KOTBAH MINGGU XXI SETELAH TRINITATIS
Minggu, 24 Oktober 2021
Kotbah: Ulangan 24:17-18 Bacaan: Ibrani 13:1-3
Minggu ini kita akan memasuki Minggu Keduapuluh satu Setelah Trinitatis. Dalam Minggu ini kita akan membahas tema “Hidup Rukun dengan Sesama”. Hidup rukun dengan sesama berarti kita harus memandang semua sesama sederejat dengan kita. Kita tidak membeda-bedakan status mereka dari sudut pandang apa pun seperti: status sosial, ekonomi, pendidikan, ras, suku dan agama. Kita semua adalah sama di hadapan TUHAN.
Dalam perikope Minggu ini, Tuhan memberikan contoh bagaimana kita hidup rukun dengan sesama kita. Allah tidak membeda-bedakan manusia di hadapan-Nya. Itulah sebabnya Allah sangat memperhatikan para janda, yatim, dan orang asing. Allah sangat tahu bahwa umat Israel pasti akan mengabaikan orang-orang tidak berarti dalam tatanan kehidupan masyarakat Israel yaitu janda, yatim dan orang asing. Untuk itu Tuhan Allah membuat ketetapan dan hukuman-Nya agar jika ada yang melanggar maka orang itu akan mendapat hukuman Allah. Allah menghendaki agar yatim, janda, orang asing mendapatkan juga keadilan yang menghidupkan dengan tidak mengambil pakaian seorang janda menjadi barang gadai, jika ada berkas yang tertinggal di ladang jangan di ambil dan itu untuk anak yatim dan janda. Jika ada sisa pohon Zaitun di dalam jangan diambil. Jika ada umat petik anggur, maka jangan kembali lagi untuk memetik pada kali yang kedua karena itu bagian orang asing, yatim, dan janda.
Allah sangat mengasihi orang-orang yang papah, terasing, terpinggirkan, terabaikan dan lain-lain. Karena itu, sebagai keluarga Kristen, marilah kita melakukan sama seperti apa yang diharapkan Tuhan untuk memperhatikan semua orang yang hidup dalam ketidakberdayaan dan hidup rukun dengan mereka.
Timbul pertanyaan kita apakah yang harus kita lakukan agar kita bisa hidup rukun dengan sesama? Ada dua hal penting yang harus kita lakukan agar kita mampu hidup rukun dengan sesama, yakni:
Pertama, janganlah menindas dan memperkosa hak orang asing dan anak yatim. Janda dan anak yatim tidak boleh ditindas. Ini adalah perintah TUHAN. Kata “anak yatim” (Ibrani: yatom, dan Yunani: orphanos) bisa ditujukan kepada anak yang tidak berbapa (yatim); atau kepada anak yang tidak beribu (piatu); atau kepada anak-anak yang tidak berbapa dan tidak beribu (yatim-piatu). Allah memberi hukum yang khusus untuk memperlakukan janda-janda dan anak-anak yatim, agar mereka tidak tertindas. Mengingat bahwa anak yatim dan janda adalah golongan orang yang tidak memiliki "lelaki" (dewasa) sebagai kepala rumah tangga, yang melindungi kepentingan mereka. Dalam keadaan ini, mereka rentan mengalami penindasan karena kesulitan hidup mereka.
Oleh karena itu, hukum Taurat secara khusus mengatur kesejahteraan bagi mereka, yang menjamin keadilan anak-anak yatim dan janda-janda dan penduduk asing agar kehidupan mereka terjaga. Mengasuh anak-anak yatim sudah merupakan keprihatinan orang Israel sejak zaman paling dini, demikian juga bangsa-bangsa sekitarnya. Peraturan (Kel. 22:22-24), dan khususnya Peraturan Ulangan sangat prihatin atas kesejahteraan mereka (Ul. 16:11, 14; 24:17), melindungi hak-hak mereka atas warisan. Secara khusus dinyatakan bahwa Allah membela hak mereka (Ul. 10:18), dan mengutuk orang yang memperkosa hak mereka (Ul. 27:19; bnd. Mal. 3:5).
Sisa tuaian di ladang, di pohon zaitun, dan di kebun anggur dalam jumlah tertentu harus ditinggalkan bagi orang-orang yang miskin ini (Ul. 24:19-21). Terhadap hal ini kita dapat melihat kehidupan Rut, seorang janda miskin yang mengumpulkan bulir-bulir jelai yang tercecer dari ikatan jelai-jelai panenan di tanah milik Boas.
Ada ketentuan khusus pada Hari Raya Pondok Daun. Kepada kaum yang kurang beruntung itu diberikan undangan khusus diulurkan kepada mereka untuk berpartisipasi dalam Perayaan Panenan pada Perayaan Pondok Daun tahunan yang ditandai dengan kelimpahan, dan pada waktu itu mereka dapat menikmati perjamuan yang menyertai perayaan itu (Ul. 16:9-14).
Setiap tahun ketiga, dalam Hukum Taurat mengatur sepersepuluhan khusus yang biasanya dimakan oleh orang Israel di Yerusalem, ditaruh di dalam gerbang-gerbang kota-asal mereka. Anak-anak yatim berhak mendapatkan bagian dari sepersepuluhan ini (Ul. 14:28, 29; 26:12, 13).
Kendati banyak anak-anak yatim ditolong oleh sanak keluarga atau teman-teman (Ayb. 29: 12; 31:17), namun secara umum Hukum Musa tentang ihwal anak-anak yatim gagal dipenuhi. Kegagalan itu dibeberkan dalam tuduhan-tuduhan dan ratapan seperti dilaporkan dalam Kitab Nabi-nabi, Mazmur dan Ayub. "Padamu", demikian Yehezkiel 22:7, bicara Mengenai Yerusalem "anak yatim dan janda ditindas", Dengan gamblang Alkitab menyatakan bahwa keadilan tidak diberlakukan kepada anak-anak yatim; keadaan mereka sangat menyedihkan, sebab mereka telah disamun dan dibunuh (Ayb. 24: 3,9; Mzm. 94:6; Yes. 1:23; 10:2; Yer. 5:28), lebih gamblang lagi kata-kata pemazmur terhadap orang jahat, "Biarlah anak-anaknya menjadi yatim" (Mzm. 109:9). Allah teristimewa prihatin terhadap anak-anak yatim (Mzm. 10:14,18; 68:6; 146:9; Hos. 14:3; bnd. Yun. 27:10), khususnya ketika tiada yang menolong mereka (bnd. Mzm. 27:10). Satu-satunya ayat PL yang menyinggung dan menyatakan ihwal ini bagian integral dari ibadah yang murni ialah Yeremia 1:27 dengan pernyataannya "mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka" (bnd. Yak. 1:27).
Zaman sekarang ada stigma negatif terhadap seorang janda. Padahal Tuhan sering kali berbicara mengenai janda dan anak yatim di Alkitab, seperti Rut dan Naomi yang mendapatkan perhatian dari Tuhan. Tuhan sangat peduli kepada orang-orang yang lemah dan tak berdaya, mereka yang rentan dan tanpa perlindungan. Para janda dan anak yatim masuk dalam kategori orang-orang yang rentan tersebut.
Dalam Keluaran 22:22-24 Musa menuliskan, “Seseorang janda atau anak yatim janganlah kamu tindas. Jika engkau memang menindas mereka ini, tentulah Aku akan mendengarkan seruan mereka, jika mereka berseru-seru kepada-Ku dengan nyaring. Maka murka-Ku akan bangkit dan Aku akan membunuh kamu dengan pedang, sehingga isteri-isterimu menjadi janda dan anak-anakmu menjadi yatim.” Karena itu, marilah memberikan perhatian kepada janda dan anak-anak yatim agar hidup mereka terpeliharakan.
Penindasan yang “intens” yang dilakukan mengakibatkan janda dan anak yatim ini sungguh-sungguh berteriak dan TUHAN pun sungguh-sungguh mendengar teriakan mereka. Hal ini menjadi latar belakang perintah atau larangan bagi orang Israel untuk menindas atau merendahkan janda dan anak yatim. Allah mendengar teriakan janda dan anak yatim yang tertindas itu, yaitu Allah akan murka dan membunuh orang-orang yang menindas mereka, yang mengakibatkan keluarga para penindas itu akhirnya mengalami situasi dan kondisi yang sama dengan kondisi orang yang tertindas itu, yaitu menjadi janda dan anak yatim.
Firman Allah tidak menyetujui kebijakan yang akan memperkaya satu golongan melalui penindasan dan kesengsaraan orang lain. Dalam semua transaksi bisnis kita diajarkan untuk menempatkan diri kita di tempat mereka dengan siapa kita berhubungan, untuk melihat bukan hanya pada kepentingan-kepentingan diri kita sendiri, tetapi juga pada kepentingan-kepentingan orang lain. Mereka yang mau mengambil keuntungan dari kemalangan orang lain guna memperkaya diri mereka, atau yang berusaha menguntungkan diri mereka melalui kelemahan atau ketidakmampuan orang lain, adalah para pelanggar baik terhadap prinsip maupun terhadap perintah dari Firman Allah.
Kedua, ingatlah bahwa dahulu kita adalah budak yang ditebus TUHAN. Hidup sebagai seorang budak, tidaklah mudah. Terikat dengan aturan, bekerja sesuai keinginan majikan, berjuang untuk tidak berbuat kesalahan, waktu untuk istirahatpun pasti kurang. Yang namanya budak, yang paling ditunggu-tunggu adalah kebebasan, waktu itu akan sangat menyenangkan sekali baginya.
Dalam konteks orang Ibrani, budak yang dibeli akan bekerja selama 6 tahun dan sesudah itu harus dibebaskan dan tidak terikat lagi dengan tuannya. Dia Akan menjadi orang merdeka yang memiliki kemerdekaan secara utuh. Maka Tuhan mengingatkan kepada umatNya, jangan merampas hak mereka, termasuk saat mendekati waktunya bebas, dan mereka melakukan kesalahan, jangan engkau menahannya. Karena saat engkau melakukannya, engkau sudah menodai kemerdekaan mereka.
Kemudian saat seorang budak dibebaskan, jangan membiarkan mereka pergi dengan tangan yang kosong, justru engkau harus memberi mereka bekal dengan berlimpah. Artinya, memberi bekal susuai dengan berkat yang Tuhan berikan kepadamu selama ia bekerja menjadi hamba dirumahmu. Jika engkau tidak memberikan sesuai dengan yang harus ia dapatkan, maka engkau melakukan kesalahan dihadapan Tuhan.
Itulah aturan yang diberikan Tuhan untuk memperlakukan seorang budak dengan benar, saat pembebasan mereka. Mengapa harus demikian? Karena itulah yang dilakukan Allah bagi Israel saat keluar dari Mesir, tanah perbudakan. Haruslah kauingat, bahwa engkau pun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau ditebus Tuhan, Allahmu; itulah sebabnya aku memberi perintah itu kepadamu pada hari ini (Ulangan 15:15). Tuhan sendiri pun telah membuat orang Mesir untuk bermurah hati kepada bangsa Israel, saat mereka keluar dari Mesir dengan memberikan bahan makanan serta barang-barang berharga kepada mereka.
Hal ini mau mengingatkan bagi kita orang percaya, sebelumnya kita juga adalah budak dosa, hidup dijajah oleh kuasa dosa. Namun sekarang kita telah menjadi orang merdeka, Kristus telah memerdekakan kita dari kuasa dosa. Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan (Gal. 5:1). Kita adalah hamba yang merdeka, hidup dalam kemerdekaan, jangan menyia-nyiakannya pengorbanan Kristus di atas kayu salib.
Dengan demikian, marilah kita bersama berjuang, hidup rukun dengan sesama, dengan hidup benar, melakukan yang benar dihadapan-Nya. Dan jangan menodai kerukunan yang Tuhan beri, dengan melakukan perbuatan jahat. Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih (Gal. 5:13)
Dalam Ulangan 15:12-18 dengan sangat jelas mewajibkan orang Israel (dhi: tuan atau majikan) untuk membebaskan budaknya pada tahun ke-7, yaitu tahun Sabat, dan tidak ada alasan dari sang tuan untuk tidak melakukannya, atau untuk menunda pembebasannya. Para tuan wajib membebaskan para budaknya dengan penuh kerelaan pada tahun ke-7 tersebut, mereka tidak boleh merasa rugi dengan kepergian atau pembebasan mereka, sebab waktu yang enam tahun merupakan waktu yang cukup lama bagi para budak untuk mengabdi kepada para tuannya (lih. ay. 18). Satu-satunya alasan budak tersebut dapat tidak dibebaskan oleh tuannya, walaupun sudah sampai tahun ke-7, adalah keinginan budak itu sendiri, yaitu dia memilih untuk tetap “menjadi budak” di rumah tuannya tersebut, tetapi bukan karena hutangnya yang belum terlunaskan dan atau karena “mati kelaparan”, melainkan karena dia mengasihi tuannya dan keluarganya yang selama ini telah berbaik hati kepadanya (lih. Ul. 15:16). Kalau kasus seperti pada ayat 16 ini terjadi, maka “engkau (sang tuan) harus mengambil sebuah penusuk dan menindik telinganya pada pintu, sehingga ia menjadi budakmu untuk selama-lamanya” (Ul. 15:17).
Dari teks ini, kita belajar bagaimana TUHAN Allah pada prinsipnya begitu menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak para budak, yang juga harus dilakukan oleh para tuan di Israel. Para budak adalah manusia yang juga memiliki hak hidup, hak untuk merdeka (bebas), dan hak untuk hidup layak. Para tuan, manusia lain yang bukan budak, wajib menghormati dan memenuhi hak pada budak ini dengan penuh kerelaan, tanpa potongan, tanpa penundaan, dan tanpa pembatalan sepihak. Ketika sang budak menggunakan haknya untuk bebas pada tahun ke-7, maka dia memiliki hak lain yang dibawanya, semacam “modal” untuk hidup layak sebagai manusia merdeka, dan sang tuan wajib memenuhi hak-haknya tersebut. Ketika sang budak juga memilih untuk tetap berada dan bekerja di rumah tuannya, maka itu harus merupakan pilihan dan keputusannya sendiri, sang tuan, atau siapa pun tidak boleh memengaruhinya dalam pengambilan keputusan tersebut. Di sini jelas sekali bagaimana sang budak memiliki hak untuk bebas, dan atau sebaliknya hak untuk memilih tetap bersama dengan tuannya karena dia mengasihi mereka atas kebaikan yang telah diterimanya selama ini. Intinya adalah setiap orang memiliki hak untuk hidup merdeka dan hak untuk hidup layak sebagai manusia. Hal ini juga sekaligus menegaskan bahwa setiap orang wajib menghargai dan memenuhi hak-hak para budaknya, ini merupakan perintah untuk memerdekakan orang lain. Karena itu, sebagai orang percaya marilah membangun kehidupan yang rukun dengan sesama tanpa memandang status sosial mereka sebab di hadapan TUHAN kita adalah sama. (rsnh)
Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar