Sabtu, 06 Juli 2019

Kotbah Minggu Trinitatis 3 Minggu, 07 Juli 2019 "TAAT KEPADA ALLAH: PENCIPTA, PEMILIK DAN PENGUASA SEGALA SESUATU"

Minggu, 07 Juli 2019

"TAAT KEPADA ALLAH: PENCIPTA, PEMILIK DAN PENGUASA SEGALA SESUATU" 
Kotbah: Kisah 17:22-30 Bacaan: Yesaya 50:7-10



Minggu ini kita akan memasuki Minggu ketiga setelah Trinitatis. Dalam Minggu ini kita akan membahas tema “Taat kepada ALLAH: Pencipta, Pemilik, dan Penguasa segala sesuatu”. Paulus sebagai rasul memberikan pemahaman yang baik dan jelas tentang posisi ALLAH di tengah-tengah umat-Nya. ALLAH bukanlah sama dengan buatan tangan manusia, kuasa ALLAH tidak sama dengan kuasa benda-benda buatan manusia. ALLAH adalah pencipta, pemilik dan penguasa atas segala sesuatu yang ada di bumi ini.

Namun dalam perjalanan Paulus ke kota Atena ia menemukan ada banyak berhala-berhala yang mereka sembah, dan pada mezbah persembahan mereka ada tertulis “kepada Allah yang tidak di kenal”.

Hal ini semua membuat hati Paulus sangat sedih (ay.16), maka dia mulai berbicara dengan bertukar pikiran dengan orang-orang yang dijumpainya di pasar (Agora) setiap hari. Karena Atena dipenuhi banyak ahli-ahli pikir, sehingga mereka sangat tertarik akan sesuatu hal-hal yang baru. Maka kehadiran Paulus di Atena dianggap mereka sebagai pembawa ajaran baru dari dewa yang lain. Maka Paulus di bawa ke Aeropagus untuk menjelaskan tentang ajaran yang belum mereka ketahui sebelumnya. 

Kita saat ini tidak sedang mau berbicara tentang pekabaran Injil, namun kali ini kita akan memahami lebih dalam makna yang di ungkapkan oleh Paulus pada sidang di Aeropagus ini dalam konteks kekristenan kita.

Yang hendak di ungkapkan Paulus pada mereka bahwa Allah yang tidak dikenal itu adalah Yesus Kristus. Dialah Tuhan yang menjadikan segala sesuatunya, Allah yang memberikan kehidupan. Kita dekat kepada-Nya bukan dengan dengan mendirikan patung-patung berhala dan meminta kepada-Nya dengan memberikan sesajen. 

Sebenarnya Tuhan itu sangat dekatdengan kita. Tidak perlu dengan berhala dan pemberian korban sajian agar Dia dekat dengan kita, karena sesungguhnya kita hidup dan bergerak dalam Dia. Hidup kita dari Dia, Kehidupan kita dari Dia dan tempat kita hidup juga dari Dia dan yang akan menghakimi dunia ini adalah Dia. Namun, ada penghalang yang memisahkan kita dari Dia yaitu pengenalan. Maka kita harus keluar dari zaman kebodohan yaitu dengan mengenal hikmat yang benar itu yaitu Yesus Kristus. 

Yesus Kristus adalah kekuatan dan kemuliaan kita, tujuan hakiki hidup kita, dari Dia kita akan menemukan nikmat hidup yang sebenarnya.

Walaupun saat ini “mungkin” kita tidak lagi hidup dalam zaman penyembahan berhala, kita sudah hidup pada iman percaya pada Yesus Kristus, namun bisa saja kita seperti orang-orang Atena ini menyembah Allah yang tidak di kenal.Sebenarnya kita dekat dengan Dia, tetapi kita jauh. 

Terkadang kita menempatkan Tuhan itu seperti “berhala” dalam kehidupan kita.Bagaimana tidak, terkadang kita datang untuk berdoa kepada Tuhan hanya ketika kita sedang menghadapi masa-masa sulit, ataupun kita hanya memanfaatkan Tuhan untuk menggapai ambisi hidup kita.

Apakah demikian penyembahan, doa dan kedekatan kita kepada-Nya?  Ketika kita memahami doa itu pada imbal hasil doa yang memiliki sebab dan akibat, maka kita sedang menjauhkan diri dari pengenalan yang benar tentang Tuhan.

Maka saat ini kita mau diingatkan akan bahaya yang sangat serius. Ibarat kita menapaki jalan yang kedua sisinya ada dua jurang yang sangat dalam. Kita bisa jatuh diantara dua jurang yang sangat dalam itu. Seperti yang tertulis dalam Yakobus 4:2-3: 
Ø Jurang sebelah kiri,yaitu tidak berdoa. Hidup yang memisahkan dirinya dari Tuhan yang memberi kehidupan yang berkuasa atas segala sesuatu. “kamu tidak memperoleh apa-apa karena kamu tidak berdoa” 
Ø Jurang sebelah kanan,yaitu berdoa dengan egois. Yaitu doa yang hanya ingin memuaskan nafsu kemanusiaannya. “Kamu berdoa, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa sebab kamu meminta untuk memuaskan hawa nafsumu”

Kehidupan dalam doa bukanlah soal meminta dan mendapat tetapi “kehendak Tuhan jadi dalam kehidupan kita” (Mrk.14: 36). Hidup yang berdoa berarti membuka diri terhadap Allah yang tidak terbatas, yang berserah sepenuhnya pada rancangan Tuhan bukan rancangan kita.

Pertanyaan kita sekarang adalah bagaimana cara kita agar taat kepada ALLAH? Ada beberapa cara agar hidup kita bisa taat kepada ALLAH, yakni:

Pertama, mengenali keadaan kita dengan cermat (ay. 16-21). Hal pertama yang dilakukan Paulus di Atena adalah mengamati kota itu. Dia mendapati begitu banyak penyembahan berhala di sana, sehingga hatinya merasa sedih (ay. 16). Beberapa versi Inggris menerjemahkan kata “sedih”(paroxynomai)di sini dengan “tertekan”. Terjemahan yang lebih hurufiah adalah “terprovokasi”. Maknanya lebih berkaitan dengan kemarahan (1Kor. 13:5 “kasih itu tidak marah”; Yes. 65:3; Hos. 8:5) daripada kesedihan atau tekanan. Sikap hati yang marah atau jijik terhadap penyembahan berhala ini sangat lazim di antara orang-orang Yahudi yang menganut monoteisme secara ketat.

Apa yang ada di dalam hati perlu diekspresikan dengan hati-hati. Ada banyak cara untuk mengungkapkan kemarahan. Setiap ungkapan kemarahan harus memperhatikan keadaan.

Paulus memilih untuk menyalurkan isi hatinya melalui dialog(ay. 17 dialegomai,LAI:TB “bertukar pendapat”). Dia melakukannya ini pada tempat yang tepat, yaitu synagoge (untuk orang-orang Yahudi) atau pasar (untuk orang-orang Yunani). Dua tempat ini memang menjadi salah satu tempat strategis untuk menyampaikan pendapat. Tidak heran, ajarannya dengan cepat menarik perhatian banyak orang. Dia pun dibawa ke sidang Areopagus (ay. 19-20), entah dalam rangka diadili atau sekadar diminta pendapatnya.

Paulus juga cermat dalam mengamati pendengarnya. Dia mengetahui dengan baik bahwa penduduk Atena memiliki keterbukaan terhadap berbagai ajaran (ay. 21). Sikap ini tidak lepas dari posisi Atena sebagai kota pengetahuan. Banyak filsuf ternama lahir atau berkarya di sana. Keterbukaan ini merupakan kelebihan sekaligus kekurangan Atena.

Kedua,kita harus mampu menghargai keyakinan orang lain (ay. 22-23). Di awal khotbahnya, Paulus menyebut penduduk Atena sebagai orang-orang yang “sangat beribadah kepada dewa-dewa” (deisidaimōn,ayat 22). Kata ini bisa bermakna positif (“relijius”) atau negatif (“percaya takhayul”). Dalam hal ini yang menjadi penentu arti adalah konteks. Karena pernyataan ini diucapkan oleh Paulus di awal khotbahnya dan keseluruhan khotbah juga tidak terlalu menyerang keyakinan mereka, kita sebaiknya menhgambil makna yang lebih positif. Paulus memang mengapresiasi hasrat relijius mereka.

Penduduk Atena bukan hanya relijius. Mereka sangat relijius (NRSV “extremely religious”). Hal ini ditunjukkan bukan hanya melalui satu hal, tetapi “dalam segala hal”(kata panta). Kita tidak tahu persis hal-hal apa saja yang dilihat oleh Paulus dan membuat dia mengambil kesimpulan seperti itu. Yang jelas, salah satu bukti kualitas relijius mereka adalah keberadaan mezbah yang diperuntukkan bagi illah yang tidak dikenal (ayat 23).

Bagi penganut politeisme, keberadaan mezbah seperti ini sangat bisa dipahami. Pada prinsipnya mereka ingin menyembah semua dewa. Namun, mereka juga tidak mengetahui jumlah pasti dari semua dewa yang ada. Sebagai upaya berjaga-jaga – supaya tidak ada satu dewa pun yang terabaikan dan menjadi marah – mereka mempersembahkan mezbah kepada dewa itu.
Apa yang mereka sembah tanpa mengenal, itulah yang ingin dikenalkan Paulus kepada mereka. Bukan berarti Paulus dan mereka menyembah allah yang sama. Bukan berarti tidak ada perbedaan konsep antara keduanya. Dalam konteks “allah-allah yang tidak dikenal oleh penduduk Atena”, Allah yang disembah oleh Paulus jelas masuk dalam kategori itu.

Penghargaan seperti ini terbilang luar biasa. Paulus sendiri memahami bahwa apa yang disembah mereka sebenarnya bukan allah (Gal. 4:8). Lebih jauh lagi, objek penyembahan itu adalah roh-roh jahat (1Kor. 10:20-21). Bagaimanapun, di mata mereka, objek penyembahan adalah allah/dewa. Paulus hanya memulai dari sana sebagai titik awal penginjilan.

Ketiga, kita harus menggunakan penalaran sebagai pijakan bersama (ay. 25-26). Dalam bagian ini Paulus memulai dengan konsep tentang Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara. Dua hal ini juga diamini oleh orang-orang Yunani yang relijius. Terlepas dari berapa banyak allah yang mereka percayai, semua percaya bahwa Allah adalah Pencipta dan Pemelihara. 
Yang ditekankan oleh Paulus adalah implikasi dari konsep di atas.Jika Allah adalah Pencipta, maka Dia tidak dapat dibatasi oleh tempat (ay. 25). Dia lebih besar daripada semua tempat. Bagaimana Pencipta langit dan bumi dapat dibatasi pada mezbah atau kuil tertentu buatan manusia? Poin ini sebenarnya berakar dari Perjanjian Lama (1Raj. 8:27), tetapi Paulus sengaja tidak menggunakan kitab suci. Pada poin ini, penalaran saja sudah memadai.

Jika Allah adalah Pemelihara alam semesta, maka Dia tidak membutuhkan apapun di luar diri-Nya (ay. 25). Dia benar-benar bebas dalam arti yang sesungguhnya. Tidak ada keharusan dan kebutuhan dalam diri-Nya. Tanpa apapun Dia tetap sempurna dan utuh,  karena itu, Allah tidak membutuhkan pelayanan manusia (bdk. Rm. 11:33-35). Konsep yang sama diajarkan oleh para pemikir Yunani (Aristobulus, Euripides, Heracles). Bagaimana mungkin Allah membutuhkan manusia sedangkan manusia sendiri menggantungkan diri pada Allah untuk nafas dan segala sesuatu dalam hidup ini?

Keempat, kita harus mampu memahami dan memanfaatkan ajaran pihak lain (ay. 26-29). Allah adalah Pemelihara semua manusia (ay. 24-25). Bagaimana Dia menunjukkan pemeliharaan tersebut? Di ayat 26-29 Paulus menerangkan lebih jauh tentang salah satu wujud pemeliharaan Allah atas alam semesta, yaitu asal-usul dan keberlangsungan umat manusia di bumi ini. 

Allah menjadikan semua bangsa dari satu orang saja (ay. 26a). Dia juga yang menentukan batas kediaman dan musim bagi mereka (ay. 26b). Tidak terlalu jelas apakah musim di sini merujuk pada sejarah politis masing-masing negara atau musim yang berkaitan dengan alam (musim panen, iklim, dsb.). Manapun yang benar, poin yang ingin disampaikan adalah keterlibatan Allah secara langsung dalam pemeliharaan segala bangsa (bnd. dengan ay. 24-25 yang masih terkesan konseptual).

Allah memiliki maksud di balik keterlibatan yang langsung ini. Allah ingin menunjukkan bahwa Dia tidak jauh dari manusia (ay. 27b), sehingga manusia seyogyanya bisa menemukan Dia (ay. 27a). Seberapa dekatkah Allah dengan kita? Paulus, mengutip beberapa pujangga (filsuf/pemikir) Yunani, berkata: “sebab di dalam Dia kita hidup, kita ada, kita bergerak” (ay. 28). Ungkapan yang sangat mirip diucapkan oleh Seneca, salah seorang penulis Yunani kuno: “Allah itu dekat dengan engkau, bersama engkau, dan di dalam engkau”. Beberapa penulis kuno lain pun mengajarkan konsep yang sama (misalnya: Dio Chrysostom, Epimenidies).

Manusia bisa sedekat itu dengan Allah sebab manusia adalah keturunan Allah (ay. 28). Konsep ini tidak asing bagi penduduk Atena. Konsep ini seringkali dikaitkan dengan Aratus atau Cleanthes. Dalam pikiran pendengarnya, Paulus mungkin sedang membicarakan tentang Zeus sebagai cikal-bakal semua manusia.

Kutipan-kutipan ini menyiapkan landasan bagi kritikan Paulus terhadap penyembahan berhala. Jikalau manusia adalah keturunan Allah, maka dalam banyak hal manusia mencerminkan Allah. Jikalau manusia bukan hanya terdiri dari aspek-aspek jasmaniah, apalagi Tuhan (ay. 29). Jikalau manusia adalah keturunan Allah, maka Allah pasti lebih besar daripada yang bisa dilakukan oleh manusia (mezbah, patung, kuil, dsb.).

Kelima, kita harus mampu menjelaskan keunikan kekristenan (ay. 30-31). Kritikan terhadap keyakinan penduduk Atena (ay. 22-29) bermanfaat untuk membuktikan bahwa semua manusia bersalah (ay. 30). Rasio menunjukkan betapa salahnya penyembahan berhala. Allah tidak boleh dan tidak dapat dibatasi oleh mezbah, kuil, atau patung. Keteraturan alam menyingkapkan bahwa Allah sebenarnya tidak jauh. Tetapi, mengapa manusia tidak mampu menemukan Dia? Kesalahan ini lebih ke arah kebebalan daripada kebodohan.

Jikalau manusia memang melakukan kesalahan, maka hukuman patut diberikan. Itu adalah keadilan. Pertanyaannya, apakah dengan memberikan hukuman maka kegagalan itu dapat diselesaikan? Tentu saja tidak! Pasti ada cara dan solusi lain.

Manusia memang gagal menemukan Allah, tetapi hal ini tidak berarti bahwa Allah gagal untuk ditemukan. Sesudah membiarkan periode kebebalan cukup lama, Allah berintervensi langsung ke dalam sejarah (ay. 31). Allah menjadi manusia untuk menanggung kesalahan dan menggantikan kegagalan manusia. Kematian-Nya menyelesaikan persoalan dosa. Namun, upah dosa belum sepenuhnya dibereskan. Kebangkitan-Nya dari antara orang mati membuktikan bahwa upah dosa sudah diselesaikan.

Poin yang ingin ditegaskan Paulus di ayat 31 sangat mungkin terletak pada kebangkitan tubuh. Konsep ini sangat ditentang dalam budaya Yunani, karena tubuh dianggap jahat atau tidak sempurna. Melalui kebangkitan tubuh di dalam Kristus, aspek jasmaniah dan rohaniah manusia dipuaskan. Tubuh tidak sepenuhnya jahat dan tidak selamanya lemah. Tubuh tidak selalu menjadi penjara bagi jiwa-roh. Karena itu, marilah kita taat kepada ALLAH Pencipta, Pemilik, dan Penguasa segala sesuatu yang ada di atas bumi ini. (rsnh)


Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN!

Renungan hari ini: “BELAJAR MENGENAL KRISTUS" (Efesus 4:20)

  Renungan hari ini:   “BELAJAR MENGENAL KRISTUS"   Efesus 4:20 (TB2) "Tetapi, bukan dengan demikian kamu belajar mengenal Kristus...