Minggu, 15 September 2019
“HIDUP DENGAN RENDAH HATI”
Kotbah: Lukas 14:7-11 Bacaan: Yesaya 57:14-21
Minggu ini kita memasuki Minggu Ketigabelas Setelah Trinitatis. Tema yang akan kita renungkan adalah “Hidup dengan rendah hati”. Secara naluriah manusia ingin dipuji, diperhatikan, diprioritaskan, dihargai dan tidak mau direndahkan atau disepelekan. Karena itu manusia cenderung meninggikan diri dan sulit merendahkan hati. Di zaman sekarang ini sulit menemukan orang yang rendah hati, karena kebanyakan orang berpikir bahwa kerendahan hati itu identik dengan kelemahan, di mana pamor atau gengsi akan turun.
Kerendahan hati sesungguhnya adalah sifat bijak dalam diri seseorang yang membuat ia dapat memposisikan dirinya sama dengan orang lain, tidak merasa lebih pintar, tidak merasa lebih baik, tidak merasa lebih mahir, tidak merasa lebih hebat, dan dapat menghargai orang lain dengan tulus. Inilah sifat yang harus kita miliki sebagai pengikut Kristus, sebab Tuhan Yesus sendiri telah memberikan teladan hidup, "...yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama," (Flp. 2:6-9).
Kerendahan hati dalam bahasa Yunani dituliskan dengan kata "praios" (Ingris: meek) artinya lemah lembut. Kata praios juga dipakai dalam salah satu tema kotbah Yesus berkata bahwa berbahagialah orang yang lemah lembut (praios), karena mereka akan memiliki bumi. Maksud Yesus dengan lemah lembut (meek)adalah seseorang yang menyerah kepada Allah. Kerendahan hati memang erat kaitannya dengan peyerahan dan ketergantungan total kepada Allah. Dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, Rasul Paulus menuliskan tentang buah Roh yang salah satunya adalah kerendahan hati/kelemahlembutan (praios, praiotes). Jadi ternyata kerendahan hati juga merupakan salah satu bagian dari buah Roh. Salah satu tanda kedewasaan rohani adalah memiliki buah Roh termasuk salah satunya buah kerendahan hati/kelemahlembutan.
Jika kita mau mendalami tentang ciri-ciri orang yang rendah hati, maka akan kita lihat apakah ciri-ciri orang yang punya kerendahan hati, yakni:
Pertama, berani mengakui kesalahan. Karena gengsi, sedikit orang berani mengakui kesalahan sendiri di depan sesamanya, bahkan di hadapan Tuhan; mereka lebih memilih menyembunyikan kesalahannya dan berlaku munafik. "Siapa menyembunyikan pelanggarannya tidak akan beruntung, tetapi siapa mengakuinya dan meninggalkannya akan disayangi" (Ams. 28:13).
Kedua, mau belajar dan diajar. Proses “belajar dan diajar” itu tidak hanya melalui pendidikan formal di sekolah atau kampus, tetapi juga melalui “sekolah” kehidupan ketika kita berinteraksi dengan sesama di mana pun berada. Proses ini tidak mengenal batasan usia dan waktu. "Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya" (Ams. 27:17). "Tinggi hati mendahului kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan" (Ams. 18:12)
Sejatinya ada tiga keinginan hakiki setiap orang, yaitu:
1) ingin dirinya diterima
2) ingin dirinya dihormati
3) ingin dirinya dihargai
Jika ketiga keinginan hakiki ini tidak bisa dipenuhi dalam kehidupan keluarga maka kita akan mengalami kecenderungan untuk tinggi hati dan sombong. Dan kita akan berusaha memenuhi keinginan itu sepanjang hidup kita. Pencarian pemenuhan keinginan hakiki setiap orang akan mempengaruhi juga keseimbangan di dalam dirinya dan di segala aspek kehidupannya termasuk dalam hal iman dan kerohanian dirinya.
Contohnya: si "A" otaknya cerdas, karir sukses, kaya artinya keinginan hakiki dirinya sudah ia peroleh yaitu: dihormati dan dihargai orang lain karena kehebatan intelektual dan memiliki banyak harta dunia. Tetapi ia baru menyadari bila ambisinya selalu mau menjadi yang terbaik membuat dirinya tidak bisa menerima kenyataan suatu kali orang lain mengalahkan dia padahal ia yakin dirinya lebih baik dari pada orang yang mengalahkan dirinya. Akibatnya terbentuklah karakter yang membentuk prinsip hidup si "A" bahwa jati dirinya akan diterima oleh oang lain bila ia sukses dan kaya! Kita lihat, si "A" sukses dan kaya namun dirinya tertekan dan tidak bisa menguasai diri untuk bersikap rendah hati dan tanpa ia sadari mendidik anaknya seperti cara ayahnya mendidik dirinya dan salah satu anaknya stress
dan "down".
dan "down".
Dalam nas kotbah Minggu ini, Yesus menasehati agar bersikap kita hidup rendah hati dan tidak bersikap tinggi hati. “Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (ay. 11). Kita ini manusia lemah dan kemampuan terbatas; itupun berasal dari Aĺlah. apa yang mau dibanggakan? Kepintaran dan kekayaan yang ada pada diri kita itu semua karena kasih karunia Allah.
Pertanyaan kita sekarang adalah bagaima caranya agar kita bisa memiliki kerendahan hati?
Pertama, kita harus menyadari bahwa kita ini kecil, bukan siapa-siapa. Semakin seseorang merasa cukup pintar, dia tidak akan belajar apa-apa lagi, itu kata salah seorang cencekiawan. Seorang yang besar biasanya memakai ilmu padi dalam hidupnya, semakin berisi semakin merunduk. Semakin dia tahu, semakin dia merasa tidak perlu sok tahu. Semakin dia kaya, dia malah semakin merasa makin jadi bukan siapa-siapa. Semakin dia berkuasa, makin dia terbeban untuk melayani orang di bawahnya.
Kedua, kita harus menyadari bahwa kita kita mengenal kesempurnaan. Orang yang rendah hati tahu bahwa di atas dia masih ada yang lebih sempurna lagi. Dan kita akan makin rendah hati jika kita memandang Allah yang sempurna dan besar itu, yang memberi saya kemampuan untuk berbicara dengan baik kepada saudara saat ini. Yang memberi para tim paduan suara suara yang indah, para pemain musik, kecakapan memainkan instrumen, yang memberi para anggota majelis, kesempatan dan kemampuan untuk melayani, Dialah-sumber dari segala kesanggupan itu. Maka, memandang Dia, sesungguhnya kita jadi malu, sebab, kita ini bukan siapa-siapa jika dibandingkan dan disandingkan dengan diri-Nya.
Ketiga, kita harus mampu menempatkan dan membawa diri di manapun juga. Dalam hal ini lebih baik merendah, dan kemudian ditinggikan, daripada meninggikan diri dan akan direndahkan. Dalam Amsal 25:6,7 ada nasihat supaya kita jangan berlagak di hadapan raja atau para pembesar, bisa berabe. Tapi di Amsal 22:29 kita membaca yang sebaliknya, “Pernahkah engkau melihat orang yang cakap dalam pekerjaannya? Di hadapan raja-raja ia akan berdiri, bukan di hadapan orang-orang yang hina.” Kalau begitu, menempatkan diri dan membawa diri sangat penting di dalam pergaulan dengan semua lapisan masyarakat. Kesan pertama dalam suatu penampilan dan perjumpaan kita dengan siapa saja, akan berdampak luas. Dalam pelajaran-Nya, Tuhan Yesus mencela kecenderungan manusia yang mengejar kehormatan bagi dirinya. Dampak negatifnya adalah haus sanjungan, merasa bangga jika sampai dikagumi, dan terbius oleh kemuliaan semu. Kalau sudah begitu, sebagai orang yang gila hormat, ia tidak lagi dapat menghargai sesamanya, dan tidak mempunyai rasa takut kepada Tuhan.
Keempat, kita harus berusaha untuk tidak menonjolkan diri serta rela berada di tempat yang rendah. Bukankah Tuhan dan Guru kita juga telah memberikan teladan yang sangat mengesankan? Biarlah orang lain menilai diri kita, sebab siapa tahu kalau-kalau kita hanya dipandang dengan sebelah mata.
Kelima, kita harus mampu menjaga diri untuk tidak dipermalukan, dan memiliki rasa malu menjadi sangat penting dalam upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia. Lukas 14:9 mengatakan, “… lalu engkau dengan malu harus pergi duduk di tempat yang paling rendah.” Ternyata Tuhan telah mengaruniakan rasa malu kepada kita dengan multi maksud. Bayangkan seandainya kita tidak lagi memiliki rasa malu dalam segala hal. Hidup ini akan teramat kacau-balau dalam segala aspeknya, termasuk dalam bidang ibadah. Perlu terus dipupuk rasa malu yang pada tempatnya, supaya kita jera melakukan kebodohan-kebodohan. Rasa malu juga dapat memacu kita untuk lebih bersungguh-sungguh dalam berprestasi dan terutama menjadi tali kekang yang kuat pada saat kita tergerak untuk menyombongkan diri, kekayaan dan kepandaian kita.
Keenam, kita harus mampu belajar menghargai sesama yang kurang beruntung dan hina (ay. 13), dan berbagi sukacita serta kebahagiaan dengan mereka yang tidak mungkin dapat membalasnya. Merendahkan hati dan diri bukan hanya secara teori tetapi di dalam praktik hidup yang senyatanya. Jangan pernah berpikir bahwa kita lebih saleh, lebih suci dan lebih baik daripada orang hina dan kotor itu, sebab Tuhanlah yang menilai. Karena itu, hiduplah selalu dengan rendah hati karena hal itu akan membuat hidup kita lebih arif dan bijaksana. (rsnh)
Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN