Minggu, 21 Pebruari 2021
“JANJI DAN KUASA ALLAH”
Kotbah: Kejadian 9:8-17 Bacaan: 1 Petrus 3:18-22
Kita telah memasuki Minggu Invokavit. Tema yang akan kita renungkan adalah “Janji dan Kuasa ALLAH”. Perjanjian adalah persetujuan, baik tertulis atau lisan, yang dibuat kedua belah pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang termuat dalam perjanjian itu. Alkitab berbicara tentang perjanjian (covenant), misalnya perjanjian Allah dengan manusia dan alam. Allah membuat dan mengikat perjanjian dengan Nuh dan keturunannya sesudah peristiwa Air Bah. Allah berjanji tidak akan ada lagi hidup yang dilenyapkan oleh air bah. Sebagai tandanya, Allah menaruh pelangi di langit. Dengan melihat pelangi sebagai tanda di alam, Nuh dan keturunannya diingatkan pada kuasa dan kasih Allah bagi manusia dan alam semesta. Pelangi itu adalah tanda cinta Allah atas kehidupan. Bukan hanya manusia, melainkan segenap alam semesta mendapat kasih Allah. Allah berjanji untuk menjaga dan memelihara ciptaan-Nya. Dengan janji itu, manusia dan alam semesta mendapat kepastian akan masa depan kehidupan.
Suatu perjanjian seharusnya terjadi di antara dua pihak yang setara. Namun, dalam perjanjian antara Allah dan manusia itu, manusia tentunya tidak dalam posisi yang setara dengan Allah untuk menawarkan dan membuat perjanjian. Oleh karena itu, perjanjian itu adalah perjanjian anugerah, sang Pencipta dan Pemilik kehidupan mau merendahkan diri dan mengikat janji dengan manusia. Hal itu karena cinta Allah atas manusia dan seluruh ciptaan-Nya.
Tentu timbul pertanyaan dalam hati kita; ada apa sehingga Allah berjanji kepada Nuh? Adakah sesuatu yang salah yang dilakukan oleh Allah sehingga Allah harus mengucapkan janji-Nya di hadapan Nuh yang notebene hanyalah seorang manusia seperti kita? Seharusnya bukan Allah yang berjanji, yang harus berjanji itu adalah Nuh? Perjanjian yang dilakukan Allah dengan Nuh itu bukan karena Nuh dan keluarganya baik, tetapi mutlak adalah inisiatif Allah yang melihat bahwa betapa dahsyatnya kerusakan yang ditimbulkan oleh dosa jikalau Allah menjadikan hal tersebut sebagai standar untuk menjatuhkan penghukuman-Nya kepada manusia. Imbas dari hukuman atas keberdosaan itu adalah kerusakan seluruh ciptaan. Tuhan sendiri merasa ngeri melihat apa yang telah Ia perbuat, sekalipun "yang Allah perbuat itu 100% adalah BENAR". Upah atas keberdosaan itu sangat mengerikan dan manusia tidak akan mungkin menyelamatkan dirinya dan dunianya. Allah berjanji pada diri-Nya sendiri sebelum janji itu disampaikannya kepada Nuh dan keluarganya: "Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekali pun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan. Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam".
Melalui perikope kotbah ini ALLAH hendak menyatakan isi janji-nya dengan beberapa hal, yakni:
Pertama, Allah tidak akan pernah lagi menghancurkan hidup manusia dengan air bah.
Dengan demikian Allah mengambil keputusan untuk bersiteguh dengan kasih dan kemurahanNya sekalipun manusia akan tetap gagal untuk hidup dengan benar. Allah alam PB bahkan rela memberikan Kristus menjadi korban kekerasan di salib daripada melakukan kekerasan lagi menghancurkan manusia yang penuh dosa. Yang menarik, Markus 1:10-12 menggambarkan dinamika Roh Allah yang “memaksa” Kristus untuk memasuki tugas pelayanan di padang gurun sebagai awal dari rencana penebusanNya.
Bagaimanakah kita sebagai keluarga-keluarga umat Tuhan, apakah kita betul-betul bersiteguh untuk tidak mengijinkan kekerasan dalam hidup keluarga kita dan menyatakan keteladanan dalam cinta kasih?
Kedua, Allah membaharui hidup manusia dengan senantiasa menyatakan pengampunan-Nya agar manusia juga hidup dalam pengampunan satu dengan yang lain. Keluarga tidak pernah sempurna. Suami, istri, orang tua, anak, masing-masing punya kesalahannya.. Kalau tidak ada pengampunan, kehidupan bersama menjadi amat berat. Damai sejahtera dalam kehidupan kita muncul hanya ketika anggota keluarga saling menerima dan mengampuni dengan sungguh-sungguh.
Ketiga, Allah membaharui kehidupan manusia dengan memberikan jaminan pemeliharaan-Nya. Sebagai anak-anak Allah kita tidak perlu cemas. Allah akan membuka jalan dengan kreatif bagi kita yang hidup dalam iman dan penyerahan kepada-Nya. Kita dapat melewati padang gurun sebagai cara Allah mempersiapkan kita seperti Kristus juga disiapkan dalam pelayanan dengan melewati padang gurun sebagai saat persiapan untuk memasuki pelayanan-Nya. Sudahkah kita membuka diri dalam minggu prapaskah ini bagi pembaharuaan yang Allah kerjakan dalam hidup kita? Karena itu simbol busur (qeset) yang dilambangkan dalam wujud pelangi bermakna tumbuhnya pengharapan dan keselamatan yang baru. Busur Allah yang pernah membinasakan kehidupan umat kini berubah fungsi menjadi busur senjata Penebus dan Penyelamat bagi umat yang berdosa. Sebagai Penebus dan Penyelamat, Allah menggunakan busur dan senjataNya untuk menjaga dan melindungi umat agar mereka terjaga dari serangan kuasa maut. Itu sebabnya dosa umat yang begitu besar tidak lagi menghalangi kasih-karunia Allah terus bekerja dalam kehidupan ini, sehingga umat dikaruniai pengharapan dan kesempatan untuk bertobat. Sekaligus busur Allah yang ditampilkan dalam bentuk pelangi untuk mengingatkan umat agar mereka selalu ingat akan kasih karunia Allah yang menjaga dan melindungi mereka. Sehingga umat dapat menjaga diri dari dorongan dan daya tarik dunia seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang pada zaman Nuh. Namun dalam praktik hidup betapa sering kita melupakan dan mengabaikan perjanjian keselamatan Allah yang telah dianugerahkan dalam kehidupan kita.
RENUNGAN
Itu sebabnya perjalanan hidup tidak lagi kita hayati sebagai suatu ziarah iman, tetapi sebagai rangkaian panjang petualangan akan dosa. Padahal relasi khusus yang diikat oleh Allah dalam perjanjian-Nya bertujuan agar kehidupan kita dapat menjadi suatu ziarah iman di mana kita selalu haus akan kebenaran-Nya. Tetapi ketika rasa haus kita tidak lagi terarah kepada janji Allah, maka rasa haus kita akan berubah menjadi rasa haus akan kenikmatan dunia ini. Dalam situasi yang demikian, kita perlu bersikap seperti pemazmur yang berkata: “Beritahukanlah jalan-jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, tunjukkanlah itu kepadaku. Bawalah aku berjalan dalam kebenaran-Mu dan ajarlah aku, sebab Engkaulah Allah yang menyelamatkan aku, Engkau kunanti-nantikan sepanjang hari” (Mzm. 25:4-5).
Kita berjanji pada diri sendiri untuk melakukan yang terbaik ketika kita merasa gagal mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, ataukah kita mendapatkannya namun hal itu tidak sempurna, maka kita berjanji untuk lebih serius dan fokus lagi melakukan ini dan itu agar bisa mendapatkan yang sempurna. Kita berjanji dihadapan orang lain; entah itu istri terhadap suami atau suami terhadap istri, untuk setia satu dengan yang lain, untuk tidak saling menyakiti satu dengan yang lain, untuk saling memperhatikan satu dengan yang lain, untuk melakukan ini dan itu demi menyenangkan pasangan masing-masing, dan lain sebagainya. Seorang anak ketika gagal mendapatkan nilai yang baik, di hadapan orangtuanya ia berjanji untuk semakin giat belajar agar semester berikut, nilainya semakin meningkat dan bahkan semakin sempurna. Dalam kaitan dengan kehidupan spiritual, setiap saat kita mengakui kesalahan kita di hadapan Allah dan kita berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan itu lagi. Karena itu, janji dan kuasa ALLAH tidak akan pernah berubah bagi kita, namun janji itu akan menjadi milik kita jika membarui hidup kita setiap hari. (rsnh)
Selamat Beribadah untuk TUHAN!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar