Renungan hari ini:
“BERSUKACITA DAN MENANGISLAH BERSAMA”
Roma 12:15 (TB) "Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!"
Romans 12:15 (NET) "Rejoice with those who rejoice, weep with those who weep"
Perasaan manusia pada umumnya berada di antara dua keadaan: menangis dan tertawa. Menangis menandakan hati yang pedih, pilu, merana atau terharu. Sedangkan tertawa menandakan hati yang gembira, suka cita atau hidup terlepas dari tekanan hidup. Dua suasana hati ini tidak akan pernah tanggal dari keberadaan manusia. Dan manusia mengecap keadaan itu secara berganti-ganti. Hari ini menangis, esok bisa saja telah tertawa. Atau sebaliknya, hari ini kita tertawa, siapa tahu esok atau lusa, mungkin juga hari setelah itu, hati kita berubah dengan kepedihan.
Apa maksud firman di atas, kita menangis dengan yang menangis? Bersuka cita dengan yang bersuka cita? Tentu kita tahu orang yang sedih kerap memerlukan simpati dan perhatian orang lain. Ia ingin berbagi hal yang menyebabkan ia gundah. Agar dengan berbagi itu ia bisa merasa lebih lega. Ia butuh topangan orang di luar dirinya, terlebih jika sumber yang membuat sedih adalah problematik yang berat.
Kita bisa bayangkan keluarga yang ditinggal karena suami, istri, anak karena pandemi Covid 19. Ada suami yang kehilangan selama-lamanya istri dan anaknya. Anak-anak yang tiba-tiba direnggut ayah dan ibunya dari sisi mereka, keluarga yang tanpa mimpi kehilangan orang yang dikasihi (ayah, anak, kakak, adik). Mereka pasti membutuhkan bahu yang kuat untuk meletakkan kepala yang penuh kepedihan.
Kehadiran dan kesediaan kita mengerti perasaan yang tengah berbeban berat, sudah satu poin penguatan tersendiri. Dan aspek lain yang bisa kita gali dari himbauan firman Allah ini adalah agar kita bisa dipercaya, ya dipercaya untuk mengerti dan mendengar curahan hati dan batinnya. Ya, kita harus bisa menjadi orang yang dipercaya. Buat yang tengah sedih, tentu ia berbagi perasaan dan kesesakan hatinya tidak kepada sembarang orang.
Bagaimana dengan yang bersuka cita, mengapa kita harus bersuka cita pula? Kita pun harus bisa menempatkan diri. Jika dengan yang bersedih kita bersimpati dan berempati. Sedangkan dengan yang gembira kita pun menjadikan kita ikut gembira. Kita menikmati suasana kegembiraan sebagai bagian kebersamaan. Kita tidak ingin mereka bersuka cita dalam kesendirian tanpa teman.
Dengan kata lain, diungkapkan dalam satu kata, yaitu kita diminta firman Tuhan agar menjadi orang yang solider. Solider itu setia kawan. Saat kawan kita sedih kita setia menemaninya, demikin juga saat senang. Saat senang atau susah kita bisa hadir dalam hidup seseorang. Secara praktis, jika anak, suami, istri, ayah atau ibu, mengeluh dan perlu mencurahkan hati, apakah kita mau mendengarkannya? Dengan solider, Kita diam sejenak di samping mereka. Mendengar. Menyimak. Dan mereka merasakan Anda sungguh-sungguh bersimpati. Jika mereka menangis, mereka merasa kehadiran kita memampukannya untuk menyeka air mata di pipinya. Mereka merasa ada yang memberi waktu dan perhatian.
Dalam dunia serba sibuk, orang asyik dengan dirinya. Kepentingan pribadi membawa dia berkonsentrasi pada diri sendiri. Kita sadar bahwa banyak sekali urusan yang menyedot perhatian kita, dan sering sulit dihindarkan. Problem utama orang modern adalah: merasa ditinggalkan, merasa ditolak dan merasa tidak dikasihi.
Sebenarnya teknologi modern membantu kita. Jika secara fisik langsung kita tidak selalu bisa hadir, telpon, video call atau voice call sewaktu-waktu bisa membantu kita. Yang penting, kita merawat jiwa solidaritas kita. Dalam suasana apapun mereka tidak merasa ditinggalkan oleh Anda ataupun saya. Karena itu, marilah kita berusaha solider dengan semua orang di kala mereka dalam suasana suka maupun duka. (rsnh)
Selamat berakhir pekan dan besok kita beribadah kepada TUHAN