Sabtu, 21 Januari 2023

KOTBAH MINGGU EPIPHANIAS III Minggu, 22 Januari 2023 “KEKUATAN ALLAH YANG MENYELAMATKAN” (1 Korintus 1:10-18)

 KOTBAH MINGGU EPIPHANIAS III

Minggu, 22 Januari 2023

 

“KEKUATAN ALLAH YANG MENYELAMATKAN”

Kotbah: 1 Korintus 1:10-18         Bacaan: Mikha 7:7-20


 

Dalam Minggu ini kita memasuki Minggu Epipahnias III. Tema kotbah yang akan kita renungkan “Kekuatan Allah yang Menyelamatkan”. Tema ini sangat menarik untuk kita renungkan karena di tengah situasi bangs akita yang majemuk kita harus mengutamakan kesatuan bersama bukan kesatuan kelompok. Tema ini merupakan sebuah respon Rasul Paulus setelah mendapat laporan dari utusan keluarga Kloë yang mungkin adalah anggota jemaat di Korintus tentang terjadinya perpecahan di antara jemaat. Sebagai orang yang pernah tinggal di sana dan membimbing banyak jemaat, Paulus memberikan nasihat dan ini menjadi pelajaran dan teladan kepada kita, bagaimana potensi-potensi perpecahan dalam gereja perlu dikenali, diungkapkan, dan kemudian diarahkan agar gereja tidak menghabiskan energi hanya untuk mengurusi hal seperti itu. Pusat perhatian gereja hanyalah kepada Tuhan Yesus Kristus, dan kita dipanggil untuk menjadi kekuatan Allah. 

 

Paulus menyadari bahwa kelompok-kelompok yang ada di tengah-tengah jemaat Korintus bukanlah kekuatan yang menyelamatkan jemaat, sebab kekuatan yang menyelamatkan itu datangnya dari Allah. Kekuatan yang menyelamatkan kita bukan berada pada kelompok yang kita pimpin semisal kelompok Paulus, Apolos atau kelompok Kefas, tetapi kekuatan yang menyelamatkan kita hanya berada di tangan Allah sendiri.

 

Pertanyaan kita sekarang adalah apa yang harus kita lakukan agar kekuatan Allah itu saja yang menyelamatkan kita? Ada beberapa hal yang perlu kita pelajari dalam perikope ini agar kita terhindar dari kekuatan kelompok-kelompok dalam jemaat kita, yaitu:

 

Pertama: kita harus seia sekata dan jangan ada perpecahan di jemaat (ay. 10-12). Ungkapan “Bersatu kita teguh dan bercerai kita runtuh” merupakan pepatah atau adagium yang bisa diterima semua orang. Contoh sapu lidi sangat umum untuk menggambarkan hal ini. Barisan yang teratur dan saling terkait dan menopang, pasti menjadi pertahanan atau benteng yang kuat dan bagus. Kesatuan tembok batu bata atau simpul tali/kawat yang dipilin pasti akan lebih kuat. Demikian pula ungkapan kalau menggapai mimpi lebih baik dilakukan berdua/bersama dibandingkan dengan dilakukan sendiri-sendiri. Istilah sinergi adalah istilah generik yang memang manfaatnya tidak bisa terbantahkan. Namun, kalaupun ada yang berpikir bahwa sebuah lidi juga bisa bermanfaat, atau bermimpi juga bisa dilakukan sendirian, atau sinergi juga membawa efek samping, ya semua sah-sah saja. Namun dengan kesatuan dan kebersamaan dalam mencapai tujuan, dipastikan lebih efektif dan hasilnya jauh lebih baik. 

 

Tetapi mengapa orang tidak mudah bersatu? Mengapa orang mau berselisih dan tidak melihat contoh di atas dan lebih memilih berpisah, bercerai atau perpecahan (schisma)? Orang lebih suka berpisah dan membangun sesuatu yang baru dengan kembali ke titik nol, dibandingkan dengan tetap bersinergi bersama-sama membangun yang sudah ada dan saling mendukung. Sepertinya semua hanya karena EGO atau EGOISME. Ini sifat yang lebih mementingkan diri sendiri, atau dorongan untuk menguntungkan diri sendiri dibandingkan dengan kepentingan orang lain. Fokus utamanya adalah kepuasan diri sendiri dan bukan menyenangkan orang lain, yang dalam hal ini menyenangkan hati Tuhan juga (Band. Gal. 5:20). Mereka melihat dirinya lebih utama dan penting sehingga bertindak lebih baik sendiri, dengan kadang berprinsip lebih baik jadi raja kecil daripada serdadu raja besar. Merasa diri penting sangat berbahaya, seperti kata T.S. Eliot, “Separuh rasa sakit yang terjadi di dunia ini hanya karena seseorang merasa dirinya penting.”

 

Itulah yang terjadi di jemaat Korintus. Keragaman anggota jemaat membuat adanya kelompok-kelompok, dan masing-masing kelompok ini berpendapat bahwa kelompoknyalah adalah yang terbaik, termasuk adanya kelompok Yahudi dan non-Yahudi. Mereka juga mendasarkan kelompoknya pada siapa yang membaptis, karunia yang mereka miliki, kaya miskin, sekelompok orang yang masih terlibat dengan masalah moralitas lama, dan sebagainya sehingga menimbulkan perpecahan dalam jemaat. Semua merasa dirinya utama dan penting. Padahal, perpecahan mendatangkan ketidaknyamanan bagi seluruh anggota lainnya, menjadi kelemahan, celaan (Mat. 12:26) dan batu sandungan, membawa kepahitan (Ibr. 12:15), dan kehancuran (Mat. 12:35). Mereka ikut dalam pertempuran di lapangan tetapi sebenarnya mereka tidak bertujuan memenangkan peperangan. Seseorang yang mengutamakan dirinya sendiri sebaiknya melihat dulu dosa-dosa yang sudah dilakukannya, dan bagaimana Yesus telah mati bagi dirinya dengan merendahkan diri dan menerima siksaan yang berat. Bagi Paulus, sikap perpecahan ini menyedihkan dan itulah dasar dari suratnya. 

 

Kedua, janganlah membuat Kristus terbagi-bagi karena baptisan dan keutamaan denominasi (ay. 13-16). Pada waktu surat ini ditulis, memang belum ada kitab Perjanjian Baru sebagai sebuah kitab suci referensi bersama. Jadi semua orang sangat tergantung kepada pengajar masing-masing. Ada yang merasa kalau murid Kefas (nama Petrus dalam bahasa Aram) adalah rasul yang paling berwibawa saat itu, ada yang merasa murid Paulus (sebab ia pernah tinggal disana), ada yang merasa murid Apolos dari Aleksandria yang pandai berpidato dan mengeluarkan kata-kata “berhikmat” dan senang pada keanggunan sastra (band. Kis. 18:24; 19:1), dan ada pula yang merasa menjadi murid Kristus langsung. Kemungkinan juga mereka ini dibaptis oleh masing-masing gurunya tersebut sehingga membedakan baptisan-baptisan yang ada dan mereka memiliki karunia-karunia yang berbeda kualitasnya. Dengan demikian mereka menjadikan Kristus yang terbagi-bagi, tidak lagi dalam satu tubuh-Nya. 

 

Bagaimana pun Kristus tidak dapat terbagi-bagi berdasarkan baptisan dan guru atau pengajar, bahkan rasul sekalipun. Namun bagi jemaat Korintus mereka berpikiran adanya hubungan khusus antara yang membaptis dan mereka yang dibaptis. Mereka merasa pembaptislah yang menjadi pemilik hidupnya (karena berlatar belakang pemikiran budak), seolah-olah kewibawaan atau “kebesaran” nama dan kepintaran berpidato oleh orang membaptis itu menjadi sebuah keistimewaan dalam baptisan, semacam memiliki kekuatan rohani yang berbeda. Jelas ini cara berpikir yang salah. Bahkan mereka juga menjelek-jelekkan baptisan orang lain, bahwa baptisan oleh pihak lain itu tidak sah, tidak berwibawa, kurang memiliki Roh yang kuat, dan sebagainya, sementara baptisan mereka adalah yang penuh wibawa, penuh Roh, dan berdasarkan hikmat yang lebih besar, dan sebagainya. Inilah yang membuat mereka menempatkan diri sebagai kelompok eksklusif dan menjadi biang keladi perpecahan jemaat. Padahal, tujuan dibaptis adalah sesuai dengan perintah Kristus dan mencirikan mereka bukan manusia lama, dan mereka yang sudah dibaptis ke dalam Kristus akan menjadi manusia baru (bnd. Rm. 6:1-11). 

 

Hal ini juga yang menjadi pergumulan umat Kristen saat ini. Masih banyak gereja-gereja yang mengaku bahwa baptisannya (selam) sah dan baptisan yang lain (percik) tidak sah. Ada yang bahkan mengaitkan baptisan (selam) dengan syarat keselamatan sehingga mewajibkan baptisan ulang, yang berarti mengabaikan dan menihilkan baptisan sebelumnya. Mereka ini menyatakan bahwa baptisan kepada bayi dan anak-anak tidak sah. Sikap seperti ini jelas bukan meneladani Kristus dan para rasul yang merendahkan diri demi untuk pelayanan. Hal yang lebih mengkhawatirkan juga akibat dari pandangan ini, jemaat masa kini banyak yang menjadi lebih berpihak pada manusia (gembala, pendeta) yang menahbiskannya, bersedia bertengkar demi mengikuti pandangan yang “salah” tersebut, dan bukan berpihak pada Kristus, sumber kuasa Roh dalam baptisan. Ini bahayanya kalau orang hanya mendengar khotbah tanpa membaca ulang firman-Nya, akan ada fanatisme buta. Pesan pengkhotbah tidak lebih utama dan benar dari firman. Kekuatan bukan pada yang bercerita, tetapi pada ceritanya (get the story, not the storyteller). Kebanggan kita bukan pada pengkhotbah melainkan pada Tuhan Yesus. Inilah yang ditekankan oleh Firman-Nya melalui Rasul Paulus, agar kita tetap dalam kasih dan kesetiaan kita kepada Allah, berfokus pada Sumbernya yakni Tuhan Yesus, berfokus pada misi-Nya, dan bukan pada orang yang membaptis kita di dunia ini. Firman Tuhan berkata, membanggakan kelompok sesuai baptisan menunjukkan bahwa kamu adalah manusia duniawi yang bukan rohani (1Kor. 3:4).

 

Ketiga, kita jangan berhenti pada tuga pembaptisan tetapi kita lebih mengutamakan pemberitaan Injil (ay. 17). Meski Paulus menyatakan bahwa dia dipanggil bukan untuk membaptis, baptisan bukan berarti tidak perlu. Tuhan Yesus memerintahkan baptisan (Mat. 28:19) dan juga dikhotbahkan oleh para rasul (Kis. 2:41). Baptisan sebagai “pengganti” dan sejajar dengan sunat merupakan pemersatu kita dengan Kristus. Pemersatuan itu disimbolkan dengan adanya air, baik itu dalam bentuk percikan maupun dalam bentuk diselamkan. Memang kata baptis berarti diselamkan, akan tetapi diselamkan dalam pengertian diselamkan secara rohani ke dalam Roh, bukan hakekatnya ke dalam air, sebab air itu hanyalah tindakan simbolis saja.  Pengertian dibaptis atau diselamkan dalam hal ini diutamakan dipersatukan ke dalam kematian Tuhan Yesus dan kebangkitan-Nya. Baptisan juga tidak ada hubungannya dengan pengudusan dan juga dengan keselamatan, sebab keselamatan itu hanya melalui pertobatan, iman, ketaatan, dan kasih karunia saja (band. Kis. 2:38). Itu hanya merupakan tanda dipersekutukan dan tidak ada salahnya bila dipakai sebagai persyaratan keanggotaan gereja tertentu, namun bukan pada keselamatan.

 

Rasul Paulus sendiri tidak terlalu berminat dalam membaptis sehingga ia katakan hanya membaptis beberapa orang saja. Tugas itu lebih ia berikan kepada pihak lain yang secara teologis memang siapa saja orang percaya dapat melakukannya, meski aturan gereja kadang menyebutkan harus dilakukan oleh hamba Tuhan yang ditahbiskan (Pendeta). Rasul Paulus lebih menekankan tugas dan pelayanannya dalam pemberitaan Iniil, sebab menurutnya untuk itulah dia dipanggil, bukan dipanggil untuk membaptis. Dalam pandangannya, sepanjang baptisan itu di dalam nama Tuhan Yesus (beserta Allah Bapa dan Roh Kudus), maka semua baptisan itu sudah sah dan mempersatukan kita dengan Dia. Dengan demikian, firman Tuhan yang disampaikannya lebih menempatkan kedudukan baptisan pada pengertian yang sebenarnya, bukan diartikan menjadi sesuatu yang membuat perbedaan baik dalam cara maupun dalam kualitas berkat dan karunia yang diterimanya. Oleh karena itu Rasul Paulus sebagai pembimbing mereka, dalam kekecewaannya dengan perpecahan karena baptisan ini sampai mengatakan: "Apakah yang kamu kehendaki? Haruskah aku datang kepadamu dengan cambuk atau dengan kasih dan dengan hati yang lemah lembut'?" (1 Kor. 4:21). 

 

Oleh karena itu seyogianya bagi kita yang diberi karunia berkata-kata dalam hikmat seperti Apolos dalam pengertian pandai berkhotbah, jangan melupakan bahwa fokus utama panggilan kita adalah untuk terus memberitakan Injil, bukan dengan membangun gereja yang baru, kelompok baru, menghimpun anggota untuk kepentingan diri sendiri, sehingga tujuan utama pemberitaan Injil menjadi terpinggirkan atau tidak fokus. Itulah sebabnya Rasul Paulus tidak mau terjebak dalam pidato atau khotbah yang menggebu-gebu, berkata-kata dengan bunga rampai hikmat duniawi, melainkan ia mengandalkan kekuatan Roh dalam pemberitaan Injil, agar semakin banyak orang yang bertobat, percaya, dan taat agar menerima kasih karunia itu (1Kor. 2:1, 4). Bagi dia, pemberitaan Injil dan Kristus yang disalib dan bangkit kembali merupakan hal yang utama, bukan mempersoalkan baptisan, bukan perbedaan karunia rohani, sebab hal demikian membuat salib Kristus menjadi sia-sia atau kosong kehilangan tujuannya.

 

RENUNGAN

 

Apa yang hendak kita renungkan dari kotbah Minggu Epiphanias III ini?

 

Pertama, marilah kita seia-sekata. Menurut teks aslinya, nasehat ini sebaiknya diterjemahkan “supaya kamu semua terus-menerus mengatakan/berkata (legete) yang sama”. Versi yang lebih modern memilih “supaya kamu semua setuju [satu dengan yang lain]”. Seia sekata harus menjadi gaya hidup mereka (terus-menerus).


Kedua, hindarilah perpecahan di antara kita. Perbedaan pendapat mungkin – bahkan pasti - ada. Jemaat Korintus berasal dari latarbelakang etnis, sosial dan ekonomi yang berbeda. Mungkin mereka masih memiliki perbedaan-perbedaan lain. Semua perbedaan ini sah-sah saja, sejauh hal itu tidak sampai menimbulkan perpecahan.

Ketiga, marilah kita erat bersatu dan sehati sepikir. Terjemahan yang lebih hurufiah seharusnya “supaya kamu disempurnakan (katertismenoi) dalam pikiran (noi) yang sama dan pandangan/penilaian (gnome) yang sama” (semua versi Inggris). Kita perlu disempurnakan dalam cara berpikir yang sama. Paulus menasehatkan orang percaya agar jangan memiliki cara berpikir (nous) orang-orang non-kafir yang sia-sia (Ef. 4:17). Sebaliknya, orang percaya harus terus-menerus mengalami perubahan nous (Rm. 12:2; Ef. 4:23) dan memiliki nous Kristus (1Kor. 2:16). Kita juga perlu disempurnakan dalam pendapat yang sama. Kata Yunani gnome yang dipakai di sini muncul 5 kali dalam tulisan Paulus. Dari 5 pemunculan ini, 4 di antaranya muncul di surat Korintus dan selalu memiliki arti “pendapat” (1Kor. 1:10; 7:25, 40; 2Kor. 8:10). Karena itu, teruslah jadikan Allah sebagai kekuatan yang menyelamatkan hidup kita menuju hidup yang kekal. (rsnh)

 

Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Renungan hari ini: “BELAJAR MENGENAL KRISTUS" (Efesus 4:20)

  Renungan hari ini:   “BELAJAR MENGENAL KRISTUS"   Efesus 4:20 (TB2) "Tetapi, bukan dengan demikian kamu belajar mengenal Kristus...