Sabtu, 11 September 2021

KOTBAH MINGGU XV SETELAH TRINITATIS Minggu, 12 September 2021 “BERHIKMAT DALAM YESUS” (Markus 8:31-38)

 KOTBAH MINGGU XV SETELAH TRINITATIS

Minggu, 12 September 2021

 

“BERHIKMAT DALAM YESUS”

Kotbah: Markus 8:31-38         Bacaan: Amsal 1:29-33




 

Minggu ini kita memasuki Minggu Kelimabelas setelah Trinitatis. Tema yang akan kita renungkan adalah “Berhikmat dalam Yesus”. Tema ini menarik untuk kita ulas sebab ada banyak manusia yang kurang berhikmat dalam menjalani hidupnya. Tidak ada jaminan orang yang dekat dengan Yesus memiliki hikmat. Perikop kotbah Minggu ini menunjukkan bahwa Petrus seorang murid Yesus pun melakukan kesalahan sehingga itu menunjukkan bahwa dia tidak berhikmat.

 

Petrus adalah manusia biasa. Dia pun memiliki kecenderungan yang sama dengan manusia yang lain. Ketika Tuhan Yesus menyampaikan bahwa “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari (ay. 31)”, seketika itu juga Petrus menarik Yesus dan menegur-Nya (ay. 32). Apa yang dilakukan Petrus ini menandakan bahwa dia, sebagai manusia biasa tidak ingin orang yang dianggapnya penting, mulia dan berkuasa itu mengalami penderitaan. Ia ingin agar Yesus yang diakuinya sebagai Sang Mesias itu mengalami kehidupan yang selanyaknya seperti orang-orang yang memerintah Israel. Petrus tidak ingin Yesus memilih jalan penderitaan di dalam hidup-Nya. Sebab itu, ia menegur Yesus, ia pikir Yesus keliru dalam berkata-kata dan perlu untuk diluruskan. Peristiwa ini membuktikan bahwa Petrus belum memiliki hikmat dari TUHAN. Petrus masih mengandalkan pola pikir manusia (baca: hikmat manusia).

 

Timbul pertanyaan kita sekarang, hikmat apa yang diberikan Yesus kepada kita dalam menghadapi pergumulan hidup ini? Ada beberapa hikmat yang ditunjukkan Yesus dalam perikope Minggu ini, yakni:

 

Pertama, YESUS menawarkan jalan yang berbeda. Petrus yang bersikap seperti itu, pada gilirannya justru ditegur Yesus dengan keras. Bahkan Petrus dimarahi dan dikatakan sebagai Iblis. Sebagaimana yang tertulis dalam ayat 33, Maka berpalinglah Yesus dan sambil memandang murid-murid-Nya Ia memarahi Petrus, kata-Nya: "Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia." Ungkapan Yesus ini sangat tajam, keras, dan sangat tepat. Petrus pada waktu itu memang tidak memikirkan apa yang dipikirkan Allah. Petrus hanya memikirkan apa yang dipikirkan manusia pada umumnya, bahwa tidak mungkin seorang manusia menjadikan jalan penderitaan sebagai bagian yang sengaja dipilih dalam hidup. 

 

Melalui teguran itu, Yesus ingin menyadarkan kepada Petrus bahwa pikiran Allah tidak selamanya sama dengan pikiran manusia. Kalau manusia cenderung menghindar dari penderitaan dan segala resikonya, tidak demikian dengan Allah. Allah justru dengan sadar memilih untuk menghadapi jalan penderitaan dan segala resikonya itu demi terwujudnya tujuan yang ingin Ia capai, yaitu mendamaikan manusia dengan diri-Nya. 

 

Pola pikir Allah yang semacam itulah yang sebenarnya ingin Yesus sosialisasikan kepada setiap orang yang mengikut-Nya. Dengan memilih taat pada jalan yang Allah sediakan sekalipun sarat dengan penderitaan, Yesus ingin mengajak kepada murid-murid-Nya untuk melihat penderitaan dengan cara pandang Allah. Bukan dengan cara pandang dunia yang cenderung anti-penderitaan. Dengan berkata “barangsiapa ingin mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku”, Tuhan Yesus mau menengaskan bahwa setiap orang yang menjadi murid-Nya harus memiliki kesediaan untuk hidup dalam penderitaan, berani untuk menghadapi penderitaan yang terjadi dalam hidupnya, dan tetap menempuh jalan yang Allah tunjukkan sekalipun sarat dengan penderitaan. Itulah jalan hidup yang Kristus tawarkan kepada kita. Spiritualitas Kristen minus penderitaan adalah spiritualitas yang anti “Jalan Kristus”. 

 

Kedua, Yesus memberikan sebuah tawaran yang penuh dengan tantangan. Tawaran Kristus untuk menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Dia tentu bukanlah merupakan tawaran yang mudah untuk kita ambil. Budaya kehidupan yang kita hadapi sekarang ini cenderung menampilkan wajah yang sangat berlawanan dengan tawaran Kristus tersebut. Sering kita jumpai dalam kehidupan ini, sekalipun orang telah mengaku percaya dan memproklamirkan diri sebagai pengikut Kristus, ternyata masih banyak juga yang tetap bersikap anti-penderitaan. Mereka mau anugerah dan berkat-Nya, tetapi menolak jalan penderitaan-Nya. Masih banyak yang secara sadar atau tidak, menolak ajaran Yesus tentang penderitaan, apalagi jika harus hidup memikul salib.

 

Ketiga, Yesus memberikan dua gambaran gaya hidup yang berlawanan antara budaya eksis versus penyangkalan diri. Dewasa ini, sebagai manusia kita diperhadapkan pada situasi kehidupan yang menuntut keeksisan seseorang. Jejaring sosial seperti facebook dan twitter, instagram menjadi sesuatu yang digemari oleh banyak orang. Dalam waktu yang relatif singkat, lebih dari ratusan ribu orang menjadi anggota di ketiga jejaring tersebut. Orang merasa bahwa dengan menjadi anggota di ketiga jejaring sosial tersebut, dirinya akan tetap bisa eksis dalam kehidupan sosial mereka. Karena itu, baik yang tua, yang muda, bahkan anak-anak pun berlomba untuk meng-update status setiap hari bahkan tiap dua atau tiga jam sekali untuk memberi informasi kepada teman-temannya bahwa saya masih ada dan bukan tipe orang yang ketinggalan jaman. 

 

Di tengah budaya eksis yang semacam itu, Yesus menawarkan kepada kita untuk melakukan penyangkalan diri.Orang yang menyangkal diri adalah orang yang berani mematikan dirinya demi kepentingan orang lain. Orang yang menyangkal diri adalah orang yang rela dianggap tidak eksis demi memberi ruang bagi pihak lain agar lebih menonjol.Beranikah kita mengambil sikap yang seperti itu? Saat orang lain berlomba untuk menjadi pusat perhatian, relakah kita menjadi orang yang mungkin tidak diperhatikan? Saat orang lain berusaha untuk menunjukkan keakuannya, beranikah kita mematikan keakuan kita?

 

Keempat, Yesus menunjukkan perbedaan budaya cuci tangan versus kesediaan memikul salib. Selain budaya eksis, dewasa ini kita juga menghadapi budaya cuci tangan. Kalau kita rajin mencermati berita di media elektronik dan membaca informasi di beberapa media cetak, kita akan menjumpai banyaknya orang yang sedang mengalami kasus-kasus kehidupan, dan mencoba untuk lari dari permasalahan mereka, dengan melemparkan tanggung jawab pada orang lain. Mereka yang telah melakukan kesalahan berusaha untuk mencari kambing hitam, supaya mereka tidak dipersalahkan dan tidak hidup menderita di balik jeruji besi. Bahkan tidak sedikit orang lari dari permasalahan hidup mereka dengan melakukan tindakan-tindakan yang tidak seharusnya, misalnya: memilih bunuh diri daripada hidup dalam penderitaan, memilih untuk mengkonsumsi narkoba daripada dipusingkan dengan persoalan yang tidak kunjung usai, memilih untuk membunuh orang lain daripada masalahnya terbongkar, dsb.

 

Di tengah orang berusaha untuk cuci tangan dari setiap masalah yang mereka hadapi, beranikah kita menjadi pribadi yang selalu menghadapi masalah kita, sekalipun karenanya kita harus menanggung penderitaan? Kristus menawarkan jalan kepada kita agar kita menjadi pribadi yang selalu bersedia untuk memikul salib kita dan mengikut Dia. Memikul salib memang tidaklah mudah. Salib adalah lambang beban kehidupan, salib juga menjadi simbol penderitaan, rasa sakit, dan nyeri. Siapapun yang memikul salib pasti akan terkuras tenaganya dan menjadi lelah. Apalagi kalau adanya salib itu karena perbuatan orang lain. Tetapi beranikah kita tetap memikulnya?  Kristus pernah melakukannya, sekalipun Ia tidak pernah membuat sebuah kesalahan di dalam kehidupan-Nya, Ia harus mengalami penderitaan dengan memikul beban berat itu di atas pundak-Nya. Tidakkah kita juga rindu untuk mengikuti jalan-Nya? 

 

RENUNGAN

 

Apa yang akan kita renungkan dari kotbah Minggu kelima belas setelah Trinitatis ini?

 

Pertama, relakah kita untuk menerima dan menghadapi penderitaan, olok-olokan, hinaan dan aniayaan, dan bahkan kehilangan nyawa karena Yesus dan karena Injil Kerajaan Allah? Sudahkah kita menyangkal diri, mengakui segala dosa dan kesalahan, memikul salib sendiri lalu kemudian mengikut Yesus?

 

Kedua, apakah kita dengan penuh percaya bahwa harta duniawi tidak berkuasa menyelamatkan nyawa kita? Keselamatan kita hanya kita peroleh di dalam iman kepada Yesus Kristus. Kita hanya menyakini bahwa tidak ada gunanya kita memiliki seluruh dunia, jika kita kehilangan nyawa kita. Sebagai orang yang mengikuti Yesus kita akan terus setia setia beribadah, berdoa, bersyukur, memuji, memuliakan, menyembah, memberi persembahan dan melayani Firman Tuhan.

 

Ketiga, berbahagialah kita yang menderita, diolok-olok, dihina dan dianiaya, apalagi kehilangan nyawa karena Dia dan karena Injil Kerajaan Allah karena kita akan empunya Kerajaan Surga. Kendati pun kita mengalami segala penderitaan itu sementara sifatnya, sebab kebahagiaan yang sejati akan kita raih di surga kelak. Karena itu, marilah kita memiliki hidup yang bijaksana dengan menghayati perjalanan penderitaan Kristus agar kiranya kita dimampukan untuk dapat menapaki jalan yang sama dengan jalan yang telah ditempuh Kristus. (rsnh)

 

Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN

Renungan hari ini: “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH” (Daniel 3:3)

  Renungan hari ini:    “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH”   Daniel 3:3 (TB2) "Lalu berkumpullah para wakil raja, para penguasa, para bupa...