Sabtu, 25 Agustus 2018

KOTBAH MINGGU XIII SETELAH TRINITATIS Minggu, 26 Agustus 2018 “SUPAYA MEREKA MENJADI SATU”

Minggu, 26 Agustus 2018

“SUPAYA MEREKA MENJADI SATU”
Kotbah: Yohanes 17:20-23 Bacaan: Keluaran 17:8-13



Minggu ini kita memasuki Minggu Ketigabelas Setelah Trinitatis. Tema yang akan kita renungkan adalah “Supaya mereka menjadi satu”.Satu bukan berarti seragam. Satu berarti sehati, sepikir dan satu tujuan. Tema ini merupakan bagian dari doa Tuhan Yesus bagi murid-murid-Nya agar mereka memiliki kesatuan dalam rangka melanjutkan tugas misi Kerajaan Allah di dunia ini.

Menurut Yesus kesatuan murid-Nya dan umat percaya sangat penting sekali karena kesatuan orang-orang kristen merupakan pemulihan dari kehancuran umat manusia. Kehancuran dari umat manusia adalah bahwa setelah dipisahkan dari Allah, mereka juga terpecah-pecah dalam dirinya sendiri. Karena itu pemulihannya, sebaliknya, terdiri dari penyatuannya secara benar dalam satu tubuh dengan Kristus.

Timbul pertanyaan bagi kita sekarang, kesatuan yang bagaimanakah yang Yesus maksudkan?

Pertama, kesatuan yang didoakan Yesus bukanlah kesatuan pemerintahan atau organisasi. 
Itu sama sekali bukan kesatuan gereja. Orang-orang kristen tidak akan pernah mengorganisir gereja-gereja mereka dengan cara yang sama. Mereka tidak akan pernah menyembah dan beribadah kepada Allah dengan cara yang sama. Bahkan mereka tidak akan pernah memercayai hal-hal yang persis sama. Tetapi kesatuan kristen melampaui semua perbedaan-perbedaan ini dan menggabungkan orang-orang dalam kasih. Kesatuan kristen pada saat ini, dan bahkan dalam sepanjang sejarah, telah dilukai dan dihalangi, karena manusia mengasihi organisasi gereja mereka sendiri, pengakuan iman mereka sendiri, upacara mereka sendiri, lebih dari pada mereka mengasihi satu sama lain. Jika kita sungguh-sungguh mengasihi satu sama lain dan sungguh-sungguh mengasihi Kristus, tidak ada gereja yang akan mengeluarkan siapapun yang adalah murid Kristus. Hanya kasih yang ditanamkan dalam hati manusia oleh Allah bisa merobohkan penghalang-penghalang yang telah mereka dirikan di antara mereka dan di antara gereja-gereja mereka. Berdasarkan kesatuan ini mereka didesak untuk mengasihi satu sama lain, untuk saling menanggung beban, dan untuk mempelajari hal-hal yang mendatangkan damai, dan hal-hal dengan mana yang satu bisa mendidik dan membangun yang lain.

Kedua, kesatuan di antara orang-orang kristen bukanlah sama dengan kesatuan antara Bapa dan Anak (bdk. Ay. 22b).Ini tidak menegaskan bahwa kesatuan antara orang-orang kristen harus dalam segala hal seperti kesatuan antara Bapa dan Anak, tetapi hanya dalam hal-hal dalam mana mereka bisa dibandingkan. Bukan kesatuan hakekat yang dimaksudkan, tetapi kesatuan rencana dan tujuan. Ini tidak berarti bahwa kesatuan antara Bapa dan Anak sama dengan kesatuan antara orang-orang percaya dan Allah. Tetapi itu berarti bahwa ada persamaannya.

Ketiga, kesatuan untuk mana Yesus berdoa bukanlah semata-mata kesatuan lahiriah.Kesatuan yang Yesus maksudkan adalah bersifat rohani. Memang Bapa, Anak, dan Roh Kudus, satu dalam hakekat; sedangkan orang-orang percaya, satu dalam pikiran, usaha dan tujuan. Kesatuan dari Allah Tritunggal bukan hanya mempunyai kemiripan dengan kesatuan dari orang-orang percaya, tetapi bahkan juga menjadi dasar dari kesatuan orang-orang percaya. Kesatuan dari Allah Tritunggal merupakan fondasi dari kesatuan orang-orang percaya. Hanya orang-orang yang sudah dilahirbarukan oleh Roh Kudus, dan ada di dalam Bapa dan Anak, yang merupakan suatu kesatuan rohani.

Pertanyaan kita selanjutnya adalah bagaimana kita harus melakukan kesatuan itu? Perikop ini memberi kita nasihat praktis, yakni:

Pertama,pusatkan perhatian pada persamaan-persamaan yang kita miliki, bukan perbedaan-perbedaan kita. Paulus memberi tahu kita “Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun” (Rm. 14:19). Sebagai orang-orang percaya, kita memiliki satu Tuhan, satu tubuh, satu tujuan, satu Bapa, Satu Roh, satu harapan, satu iman, satu baptisan dan satu kasih. Kita memiliki keselamatan yang sama, kehidupan yang sama, dan masa depan yang sama, yaitu faktor-faktor yang jauh lebih penting dari pada perbedaan apapun yang bisa kita hitung. Inilah hal-hal yang harus kita beri perhatian utama, bukan perbedaan-perbedaan pribadi kita.

Kita harus ingat bahwa Allahlah yang memilih untuk memberi kita kepribadian, latar belakang, bangsa, dan preferensi yang berbeda, jadi kita seharusnya menghargai dan menikmati perbedaan-perbedaan tersebut, bukan hanya menerimanya. Allah menginginkan kesatuan, bukan keseragaman. Namun demi kesatuan, kita tidak pernah boleh membiarkan perbedaan memecah belah kita. Kita harus tetap mengutamakan apa yang paling penting, belajar untuk saling mengasihi sebagaimana Kristus telah mengasihi kita, dan memenuhi kelima tujuan Allah bagi setiap kita dan Gereja-Nya. Konflik biasanya merupakan tanda bahwa pusat perhatian telah bergeser pada masalah-masalah yang kurang penting. Bila kita memusatkan perhatian pada kepribadian, preferensi, penafsiran, gaya, atau metode, maka perpecahan selalu terjadi. Tetapi jika kita memusatkan perhatian pada soal saling mengasihi dan memenuhi tujuan-tujuan Allah, keharmonisan terjadi. Paulus memohon hal ini, “Biarlah ada keharmonisan yang sejati sehingga tidak aka nada perpecahan di dalam gereja. Aku memohon kepadamu untuk sehati bersatu dalam pikiran dan tujuan” (1Kor. 1:10).

Kedua,bersikaplah realistis dengan harapan-harapan kita. Begitu kita menemukan apa yang Allah maksudkan dengan persekutuan yang sejati, mudah untuk menjadi patah semangat karena adanya jurang antara yang ideal dan yang nyata di dalam gereja saudara. Namun, kita harus bersungguh-sungguh mengasihi gereja sekalipun ada ketidaksempurnaannya. Merindukan yang ideal sementara mengkritik yang nyata adalah bukti dari ketidakdewasaan. Sebaliknya, tinggal dalam kenyataan tanpa memperjuangkan yang ideal merupakan sikap puas dengan diri sendiri. Kedewasaan ialah menyesuaikan diri dengan ketegangan itu.

Orang-orang percaya akan mengecewakan kita, tetapi itu bukanlah alasan untuk berhenti bersekutu dengan mereka. Merekalah keluarga kita, bahkan ketika mereka tidak mengecewakan kita, kita tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Sebaliknya Allah menyuruh kita, “Bersabarlah kamu satu sama lain, berilah kelonggaran bila ada kesalahan satu terhadap yang lain karena kasihmu” (Ef. 4:2). Orang-orang menjadi kecewa terhadap gereja karena banyak alasan yang bisa dipahami. Daftarnya bisa agak panjang: konflik, luka hati, kemunafikan, kurang diperhatikan, pikiran sempit, legalisme, dan dosa-dosa lain. Sebaliknya dari pada terkejut, kita harus ingat bahwa gereja dibentuk dari orang-orang berdosa yang sesungguhnya, termasuk diri kita sendiri. Karena kita adalah orang-orang berdosa, kita saling melukai, kadang-kadang secara sengaja, dan kadang secara tidak sengaja. Tetapi bukannya meninggalkan gereja, kita perlu tinggal dan menyelesaikan persoalannya jika memungkinkan. Rekonsiliasi, dan bukan melarikan diri, yang merupakan jalan menuju karakter yang lebih kuat dan persekutuan yang lebih dalam.

Meninggalkan gereja kita pada saat pertama kali ada kekecewaan atau ketidakpuasan adalah tanda ketidakdewasaan. Allah memiliki hal-hal yang ingin Dia ajarkan kepada saudara dan juga kepada orang lain. Selain itu tidak ada gereja yang sempurna dimana kita bisa melarikan diri. Setiap gereja memiliki sejumlah kelemahan dan masalahnya sendiri. Kita akan segera kecewa lagi. Jika sebuah gereja harus sempurna untuk memuaskan kita, kesempurnaan tersebut akan melarang kita untuk menjadi anggota, karena kita tidak sempurna.

Ketiga, pilihlah untuk membangkitkan semangat dan bukan mengkritik. Selalu lebih mudah untuk berdiri ditepi dan menembak orang-orang yang sedang melayani daripada terlibat dan memberikan sumbangsih. Allah memperingatkan kita berulang-ulang untuk tidak mengkritik, membanding-bandingkan atau menghakimi satu sama lain (Rm. 14:13; Yak. 4:11; Ef. 4:29). Bila kita mengkritik apa yang sedang dikerjakan dengan iman dan keyakinan yang tulus oleh orang percaya lainnya, berarti kita mencampuri urusan Allah: “Hak apa yang kamu miliki untuk mengkritik hamba-hamba orang lain? Hanya Tuhan mereka yang bisa memutuskan apakah mereka sedang melakukan sesuatu yang benar” (Rm. 14:4). Paulus menambahkan bahwa kita tidak boleh menghakimi atau meremehkan orang-orang percaya lain yang keyakinannya berbeda dengan diri kita: ”Jadi mengapa mengkritik tindakan-tindakan saudaramu, mengapa mencoba membuatnya kelihatan rendah? Kita semua akan diadili suatu hari, bukan dengan standar kita satu sama lain atau bahkan standar kita sendiri, tetapi dengan standar Kristus” (Rm 14:10). Karena itu, berusahalah selalu untuk mencari titik temu dan persamaan agar kesatuan umat percaya nyata dalam kehidupan sehari-hari. (rsnh)

Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN

Renungan hari ini: “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH” (Daniel 3:3)

  Renungan hari ini:    “PENTINGNYA PATUH KEPADA ALLAH”   Daniel 3:3 (TB2) "Lalu berkumpullah para wakil raja, para penguasa, para bupa...