KOTBAH MINGGU XXII SETELAH TRINITATIS
Minggu, 31 Oktober 2021
“INJIL YANG MEMBARUI”
Kotbah: Roma 1:16-17 Bacaan: 2 Raja-raja 18:1-8
Minggu ini kita akan memasuki Minggu Keduapuluh dua Setelah Trinitatis. Dalam Minggu ini kita akan membahas tema “Injil yang Membarui”. Injil pasti mampu membawa pembaruan bagi setiap orang. Injil berkemampuan membuat seseorang mengalami perubahan hidup dari yang kurang mengenal kasih TUHAN menjadi orang yang mengenal TUHAN.
Perikope kotbah ini bukan hanya terkenal, tetapi sangat penting. Dari sisi sejarah, Allah telah menggunakan teks ini untuk menobatkan Martin Luther (salah satu tokoh reformasi gereja di abad ke-16). Sekian lama berupaya untuk memperoleh kebenaran di hadapan Allah melalui perbuatan baik tetapi tanpa kepastian dan kedamaian, Luther akhirnya menyadari bahwa kebenaran merupakan anugerah Allah bagi orang berdosa yang beriman kepada Yesus Kristus. Pembenaran adalah melalui iman.
Dari sisi teologi, pembenaran melalui iman secara esensial membedakan iman Protestan dari Yudaisme, Roma Katholik, maupun agama-agama lain. Yang lain menambahkan perbuatan baik pada iman sebagai syarat untuk dibenarkan oleh Allah. Roma 1:16-17 menegaskan bahwa pembenaran hanya melalui iman.
Bahkan dari sisi konteks Surat Roma, teks ini juga memainkan peranan sentral. Hampir semua penafsir Alkitab sepakat bahwa inti keseluruhan Surat Roma terletak pada bagian ini. Ini adalah tema surat. Bagian yang lain, terutama 1:18-8:39, hanyalah penjelasan terhadap 1:16-17.
Timbul pertanyaan kita sekarang, mengapa Injil itu mampu membawa pembaruan bagi kita? Ada beberapa alasan mengapa Injil itu mampu membarui kehidupan kita, yakni:
Pertama, karena Injil itu mampu membawa kita kepada keyakinan (ay. 16a). Kata sambung “sebab” di awal bagian ini menunjukkan bahwa ayat 16a merupakan alasan tambahan bagi kerinduan Paulus untuk berkunjung ke Roma. Selain karena dia merasa berhutang kepada orang-orang Yahudi maupun non-Yahudi (1:14), dia juga mempunyai keyakinan yang kokoh dalam injil (ay. 16a). Secara lebih harfiah, ayat ini berbunyi: “sebab aku tidak malu terhadap Injil” (semua versi Inggris).
Pernyataan ini menarik untuk dikaji lebih dalam. Mengapa Paulus perlu mengungkapkan bahwa dia tidak malu terhadap Injil? Hal ini menyiratkan ada alasan atau situasi tertentu yang bisa membuat seseorang malu terhadap Injil. Yesus Kristus sendiri pernah memperingatkan para pengikut-Nya untuk tidak malu karena Dia atau perkataan-Nya (Mrk. 8:38). Paulus menasihati Timotius untuk menjadi “seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu” (2 Tim. 2:15). Ada makna “malu” yang dimaksud Paulus dalam teks ini, yaitu:
a. Malu di sini tentu saja mencakup perasaan seseorang (secara psikologis). Ada orang yang merasa malu mengungkapkan keyakinannya di depan publik atau orang lain. Dia mungkin beranggapan bahwa berita Injil terkesan terlalu sederhana, bahkan aneh. Di telinga orang-orang Yahudi berita Injil terdengar sebagai batu sandungan, sedangkan di telinga orang-orang non-Yahudi sebagai kebodohan (1 Kor. 1:23). Bagaimana seorang mesias yang diharapkan akan datang untuk menyelamatkan bangsa Israel justru tidak mampu menyelamatkan diri-Nya sendiri (bdk. Mat. 27:40; Luk. 23:37, 39)? Bagaimana mungkin seorang dewa yang menjadi manusia justru mati secara hina dan mengerikan di atas kayu salib?
b. Malu dalam kaitan dengan Injil sebenarnya lebih daripada sekadar perasaan. Konsep malu ini juga harus dipahami secara sosial, dalam konteks budaya Mediteranian kuno yang mengedepankan rasa hormat (honor) dan rasa malu (shame). Secara khusus hal ini berhubungan dengan penolakan, penghinaan, dan penganiayaan yang bisa saja diterima oleh orang-orang Kristen maupun para pemberita Injil. Dugaan ini didukung oleh konteks dari nasihat Yesus Kristus (Mrk. 8:38) maupun Paulus (2 Tim. 2:15). Keduanya sama-sama memberikan peringatan untuk tidak malu terhadap Injil dalam konteks penganiayaan (lih. Mrk. 8:34-37; 2 Tim. 2:8, 12). Ada resiko yang mungkin menyertai pemberitaan Injil. Resiko yang membuat seseorang serasa ditimpa aib di dalam masyarakat.
Bagi Paulus sendiri, memberitakan Injil di kota Roma merupakan sebuah tantangan baru yang lebih besar. Dia tidak pernah menjejakkan kaki di kota ini sebelumnya. Sebagai ibukota kekaisaran Romawi, kota Roma sekaligus menjadi pusat kebudayaan, ekonomi, dan keagamaan. Ada banyak orang pintar, kaya, dan berpengaruh di sana. Jikalau di kota-kota lain yang tidak sebesar Roma saja Paulus sering menerima penolakan, bahkan penganiayaan (mis. 2 Kor. 11:23-27), alasan apa yang membuat dia begitu berhasrat ke Roma? Bukankah kemungkinan untuk ditentang di sana semakin besar? Jawabannya sederhana: dia percaya pada Injil. Keyakinan ini tentu saja bukan tanpa alasan. Bukan sebuah iman yang buta. Bukan pula sebuah rasa yakin yang naif.
Kedua, karena Injil adalah kekuatan Allah (ay. 16b). Keyakinan Paulus terhadap Injil langsung diikuti oleh alasan di baliknya. Kata sambung “karena” pada frasa “karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan” menerangkan mengapa Paulus tidak malu terhadap Injil. Dia meyakini bahwa Injil adalah kekuatan Allah. Kekuatan untuk menyelamatkan. Konsep yang sama juga diajarkan oleh Paulus di tempat lain: “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah” (1 Kor. 1:18).
Kebenaran ini perlu digarisbawahi. Pemberitaan Injil bukan hanya sebuah informasi maupun inspirasi, melainkan transformasi. Pemberitaan Injil bukan hanya membuat keselamatan menjadi mungkin, melainkan juga memengaruhi dan menentukan keselamatan orang-orang pilihan. Keselamatan seseorang merupakan bukti bahwa dia adalah orang pilihan dan bahwa Injil mengandung kuasa yang menyelamatkan, sebagaimana yang dikatakan oleh Paulus: “Dan kami tahu, hai saudara-saudara yang dikasihi Allah, bahwa Ia telah memilih kamu. Sebab Injil yang kami beritakan bukan disampaikan kepada kamu dengan kata-kata saja, tetapi juga dengan kekuatan oleh Roh Kudus dan dengan suatu kepastianyang kokoh” (1 Tes. 1:4-5).
Ketiga, karena kekuatan Ilahi yang menyelamatkan ini diterima seseorang melalui iman. Roma 1:16b berbunyi: “karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani”. Poin ini tampaknya mendapatkan penekanan di 1:16-17. Kata “iman” muncul sebanyak tiga kali di ayat 17.
Karena keselamatan diterima melalui iman, maka tidak ada tembok rasial atau kultural yang dapat membatasi efektivitas pemberitaan Injil. Keselamatan disediakan bagi “setiap orang” (panti). Jikalau keselamatan adalah melalui Hukum Taurat, mungkin hanya bangsa Yahudi yang mampu memperolehnya, itu pun jikalau mereka mampu menaati Taurat secara sempurna (bdk. Rm. 3:19-20). Jikalau keselamatan adalah melalui sains dan filsafat, mungkin orang-orang Yunani yang paling berhak mendapatkannya. Jikalau sarana keselamatan adalah kepandaian dan kekayaan manusia, bagaimana nasib orang-orang yang bodoh dan miskin? Allah sudah mempersiapkan sarana keselamatan yang universal. Universal, bukan dalam arti bahwa setiap orang pada akhirnya akan diselamatkan, namun dalam arti bahwa siapa saja yang percaya kepada pemberitaan injil akan diselamatkan. Tidak ada batasan apapun. Allah tidak memandang muka.
RENUNGAN
Apa yang hendak kita renungkan dari perikope kotbah ini?
Pertama, janganlah malu karena Injil karena Injil itu adalah kekuatan Allah. Kita harus meletakan alasan mendasar hanya pada Injil yang menyelamat Jemaat-Nya. Sebab kita tidak boleh merasa “malu” karena Injil itu sendiri. Kita telah menemukan alasan mendasar pada Injil,dan alasan itu pula yang menggerakkan kita di dalam Kuasa Roh Kudus untuk membangun kehidupan bergereja yang terus dibarui. Maka apa yang tidak boleh “hilang”—yang tidak boleh hilang dari kita adalah Semangat dan Kebersamaan yang diletakan pada Kekuatan Allah di dalam Injil itu.
Kedua, kita harus terus memperkuat iman kita kepada Yesus, sebab kita diselamatkan hanya karena iman. Sama seperti orang benar diselamatkan oleh Iman dan bukan karena Hukum Taurat atau lainnya, maka Iman adalah sesuatu yang dapat dimiliki oleh semua orang tanpa terkecuali. Orang yang memiliki Iman, ia akan bertahan dan terlibat dalam pembangunan dan pertumbuhan Gereja sampai akhir zaman.
Ketiga, Injil haruslah dipahami sedemikian rupa agar tidak disalah mengerti, karena ketika kita mengerti Injil yang sesungguhnya seperti Paulus, pastilah kita akan sangat berhasrat untuk memberitakan bagi orang-orang lain yang belum pernah mendengar Injil bahkan kepada orang-orang yang notabene sudah kristen namun belum paham seutuhnya yang menganggap bahwa keselamatan itu didapat dengan perbuatan baik. Dan melalui pengertian itu juga kita mengerti bahwa kekuatan Allah sajalah yang menyelamatkan sehingga tak perlu ragu akan kuasa-Nya. Dan perlu diketahui bahwa keselamatan itu tersedia bagi semua orang hanya apakah kita mau menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pribadi sehingga kebenaran Allah itu menyelamatkan kita dan kita akan hidup di dalam-Nya baik waktu sekarang maupun nanti dalam kehidupan yang selanjutnya yaitu kekekalan bersama Kristus. Karena itu, marilah menjadikan Injil sebagai pembaru hidup kita. (rsnh)
Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar