KOTBAH TRINITATIS
Minggu, 26 Mei 2024
“KUDUS, KUDUS, KUDUSLAH TUHAN”
Kotbah: Yesaya 6:1-8 Bacaan: 1 Yohanes 5:9-13
Hari ini kita memasuki Minggu Trinitatis. Dalam ibadah ini tema yang akan kita renungkan adalah “Kudus, Kudus, Kuduslah TUHAN”. Pengulangan kata "kudus" tiga kali dalam ayat 3 menekankan kekudusan Tuhan secara luar biasa. Dalam bahasa Ibrani, pengulangan digunakan untuk menekankan pentingnya suatu konsep. Dengan menyebut Tuhan sebagai "kudus" tiga kali, para serafim menekankan bahwa Tuhan adalah kudus dalam esensi-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Ini menggambarkan kekudusan Tuhan sebagai kualitas utama dan mutlak-Nya, jauh melebihi segala sesuatu yang lain.
Mengulangi "kudus" tiga kali menunjukkan kekudusan Tuhan yang total dan sempurna. Ini berarti Tuhan adalah satu-satunya yang benar-benar murni dan terpisah dari segala dosa dan ketidakmurnian. Kekudusan Tuhan mencakup kesempurnaan moral, kemurnian, dan kebenaran-Nya. Tidak ada cacat atau dosa dalam Tuhan; Dia adalah teladan sempurna dari kebaikan dan kebenaran.
Kekudusan Tuhan juga terkait erat dengan kedaulatan dan kemuliaan-Nya. Dalam visi Yesaya, Tuhan dilihat duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, yang menunjukkan otoritas dan kekuasaan-Nya atas seluruh ciptaan. Kemuliaan-Nya memenuhi seluruh bumi, menunjukkan bahwa kehadiran dan kekudusan Tuhan tidak terbatas dan melingkupi segala sesuatu.
Penglihatan Yesaya tentang kekudusan Tuhan membangkitkan kesadaran akan ketidaklayakannya sendiri. Yesaya merasa "celaka" karena dia seorang yang "najis bibir" dan hidup di tengah bangsa yang najis bibir (ay. 4). Kekudusan Tuhan mengungkapkan dosa manusia dan kebutuhan akan penyucian. Respons Yesaya adalah pengakuan dosa dan penerimaan pengampunan, yang ditunjukkan melalui tindakan serafim yang menyentuh bibirnya dengan bara api dari mezbah.
Pertanyaan kita sekarang adalah bagaimanakah sikap dan respons Yesaya tat kala dia dipanggil TUHAN menjadi hamba-Nya? Ada beberapa respons dan sikap Yesaya atas panggilan TUHAN kepadanya menjadi hamba-Nya, yakni:
Pertama, Yesaya terpesona oleh kemuliaan dan kekudusan Tuhan (ay. 1-4). Dalam ayat-ayat awal, Yesaya melihat Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, dengan ujung jubah-Nya memenuhi bait suci. Para Serafim memuji Tuhan dengan seruan "Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!" (ay. 3). Ini menggambarkan kekudusan dan kemuliaan Tuhan yang melampaui segala sesuatu. Yesaya terpesona oleh kemuliaan dan kekudusan Tuhan. Visi ini memberikan Yesaya wawasan mendalam tentang betapa agung dan suci-Nya Tuhan.
Kedua, kesadaran akan ketidaklayakan dan dosa (ay. 5). Dalam ayat 5, Yesaya merespons dengan berkata, "Celakalah aku! Aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, Tuhan semesta alam." Yesaya menyadari dosa dan ketidaklayakannya di hadapan Tuhan yang kudus. Ini adalah respons alami ketika seseorang melihat kemuliaan Tuhan dan menyadari jarak antara kekudusan Tuhan dan kedosaannya sendiri. Yesaya secara terbuka mengakui dosanya dan ketidakmampuannya. Ini menunjukkan kerendahan hati dan kejujuran Yesaya di hadapan Tuhan.
Ketiga, pengampunan dan penyucian (ay. 6-7). Dalam ayat 6-7, seorang Serafim mengambil bara api dari mezbah dan menyentuhkannya pada bibir Yesaya, sembari berkata, "Lihat, ini telah menyentuh bibirmu, maka kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni." Yesaya menerima penyucian dari Tuhan dengan hati yang terbuka. Penyucian ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak hanya mengungkapkan dosa tetapi juga menyediakan sarana pengampunan dan penyucian. Setelah disucikan, Yesaya berada dalam posisi untuk mendengar panggilan Tuhan dan meresponsnya dengan kesiapan.
Keempat, panggilan dan respons pelayanan (ay. 8). Dalam ayat 8, Yesaya mendengar suara Tuhan bertanya, "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Yesaya menjawab, "Ini aku, utuslah aku!" Yesaya menunjukkan kesiapan untuk diutus oleh Tuhan. Responsnya yang spontan dan tanpa syarat "Ini aku, utuslah aku!" menunjukkan komitmen dan kepatuhannya kepada panggilan Tuhan. Yesaya menunjukkan ketaatan kepada Tuhan.Setelah mengalami penglihatan tentang kekudusan Tuhan dan menerima pengampunan, Yesaya dengan sukarela menawarkan dirinya untuk melayani Tuhan.
RENUNGAN
Apa yang hendak kita renungkan dalam Minggu Trinitatis ini? Kisah pemanggilan Yesaya menjadi hamba Tuhan dalam Yesaya 6:1-8 memberikan beberapa refleksi penting bagi kita sebagai orang percaya. Berikut adalah beberapa poin refleksi yang bisa diambil dari kisah tersebut:
Pertama, kesadaran akan Keagungan dan Kekudusan Allah. Kisah ini mengingatkan kita akan keagungan dan kekudusan Tuhan. Yesaya melihat Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, dengan serafim yang memuji kekudusan-Nya. Ini mengingatkan kita bahwa Allah kita adalah Allah yang kudus dan agung, yang layak menerima segala penghormatan dan penyembahan kita. Kesadaran ini harus mendorong kita untuk hidup dalam rasa takut dan hormat kepada Tuhan.
Kedua, pengakuan dosa dan pertobatan. Yesaya langsung menyadari ketidaklayakan dan dosa-dosanya di hadapan Tuhan yang kudus. Ia berkata, "Celakalah aku! Aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir" (ay. 5). Pengakuan dosa dan pertobatan adalah langkah penting dalam perjalanan iman kita. Kita harus selalu siap mengakui dosa-dosa kita dan bertobat, menyadari bahwa kita tidak layak di hadapan Tuhan tanpa belas kasihan dan pengampunan-Nya.
Ketiga, pemurnian dan pengampunan dari Tuhan. Yesaya menerima pemurnian dan pengampunan melalui serafim yang menyentuh bibirnya dengan bara dari mezbah. Ini menunjukkan bahwa Allah adalah sumber pengampunan dan pemurnian. Melalui Kristus, kita juga menerima pemurnian dari dosa-dosa kita. Refleksi ini mengingatkan kita untuk selalu bersyukur atas pengampunan yang kita terima melalui pengorbanan Yesus Kristus.
Keempat, kesediaan untuk menjawab panggilan Tuhan. Setelah disucikan, Yesaya mendengar panggilan Tuhan dan merespons dengan kesediaan, "Ini aku, utuslah aku!" (ay. 8). Refleksi ini mengajarkan kita untuk memiliki sikap hati yang siap dan bersedia menjawab panggilan Tuhan dalam hidup kita. Kita dipanggil untuk melayani Tuhan dan sesama dengan sepenuh hati.
Kelima, kepatuhan dan komitmen dalam pelayanan. Yesaya tidak hanya bersedia menjawab panggilan Tuhan, tetapi juga menunjukkan komitmen dan kepatuhan untuk menjalankan tugas yang diberikan kepadanya. Pelayanan kepada Tuhan membutuhkan kesetiaan dan komitmen. Kita diajak untuk merenungkan sejauh mana kita setia dan berkomitmen dalam menjalankan tugas dan panggilan yang Tuhan berikan dalam hidup kita.
Keenam, transformasi pribadi. Kisah Yesaya juga menunjukkan transformasi pribadi dari seorang yang merasa najis menjadi hamba yang siap diutus oleh Tuhan. Pengalaman ini menandakan bahwa Allah dapat mengubah dan memakai siapa saja yang mau tunduk dan menyerahkan diri kepada-Nya. Kita perlu membuka diri untuk diubahkan dan dipakai oleh Tuhan sesuai dengan rencana-Nya.
Refleksi dari kisah pemanggilan Yesaya mengajak kita untuk merenungkan keagungan dan kekudusan Allah, pentingnya pengakuan dosa dan pertobatan, menerima pengampunan dan pemurnian dari Tuhan, kesediaan menjawab panggilan Tuhan, komitmen dalam pelayanan, dan transformasi pribadi. Karena itu, marilah kita terus belajar dari pengalaman Yesaya dan berusaha hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, menjadi hamba yang setia dan siap diutus oleh-Nya. (rsnh)
Selamat merayakan Minggu Trinitatis!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar