Sabtu, 02 November 2019

KOTBAH MINGGU XX SETELAH TRINITATIS Minggu, 03 Nopember 2019 “SEHATI UNTUK MENJALANKAN PERINTAH TUHAN”

Minggu, 03 Nopember 2019

Kotbah: Efesus 5:22-33        Bacaan: Kejadian3:6-13



Minggu ini kita akan memasuki Minggu Keduapuluh Setelah Trinitatis. Dalam Minggu ini kita akan membahas tema “Sehati untuk menjalankan perintah TUHAN”. Tema ini penting untuk kita bahas sebab setiap manusia berbeda-beda cara melakukan perintah TUHAN. Kesehatian dalam menjalankan perintah TUHAN tentu akan membawa manfaat yang baik. Itu sebabnya Paulus memberikan contoh pelaksanaan perintah TUHAN itu dalam kehidupan keluarga. Setiap keluarga Kristen haruslah sehati untuk menjalankan perintah TUHAN di dalam perjalanan kehidupan keluarganya sejak awal hingga akhirnya.

Namun yang sungguh disayangkan adalah kalau orang Kristen ketika me­ni­kah tidak me­nge­tahui konsep ini. Akibatnya, begitu ba­nyak orang Kristen yang ke­tika masuk dalam per­ni­kah­an tidak mengerti mengapa pernikahan harus se­demi­ki­an uniknya dan kekristenan begitu se­rius mengurus pernikahan karena memang di da­lamnya bukan sekedar pernikahan melainkan ada representasi antara Kristus de­ngan jemaat. Jikalau menikah menggambarkan representasi Kristus dan jemaat, ma­ka apakah yang harus dimunculkan di dalam pernikahan Kristen.

Mengapa kita harus sehati untuk menjalankan perintah TUHAN dalam kehidupan keluarga kita?

Pertama,  karena pernikahan itu bersifat agung dan sakral dan pernikah­an me­rupakan suatu relasi yang bersifat spiritual.  Isteri taat mutlak kepa­da suami se­perti jemaat taat mutlak ke­pada Kristus dan suami me­ngasihi isteri seperti Kristus menga­sihi jemaat. Keagungan pernikahan harus dimulai dari sejak pertama kali kita menikah dan dijaga di dalam perjalanan pernikahan. Kita tidak boleh mem­biarkan pen­cemaran terjadi di dalam per­ni­kah­an kita. Akan tetapi, dunia tidak mengerti hal ini se­hingga seringkali the glorious married di­gan­tikan dengan the glamour married. Ba­nyak pernikahan yang terlalu mewah tetapi tidak ter­da­pat keagungan di da­lam­nya. Pernikahan tidak tergantung dari berapa mewahnya tetapi betapa agungnya. Agung dan mewah merupakan dua hal yang berbeda.

Kedua, karena pernikahan mengandung aspek pertanggung-jawaban dari kita sebagai duta besar Allah di dalam dunia ini.  Jikalau dunia ingin melihat me­ngenai bagaimana Allah kita, mereka seharusnya dapat melihatnya dari hubungan suami-isteri orang Kristen. Seorang anak yang mau melihat siapa Allahnya se­ha­rus­nya dapat melihatnya dari hubungan orang tuanya. Me­lalui hubungan suami-iste­ri­lah dunia dapat melihat secara konkrit hubungan antara Kristus dan je­maat. Jikalau kita gagal merepresentasikan hubungan ini maka yang rusak bukan hanya kita me­la­inkan nama Kristus dan jemaat. 

Ketiga,  karena pernikahan ditandai dengan sifat kekal.  Hubungan Kristus de­ngan jemaat tidak dapat dihentikan dan tidak menge­nal istilah kontrak, de­mikian pula hubungan suami-isteri berlang­sung sampai kematian memisahkan. Di dalam hubungan seperti ini janganlah kita mengharapkan kesempurnaan tetapi le­bih merupakan proses yang harus digarap terus-me­ne­rus sehingga menjadi sem­purna.

Ketiga aspek inilah yang membuat kita harus sehati untuk menjalankan perintah TUHAN di tengah-tengah kehidupan keluarga kita masing-masing. Jika ketiga hal ini sudah kita pahami maka kita akan mudah melakukan tugas dan tanggung jawab kita baik sebai suami maupun sebagai istri.

Secaca sederhana Paulus menunjukkan hal-hal praktis bagi suami dan istri untuk menjalankan perintah TUHAN di dalam kehidupan keluarga Kristen. Apakah tanggunjawab suami istri sebagai wujud untuk melakukan perintah TUHAN dalam kehidupan keluarga?

Pertama,  tanggung jawab istri (ay. 21). Ada dua hal yang harus dilakukan seorang istri di dalam keluarga, yakni:
1. Tunduk pada suami. “Tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” – perhatikan tidak ada persyaratan di sini! Bukan “tunduklah kepada suamimu kalau…..”. Yang dibutuhkan adalah ketaatan, bukan berdasarkan perasaan dan kondisi. Istilah “tunduk” sama dengan istilah yang dipakai di ayat sebelumnya (ay. 21): “Rendahkanlah dirimu” = tunduk (istilah aslinya), dan merupakan kalimat perintah. Untuk ayat 21, perintah itu diberikan pada semua orang Kristen, yang harus kita lakukan terus menerus dalam perjalanan hidup kekristenan kita. Semakin kita terbiasa untuk rendah hati, akan semakin mudah perjalanan pernikahan kita, karena kita sudah terbiasa untuk melakukan hal tersebut. Ini bukan berarti istri lebih rendah pada suami, tapi sejajar, namun mempunyai role yang berbeda. Role istri adalah penolong, dan suami lah yang harusnya menjadi pemimpin di keluarga.
2.   Menghormati suami. Di ayat ini juga mau menyatakan bahwa istri tunduk pada suami selama itu ada di dalam Tuhan. Jadi bukan berarti untuk hal hal yang kecil-kecil. Istri-istri (atau wanita), belajarlah untuk menghormati suamimu (atau laki-laki). Bisa seorang istri diam saja namun hatinya susah dan tidak menghormati suaminya. Ada juga istri yang selalu bicara atas kejelekan suaminya, tidak menghormati dia. Kalau istri sering merendahkan suami di depan anak-anak atau di depan umum, maka suami tidak akan dihormati (oleh anak-anak maupun orang lain). Kalau seorang istri bisa sungguh-sungguh menghargai Kristus yang adalah kepala jemaat dan dekat padaNya, saat menyadari betapa Yesus tidak pernah menggerutu dan suka cita tunduk pada Bapa, bahkan sampai mati di kayu salib, tidak mungkin seorang istri akan merendahkan dan tidak menghormati suaminya!

Kedua, tanggung jawab suami (ay. 25-27). Tugas suami juga ada dua, yakni:
1.   Mengasihi istri seperti Yesus Kristus mengasihi jemaat (ay. 25-27). Ayat ini pun merupakan suatu kalimat perintah dan tidak bersyarat. Kasih yang penuh dedikasi dan komitmen, tidak bersyarat! Kalau suami butuh untuk respect, seorang istri butuh untuk sebuah kasih. Kasih yang sesungguhnya fokus pada behavior kita, bukan feeling kita. Apa yang kita bisa lakukan untuk menyenangkan pasangan kita; karakter jelek kita yang harus dibuang, dll.
2.   Mengasihi istri seperti tubuhnya sendiri seperti Yesus Kristus merawat/memelihara jemaat (ay. 28-32). Sama seperti Yesus bersatu dengan jemaatNya, demikian halnya suami bersatu dengan istrinya. Kalau kita tidak bisa merawat tubuh kita, maka kita tidak akan bisa efektif dalam mengasihi istri/orang lain. Ketika para suami hidup tidak beraturan, tidak memperhatikan dirinya dengan baik, maka akan ada masalah saat berhubungan dengan istri.

Keharmonisan rumah tangga bukanlah tergantung dari lamanya usia pernikahan, kondisi, situasi dan lain-lain, tetapi seringkali itu tergantung dari bagaimana kita sendiri menyikapi atau menghidupinya. Kita bisa menikmati sebuah keindahan hubungan yang harmonis, puitis penuh romansa, karena kunci rahasianya sudah diberikan Tuhan bagi setiap kita masing-masing. Karena itu, setialah melakukan perintah TUHAN, maka kehidupan rumahtangga kita akan bahagia selalu. (rsnh)

Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN

Renungan hari ini: “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH” (Daniel 3:3)

  Renungan hari ini:    “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH”   Daniel 3:3 (TB2) "Lalu berkumpullah para wakil raja, para penguasa, para bupa...