kebersamaan.
IPTEK mempunyai dampak positif dan
negative, bahkan dampak positif dapat dipergunakan untuk yang tidak positif.
IPTEK akan sangat menolong jika dipakai sebagai alat untuk memberikan
kesejahteraan, kedamaian, kebahagiaan umat manusia dan keharmonisannya dengan
lingkungan. Namun akan menjadi malapetaka, jika Iptek menjadi tujuan, dan yang
menguasai dan mengendalikan manusia. Maka persoalannya tidak terletak pada
IPTEK tetapi pada manusia yang menguasainya.
Sikap Etika Kristen terhadap IPTEK,
menerima dan mensyukuri dampak positif dari IPTEK sebagai anugerah Tuhan untuk
menolong kehidupan dan pelayanan yang lebih mudah dan meningkatnya. Bersikap
kritis, dan menolak dampak negatif IPTEK. (Robert P. Borrong, Kapita Selekta
Bioetik, 2007, 6-14)
Menguasai dan menggunakan IPTEK yang
positif untuk tujuan yang baik, termasuk membangun “kebersamaan”. IPTEK yang
positif bisa menjadi penolong atau perongrong kehidupan, termasuk kebersamaan,
dan itu ditentukan “jari” kita. Artinya, jika kita menguasai penggunaan nya,
akan sangat menolong untuk memperlancar kehidupan dan pelayanan, tetapi jika
sebaliknya, maka akan membawa masalah….! Misalnya penggunaan media sosial.
Penutup
Sajian dan Kesimpulan
Melayani
dengan unggul akan terwujud jika setiap pelayan menyadari dan menghayati dasar
dan tugas panggilannya untuk melayani sebagai seorang hamba Tuhan. Kebersamaan
dalam pelayanan ditentukan oleh kualitas rohani setiap pelayan, karena “kebersamaan” sebagai pelayan, tidak
ditentukan oleh peraturan secara organisasi/denominasi, tetapi kebersamaan di
dalam Kristus.
Maka kita
dapat berkata: Pelayanan kami akan unggul jika kami melayani di dalam “kebersamaan”.
Catatan: Sumber Buku Bacaan
1. J.
Verkuyl, Etika Ktisten Bagian Umum,
Jakarta; BPK Gunung Mulia, 1979, 15-16
2.
Yosafat B, Integritas Pemimpin Pastoral,
Yogyakarta; Andi, 2010, 27
3.
Richard M. Gula, Etika Pastoral Dilengkapi dengan kode etik,
Yogyakarta; Kanisius, 2010, 25-26
4.
Asnath N. Natar, (ed), Pelayan, Spiritualitas, dan Pelayanan,
Yogyakarta; Taman Pustaka Kristen & Fakultas Teologi UKDW, 2012, 7-8, 29
5.
Joe E. Trull dan James
E. Carter, Etika Pelayan Gereja Peranan
Moral dan Tanggung Jawab Etis Pelayan Gereja, Jakarta; BPK Gunung Mulia,
2002, hal 36-42
6. Peter
D. Koehne, The Letter To The Philippians,
Adelaide, South Australia, Lutheran Publishing House, 26-27
7. Henk
Ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama lagi,
Etika Perjanjian Baru, Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2001, 32-39
8. Andar
Ismail, Selamat Melayani Tuhan,
Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2004, 2-5
9. Robert
P. Borrong, Kapita Selekta Bioetik
Perspektif Kristiani, Bandung; Jurnal Info Media, 2007, 6-14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar