Renungan hari ini:
“MENGEKANG LIDAH”
Yakobus 1:26 (TB) "Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya"
James 1:26 (NET) "If someone thinks he is religious yet does not bridle his tongue, and so deceives his heart, his religion is futile"
Lidah memang tidak bertulang, tetapi harus dijaga oleh gigi. Lidah adalah bagian anggota tubuh yang kecil, tetapi dapat membuat segala perkara menjadi besar (Yak. 3:5). Dengan perkataan, kita dipercaya dan tidak dipercaya. Dipuji dan dicemooh. Kata-kata menentukan masa depan (Ams. 18:21)). Dan, karena kata-kata jugalah kita terlepas dari masalah atau malah terjerat masalah (Ams. 21:23). Namun, kejahatan lidah tidak hanya berkisar seputar fitnah, dusta, atau verbal bullying. Ada sejumlah dampak buruk lain yang dapat dipicu oleh perkataan. Apa saja dampak buruk dari perkataan?
Pertama, perkataan yang sia-sia. Tetapi ada orang yang tidak sampai pada tujuan itu dan yang sesat dalam omongan yang sia-sia (1 Tim. 1:6). Omongan yang sia-sia adalah ucapan yang tidak jelas, belum terbukti, yang membuat lawan bicara kita sulit memahami pesan yang ingin disampaikan, atau tidak ada faedahnya.
Perkataan yang “lain di bibir, lain di hati” juga termasuk omongan yang sia-sia. Misalnya, orang yang memiliki pengetahuan tentang firman bisa jadi hanyamengutip apa yang kedengarannya benar—bukan karena itu keluar dari keyakinannya sendiri. Berhati-hatilah dengan hal ini. Kita menunjukkan seakan-akan kita hebat, punya hidup rohani yang sempurna. Padahal, kenyataannya kita butuh bantuan dan bimbingan, atau harus memperbaiki kelemahan kita.
Ucapan sia-sia membuat kita tidak mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu pertolongan untuk menjaga hati kita tetap benar di hadapan Tuhan. Jadi, jangan sampai akibat lidah yang sembarangan mengucap, kita justru gagal memperoleh nasihat dan arahan agar tidak salah langkah.
Kedua, tidak bisa mengekang lidah. Jika kita bertemu seseorang yang giat beribadah dan melayani dengan luar biasa, tapi sering melontarkan kata-kata kotor, kasar, tidak pantas, tidak membangun, dan menjatuhkan orang lain, bagaimana pandangan kita terhadap orang tersebut? Pasti tidak aka nada yang terpesona, apalagi terkagum-kagum dengan ibadah atau pelayanannya. Sebaliknya, mungkin kita akan berkomentar, “Percuma dia beribadah, kata-katanya tidak mencerminkan orang yang mengaku percaya Yesus.”
Bagi Tuhan, ibadah menjadi sia-sia ketika kita tidak bisa mengekang lidah. Saat sedang marah, apakah kita mengeluarkan sederet nama satwa, umpatan, atau hujatan kasar? Apakah kita mudah berbohong dan sulit berkata jujur? Ketika tidak suka atau kecewa dengan seseorang, apakah kita menyebarkan keburukannya dan sengaja membentuk opini publik agar menyetujui ketidaksenangan Anda terhadap dirinya? Jika hal-hal itu masih terjadi, berarti kita belum mengekang lidah kita. Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia (Ef. 4:29).
Saat kita marah, ingatlah bahwa kita punya kendali atas lidah kita. Gunakan kata-kata yang membangun, bukan yang menjatuhkan dan membuat orang lain merasa tidak berharga. Disiplinkan, didik, dan bimbing dia dengan ucapan kita. Jangan malah sengaja menghancurkan hatinya, atau membuat orang lain terlihat bodoh. Bukannya mendapat hormat, bisa jadi Anda malah dapat musuh dan tidak berbuah di dalam Tuhan.
Ketiga, asal bicara. Kebiasaan “asal bunyi” seperti ini, apalagi sampai berbohong, bisa menjadi senjata makan tuan. Oleh karena itu, bijaklah dalam berkata-kata. Bicarakan hal yang benar, baik, serta bermanfaat bagi diri sendiri dan sesama, bukan agar kita terlihat pintar, saleh, atau keren. Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya (Ams. 18:21).
Keempat, terlalu cepat menilai orang. Jika kita mendapatkan info atau rumor tentang seseorang, jangan langsung percaya begitu saja, apalagi diteruskan kepada orang lain sebagai bahan gosip. Usahakan tidak hanya mendengar dari pihak penyampai cerita, tetapi cari tahu the cerita lain dari pihak pertama yang benar-benar mengalaminya. Kenapa? Kadang kala, sebagai pihak kesekian dari rantai informasi, kita mendapatkan cerita yang bias atau sudah menyimpang dari inti masalah. Dengan membuat penilaian hanya berdasarkan kabar yang belum terbukti, kita sudah bersikap tidak adil terhadap orang yang bersangkutan. Karena itu, waspadalah berkata-kata dan jagalah perkataan kita agar tidak membuat ibadah kita sia-sia. (rsnh)
Selamat berakhir pekan dan besok kita beribadah kepada TUHAN