KOTBAH MINGGU XX SETELAH TRINITATIS
Minggu, 13 Oktober 2024
“ORANG BENAR AKAN HIDUP OLEH PERCAYANYA”
Kotbah: Habakuk 2:1-4 Bacaan: Roma 1:16-17
Minggu ini kita akan memasuki Minggu Keduapuluh Setelah Trinitatis. Dalam Minggu ini kita akan membahas tema “Orang Benar akan Hidup oleh Percayanya”. Frasa “Orang Benar Akan Hidup Oleh Percayanya” sebuah prinsip penting dalam kehidupan rohani orang percaya yang melampaui batasan situasi dan kondisi. Frasa ini mengandung arti yang dalam tentang bagaimana orang benar seharusnya menjalani hidupnya di hadapan Tuhan, bukan berdasarkan situasi yang terlihat, melainkan berdasarkan iman yang teguh pada Tuhan.
Ada beberapa pelajaran penting yang kita dapatkan dari perikop ini, yakni:
Pertama, kehidupan orang benar berpusat pada iman kepada Tuhan. Kehidupan orang benar sepenuhnya didasarkan pada iman mereka kepada Tuhan. Kata “hidup” dalam konteks ini tidak hanya merujuk pada kehidupan fisik, tetapi juga kehidupan rohani yang memiliki makna, tujuan, dan arahan yang jelas. Hidup di sini mencakup segala aspek keberadaan kita: hubungan dengan Tuhan, keputusan-keputusan yang kita buat, dan bagaimana kita menghadapi tantangan sehari-hari. Makna ini menekankan bahwa fondasi hidup orang benar adalah kepercayaan penuh kepada Tuhan, bukan pada logika manusia, kekuatan diri sendiri, atau harta duniawi. Ketika keadaan tampak tidak pasti, imanlah yang menjadi penuntun dan sumber kekuatan orang benar.
Kedua, percaya sebagai penggerak hidup, bukan sekadar keyakinan. Kata “percaya” dalam bahasa aslinya menunjukkan lebih dari sekadar keyakinan mental. Ini adalah suatu sikap hati dan kehidupan yang mengandalkan Tuhan dalam segala hal. Percaya kepada Tuhan berarti memilih untuk berjalan dalam kebenaran-Nya, meskipun jalan tersebut tampak berlawanan dengan apa yang dunia anggap benar atau menguntungkan. Makna ini mengajarkan bahwa iman bukan sekadar pengetahuan atau perasaan, tetapi sebuah kepercayaan aktif yang diwujudkan dalam tindakan.Orang benar menunjukkan imannya melalui ketaatan, kesetiaan, dan keteguhan menjalani hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, meskipun keadaan terlihat tidak berpihak.
Ketiga, kontras dengan kehidupan orang fasik. Dalam Habakuk 2:4, ada kontras yang jelas antara orang yang “membusungkan dada” (yaitu orang yang fasik) dan orang benar yang hidup oleh iman. Orang fasik hidup dengan mengandalkan kekuatan, kesombongan, dan hikmat mereka sendiri. Mereka percaya bahwa kebahagiaan dan keberhasilan dapat dicapai dengan upaya dan kekuatan pribadi, tanpa bergantung kepada Tuhan. Sebaliknya, orang benar hidup dengan rendah hati, mempercayai bahwa hidup mereka sepenuhnya ada di tangan Tuhan. Hidup oleh iman berarti tidak menaruh kepercayaan pada diri sendiri atau hal-hal duniawi, melainkan bersandar pada Tuhan di segala situasi. Ini adalah ajakan untuk meninggalkan ketergantungan pada kekuatan sendiri dan menyerahkan hidup sepenuhnya pada kehendak Tuhan.
Keempat, iman sebagai sumber kehidupan di tengah kesulitan. Nabi Habakuk menulis frasa ini di tengah kondisi yang sangat sulit. Ia melihat ketidakadilan, kejahatan, dan kekacauan di sekelilingnya, sehingga ia bertanya kepada Tuhan mengapa kejahatan tampak merajalela. Di tengah keputusasaan tersebut, Tuhan menjawab bahwa orang benar akan tetap hidup oleh iman mereka, bukan oleh apa yang mereka lihat. Makna ini mengajarkan kita bahwa di saat-saat tergelap sekalipun, imanlah yang memberi kita pengharapan. Ketika keadaan dunia tampak tidak masuk akal atau ketika penderitaan tampak tidak berkesudahan, orang benar akan tetap teguh karena mereka percaya bahwa Tuhan berdaulat dan sedang bekerja di balik semua itu. Dengan kata lain, iman menjadi cahaya yang menuntun kita melewati kegelapan.
Kelima, kesetiaan pada Janji Tuhan di tengah penantian. Habakuk 2:3 berkata bahwa visi Tuhan “pasti akan terjadi pada waktunya, walaupun berlambat-lambat, nantikanlah itu.” Ini menunjukkan bahwa orang benar harus tetap setia dalam penantian. Hidup oleh iman berarti menunggu dengan sabar ketika jawaban dari Tuhan belum terlihat, dan tetap percaya bahwa janji Tuhan tidak pernah gagal. Makna ini mengajarkan bahwa hidup oleh iman bukan berarti kita akan langsung melihat hasil dari apa yang kita percayai. Terkadang kita harus berjalan di tengah ketidakpastian dan tetap percaya pada Tuhan, meskipun belum ada tanda-tanda penggenapan janji-Nya. Kesabaran, kesetiaan, dan keteguhan inilah yang menjadi bukti nyata dari iman yang sejati.
Pertanyaan kita sekarang adalah bagaimanakah cara orang benar agar bisa hidup oleh percayanya? Dalam kitab Habakuk 2:1-4, kita dapat melihat beberapa cara yang dapat dilakukan oleh orang benar agar hidup oleh percayanya, yaitu:
Pertama, bersikap sabar dalam menantikan jawaban Tuhan (ay. 1). Habakuk memulai dengan mengatakan bahwa ia akan berdiri di tempat pengintaiannya dan menanti-nantikan jawaban Tuhan. Ini menunjukkan sikap sabar dan kesetiaan dalam menantikan jawaban, terlepas dari situasi yang terlihat. Seorang yang hidup oleh iman harus memiliki kesabaran dan ketekunan untuk menunggu Tuhan bertindak sesuai dengan waktu dan kehendak-Nya, bukan waktu kita.
Kedua, mencatat Janji Tuhan dan mengingatnya (ay. 2). Tuhan memerintahkan Habakuk untuk menuliskan visi atau janji yang diberikan-Nya dengan jelas. Menulis janji Tuhan memiliki makna penting karena ketika kita menghadapi keraguan atau tantangan, kita bisa kembali melihat janji tersebut dan mengingat bahwa Tuhan tidak pernah mengingkari firman-Nya. Orang benar harus terus mengingat janji Tuhan dan mengukirnya di hati, sehingga tidak goyah ketika keadaan menjadi sulit.
Ketiga, mengandalkan iman di atas segala keadaan (ay. 3). Ayat 3 mengingatkan kita bahwa “visi itu belum terjadi, tetapi pasti akan datang pada waktu yang telah ditetapkan.” Orang benar harus hidup dengan iman bahwa apa yang dijanjikan Tuhan akan digenapi. Mereka tidak boleh terpengaruh oleh keadaan yang tampaknya belum berubah atau jawaban yang belum datang. Iman yang teguh adalah iman yang mempercayai janji Tuhan bahkan ketika belum ada tanda-tanda penggenapan.
Keempat, menjaga kerendahan hati dan tidak mengandalkan diri sendiri (ay. 4). Ayat 4 menyebutkan bahwa orang fasik “membusungkan dada” dan “tidak lurus hatinya,” tetapi orang benar hidup oleh percayanya. Artinya, orang benar tidak mengandalkan kekuatan atau kebijaksanaannya sendiri. Mereka menaruh kepercayaan penuh pada Tuhan, bukan pada diri sendiri, kekayaan, atau hal-hal duniawi. Ini berarti setiap keputusan, tindakan, dan tujuan hidup mereka dituntun oleh iman kepada Tuhan, bukan oleh keinginan pribadi atau ego.
Kelima, berfokus pada Tuhan dan bukan pada keadaan (ay. 4). Habakuk 2:4 menunjukkan bahwa ada kontras antara orang fasik yang hidup dalam kesombongan dan orang benar yang hidup oleh iman. Hidup oleh iman berarti tidak membiarkan situasi dan keadaan mengendalikan pikiran dan tindakan kita. Fokus kita tetap pada Tuhan, tidak peduli betapa sulitnya keadaan. Orang benar tidak mengizinkan ketakutan atau kecemasan untuk menentukan arah hidup mereka, tetapi mengizinkan iman mereka pada Tuhan yang mengarahkan langkah mereka.
Ketika kita menerapkan prinsip-prinsip ini, kita dapat menjalani hidup yang benar di hadapan Tuhan, hidup dengan iman yang tidak tergoyahkan oleh situasi dunia, dan menjadi saksi yang nyata tentang kesetiaan dan kebenaran Tuhan.
RENUNGAN
Apa yang kita renungkan pada Minggu keduapuluh setelah Trinitatis ini? Berdasarkan Habakuk 2:1-4, ada beberapa hal penting yang perlu direnungkan dari tema “Orang Benar Akan Hidup Oleh Percayanya.” Pesan ini mengandung prinsip-prinsip kunci tentang iman, ketekunan, dan cara hidup orang percaya di tengah situasi yang sulit. Berikut adalah beberapa hal yang dapat direnungkan:
Pertama, kepercayaan menuntun kehidupan orang benar. Habakuk 2:4 dengan jelas menyatakan bahwa “Orang benar akan hidup oleh percayanya.” Ini berarti bahwa iman bukanlah sekadar keyakinan mental, tetapi menjadi dasar utama dan fondasi kehidupan orang benar. Kepercayaan kepada Tuhan adalah sumber kehidupan dan kekuatan, bukan sekadar perasaan atau gagasan. Hal ini mengajarkan kita bahwa iman kepada Tuhan bukan hanya diyakini, tetapi juga dihidupi.Apakah iman kita hanya diucapkan di mulut, atau benar-benar menjadi fondasi hidup kita? Ketika segala sesuatu tampak sulit dan jalan tampak buntu, apakah kita tetap berpegang pada janji Tuhan?
Kedua, keberanian untuk menunggu dengan sabar. Di dalam Habakuk 2:3, Tuhan berkata kepada Habakuk bahwa penglihatan yang Ia berikan “belum terjadi, tetapi pasti akan datang pada waktu yang telah ditetapkan.” Ini menunjukkan bahwa iman yang sejati juga mencakup keberanian untuk menunggu. Kesabaran diperlukan ketika janji Tuhan belum terlihat penggenapannya. Terkadang, orang benar harus berjalan dalam kegelapan, hanya berpegang pada janji Tuhan dan menunggu dengan tekun. Bagaimana sikap hati kita ketika jawaban dari Tuhan belum datang? Apakah kita mudah putus asa dan menyerah, atau kita tetap menantikan dengan kesabaran, percaya bahwa Tuhan akan bekerja pada waktu-Nya?
Ketiga, mengandalkan Tuhan di tengah situasi yang tidak menentu. Kitab Habakuk dimulai dengan keluhan nabi terhadap ketidakadilan, kejahatan, dan kehancuran di sekelilingnya. Habakuk bertanya-tanya di mana keadilan Tuhan dan mengapa hal-hal buruk terjadi pada orang benar. Jawaban Tuhan dalam ayat-ayat ini adalah sebuah ajakan untuk percaya meskipun keadaan tampak tidak menentu. Orang benar harus mengandalkan Tuhan, bahkan ketika situasi di sekitarnya tidak masuk akal. Ketika kita menghadapi masalah dan kejahatan di sekitar kita, apakah kita mencari jawaban dari dunia atau beralih kepada Tuhan? Apakah kita berusaha mengatasi semuanya dengan kekuatan kita sendiri, atau kita berserah kepada hikmat dan kehendak Tuhan?
Keempat, Kebenaran bertentangan dengan kesombongan. Ayat 4 membandingkan dua jenis manusia: orang fasik yang sombong dan orang benar yang hidup oleh iman. Kesombongan berasal dari hati yang mengandalkan diri sendiri, merasa cukup dan kuat tanpa Tuhan. Sebaliknya, orang benar adalah mereka yang rendah hati, menempatkan kepercayaan mereka sepenuhnya kepada Tuhan dan hidup dalam ketaatan pada firman-Nya. Ini mengajarkan bahwa kehidupan orang benar bukan didasarkan pada pencapaian pribadi, tetapi pada hubungan yang benar dengan Tuhan. Apakah kita mengandalkan diri kita sendiri dalam mengambil keputusan, atau kita mengutamakan kehendak Tuhan? Apakah kita hidup dalam ketundukan pada firman Tuhan, atau kita mengikuti hikmat kita sendiri?
Kelima, panggilan untuk menjadi saksi iman. Tuhan meminta Habakuk untuk “menuliskan penglihatan itu, ukirkanlah itu pada loh-loh, supaya orang sambil lalu dapat membacanya.” Ini menunjukkan bahwa orang benar dipanggil untuk menjadi saksi iman mereka, baik melalui kehidupan maupun perkataan. Iman kita bukanlah sesuatu yang hanya untuk disimpan sendiri, tetapi untuk ditunjukkan kepada dunia. Kehidupan kita harus mencerminkan kepercayaan kita kepada Tuhan dan menjadi tanda yang dapat dibaca oleh orang lain. Apakah kehidupan kita mencerminkan iman yang kita miliki? Dapatkah orang lain melihat kepercayaan kita kepada Tuhan melalui tindakan dan sikap kita?
Habakuk mengajarkan kepada kita bahwa hidup oleh iman bukan berarti kita tidak pernah menghadapi keraguan, tetapi berarti kita memilih untuk mempercayai Tuhan di tengah keraguan itu. Orang benar hidup oleh percayanya ketika mereka menantikan Tuhan dengan sabar, mengandalkan Tuhan di atas segalanya, rendah hati, dan bersedia menjadi saksi bagi dunia. Karena itu, marilah kita merenungkan, apakah hidup kita hari ini sudah benar-benar mencerminkan kepercayaan penuh pada Tuhan yang berdaulat atas hidup kita? (rsnh)
Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN