Minggu, 02 September 2018
“HIDUP DALAM KEMURAHAN HATI”
Kotbah: 1Raja 17:7-16 Bacaan: Kisah 28:1-10
Minggu ini kita memasuki Minggu Keempatbelas Setelah Trinitatis. Tema yang akan kita renungkan adalah “Hidup dalam kemurahan hati”.Hidup dalam kemurahan hati berasal dari hati yang rela dan tulus. Hal itu dibuktikan seorang janda di Sarfat. Meski dalam keadaan kurang, ternyata ia lebih suka membagikan makanannya. Memang dia dalam keadaan kritis karena tak ada makanan untuk esok hari. Tetapi, dalam keadaan serba sedikit itu, dia masih mau memberi.
Janda itu, kita tidak pernah tahu namanya, sejatinya berani mengambil risiko dengan memberi makan Elia karena ada harapan di sana. Bagaimanapun, Elia berjanji bahwa Allah Israel akan memberinya makan. Pilihan cuma dua. Pertama,tidak memberi makan. Artinya, nasibnya sudah jelas, tak ada makanan untuk esok hari. Itu berarti, dia dan anaknya tinggal menunggu ajal. Kedua,memberi makan. Kalau dia memberi Elia makan, masih ada dua kemungkinan: tetap mati, sebagaimana kalau tidak memberi makanan; atau hidup, sebagaimana janji Elia.
Janda di Sarfat memilih yang kedua karena ada harapan di sana. Harapan memang belum terjadi. Tetapi, Sang Janda menggantungkan dirinya pada harapan itu. Hasilnya, tepung dan minyak selalu tersedia hari demi hari. Ketersediaannya memang sehari demi sehari. Jadi, tidak langsung jatuh dari langit, satu kuintal tepung dan 100 liter minyak. Tetapi, sehari demi sehari. Allah mencukupkan hidup mereka bertiga, Elia, janda, dan anaknya, sehari demi sehari.
Di mata Elia, janda di Sarfat itu telah memperlihatkan wajah Allah. Melalui janda itu, Sang Nabi bisa merasakan kasih Allah. Jangan lupa, janda itu merupakan orang asing, musuh Israel lagi. Tetapi, dia mau dipakai Allah untuk memberikan kehidupan kepada Elia melalui berbagi dalam kekurangannya.
Timbul pertanyaan kita sekarang, apakah ciri-ciri orang yang hidup dalam kemurahan hati?
Pertama, ia mampu mengasihi sesama manusia. Di dalam penderitaan, ia harus mengalami ujian iman dengan menerima seorang asing di tengah kesusahannya. Dia bertemu dengan Nabi Elia dan mempersilahkannya masuk ke rumah meski berdasarkan pandangan budaya Timur bisa membuat posisinya tidak nyaman. Tetapi sikap ramah mengalahkan sikap negatif. Tak ada alasan untuk tidak mengasihi dan menolong orang lain.
Kedua, bertindak dengan Iman yang besar. Ia tak hanya menyambut Elia dengan ramah, tetapi ia juga menurut ketika diperintahkan Elia untuk membuat roti baginya meski pada saat itu, ia hanya punya sedikit tepung dan minyak, hanya cukup untuk membuat sepotong kecil roti (ay. 11-12). Ini adalah langkah iman, ia tak ingin mencari alasan untuk menolak permintaan itu. Dia memberikan semua yang dia punya kepada Elia dan menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Ia percaya pada perkataan Elia bahwa tepung dan minyak itu tidak akan habis.
Ketiga, memberi yang terbaik kepada Tuhan. Tindakan janda ini memberi seluruh miliknya kepada Elia membuktikan bahwa ia memiliki kasih yang besar kepada Tuhan. Memang saat itu Elia terkesan hanya mementingkan perut sendiri. Tetapi pada kenyataannya, Tuhan bekerja memelihara hidup janda Sarfat lebih dari sebelumnya. Tuhan tidak pernah meninggalkan anaknya yang setia. Kasih kepada Tuhan tidak pernah kehilangan balasannya. Barangsiapa mengasihi dan mengutamakan Tuhan, tidak pernah ditinggalkan-Nya. Karena itu, bertindaklah senantiasa dengan iman dan kepercayaan maka pemeliharaan Allah akan tetap terjadi. (rsnh)
Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN