Rabu, 31 Maret 2021

KOTBAH KAMIS PUTIH Kamis, 01 April 2021 “MENGASIHI SEPERTI ALLAH” (Yohanes 13:31-35)

KOTBAH KAMIS PUTIH

Kamis, 01 April 2021

 

“MENGASIHI SEPERTI ALLAH”

Kotbah: Yohanes 13:31-35  Bacaan: Mazmur 116:1-9




 

Hari ini kita akan merayakan Kamis Putih.  Kamis Putih adalah hari pertama dari Tri Hari Suci Paskah. Kamis Putih ini menandai dimulainya Triduum Paskah. Pada hari ini kita merayakan kembali perjamuan Malam Terakhir yang dilakukan Yesus bersama 12 Rasul. Dikatakan sebagai perjamuan terakhir karena pada malam itu Yesus dikhianati oleh murid-Nya, Yudas Iskariot. Malam itu, Yesus menunjukkan kasih-Nya hingga rela kehilangan nyawa bagi seluruh manusia di dunia. Pada malam itu Yesus menyerahkan tubuh dan darah-Nya pada Bapa di Surga dalam wujud roti dan anggur yang diberikan kepada para rasul untuk memberi kekuatan bagi mereka. Yesus juga meminta apa yang Dia lakukan malam itu terus dilakukan oleh para pengikut-Nya.

 

Tema yang akan kita renungkan pada Kamis Putih ini adalah “Mengasihi seperti Allah”. Teks kotbah pada hari ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pesan-pesan Yesus kepada para murid atau para pengikut-Nya sebelum Dia pergi dari antara mereka. Yesus tahu, dan Dia mengajak para murid untuk menyadarinya, bahwa tidak selamanya Dia berada di dunia bersama dengan murid-murid, Dia harus pergi, dan mereka tidak bisa pergi saat ini ke tempat ke mana Dia pergi, namun kelak mereka pun menuju ke sana (13:33, 36). Ke mana Yesus pergi sampai para murid pun tidak mungkin atau tidak bisa ikut saat itu? Tampaknya, Yesus berbicara tentang perjalanan berat yang akan ditempuh-Nya menuju kayu salib, via dolorosa (jalan salib), dan pada akhirnya menuju kemuliaan Allah.

 

Pada ayat-ayat sebelumnya dituliskan bahwa Yesus sudah mengetahui bahwa Yudas akan mengkhianati-Nya (13:21, 26-27), dan pada ayat-ayat sesudahnya Yesus juga tahu bahwa murid-murid yang lain, terutama Simon Petrus, akan menyangkal Dia (13:38). Lalu, apakah Yesus menyesali semuanya itu, atau menghabiskan energi-Nya untuk menyalahkan mereka, atau mengkambinghitamkan orang-orang dan situasi yang sepertinya tidak berpihak kepada-Nya? Tidak bukan? Yesus meresponsnya dengan berbicara tentang pemuliaan yang akan datang (ay. 31-32). Pemuliaan ini akan diwujudkan dalam kematian-Nya di kayu salib yang kemudian diikuti dengan kebangkitan-Nya. Yesus hendak mengatakan bahwa jalan salib yang harus ditempuh-Nya bukanlah akhir segala-galanya, sebab akan ada kebangkitan, dan melalui peristiwa-peristiwa ini Allah akan dimuliakan di dalam Kristus. Lalu, apa yang mesti dilakukan oleh para murid, atau para pengikut Yesus karena tidak lama lagi Dia akan pergi menuju salib dan akhirnya menuju kepada kemuliaan Nya? 

 

Disinilah Yesus hendak mempersiapkan mereka untuk menerima realitas itu dengan memberi perintah “saling mengasihi” (ay. 34). Yesus berbicara secara khusus kepada mereka yang telah bersama-sama dengan Dia selama pelayanan-Nya, dan meminta mereka untuk saling mengasihi, tentu dimulai dalam lingkaran mereka sendiri, lingkaran dalam para pengikut Yesus, kemudian lingkaran yang lebih besar melampaui kelompok mereka tersebut.

 

Sebenarnya, tidak ada yang baru sama sekali dengan perintah untuk saling mengasihi ini, sebab sejak zaman PL pun bangsa Israel sudah diperintahkan untuk saling mengasihi. Hampir tidak ada orang yang tidak mengenal perintah ini, bahkan orang-orang yang tidak begitu aktif di gereja pun mengetahui perintah ini. Jadi, apakah ini sesuatu yang baruseperti dituliskan oleh Yohanes di ayat 34? Hampir tidak! Perihal saling mengasihi adalah bagian dari tradisi Yahudi, juga dikenal di dunia Yunani-Romawi, dan dapat ditemukan dalam tradisi agama lain. Jadi, baru seperti apa sih yang dimaksudkan? Atau, apa yang membedakan perbuatan mengasihi di sini dengan hal mengasihi di tempat lain? Apa sihkeunikannya sehingga pantas disebut sebagai perintah baru?

 

Mengasihi mereka yang mengasihi kita dapat dilakukan oleh siapa pun; mengasihi mereka yang mendukung atau membantu kita dapat dilakukan oleh siapa pun; mengasihi mereka yang memiliki hubungan dekat dengan kita merupakan sesuatu yang mudah dilakukan; mengasihi sesama pada masa-masa senang sudah lumrah; mengasihi sesama dengan kata-kata atau kalimat-kalimat yang menyenangkan tidak sulit dilakukan. Tetapi, apakah mengasihi seperti ini cukup? Tidak, dan Yesus menghendaki para murid saling mengasihi melampaui standar umum dunia. Mengapa? Sebab, dengan saling mengasihi seperti dimaksud oleh Yesus dalam teks ini, dunia akan mengenal identitas mereka sebagai murid-murid Yesus, dan kemudian dunia akan memuliakan Allah. Dengan kata lain, Allah dimuliakan melalui tindakan para murid yang saling mengasihi. Jadi, hal mengasihi bukan sekadar persoalan emosional atau perasaan, melainkan suatu tindakan nyata satu terhadap yang lain, dan itu merupakan perintah yang sebaiknya dilakukan.

 

Kasih yang melampaui standar umum dunia di sini adalah seperti kasih yang telah ditunjukkan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya: “sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi” (ay. 34b). Jadi, standar atau pola yang harus diikuti dalam hal mengasihi di sini adalah Yesus sendiri. Seperti apakah Yesus mengasihi mereka? Dalam Yohanes 13:13-15, Yesus memberikan teladan pelayanan yang penuh kerendahan hati, dan itu adalah kasih. Kalau kita juga membaca Yohanes 15:12-14, kita akan menemukan bahwa wujud puncak dari kasih Yesus adalah pengorbanan-Nya untuk sahabat-sahabat-Nya. “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13). Bahkan, kasih yang telah dinyatakan oleh Yesus berlaku untuk mereka yang telah mengkhianati atau menyangkal-Nya. Yesus tetap mengasihi bahkan ketika Dia dikhianati sekalipun. Jadi, saling mengasihi sebagaimana pola atau teladan Yesus adalah saling melayani dalam kerendahan hati, dan rela berkorban satu terhadap yang lain, termasuk kepada orang-orang yang menurut ukuran dunia tidak pantas kita kasihi. Inti dari mengasihi adalah “pemberian atau penyerahan diri” sepenuhnya untuk saling melayani dan berkorban; dan itulah perintah baru untuk saling mengasihi di sini. Dengan kasih seperti ini, dunia akan tahu bahwa mereka adalah murid-murid Yesus (ay. 35), dan pada akhirnya Allah dimuliakan. Inilah yang disebut “mengasihi untuk kemuliaan Allah”.

 

Pertanyaan kita sekarang adalah mengapa kita perlu hidup saling mengasihi?

 

Pertama, karena itu adalah perintah (ay. 34). Yesus memberi perintah baru kepada kita untuk saling mengasihi. Perintah selalu berasal dari otoritas yang tertingi, oleh sebab itu apa yang diperintahkan harus dilaksanakan. Perintah selalu mengandung ganjaran. Kalau perintah tidak dilaksanakan maka ada ganjarannya, demikian sebaliknya. Ayat 34, Yesus sendiri telah terlebih dahulu mengasihi kita. Ia telah menunjukan teladan bagi kita tentang arti mengasihi. Yesus mati bagi kita itulah bukti yang telah Yesus perlihatkan kepada kita bahwa Ia sangat mengasihi kita. Yesus mengasihi bukan kepada orang yang benar saja tetapi juga kepada orang yang berdosa (1 Yoh 4.:10).

 

Kedua, karena dengan saling mengasihi kita disebut murid-murid Yesus (ay. 35). Dunia akan melihat bahwa kita adalah murid-murid Kristus kalau kita hidup dalam kasih. Mengapa?

·      Jika Yesus hidup dalam kasih maka kita pun harus hidup dalam kasih.

·      Hidup dalam kasih membuat kita berbeda dengan orang lain.

·      Hidup dalam kasih bukan saja membuat kita berbeda dengan orang lain, tetapi membuat kita diterima oleh semua orang, sehingga nama Yesus dimuliakan.

 

Ketiga, karena dengan saling mengasihi kita menutup banyak sekali dosa (1 Ptr. 4:8). Dengan kasih kita dapat meredam dosa. Dengan hidup saling mengasihi kita dapat membuat orang tidak berbuat dosa dan dapat mengampuni kesalahan orang lain. Kasih dapat menjadi penghambat dosa. Kasih mampu mengalahkan  dosa.

 

Di saat dunia saling menggigit dan menerkam, Yesus mengajarkan kita kasih yang penuh dengan pengorbanan (jalan salib). Dia memerintahkan kita untuk saling mengasihi, mengasihi tanpa pamrih, mengasihi dengan tidak menyakiti sesama, mengasihi bahkan ketika dikhianati sekalipun. Untuk apa? Ya, untuk kemuliaan Allah saja; dunia semakin mengenal kita sebagai pengikut Kristus dan memuliakan Allah karena kasih yang kita nyatakan di dunia ini. Maka, pertanyaan refleksi bagi kita adalah apakah kasih yang saya lakukan sejauh ini, dimotivasi dan dimaksudkan untuk kemuliaan Allah, atau secara terselubung atau terang-terangan untuk kemuliaan saya sendiri?

 

RENUNGAN

 

Apa yang hendak kita renungkan dalam Malam Kamis Putih ini? Tuhan Yesus memberi teladan dan menunjukkan bagaimana seharusnya kasih yang benar itu dipraktikkan:

Pertama, kasih itu harus memiliki “daya tahan” (ay. 31,34). Kebanyakan kasih kita gampang luntur, apabila kita dikecewakan orang lain. Apalagi ketika kita disakiti atau dikhianati (Hos. 6:4c). Dalam hal ini, Tuhan Yesus memberi teladan bagaimana kasihNya yang tidak goyah, walau Ia menyadari betul saat itu, bahwa tiba saatnya Ia akan dikhianati oleh Yudas,  disangkali oleh Petrus dan ditinggalkan oleh murid-muridNya. Yesus justru memberi perintah yang baru untuk saling mengasihi. “Sesudah Yudas pergi berkatalah Yesus.....Aku memberi perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi......” (ay. 31, 34). Yang menarik di sini kata “baru” berati “segar” artinya, kasih kita harus selalu segar kepada orang lain. Tidak luntur atau goyah karena sikap orang lain yang mengecewakan kita.   Itulah kasih Tuhan Yesus yang selalu segar, memiliki kekuatan dan daya tahan, sehingga walau Ia dikhianati, disangkali, ditinggalkan sendirian. Tetapi kasih Yesus tak pernah berubah. “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmatNya, selalu baru tiap pagi besar kesetiaanMu!” (Rat. 3:22-23).

 

Kedua, kasih itu harus dipraktikkan bukan  sekedar teori (ay. 34). Bagi Yesus, kasih memang tidak cukup hanya diajarkan atau teori, dijadikan simbol, slogan, atau wacana semata. Tetapi harus melekat dalam gaya hidup kita, sehingga menjadi ciri khas setiap murid-muridNya. Untuk itu, Yesus memberi pengajaran dan sekaligus teladan. Ia berkata: “.....supaya kamu saling mengasihi sama seperti Aku telah mengasihi kamu.......” (ay. 34). Melalui ungkapan ini, kita dapat memahami bahwa ketika Ia memberi perintah untuk mengasihi, Ia telah mempraktekkan kasih itu terlebih dahulu, “sama seperti Aku telah mengasihimu....” Yesus tidak hanya pandai berteori tentang kasih, tetapi hidupNya adalah teladan bagaimana mengasihi yang sesungguhnya. Dan salib di bukit Golgota adalah bukti kasihNya yang tiada taranya.

 

Ketiga, standard kasih kita harus kasih Agape  (ay. 31, 34-35). Kasih Agape adalah kasih yang rela berkorban tanpa pamrih. Jika hal ini dikaitkan dengan konteks saat itu, berarti adanya kesediaan dari Tuhan untuk mengampuni murid-muridNya,  bahkan yang mengkhianatiNya sekalipun. Selain itu juga, adanya kesediaan Tuhan untuk menerima keadaan murid-muridNya apa adanya, sekalipun sangat mengecewakanNya. Adanya kesediaan untuk berkorban tanpa pamrih. Adanya kesediaan untuk tetap mengasihi walau kasih itu tak terbalas, dll. Itulah model kasih yang juga seharusnya kita terapkan dalam hidup kita sebagai anak-anakNya. Kasih Agape, bukan kasih “karena”..... Saya mengasihinya “karena” ia baik....” Tetapi kasih Agape adalah kasih yang “walaupun” .... Saya mengasihinya “walaupun” ia membenci saya!   

 

Keempat, Kasih Agape harus menjadi identitas orang percaya (ay. 34-35). Dan akhirnya kasih Agape adalah tanda pengenal atau identitas dari murid Kristus. Orang lain  dapat mengenal kita sebagai murid Tuhan, bukan karena warna/model pakaian yang kita pakai, bukan hanya sekedar ibadah minggu yang setia kita hadiri. Bukan hanya sekedar kata-kata yang berbau agama yang kita lontarkan, bukan hanya dari berapa banyak ayat Alkitab yang rajin kita kutip dan hafalkan. Bukan pula dari jabatan yang kita sandang dalam gereja. Identitas seorang murid Kristus diukur dari bagaimana relasi yang penuh kasih mesra dengan Tuhan dan sesama. Apakah kita mau mengulurkan tangan kita kepada yang tersisih? Apakah kita rela memberi dan berbagi dengan mereka yang menderita? Apakah kita mau menyapa dan tersenyum dengan mereka yang tak dipandang dunia ini? Apakah kita mau mengampuni yang bersalah kepada kita? Apakah kita mau bersikap terbuka menerima orang lain apa adanya bahkan mereka yang berbeda dengan kita? Kasih Tuhan Yesus itu terlalu tinggi, dalam dan luas untuk dibicarakan. Tak akan pernah cukup waktu untuk merenungkannya. Sebab itu, ada baiknya jika kita juga mulai mempraktekkannya. Sebab hanya dengan mempraktekkan kasih Agape, kita dapat menjadi saksi Tuhan yang berguna. Kasih Tuhan Yesus itu terlau agung dan mulia untuk direnungkan, tetapi sangat sederhana untuk dapat dipraktikkan! Karena itu, marilah saling mengasihi karena Yesus telah memberikan teladan kasih bagi kita. (rsnh)

 

Selamat Merayakan Ibadah Kamis Putih

Renungan hari ini: “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH” (Daniel 3:3)

  Renungan hari ini:    “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH”   Daniel 3:3 (TB2) "Lalu berkumpullah para wakil raja, para penguasa, para bupa...