Renungan hari ini:
“MATA ORANG BERHIKMAT”
Pengkhotbah 2:14 (TB) "Mata orang berhikmat ada di kepalanya, sedangkan orang yang bodoh berjalan dalam kegelapan, tetapi aku tahu juga bahwa nasib yang sama menimpa mereka semua"
Ecclesiastes 2:14 (NET) "The wise man can see where he is going, but the fool walks in darkness. Yet I also realized that the same fate happens to them both"
Menurut pandangan penulis Pengkotbah, “hikmat melebihi kebodohan, seperti terang melebihi kegelapan.” Untuk memperkuat gagasannya, Pengkotbah tampaknya mengutip sebuah kata-kata bijak yang mungkin berlaku pada zamannya “Mata orang berhikmat ada di kepalanya, sedangkan orang bodoh berjalan dalam kegelapan.”
Gagasan yang mengutamakan hikmat dibandingkan dengan kebodohan, hidup dan kematian, rasanya menjadi tema yang cukup populer dalam tradisi hikmat tradisional. Beberapa kali dikatakan dalam Kitab Amsal bahwa kebijaksanaan memberikan umur panjang (Ams. 3:2.16; 4:10); sementara kebodohan memperpendek umur (Ams. 10:27; 11:19). Dalam Amsal 13:14 dengan jelas dikatakan bahwa “Ajaran orang bijak adalah sumber kehidupan, sehingga orang terhindar dari jerat-jerat maut.” Barangsiapa menemukan hikmat mendapatkan hidup dan Tuhan berkenan kepadanya (Ams. 8:35).
Teks-teks di atas menunjukkan bagaimana tradisi hikmat menjunjung tinggi kebijaksanaan. Akan tetapi sekarang, keyakinan itu dihadapkan pada suatu realitas lain. Pengamatan Pengkotbah yang kedua ini diawali dengan rumus kontras kuat “Tetapi aku juga mengetahui”. Dengan rumus seperti ini, Pengkotbah mau menunjukkan suatu kenyataan lain yang memaksa orang memikirkan kembali gagasan hikmat tradisional sebagaimana terungkap dalam ay. 13-14a.
Kenyataan lain itu adalah kematian, yang merupakan nasib yang sama yang menimpa mereka semua (bnd. ay. 14b). Memang benar bahwa di sini, Pengkotbah tidak menggunakan kata “maut” atau “kematian”. Yang dipakai adalah kata migreh yang diterjemahkan dengan kata “nasib”. Kata ini sebenarnya mengandung makna “apa yang terjadi pada diri seseorang” tetapi secara khusus menunjuk pada “peristiwa” yang tanpa bisa dihindari terjadi pada setiap manusia, yaitu kematian. Sebagaimana dicatat, di seluruh Alkitab kata ini muncul 10 kali.
Nas hari ini dengan jelas menghadapkan keyakinan tradisional yang diterima orang banyak, yaitu bahwa hikmat atau orang berhikmat mengatasi atau lebih baik dari kebodohan atau orang bodoh, dengan sebuah kenyataan lain yang juga tak terelakkan, yaitu bahwa semua orang akan mati. Kematian adalah nasib terakhir yang mau tidak mau harus diterima oleh semua orang. Di hadapan kematian ini, baik orang berhikmat maupun orang bodoh ternyata sama saja.
Berhadapan dengan fakta seperti ini Pengkotbah menarik konsekwensi logis yang memang terasa aneh. “Untuk apa aku ini dulu begitu berhikmat?” Sungguh hal itu sesuatu yang sia-sia (ay. 15). Kemudian ia melanjutkan bahwa baik bagi orang berhikmat maupun bagi orang bodoh tidak ada kenang-kenangan yang kekal. Sekali lagi ini seolah-olah adalah sebuah negasi atas kata-kata bijak terdahulu yang mengatakan “Kenangan kepada orang benar mendatangkan berkat, tetapi nama orang fasik menjadi busuk” (Ams. 10:7). Di dalam alam pikir yang tidak mengenal hidup sesudah mati, kekekalan seseorang diperhitungkan pada keturunan atau kenangan dari yang bersangkutan. Tetapi hal ini ditolak oleh Pengkotbah. Dengan kata lain, kematian adalah sungguh-sungguh sebuah terminal paling akhir bagi perjalanan hidup manusia. Sesudah kematian, tidak ada sesuatu pun yang bisa diharapkan, bahkan juga kenangan.
Kali ini Pengkotbah mengatakan bahwa di hadapan sang migreh bahkan manusia tidak berbeda dengan binatang. Manusia tidak mempunyai kelebihan dari binatang. Inipun sia-sia (ay. 19). Rumusan bahwa baik manusia maupun binatang berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu menggemakan ajaran yang terdapat dalam Kejadian 3:19 (bnd. juga Kej. 2:7).
Keyakinan Pengkotbah bahwa semua orang akan menghadapi nasib yang sama diulang lagi di sini dengan rumusan yang lebih canggih. Kemudian disebutkan enam pasang jenis manusia yang saling bertentangan. Dari sini tampak bahwa pertimbangan moral etik pun tidak berfungsi apa-apa. Orang benar dan orang fasik; orang baik maupun jahat, semuanya mendapatkan nasib yang sama. Menurut Pengkotbah situasi ini, bahwa orang baik dan orang jahat mengalami nasib yang sama adalah “celaka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari” (9:3). Letak kejahatannya bukan pada tindakan manusia, melainkan pada situasi yang sama yang akan menimpa seluruh umat manusia apa pun yang dilakukannya. Karena itu, tetaplah berhikmat walau pada akhirnya kita semua akan mati. (rsnh)
Selamat memulai karya dalam Minggu ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar