Sabtu, 28 Agustus 2021

KOTBAH MINGGU XIII SETELAH TRINITATIS Minggu, 29 Agustus 2021 “TUHAN MENGETAHUI ISI HATIMU” (Markus 7:17-23)

 KOTBAH MINGGU XIII SETELAH TRINITATIS

Minggu, 29 Agustus 2021

 

“TUHAN MENGETAHUI ISI HATIMU”

Kotbah: Markus 7:17-23 Bacaan: Kidung Agung 2:8-13




 

Minggu ini kita memasuki Minggu Ketigabelas Setelah Trinitatis. Tema yang akan kita renungkan adalah  “TUHAN Mengetahui Isi Hatimu”.  Hati adalah bagian terpenting dalam kehidupan manusia, terlebih lagi bagi orang percaya, karena hidup berkenan kepada Tuhan atau tidak itu sangat bergantung pada apa yang ada di hati kita.  Mengapa?  Karena  "Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati"  (1 Sam. 16:7b).  Kepada anaknya (Salomo), Daud juga mengingatkan,  "Dan engkau, anakku Salomo, kenallah Allahnya ayahmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan dengan rela hati, sebab TUHAN menyelidiki segala hati dan mengerti segala niat dan cita-cita"  (1 Taw. 28:9a).  Karenanya kita harus berhati-hati dan selalu menjaga hati kita supaya tetap berkenan kepada Tuhan.  Teks kotbah ini dengan jelas menyatakan bahwa segala pikiran dan perbuatan jahat  (percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan dan lain-lain)  bersumber dari hati.  "Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang"  (ay. 23).


Tahu benar bahwa keadaan hati manusia sangat menentukan jalan hidupnya, itu sebabnya Iblis berusaha untuk menyerang dan mempengaruhi hati manusia dengan hal-hal yang negatif dan menjadikan hati sebagai sasaran empuknya.  Ketakutan, kekuatiran, kecemasan, keragu-raguan, kebencian, kepahitan dan sebagainya adalah hal-hal yang seringkali dipanahkan Iblis hingga manusia menjadi lemah, tak berdaya, putus asa, kehilangan sukacita dan damai sejahteranya.  Firman TUHAN menasihatkan,  "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan"  (Ams. 4:23).  Jadi kita harus bisa menjaga hati kita dengan penuh kewaspadaan.  Waspada berarti selalu berjaga-jaga dan tidak lengah ibarat seorang prajurit yang sedang bertempur di medan peperangan, sebab jika kita lengah sedikit saja kita akan tertembak oleh musuh  (Iblis).


Mari kita belajar dari Daud yang selalu terbuka di hadapan Tuhan, siap untuk ditegur dan dikoreksi bila isi hatinya mulai tidak benar:  "Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku;  lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!"  (Mzm. 139:23-24).


Keberadaan hati kita ini ibarat sebuah kebun.  Bila kebun itu selalu kita jaga dan kita rawat setiap hari, kebun itu akan menjadi lahan yang subur dan siap untuk ditanami benih, yang pada akhirnya akan menghasilkan tuaian yang baik.  Sebaliknya jika kebun itu kita biarkan terbengkalai, maka di dalam kebun itu akan tumbuh banyak ilalang dan semak belukar yang justru akan menghambat tumbuhnya benih yang kita semai.  Begitu juga dengan hati, kita perlu menjaga, merawat dan menanaminya dengan benih yang baik dan positif yaitu firman Tuhan, sehingga isi hati kita bersih dari segala “kotoran”.

Timbul pertanyaan kita, mengapa kita harus selalu menjaga hati kita tetap bersih?  Sebab bila hati kita bersih (murni), Tuhan akan berkenan hadir dan mencurahkan berkat-berkat-Nya.  Dikatakan,  "Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang tidak bersumpah palsu"  (Mzm. 24:4-5), dan  "Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah"  (Mat. 5:8).  Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan menyediakan upah bagi orang-orang yang memiliki hati yang bersih (murni):  ada berkat, perlindungan, bahkan ia akan melihat Tuhan.  Jadi Dia berkenan memilih seseorang dan memberkatinya bukan berdasarkan penampilan fisik, kepintaran, kekayaan yang dimiliki, padatnya jadwal pelayanan atau aktivitas rohani yang dikerjakan, tetapi Dia melihat isi hatinya.


Bagaimana kondisi hati kita saat ini?  Sudah bersihkah atau masih banyak “kotoran”, hal-hal jahat dan akar pahit yang terkandung di dalamnya?  Nah, supaya hati kita bersih dan murni, tidak ada jalan lain selain kita harus datang kepada Tuhan, berdoa dengan mencurahkan isi hati dengan jujur dan membuka hati untuk selalu dikoreksi oleh firman-Nya, itulah proses menuju kemurnian hati, karena firman-Nya itu  "...hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita."  (Ibr. 4:12).

 

Jika hati kita tidak berkenan kepada Tuhan, maka ibadah dan pelayanan yang kita kerjakan juga sia-sia!

 

Dalam teks kotbah Minggu ini kita akan melihat sebuah perjumpaan antara Injil dan budaya. Perjumpaan ini selalu menimbulkan perdebatan yang panjang dan alot. Sebagai manusia yang mewarisi nilai-nilai budaya sekaligus manusia beragama diperhadapkan pada pertanyaan etis: “Apakah kita mau mengutamakan salah satunya atau memperlakukan keduanya secara bersama atau bahkan tidak sama sekali?”

 

Kedatangan para ahli Taurat dan orang Farisi untuk menemui Yesus diawali dengan sebuah pemandangan yang menarik ketika mereka melihat beberapa orang murid Yesus makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh, lalu mereka mempertanyakan hal itu kepada Yesus. Sebagai orang yang hidup di tengah-tengah komunitas Yahudi, Yesus sendiri mengetahui adat-istiadat yang dimiliki bangsa Yahudi. Karena itu, Yesus merespons dengan mengkritik cara orang Farisi dan ahli Taurat memahami adat istiadat dan mengatakan “sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat-istiadatmu sendiri” (ay. 9).

 

Kritik Yesus selanjutnya dengan mengutip salah satu bunyi Hukum kelima “hormatilah ayahmu dan ibumu” yang dalam penerapannya oleh orang Farisi dan ahli Taurat ternyata diberlakukan tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan dari hukum itu, yaitu dengan melegitimasi ketaatan kepada Tuhan dalam bentuk pemberian korban adalah hal yang lebih utama daripada menghormati (mengurus) orangtua. Menurut Yesus hal yang prinsip bukanlah apa yang dari luar dan masuk ke dalam diri orang tersebut yang menajiskan, tetapi apa yang keluar dari orang itu. Itulah yang menajiskannya (ay. 15). Karena itu, Yesus tidak menegur para murid yang dinilai menyalahi adat-istiadat orang Yahudi. Sebab yang terpenting bagi Yesus adalah apa yang mewujudnyata dalam sikap dan perbuatan, apakah itu perbuatan baik atau perbuatan buruk, bukan apa yang “masuk”; diterima, dipelajari, diresapi, diketahui dan dipahami.

 

Ungkapan “dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa yang tahu?” mengartikan bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui isi hati orang lain sedekat apapun relasi yang terjalin. Isi hati akan terungkap dalam bentuk perbuatan nyata dari orang tersebut, sehingga setiap perbuatan adalah cerminan dari isi hati orang tersebut. Ajaran Yesus ini mengingatkan kita supaya tidak memusatkan tujuan kita dengan “memasukan” banyak hal dari luar ke dalam diri kita apakah itu pengetahuan, informasi, wawasan, dan sebagainya. Tentu semua yang didapatkan sangat bermanfaat dan mendorong peningkatan motivasi dalam hidup, tetapi yang mau Yesus tegaskan adalah apakah yang masuk itu akan mengeluarkan kebaikan atau keburukan? Bisa saja ada banyak pengetahuan tentang kebaikan yang kita terima, tetapi akan mengeluarkan keburukan atau sebaliknya.

 

Di sinilah kita meletakkan fungsi hati kita untuk mengontrol semua pikiran dan perilaku kita. Tuhan tidak akan mempertanyakan seberapa banyak pengetahuan, ilmu dan wawasan yang kita miliki. Yang akan menjadi titik tolak adalah seberapa besar hal-hal itu mendorong, mempengaruhi, dan mengontrol kita untuk menghasilkan buah-buah yang baik dan benar dalam tindakan. Kedalaman hati kita menjadi pusat perhatian Tuhan supaya Roh Kudus membantu kita mengelola dan mempertimbangkan semua yang masuk, sehingga tidak mencelakakan hidup kita. Tidak ada seorangpun dari antara kita yang bebas dari pengaruh adat-istiadat kita masing-masing dan mungkin kita masih terus menghidupinya sampai sekarang. Nilai-nilai kebajikan yang dipelihara dalam adat-istiadat kita akan menjadi bermakna jika kita juga mampu memberi makna injil yang setara dalam pemberlakuannya. Marthin Luther, tokoh reformasi dalam salah satu tulisannya mengatakan begini, “Siapa yang dibenarkan oleh iman, dia akan meresponsnya dengan ucapan syukur dan kasih yang menyempurnakan. Melalui iman pada janji Allah, seseorang menerima anugerah keselamatan dan kemampuan untuk mengasihi dari hati dan bukan karena dorongan hukum dari luar dirinya.” Demikianlah Tuhan melihat kita sampai pada kedalaman hati kita

 

RENUNGAN

Kita harus menjaga hati untuk senantiasa bersih dan kudus. Segera bereskan bila hati sudah mulai tercemar sehingga tidak menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan kita.

1.     Jangan terkecoh dengan penampilan seseorang. Penampilan seseorang boleh kelihatan menarik padahal hanya bersifat sementara.

2.     Menilai hati seseorang memang sulit, tapi paling kurang lihatlah kesehariannya, sikap hidupnya, ketulusannya, kepatuhannya, kejujurannya, kesetiannya dan terutama prilakunya dalam melaksanaan kehendak TUHAN, sebagai seorang yang takut akan TUHAN.

3.     Samuel tidak memaksakan kehendaknya, penilaiannya dan pertimbangannya untuk diikuti oleh TUHAN, tapi dia tunduk pada kehendaknya dan pilihan Allah. (rsnh)

 

Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN

Renungan hari ini: “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH” (Daniel 3:3)

  Renungan hari ini:    “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH”   Daniel 3:3 (TB2) "Lalu berkumpullah para wakil raja, para penguasa, para bupa...