Minggu, 19 Maret 2023
“BERSUKACITA KARENA PERCAYA”
Kotbah: Yohanes 9:35-41 Bacaan: Mazmur 5:8-13
Minggu ini kita memasuki Minggu Letare yang artinya bersukacitalah senantiasa bersama-sama Yerusalem –(Marjop ni roha jana marmoga-moga di bagasan Debata - Yes. 66:10a). Dalam memasuki dan menjalani Minggu ini kita akan dikuatkan dan diarahkan Firman Tuhan dengan tema “Bersukacita karena Percaya”. Kata kunci dalam rasa sukacita adalah “percaya”. Orang buta itu merasakan sukacita besar karena ia percaya kepada Yesus. Dari iman percaya itulah dia beroleh anugerah kesembuhan dari Tuhan Yesus.
Kotbah Minggu ini tidak bisa dilepaskan dari ayat 1-34 karena di sanalah dimulai cerita penyembuhan orang buta oleh Yesus. Orang buta yang disembuhkan itu melakukan perintah Yesus untuk pergi ke Sinagoge membersihkan dirinya di hadapan imam agar dia bisa diterima menjadi angota masyarakat dengan baik. Namun dalam ayat 34, orang buta yang dicelikkan ini ditegur dengan keras lalu diusir keluar oleh orang-orang Farisi. Diusir ini artinya bukan sekedar pengusiran keluar dari satu ruangan untuk pindah ke luar atau ruang lain –itu pengusiran yang sederhana, meski sakit hati juga—tetapi ini pengusiran dalam arti ekskomunikasi. Jadi orang ini, yang tadinya dianggap sebagai orang Yahudi sejati yang boleh beribadah kepada Yahweh di Bait Allah, sekarang sudah di-cut dari komunitas itu. Kita sulit memahami pengusiran seperti ini karena kita hidup di zaman modern, tinggal di kota besar, yang juga banyak pilihan gereja.
Respon orang buta yang diusir ini adalah dia bersaksi di hadapan para imam Yahudi bahwa yang menyembuhkan dirinya adalah Yesus. Dia memilih untuk dengan berani bersaksi tentang Kristus, yang dia belum kenal secara sempurna, daripada cari aman, daripada memelihara kenyamanan akses sosial dengan diterima oleh masyarakat dan pemeluk-pemeluk agama. Bagi dia, itu tidak lebih berarti daripada kesaksian yang jujur tentang siapa itu Kristus.
Pertanyaan kita sekarang adalah apakah yang membuat orang but aitu bersukacita? Ada beberapa alasan yang membuat orang but aitu bersukacita, yakni:
Pertama, karena Yesus menjumpai orang buta saat dia diusir oleh orang Farisi (ay. 35). Waktu Yesus mendengar dia diusir keluar, Yesus bertemu dia –Yesus yang menjumpai dia—dan kemudian berkata: "Percayakah engkau kepada Anak Manusia?” Mujizat kesembuhan ini belum selesai –sebagaimana sudah sering kali kita katakan bahwa yang penting bukan mujizatnya. Mujizat adalah membawa seseorang yang dalam hal ini tadinya buta secara jasmani untuk kemudian melihat secara jasmani, dan ini adalah tanda (dalam bahasa Yunani: semeia) yang menunjuk kepada realita yang lebih tinggi, yaitu Pribadi Yesus. Yesus bukan hanya mau menyembuhkan orang yang buta secara jasmani supaya dia bisa melihat secara jasmani, tapi terutama Dia mengeluarkan orang yang berjalan di dalam kegelapan dosa –buta secara rohani—supaya dia bisa melihat secara rohani. Kalau cuma buta secara jasmani menjadi melihat secara jasmani, itu memang hal yang luar biasa, tapi tetap belum selesai. Di dalam prinsip Injil Yohanes, yang penting adalah apakah seseorang semakin mengenal Kristus, dengan atau tanpa tanda. Orang buta yang sudah dicelikkan ini, tahu bahwa itu suatu perbuatan ajaib yang dirinya sudah alami, tapi kemudian Yesus menyelesaikan yang belum terjadi, yaitu supaya orang ini bisa melihat Kristus, melihat Mesias, melihat Anak Manusia, dan percaya kepada-Nya. Maka waktu Yesus menanyakan "percayakah engkau kepada Anak Manusia”, ini suatu progressive revelation, yang tidak berhenti hanya pada mujizat penyembuhan, tetapi membawa orang ke dalam pengenalan akan diri Yesus sendiri.
Kedua, karena orang buta itu percaya kepada Yesus (ay. 38). Mungkin peristiwa kesembuhan dan pengusiran orang buta itu dari komunitas Yahudi diketahui oleh banyak orang, termasuk oleh Yesus (ay. 35). Setelah ditinggalkan dan diusir manusia, kembali Tuhan menjumpai orang yang tadinya buta itu. Rupanya Yesus tahu, Yesus mendengar apa yang selama ini terjadi padanya. Yesus menaruh perhatian dan sekali lagi berinisiatif menjumpainya. Perjumpaan kali ini sangat berbeda dibandingkan perjumpaan pertama. Setelah kebutaan fisiknya disembuhkan – kali ini kebutaan rohaninya dicerahkan. Apa yang selama ini menjadi ketidaktahuan orang ini menjadi nyata berkat pertemuan denganNya. Bukan hanya “melihat” Dia melainkan juga “berkata-kata”; bertukar pikiran, berkomunikasi dua arah dengan dirinya. Dan perjumpaan ini Yesus bertanya “Percayakah engkau kepada Anak Manusia?“. Anak Manusia adalah gelar dari Sang Mesias (lih. Dan. 7:13). Bagi Yesus, kesembuhan fisik dari orang buta tersebut tidaklah cukup. Inilah sebabnya, Yesus tidak bertanya apa yang akan dilakukan oleh orang buta itu setelah di-ekskomunikasi dari komunitas Yahudi, melainkan Yesus bertanya “Percayakah engkau kepada Anak Manusia?” Tidak ada keraguan dalam diri orang buta tersebut bahwa Anak Manusia adalah merujuk kepada Sang Mesias, sehingga dia berkata “Siapakah Dia, Tuhan? Supaya aku percaya kepada-Nya” (ay. 36). Dan jawaban Yesus membuatnya tersungkur menyembahNya: “Aku Percaya Tuhan!” Kalau pada pertemuan pertama Yesus memberikan terang bagi kebutaan mata orang itu, maka pada pertemuan ke dua, Yesus memberikan terang spiritual, sehingga orang buta itu dapat memperoleh terang keselamatan. Dan dengan penuh kasih Yesus memberikan jati diri-Nya kepada orang buta tersebut “Engkau bukan saja melihat Dia; tetapi Dia yang sedang berkata-kata dengan engkau, Dialah itu!” (Yoh. 9:37). Mendengar perkataan Yesus, orang buta itu bersembah sujud dan berkata “Aku percaya, Tuhan!” (ay. 38). Di sinilah orang buta tersebut melihat terang Sorgawi, terang yang membawanya kepada keselamatan kekal.
Ketiga, kita harus menyadari diri sebagai orang buta. Untuk memperoleh iman seperti orang buta tersebut, diperlukan suatu kondisi, yaitu seseorang harus menyadari bahwa dia adalah seorang yang buta. Hal ini berarti, iman yang benar seperti ini hanya dapat dicapai ketika seseorang menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa dirinya adalah seorang yang berdosa.
Yesus menegaskan hal ini dengan berkata “Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat” (ay. 39). Kerendahan hati membuat rahmat Tuhan mengalir secara bebas dalam kehidupan seseorang, sehingga pada akhirnya rahmat Tuhan ini menuntun orang tersebut kepada keselamatan. Bahkan dapat disimpulkan bahwa tanpa kerendahan hati, seseorang tidak akan mungkin memperoleh keselamatan, seperti yang ditegaskan oleh Yesus “…supaya barangsiapa melihat menjadi buta.” Orang yang buta namun tidak menyadari kebutaannya – seperti yang ditunjukkan oleh orang-orang Farisi (ay. 40) – adalah sungguh tragis dan ini merupakan pernyataan kesombongan mereka. Kesombongan inilah yang menjadi penghalang bagi rahmat Tuhan untuk mengubah kehidupan mereka. Oleh karena itu, hidup mereka akan terus berada di dalam kegelapan.
Siapa yang dipercaya banyak, dituntut lebih banyak. Orang yang tidak buta seharusnya tidak tersandung dan tidak menjadi batu sandungan, serta dia tetap berjalan dalam terang. Maka, orang percaya yang telah melihat, namun tetap hidup dalam kegelapan, lebih besar dosanya daripada orang yang buta. Yesus berkata, “Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu” (ay. 41).
Orang-orang Farisi yang mempunyai pengetahuan yang begitu luas, terpelajar, dan tahu tentang tanda-tanda dari Sang Mesias, tetapi mereka tidak mau percaya akan segala kenyataan yang terbentang di depan mata, bahwa Yesus adalah Mesias yang dijanjikan. Padahal sesungguhnya, mereka tidak mempunyai alasan untuk tidak percaya. Maka, ketidak percayaan mereka ini disebabkan oleh kekerasan hati mereka. Yesus menegaskan hal ini dengan berkata “Tetapi barangsiapa tidak tahu akan kehendak tuannya dan melakukan apa yang harus mendatangkan pukulan, ia akan menerima sedikit pukulan. Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut.” (Luk 12:48).
RENUNGAN
Apa yang hendak kita renungkan dalam Minggu Letare ini?
Pertama, hiduplah dalam terang Kristus. Dari perikop ini, maka kita melihat perjalanan iman dari orang buta, yang sebenarnya merupakan refleksi dari perjalanan iman kita. Kita yang telah disembuhkan dari kegelapan – karena dosa asal – lewat baptisan, dituntut untuk terus hidup dalam terang. Dan kita semua juga diundang oleh Kristus untuk menjadi duta atau utusan Kristus (lih. 2 Kor. 5:20) untuk mewartakan kabar gembira sampai pada kedatangan Kristus yang kedua.
Kedua, beritakanlah Yesus Kristus dalam hidup kita. Kita dituntut untuk menyebarkan terang Kristus kepada semua orang, sehingga semua orang juga dapat sampai kepada sumber Terang, yaitu Kristus. Di manapun tingkat spiritualitas kita, kita sekali lagi diingatkan bahwa kita harus senantiasa kembali kepada sikap kerendahan hati. Kerendahan hati inilah yang memungkin seseorang yang berada dalam kegelapan dapat melihat terang, dan orang yang berada dalam terang tidak terjatuh dalam kegelapan serta semakin memancarkan terang Kristus. Mari kita semua memegang teguh apa yang Yesus katakan “Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup.” (Yoh 8:12). Karena itu, bersukacitalah di dalam Tuhan sebab Ia telah mencelikkan mata rohani kita. (rsnh)
Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN