Rabu, 15 Januari 2020

Renungan hari ini: BOLEHKAH BERTEKUN DALAM DOSA?

Renungan hari ini:

BOLEHKAH BERTEKUN DALAM DOSA?



Roma 6:1 (TB) "Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu?"

Romans 6:1 (NET) "What shall we say then? Are we to remain in sin so that grace may increase?”

Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus membaca pernyataan Paulus dalam ayat-ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya Paulus mengatakan: Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang, semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar. Tetapi hukum Taurat ditambahkan, supaya pelanggaran menjadi semakin banyak; dan di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah (Rm. 5:19-20). Perlu diketahui bahwa kata bertekun dalam ayat ini adalah epimeno (πιμένω), yang artinya tinggal di atau dengan, masih bertahan, masih mematuhi, melanjutkan, tetap bertahan. Jadi maksud pernyataan Paulus dalam Roma 6:1 adalah bahwa jangan karena Tuhan Yesus telah memikul semua dosa manusia, maka kemudian orang Kristen bisa atau boleh hidup dan berbuat sesukanya sendiri dengan terus menerus berbuat dosa atau tetap tinggal dalam kehidupan dosa. Harus dimengerti bahwa Yesus memikul dosa kita agar kita terbebas dari hukuman dosa dan selanjutnya supaya kita tidak berbuat dosa lagi.

Kata “dosa” dalam teks tersebut Roma 6:1 adalah hamartia (μαρτία). Kata hamartia ini berarti meleset atau tidak kena sasaran. Secara etimologis, kata itu sendiri tidak memiliki unsur kejahatan atau sebuah kefatalan yang bersifat negatif, tetapi hanya berarti “meleset atau tidak mengenai sasaran”. Ini berarti setelah seseorang menerima atau percaya kepada Tuhan dan dibaptis, maka seharusnya ia tidak boleh lagi hidup dalan keadaan meleset. Jangankan hidup dalam pelanggaran moral, meleset pun tidak boleh. Ini berarti harus hidup dalam kesucian Allah sendiri, yaitu sempurna seperti Bapa atau serupa dengan Tuhan Yesus.

Mempertimbangkan penjelasan di atas, bisa dipahami kalau orang seperti Paulus yang dulunya adalah seorang beragama yang sangat fanatik sampai pada kehidupan keberagamaan yang “tidak bercacat dalam melakukan Taurat” (Flp. 3:6), harus diubahkan sama sekali. Orang-orang beragama seperti Paulus memiliki kebanggaan dengan kehidupan keberagamaan tersebut dan merasa yakin bahwa agamanya yang paling benar. Di luar agamanya adalah kafir. Paulus sudah merasa diri sebagai orang saleh. Tetapi setelah mengenal kebenaran Kristus, maka ia menyadari bahwa kesalehannya masih jauh dari standar kesucian Tuhan. Ternyata dosa bukan sekadar pelanggaran terhadap hukum, tetapi kemelesetan dari kesucian Allah.

Perubahan dalam kehidupan Paulus terjadi atau berlangsung dalam dua area, pertama, tidak lagi mengandalkan perbuatan baik menurut Taurat untuk mendapat perkenanan Allah atau mencapai keselamatan. Selain tidak ada orang yang dapat sempurna melakukan hukum Taurat, darah domba juga tidak dapat menyucikan dan membenarkan. Ini berarti membutuhkan penyelamatan oleh korban darah Anak Domba Allah, yaitu darah Tuhan Yesus Kristus. Kedua, tidak lagi memiliki target apa pun dalam kehidupan ini, bukan hanya hidup tidak bercacat menurut Taurat, tetapi tidak bercacat dalam ukuran Allah, berarti kudus seperti Allah Bapa kudus (1Ptr. 1:16), atau serupa dengan Tuhan Yesus (Rm. 8:28-29) atau hidup tidak bercacat dan tidak bercela (1Tes. 4:7). Dalam hal ini, kalau agama adalah jalan hidup menurut hukum, tetapi Kekristenan adalah jalan hidup menurut kesucian Allah yang tidak diwakili hukum, tetapi pikiran dan perasaan Allah sendiri. Bagi orang percaya, Tuhan Yesus adalah role model atau ukuran kesuciannya.

Paulus menegaskan, bahwa di dalam Kristus tidak seharusnya kita tetap bertekun dalam dosa sebab kita sudah mati terhadap dosa. Paulus mengingatkan kembali bagaimana kita telah dibaptis di dalam Kristus. Pada masa itu tradisi baptisan juga dilakukan oleh agama Yahudi dan Yunani. Apabila seseorang akan masuk ke dalam agama Yahudi mereka harus melakukan tiga hal, yaitu: mempersembahkan korban, disunat dan dibaptiskan. Orang yang dibaptis dinyatakan telah dilahirkan kembali. Dalam agama misteri Yunani juga ada ritual yang mirip baptisan, dimana orang yang mengikutinya dianggap seperti bayi yang baru lahir.

Kita adalah orang yang sangat tercela jika memakai kasih karunia sebagai alasan untuk berbuat dosa. Hal ini seperti seorang anak yang sengaja melakukan hal-hal buruk karena tahu ayahnya akan memaafkannya. Itu berarti mengambil keuntungan dari kasih untuk menghancurkan orang yang mengasihi. 

Di dalam Kristus kita masuk dalam persekutuan Kristen berarti masuk dalam cara hidup yang baru. Menjadi orang Kristen berarti kita mati terhadap hidup yang lama (yang dikuasai dosa) dan dilahirkan kembali dalam kehidupan yang baru (yang dikuasai kebenaran). Karena itu, janganlah berbuat dosa lagi jika sudah hidup Bersama Kristus. (rsnh)

Selamat berkarya untuk TUHAN

Renungan hari ini: “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH” (Daniel 3:3)

  Renungan hari ini:    “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH”   Daniel 3:3 (TB2) "Lalu berkumpullah para wakil raja, para penguasa, para bupa...