Minggu, 12 Agustus 2018
Kotbah: Kolose 3:12-14 Bacaan: Mazmur 133:1-3
Minggu ini kita akan memasuki Minggu XI Setelah Trinitatis. Dalam Minggu ini kita akan membahas tema “Kasih sebagai pengikat yang mempersatukan”. Teks ini sering menjadi landasan kotbah bagi pernikahan Kristen. Kasih di antara dua insan yang berbeda hanya bisa diikat oleh kasih Kristus. Dengan kasih Kristus dua insan yang berbeda bisa menyatukan kasih mereka dan mengikat kasih mereka sejak awal pernikahan hingga akhirnya.
Intinya adalah kasih. Jika kita memiliki kasih maka sudah ada modal kita untuk mengasihi orang lain. Tanpa kasih kita tidak mampu melakukan kebaikan kepada orang lain. Karena kasihlah kita mampu berbuat baik kepada semua orang, termasuk bagi pasangan kita masing-masing sebagai suami/isteri dan kepada anak-anak kita.
Mengapa kasih ini sangat diperlukan? Karena hanya dengan kasihlah semua perbedaan dapat disatukan. Kita belajar dari jemaat di Kolose ini. Jemaat Kolose adalah jemaat yang heterogen. Ada banyak suku bangsa di jemaat itu (ay. 11) berarti juga ada perbedaan latar belakang, perbedaan budaya, karater, pola pikir dan sebagainya. Adanya berbagai perbedaan itu rawan menimbulkan konflik, pertentangan dan pertengkaran di antara sesama anggota jemaat. Dalam keadaan yang demikian, apakah mungkin jemaat Kolose dapat mewujudkan kesatuan sebagai umat Tuhan dan persekutuan yang baik di antara sesama anggota jemaat? Mungkin saja. Sekalipun banyak perbedaan asal ada kasih, jemaat Kolose dapat mewujudkan kesatuan dan persekutuan yang indah. Karena itu, kenakanlah kasih. Sebab kasih itu mempersatukan dan menyempurnakan.
Pertanyaan kita sekarang adalah apakah ciri-ciri orang pilihan orang yang memiliki kasih itu?
Pertama, ia mengenakan belas kasihan (ay. 12). Belas kasihan sering kali diterjemahan dari kata Ibrani ra·khamim dan kata Yunani eleos (kata kerja, eleo). Dengan memeriksa kata-kata ini dan penggunaannya, kita dibantu untuk mendapatkan makna dan nuansa artinya yang lengkap. Kata kerja Ibrani ra·kham didefinisikan sebagai ”bercahaya, mempunyai perasaan hangat karena emosi yang lembut; . . . beriba hati”. Gagasan utamanya tampaknya terletak pada tindakan menyayangi, menenteramkan, dan pada keadaan emosi yang lembut. Kata ini berkaitan erat dengan kata untuk ”rahim” atau dapat memaksudkan ”usus besar”, yang terpengaruh sewaktu seseorang mempunyai perasaan yang hangat dan simpati yang lembut atau rasa kasihan (Bdk. Yes. 63:15, 16; Yer. 31:20). Dengan demikian, orang yang mengasihi harus mampu bertindak menyayangi dan membuat tenteram keadaan sehingga suasana damai sejatera nyata dan dirasakan oleh banyak orang.
Kedua, ia murah hati (ay. 12). Murah hati merupakan dua kata yang menjadi tekanan dalam pengajaran Yesus. Murah hati memiliki sumber pada hati yang memiliki kasih, yang mudah tergerak melihat penderitaan orang lain, hati yang mau menolong sesama yang menderita. Mengapa Yesus sangat menekankan pada murid-muridnya untuk memiliki kemurahan hati? Alasannya karena Allah itu kasih. Kemurahan hati Allah yang begitu besar terletak pada kesediaan Allah untuk berkorban bagi manusia yang menderita karena dosa pemberontakan manusia sendiri. Allah tergerak hatinya dan ikut merasakan penderitaan manusia dan Ia datang serta mengorbankan diri-Nya bagi keselamatan manusia. Siapapun yang ada di dalam Dia akan memiliki hati yang penuh kasih, penuh kemurahan, penuh belas kasihan pada sesama yang menderita. Kita tidak bisa mengaku sebagai murid Yesus yang telah menikmati kemurahan hati Tuhan, menikmati pertolongannya tetapi menutup mata terhadap penderitaan orang lain di sekeliling kita. Bila itu yang kita lakukan maka sama saja dengan kita menyangkal kasih Allah kepada kita, kita menyangkal anugerah keselamatan Allah kepada kita, dan keselamatan itu akan diambil kembali dari pada kita. Itu yang terjadi seperti dalam perumpamaan Tuhan Yesus tentang orang yang telah diampuni utangnya sebesar sepuluh ribu talenta (sekitar 60 juta dinar atau 10 juta shekel kira-kira 100 Triliun Rp) namun tak mengampuni temannya yang berutang 100 dinar (sekitar 3 juta Rp). Pengampunannya itu kemudian diambil kembali darinya dan ia dimasukkan dalam penjara. Keselamatan kita sebagai orang kristen adalah keselamatan yang dianugerahkan oleh Tuhan secara cuma-cuma melalui iman kita kepada-Nya. Namun iman tanpa perbuatan adalah iman yang mati. Dalam cerita orang Samaria yang baik hati di atas kita melihat bagaimana orang yang menderita sehabis dirampok tak dipedulikan oleh kedua orang pertama yang melwatinya yaitu seorang Imam dan seorang Lewi. Seorang Imam dan orang Lewi adalah dua jenis orang yang setiap hari mengidentikan diri mereka dengan Tuhan. Mereka adalah orang-orang terpandang dalam hal keagamaan, namun perilaku hidup mereka tak mencerminkan perilaku yang menghormati Tuhan. Jadi apa yang mereka khotbahkan setiap hari tak sesuai dengan apa yang mereka praktekkan dalam kehidupan real mereka. Iman harus dilandasi dengan perbuatan sebagai ungkapan syukur atas anugerah keselamatan yang diberikan. Ketika kita telah diampuni segala kesalahan kita yang begitu besar tetapi perilaku kita masih menyandang perilaku lama yang tak memiliki kemurahan hati dan belas kasihan maka kita menjadi tak layak untuk menerima anugerah keselamatan Tuhan. Karena itu kenakanlah kasih, kemurahan hati, belas kasihan dalam setiap perilaku kehidupan kita. Karena kita tidak mungkin mampu mengasihi Allah yang tidak kelihatan tetapi membenci sesama kita yang ada setiap hari di sekeliling kita.
Ketiga, ia rendah hati (ay. 12). Rendah hati mungkin adalah sebuah kata yang hampir hilang dari perbendaharaan bahasa kita. Hampir setiap hari kita mendengar atau menyaksikan betapa kita, menunjukkan arogansi kekuasaan atau kekayaan, kehebatan yang kita miliki. Kerendahan hati merupakan salah satu indikator dari tingginya kecerdasan spiritual seseorang. Seorang yang tidak bisa menunjukkan sikap atau karakter rendah hati, berarti belum mencapai kedamaian dengan dirinya. Pribadi yang rendah hati biasanya justru memandang bahwa orang lain sebagai ciptaan Tuhan memiliki keunikan dan keistimewaan, sehingga dia senantiasa membuat orang lain merasa penting. Karena sesungguhnya setiap pribadi adalah istimewa. Setiap orang adalah spesial, unik, dan berhak untuk dihargai. Manusia adalah pribadi yang harus diperlakukan khusus. Manusia adalah makhluk yang sangat sensitif. Jika kita meragukan hal ini, lihat diri kita sendiri dan perhatikan betapa mudahnya kita merasa disakiti atau tersinggung. Orang yang rendah hati akan membahagiakan hati sesama. Kalau dia seorang bapak, keluarganya akan menghormatinya dengan tulus. Kalau seorang ibu, anak-anaknya tentu akan senantiasa merindukan. Kalau seorang pemimpin, tentu akan menginspirasi hati sekalian rakyatnya. Mari kita belajar rendah hati, dengan cara mengagumi dan mengapresiasi kelebihan rekan-rekan kita yang tidak kita miliki.Salah satu ciri kerendahan hati adalah mau mendengar pendapat, saran dan menerima kritik dari orang lain. Sering dikatakan bahwa Tuhan memberi kita dua buah telinga dan satu mulut, yang dimaksudkan agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Kadang-kadang hanya dengan mendengarkan saja kita dapat menguatkan orang lain yang sedang dilanda kesedihan atau kesulitan. Dengan hanya mendengar, kita dapat memecahkan sebagian besar masalah yang kita hadapi. Mendengar juga berarti mau membuka diri dan menerima, suatu sifat yang menggambarkan kerelaan untuk menerima kelebihan dan kekurangan orang lain maupun diri kita sendiri. Rendah hati bukan berarti merendahkan diri dan menutup diri melainkan secara aktif mendengarkan, berbagi, dan berempati sehingga terjalin hubungan harmonis dua arah. Dia dapat menyesuaikan kondisi emosi dan egonya untuk menempati kondisi emosi dan ego teman bicaranya sehingga sang teman merasa didengarkan dan dihargai.
Keempat,ia lemah lembut (ay. 12). Lemah lembut dalam Bahasa Indonesia artinya baik hati, suka menurut. Dalam bahasa Yunani kata yang diterjemahkan dengan lemah lembut adalah praus (dari kata praus dikenal pula kata praotes yang artinya kurang lebih sama). Kata itu sebenarnya memiliki makna lebih luas dibanding arti lemah lembut dalam bahasa Indonesia. Ada 3 pengertian: (1) praus biasanya dikenakan pada binatang (khususnya kuda) yang sudah jinak; tidak lagi mengikuti kemauannya sendiri tetapi sudah dapat menerima pengarahan dan kendali dari tuannya. (2) kata praotes biasanya dipakai untuk menyebut sikap yang berada di tengah-tengah orgilotes (gampang dan suka marah) dan aorgesia (sama sekali tidak bisa marah). Jadi praotes sama dengan orang yang sabar (tidak suka marah, atau mengumbar amarahnya), tetapi dalam hal dan waktu tertentu dia bisa juga marah; tidak tinggal diam saja. (3) kata praotes adalah lawan dari kata hupselokardia (tinggi hati), jadi bisa diartikan rendah hati; tidak sombong dengan kelebihannya, tetapi juga tidak minder dengan kekurangannya. Dengan demikian seseorang dikatakan lemah lembut bila:
(1) ia punya kehendak tetapi kehendaknya itu ia tundukkan di bawah kehendak Tuhan. Ada ajaran dari aliran keagamaan tertentu yang memandang kehendak sebagai sumber penderitaan, karenanya harus dimatikan. Berangkat dari arti praotes kehendak itu tidak dimatikan (dan memang sebetulnya tidak bisa kita mematikan kehendak), tetapi dikendalikan. Sehingga kita tidak diperbudak oleh kehendak).
(2) ia bisa marah, tapi tidak lekas marah; bisa menguasai kemarahannya.
(3) ia akan menghadapi orang-orang yang lebih tinggi tanpa rendah diri dan orang-orang yang lebih rendah tanpa menjadi tinggi hati.
Kelima, iasabar (ay. 12). Di zaman sekarang ini tidak mudah menemukan orang yang sabar. Banyak orang cenderung cepat-cepat dan sembarangan dalam mengerjakan segala sesuatu. Atau ketika dalam masalah dan pergumulan, kita sering mendengar nasihat yang mengatakan, "Yang sabar ya." Lalu kita pun menimpali: "Kesabaran kan ada batasnya." Sebenarnya, apa itu kesabaran? Kesabaran adalah ketenangan hati dalam menghadapi cobaan; kesabaran adalah lawan dari kemarahan yang tidak pada tempatnya, kemampuan untuk menahan diri dalam menghadapi situasi-situasi sulit; sifat tenang; tabah; tidak tergesa-gesa atau terburu nafsu. Ketika orang lain marah, menyakiti atau berbuat jahat kepada kita, tanpa pikir panjang kita ingin segera mendamprat atau membalasnya. Apa bedanya kita dengan orang dunia jika demikian? Sebagai orang Kristen kita dituntut untuk memiliki kesabarn dan saling bersabar satu sama lainnya, sebab kesabaran adalah bagian dari kasih, dan kekristenan itu identik dengan kasih. Tertulis: "Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong" (1Kor. 13:4). Di samping itu, kesabaran merupakan bagian dari buah-buah Roh yang harus terpancar dalam kehidupan orang percaya (baca Gal. 5:22-23). Jika kita mengaku diri sebagai orang Kristen/pengikut Kristus tapi kita tak punya kesabaran, maka kita perlu bertobat! Dengan kesabaran, seseorang dapat melihat hal-hal yang positif di tengah kesukaran sekali pun. Bukankah banyak orang Kristen yang tidak sabar menantikan pertolongan dari Tuhan dan akhirnya mereka pun tidak mengalami beerkat-berkat Tuhan? Kesabaran adalah kunci untuk sebuah hubungan kerjasama yang baik. "Si pemarah membangkitkan pertengkaran, tetapi orang yang sabar memadamkan perbantahan." (Ams. 15:18). Pertengkaran dan permusuhan seringkali terjadi ketika ada pihak yang tidak sabar alias mudah tersulut emosi. Oleh karena itu "Jika amarah penguasa menimpa engkau, janganlah meninggalkan tempatmu, karena kesabaran mencegah kesalahan-kesalahan besar" (Pengk. 10:4).
Keenam,ia mampu mengampuni (ay. 13). Pengampunan adalah intisari iman Kristen. Kalau ibarat orang dagang, maka jualan utama kekristenan adalah : pengampunan!!! Menjadi orang Kristen berarti diampuni dan diterima oleh Allah. Menjadi orang Kristen berarti juga bersedia mengampuni dan menerima orang lain tanpa syarat! Mengampuni berarti melakukan dua hal, yakni: (1) Membebaskan: membuat orang yang berhutang (bersalah) bebas dari segala konsekuensi (hukuman) yang sebenarnya harus ditanggungnya. (2) Menghapuskan: menganggap hutang (kesalahan) itu sudah diputihkan. Dua hal tersebut membebaskan dan menghapuskan dosa (kesalahan) dilakukan Tuhan atas hidup kita saat kita percaya kepada Kristus. Demikian juga hendaknya kita melakukan hal itu kepada sesama kita. Sederhanya kita harus menjadi orang yang mudah melepaskan pengampunan.
Jika kita memiliki kasih, maka semua perbedaan akan dapat bersatu dan utuh, sebab kasih itu sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. Ungkapan kasih itu mempersatukan dan menyempurnakan, mengandung arti bahwa kasih itu mempunyai kekuatan yang luar biasa, yaitu kekuatan yang memampukan kita untuk membuang segala sifat buruk kita dan memampukan kita untuk mewujudkan kesatuan dan persekutuan yang indah dalam keluarga. Bukan berarti kalau ada kasih maka tiada perbedaan, perbedaan tetap ada tetapi kasih membuat masing-masing anggota keluarga dapat menerima perbedaan itu. Adanya kasih bukan berarti tidak ada pertengkaran, pertengkaran tetap saja bisa terjadi di antara sesama anggota keluarga, tetapi kasih membawa setiap anggota keluarga untuk dapat saling memafkan sehingga terwujud perdamaian.
Pdt. Stephen Tong pernah mengatakan: “cekcok kecil bahagia, cekcok besar bahaya, tidak pernah cekcok omong kosong”. Kasih yang demikian, harus dikomunikasikan dan diekspresikan. Kata “kenakanlah” yang dipakai di sini, berkenaan dengan pakaian (jubah). Jadi ini berarti kasih itu harus dipakai dan dipraktekkan. Kasih itu bukan sekedar teori melainkan harus dikomunikasikan dan diekspresikan. Bukan dengan sekedar kata-kata yang indah tetapi juga dalam sikap hidup. Sedikitnya ada 3 sikap “saling” sebagai ekspresi kasih, yaitu: saling memperhatikan, saling menerima dan saling memaafkan. Kalau saat ini, kita merasa bahwa kasih sudah mulai luntur bahkan sirna dalam keluarga kita. Mari kita memohon agar Tuhan mencurahkan kasih dalam keluarga kita. Dan kenakanlah kasih itu, sebab kasih itu mempersatukan dan menyempurnakan.
Dari paparan di atas, maka jelaslah bagi kita sekarang bahwa kita dipanggil menjadi orang-orang yang harus memiliki kasih ALLAH. Karena itu, mari belajar banyak dan mempraktikkan kasih sebagai orang-orang yang memiliki kasih Allah di tengah-tengah keluarga, gereja dan masyarakat. (rsnh)