Jumat, 10 September 2021

Renungan hari ini: “KRITIK YANG MEMBANGUN” (Galatia 6:1)

 Renungan hari ini:

 

“KRITIK YANG MEMBANGUN”



 

Galatia 6:1 (TB) "Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan"

 

Galatians 6:1 (NET) "Brothers and sisters, if a person is discovered in some sin, you who are spiritual restore such a person in a spirit of gentleness. Pay close attention to yourselves, so that you are not tempted too"

 

Nas hari ini hendak mengajak kita untuk punya sikap terhadap orang yang melakukan suatu pelanggaran. Semua manusia pastilah pernah melakukan suatu pelanggaran. Saya dan Saudara-saudara juga pasti pernah melakukan suatu pelanggaran. Persoalannya adalah bagaimanakah sikap kita menghadapi orang yang melakukan pelanggaran itu? Sikap yang paling baik adalah kita harus mampu memberikan “Kritik yang Membangun”.

 

“Kritik yang Membangun” adalah kemampuan kita memberikan menyampaikan kritik atau tegoran dengan cara yang santun memberikan wejangan dalam rangka memperbaiki kekeliruan orang lain. Seorang guru dianggap menyampaikan kritik yang membangun apabila ia menegur muridnya demi membangun semangat belajar mereka. Seorang ibu dianggap menyampaikan kritik yang membangun apabila ia mengemukakan nasihat untuk membangun sikap dan watak anaknya. Sebaliknya, sang pemimpin perusahaan, kepala kantor, guru atau orang tua tidak dianggap menyampaikan kritik yang membangun apabila mereka memberikan teguran dengan nada suara tinggi, menggunakan pilihan kata yang kasar. Sekalipun isi nasihat mereka sebenarnya baik, namun si penerima pasti akan membentengi diri bahkan menolaknya. Mereka bukan hanya menganggap bos, atasan, guru atau orang tua mereka itu sebagai pencela, tetapi juga akan memiliki dendam tersendiri.

 

Rasul Paulus menasihati jemaat Galatia untuk berani menyatakan kesalahan dalam rangka mengembalikan pelakunya ke jalan yang benar. Keberanian menegur orang lain secara tutus itu merupakan karya Roh Kudus atas diri orang beriman. Bila orang beriman membuka diri untuk dipimpin oleh Roh Kudus, maka kuasa-Nya akan mendorong orang itu untuk berani menyatakan kebenaran, berani mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas kesalahan yang diperbuatnya. Meskipun demikian, Roh Kudus tak hendak membuat kita menjadi hakim yang menuding kesalahan sesama manusia. 

 

Pertanyaan kita sekarang adalah bagaimanakah cara kita memberikan kritik yang membangun?

 

Pertama, lakukanlah dengan lemah lembut. Pada dewasa ini ada banyak aksi unjuk rasa digelar. Protes yang diwarnai dengan kekerasan bermunculan sebagai koreksi atas kesalahan pihak tertentu. Dari satu sisi, hal itu menunjukkan keberanian masyarakat kita meninggalkan budaya diam. Para pelopor demokrasi, penganjur persamaan hak, aktivis LSM atau LBH tentu bergembira untuk kemajuan ini. Tetapi sekaligus mereka juga sedih, sebab keberanian untuk membuka suara itu amat rentan. Masyarakat masih dapat dipengaruhi oleh oknum-oknum yang memancing di air keruh. Kenyataan tersebut tentu saja masih jauh dari apa yang diharapkan. Bila seorang beriman menyampaikan teguran, ia harus menyampaikannya atas dasar kasih dan niat baik untuk meluruskan persoalan. Sangat keliru apabila teguran itu disampaikan sekedar untuk mencuatkan kesalahan orang lain dengan maksud memberikan penghukuman. Teguran yang didasari sikap iman akan muncul dalam bentuk yang lemah lembut dan tidak memojokkan. Sebaliknya orang akan tergugah dan memperbaiki kekeliruannya. 

 

Kedua, menjaga diri sendiri supaya tidak jatuh dalam pencobaan. Artinya, menjaga diri sendiri supaya tidak melakukan hal serupa. Seorang bapak akan kehilangan wibawanya bila menegur anaknya untuk tidak merokok, tetapi mendapat jawaban: "Bapak sendiri kok merokok?". Seorang ibu merasa malu bila menegur anaknya untuk berhenti bertengkar, namun mendapat jawaban: "Mama sendiri juga sering bertengkar dengan Papa!" Bila kita sendiri telah melakukan koreksi dan ternyata bersih, barulah kita dapat menasihati orang lain. Dengan demikian kita tidak menjadi bumerang pada diri kita. Perhatikanlah seseorang yang menuding orang lain dengan menggunakan sebuah jari, yaitu telunjuk. Apa yang terjadi dengan jari-jemari orang tersebut? Sesungguhnya, ada tiga jari lain, yaitu jari tengah, jari manis, dan kelingkingnya, menunjuk pada dirinya sendiri.

 

Ketiga, menjaga diri supaya tidak jatuh dalam dosa kesombongan. Sebagai umat beriman, kita bertanggung jawab untuk membawa orang lain ke jalan yang benar. Tanggung jawab itu amat berat, sebab dalam tanggung jawab itu terkandung kewajiban untuk mawas diri. Bagaimanapun kita adalah manusia yang lemah dan mudah jatuh ke dalam dosa. Tak boleh kita takabur, seolah-olah kita selalu lebih baik dari orang lain. Karena itu, milikilah sikap kritik yang membangun agar orang yang melakukan pelanggaran mampu kembali ke jalan yang benar. (rsnh)

 

Selamat berakhir pekan dan besok kita beribadah untuk TUHAN

Renungan hari ini: “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH” (Daniel 3:3)

  Renungan hari ini:    “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH”   Daniel 3:3 (TB2) "Lalu berkumpullah para wakil raja, para penguasa, para bupa...