Minggu, 21 Oktober 2018
Kotbah: Roma 12:1-3 Bacaan: Yosua 24:14-24
Minggu ini kita akan memasuki Minggu Keduapuluh satu Setelah Trinitatis. Dalam Minggu ini kita akan membahas tema “Ibadah yang Sejati”. Ibadah yang sejati merupakan ibadah yang berkenan kepada TUHAN. Ibadah itu tidaklah sebatas sebuah persekutuan yang melakukan ritus di tempat-tempat tertentu. Atau sebatas kegiatan liturgis pada waktu-waktu tertentu, dan atau urusan pribadi dengan Tuhan.
Ibadah dalam konsep Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru mempunyai arti pelayanan. Dalam istilah Ibrani disebut avoda sedangkan dalam bahasa Yunani disebut latreia.Istilah avoda merujuk kepada ibadah di kuil dan khusus lebih mengarah dalam hal berdoa. Ibadah sebenarnya merupakan suatu pelayanan yang dipersembahkan/ketaatan kepada Allah, tidak hanya dalam arti ibadah di Bait Suci (berdoa), tetapi juga dalam arti pelayanan kepada sesama (Luk.10:25; Mat.5:23, Yoh.4:20-24, Yak.1:27).
Pertanyaan kita sekarang adalah apa yang perlu kita lakukan agar ibadah kita berkenan kepada TUHAN?
Pertama, kita harus mempersembahkan totalitas kehidupan kita kepada TUHAN (ay. 1). Arti “mempersembahkan” ialah menyerahkan diri secara total dan dalam keadaan “hidup, kudus dan yang berkenan kepada Allah” bukan asal apa adanya! Apa yang menjadi kehendak-Nya? Tuhan berkata kepada Samuel tentang Daud, “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi …. Tuhan melihat hati” (1Sam. 16:7). Hati yang mengasihi, hati yang taat, hati yang murni, hati yang bersih! Tuntutan Tuhan “dengan segenap hati” (Ul. 6:5); “bersungguh hati” (2Taw. 16:9). Raja Hizkia dinyatakan dalam Firman, “Semuanya dilakukannya dengan segenap hati sehingga segala usahanya berhasil” (2Taw. 31:21) – dia berhasil karena melakukan tugasnya dengan segenap hati. Serahkan hidupmu dengan segenap hatimu bukan dengan setengah hati dan nyatakan seperti nabi Yesaya, “ini aku, utuslah aku!” (Yes. 6:8). Ini adalah sikap yang benar, “bahwa kamu bukan milik kamu sendiri” (1Kor. 6:19-20).
Kedua, kita harus mampu memperbarui pola pikir kita (ay. 2). “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: ….” (ay. 2). Serupa dengan dunia harus dihindarkan tetapi kita harus tampil beda. Hal-hal yang duniawi harus menjadi hal-hal yang rohaniawi! Dan ini dapat terjadi lewat “pembaharuan budimu”. Kata “budi” atau “akal budi” dapat diartikan pikiran. Jadi adakan perubahan pemikiran atau pola pikir kita. Bagaimana pelaksanaan perubahan dapat terjadi? Rasul Yakobus berkata “terimalah dengan lemah lembut firman yang telah tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu” (Yak. 1:21) sedangkan “jiwamu” terdiri dari 3 unsur yaitu: kehendak, pikiran dan perasaan. Dibutuhkan Firman tetapi juga dibutuhkan kuasa Roh Kudus untuk memperbaharui pikiran kita! Rasul Paulus berkata, “supaya kamu menerima segala hikmat dan pengertian yang benar, untuk mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna” (Kol. 1:9) dan sebagai akibatnya kita akan “berpikir seperti Kristus” dan “berbuat seperti Kristus”. Mampukah manusia berubah? Saulus berubah, Zakeus berubah karena mereka dijamah dengan kuasaNya (baca Kisah 9 dan Lukas 19)
Ketiga, kita harus mampu menguasai diri dalam pelayanan (ay. 3). Apa yang telah Tuhan karuniakan dalam kehidupan kita, terimalah dengan tanggung jawab penuh atau gunakan dengan kesungguhan hati. “Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada yang patut kamu pikirkan” (ay. 3) tetapi “jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani; jika karunia untuk mengajar baiklah kita mengajar; jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati” (ay. 7-8). Pesan Rasul Paulus agar kita melakukannya dengan “hati yang ikhlas …. dengan rajin … dengan sukacita” (ay. 8). Hamba yang malas dan tidak berguna akan dibuang oleh Tuhan (baca Mat. 25:30).
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah makna ibadah sejati itu dalam kehidupan kita sehari-hari?
Pertama,ibadah sejati adalah ibadah totalitas. Ibadah sejati bukanlah ibadah fenomenal, kelihatan aktif di berbagai kegiatan gereja. Ibadah sejati adalah ibadah totalitas, artinya menyeluruh di dalam seluruh aspek hidup kita. Hal ini diajarkan Paulus di dalam ayat ini dengan mengatakan bahwa kita harus mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan/kurban yang hidup. Kata “mempersembahkan” dalam bahasa Yunani bisa diterjemahkan “menyembahkan”. Kembali, kata yang dipergunakan di sini menggunakan bentuk aktif. Berarti, ibadah sejati adalah ibadah yang terjadi ketika kita secara aktif mempersembahkan/menyembahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan. Itulah arti berserah total. Berserah adalah kita berani menyerahkan seluruh hidup kita dikuasai oleh Kristus sebagai Tuhan, Raja, dan Pemerintah hidup kita. Ketika kita menyerahkan hidup kita, dengan kata lain, kita juga harus berani menyesuaikan hidup kita dengan kehendak Tuhan. Di sini, saya menggabungkan konsep berserah dengan menyangkal diri. Ketika kita berserah, di saat yang sama kita menyangkal diri untuk mengatakan “tidak” kepada kehendak kita dan mengatakan “ya” kepada kehendak-Nya. Hal ini diteladani sendiri oleh penulis surat Roma, yaitu Paulus. Paulus adalah salah satu rasul Kristus yang sudah menyerahkan totalitas hidupnya kepada Kristus (Flp. 1:21), dan di saat yang sama, ia bisa mematikan kehendaknya yang berlawanan dengan kehendak Allah. Kapan Paulus berani mematikan kehendak dirinya sendiri? Ketika Paulus mendapatkan suatu hambatan (baca: 2Kor. 12:7-9). Para penafsir tidak sepakat ketika menafsirkan arti “duri dalam daging” di dalam 2Kor. 12:7 ini. Ada yang menafsirkan penyakit, ada juga yang menafsirkan hambatan/halangan dalam pelayanan Paulus. Intinya hanya satu: tantangan/hambatan dalam pelayanan Paulus (bisa berupa penyakit, dll). Ketika Tuhan menguji Paulus dengan “duri dalam daging”, Paulus pernah berdoa 3x memohon agar Tuhan mencabut duri itu, tetapi Tuhan menolaknya, dan Paulus taat (baca ayat 9-10). Bahkan di dalam penderitaan, Paulus pun dengan berani tetap percaya kepada-Nya (2Tim. 1:12). Biarlah kita meneladani Paulus sebagai rasul Kristus yang telah menjalankan apa yang diajarkannya sendiri di bagain ini. Adalah suatu ketidakmasukakalan jika orang yang menyanyikan “Aku Berserah”, tetapi masih percaya kepada kehendak diri yang lebih baik daripada kehendak Tuhan.
Kedua,ibadah sejati adalah ibadah yang kudus. Bukan saja sebagai kurban/persembahan yang hidup, Paulus juga menasihatkan jemaat Roma agar mereka juga mempersembahkan tubuh mereka sebagai kurban yang kudus. Kudus berarti dipisahkan (separated). Dengan kata lain, dengan mempersembahkan tubuh kita sebagai kurban yang kudus, berarti kita memiliki keunikan yang lain dari dunia ini. Paulus bukan hanya mempersembahkan tubuh/hidupnya sebagai kurban yang hidup, tetapi ia juga mempersembahkan hidupnya sebagai kurban yang kudus. Dari manakah ia mempersembahkan kurban yang kudus itu? Dari Roh Kudus. Roh Kudus yang telah menguduskan hidup Paulus dan umat Tuhan, Ia menuntut kita untuk mempersembahkan tubuh yang telah dikuduskan-Nya itu untuk dipakai memuliakan Tuhan. Kepada jemaat Korintus, Paulus mengajarkan konsep ini di dalam 1Kor. 6:19-20, “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, --dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” Melalui dua ayat ini, kita mendapatkan gambaran yang lebih jelas bahwa tubuh kita adalah bait Roh Kudus atau dikuduskan Roh Kudus di dalam penebusan Kristus, sehingga kita harus memuliakan Tuhan melalui tubuh kita. Kata “tubuh” baik di dalam Roma 12:1 maupun 1Kor. 6:19-20 sama-sama menggunakan kata Yunani soma. Karena Roh Kudus yang telah menguduskan tubuh/hidup kita, maka kita harus mempersembahkan tubuh kita sebagai kurban yang kudus bagi-Nya yang berbeda dari dunia.
Ketiga,ibadah sejati adalah ibadah yang menyenangkan Allah. Bukan hanya hidup dan kudus, ibadah sejati adalah ibadah yang berkenan kepada Allah. Kata “berkenan kepada Allah” adalah ibadah yang menyenangkan atau memuaskan Allah. Bagaimana ibadah bisa dikatakan menyenangkan Allah? Ibadah bisa menyenangkan Allah ketika ibadah dilakukan (baik di gereja ataupun kehidupan sehari-hari) bukan memuliakan diri, tetapi memuliakan Tuhan. Ibadah yang memuliakan diri adalah ibadah yang menggunakan segala cara untuk menyenangkan diri sebagai objek dan subjek ibadah. Ini dilakukan oleh orang-orang kafir di dalam Alkitab. Mereka beribadah untuk mencari keuntungan. Tetapi ibadah yang berpusat pada Allah yang menyenangkan-Nya adalah ibadah yang memuliakan Dia saja (Soli Deo Gloria). Bukan hanya ibadah, pelayanan kita kepada Tuhan pun juga demikian. Di dalam pelayanan, pelayanan yang menyenangkan Allah adalah pelayanan yang berpusat dari Allah, oleh Allah, dan bagi Allah saja (Rm. 11:36). Sehingga pelayanan yang berpusat pada Allah adalah pelayanan yang tidak mencari keuntungan sendiri. (rsnh)
Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN