Renungan hari ini: “PARADOKS KEBAHAGIAAN DALAM KERAJAAN ALLAH” (Lukas 6:20)
Renungan hari ini:
“PARADOKS KEBAHAGIAAN DALAM KERAJAAN ALLAH”
Lukas 6:20 (TB) Lalu Yesus memandang murid-murid-Nya dan berkata: "Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah"
Luke 6:20 (NET) Then he looked up at his disciples and said: “Blessed are you who are poor, for the kingdom of God belongs to you"
Perkataan Yesus ini merupakan bagian dari Khotbah di Tanah Datar, yang serupa dengan Khotbah di Bukit (Mat. 5). Kalimat ini terdengar aneh bagi dunia: bagaimana mungkin orang miskin disebut berbahagia? Dunia biasanya menyebut “berbahagia” bagi mereka yang kaya, sukses, dan berkuasa. Tetapi Yesus membalikkan pandangan dunia — Ia menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada harta, tetapi pada hubungan dengan Allah.
Yesus tidak sedang memuliakan kemiskinan itu sendiri, melainkan sedang mengajarkan sikap hati yang rendah, bergantung penuh kepada Tuhan. Dalam konteks ini, “miskin” bukan hanya dalam arti ekonomi, tetapi juga dalam arti rohani — orang yang menyadari ketidakberdayaan dirinya di hadapan Allah dan hanya bersandar pada kasih karunia-Nya.
Ketika Yesus berbicara kepada murid-murid-Nya, Ia menegaskan bahwa orang yang miskin — yang hidupnya tidak bergantung pada kekayaan, tetapi pada Allah — memiliki posisi istimewa di mata Tuhan. Mereka berbahagia bukan karena mereka kekurangan, tetapi karena dalam kekurangan itu mereka mendapati Allah cukup bagi mereka.
Dalam Lukas 6, kata “miskin” (Yunani: ptōchos) berarti orang yang benar-benar tidak memiliki apa-apa, bahkan untuk bergantung pada diri sendiri. Ini menggambarkan kerendahan hati dan ketergantungan total kepada Allah. Di hadapan Allah, mereka tidak punya apa-apa yang bisa dibanggakan — hanya iman, pengharapan, dan penyerahan diri.
Janji Yesus sangat jelas: Kerajaan Allah menjadi milik mereka. Ini bukan sekadar penghiburan bagi orang yang miskin secara materi, tetapi juga janji bagi semua yang hidup dengan hati yang sederhana, rendah, dan mengandalkan Tuhan.Kerajaan Allah berarti: Pemerintahan Allah atas hidup kita sekarang, dan Kehidupan kekal di masa depan bersama Dia. Artinya, mereka yang miskin dan bergantung pada Allah sudah mengalami kerajaan Allah di hati mereka sekarang, dan akan menikmati kepenuhannya nanti di surga. Yesus ingin menegaskan bahwa nilai-nilai kerajaan Allah berbeda dengan dunia. Dunia menghargai kekuatan, status, dan kekayaan. Tapi Allah menghargai kerendahan hati, iman, dan ketulusan hati. Hati yang miskin di hadapan Allah adalah hati yang siap menerima kasih karunia-Nya.
Sebagai pengikut Kristus di zaman modern, kita mungkin tidak miskin secara ekonomi, tetapi sering kali kaya dalam kesombongan, ego, dan kemandirian diri. Kita merasa mampu mengatur hidup sendiri tanpa Tuhan.Namun, Yesus memanggil kita untuk memiliki hati yang “miskin” — hati yang sadar bahwa kita butuh Tuhan setiap hari.
Apa yang perlu direnungkan dari nas hari ini? Dari ayat ini, ada beberapa hal penting yang perlu direnungkan oleh setiap orang percaya:
Pertama, makna “Miskin” yang sebenarnya. Ketika Yesus berkata, “Berbahagialah, hai kamu yang miskin,” Ia tidak hanya berbicara tentang kemiskinan materi. Dalam Injil Lukas, “miskin” juga dapat dimengerti sebagai mereka yang rendah hati, tidak bergantung pada diri sendiri, dan sadar bahwa mereka membutuhkan Allah. Orang “miskin” di sini adalah mereka yang tidak sombong secara rohani, yang tidak merasa cukup dengan kekuatan atau kekayaan sendiri, melainkan bergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Mereka adalah orang yang lapar akan kebenaran dan kasih Allah, yang menjadikan Tuhan satu-satunya sumber pengharapan.
Kedua, berbahagia dalam ketergantungan kepada Allah. Yesus menyebut orang miskin sebagai “berbahagia” bukan karena mereka kekurangan, tetapi karena mereka dapat mengalami penyertaan Allah dengan lebih nyata. Dalam kemiskinan — baik secara materi maupun rohani — seseorang belajar untuk menyerahkan hidup sepenuhnya kepada Tuhan. Dunia mengajarkan bahwa kebahagiaan berasal dari kekayaan, status, dan kesuksesan. Namun Yesus mengajarkan kebalikannya: kebahagiaan sejati datang ketika hati kita lepas dari keterikatan dunia dan terarah kepada Allah.
Ketiga, Kerajaan Allah: Janji bagi yang bergantung pada Tuhan. Yesus menjanjikan, “Karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah.” Ini berarti bahwa mereka yang hidup dalam ketergantungan pada Tuhan akan mengalami pemerintahan Allah atas hidup mereka — baik sekarang maupun kelak di kekekalan. Mereka akan mengalami damai sejahtera, pemeliharaan Allah, dan kehadiran-Nya yang nyata di dunia ini. Dan pada akhirnya, mereka akan menerima bagian dalam kehidupan kekal, di mana Allah sendiri menjadi sumber sukacita mereka.
Keempat, sikap hati: rendah, bersyukur, dan mengasihi. Yesus memanggil kita untuk memiliki hati yang miskin di hadapan Allah, yaitu hati yang rendah, bersyukur, dan mau mengasihi sesama.Ketika kita menyadari bahwa semua yang kita miliki berasal dari Tuhan, kita akan lebih mudah untuk: Bersyukur, bukan mengeluh. Memberi, bukan menimbun.Mengasihi, bukan menghakimi.
Lukas 6:20 mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati bukan diukur dari banyaknya harta, jabatan, atau keberhasilan, tetapi dari kedalaman hubungan kita dengan Allah.Menjadi “miskin” di hadapan Tuhan berarti mengakui ketergantungan penuh kepada-Nya, dan dalam kerendahan hati itu kita justru menemukan sukacita dan damai yang tidak bisa diberikan dunia.
Kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam apa yang kita miliki, tetapi dalam Siapa yang kita miliki — yaitu Tuhan sendiri.Ketika Yesus berkata, “Berbahagialah kamu yang miskin,” Ia sebenarnya berkata: “Berbahagialah kamu yang bersandar penuh kepada-Ku, karena di dalam Aku, kamu memiliki segalanya.” Karena itu, setiap kita belajar hidup dengan hati yang miskin di hadapan Allah, bukan dalam kesedihan, tetapi dalam keyakinan bahwa Kerajaan Allah sudah menjadi bagian kita — sekarang dan untuk selama-lamanya. (rsnh)
Selamat memulai karya dalam Minggu ini untuk TUHAN
Komentar
Posting Komentar