KOTBAH MINGGU EPIPHANIAS III
Minggu, 24 Januari 2021
“KEMURAHAN ALLAH YANG MENYELAMATKAN”
Kotbah: Yunus 3:1-10 Bacaan: Markus 1:14-20
Dalam Minggu ini kita memasuki Minggu Epipahnias III. Tema kotbah yang akan kita renungkan “Kemurahan ALLAH yang Menyelematkan”. Tema ini menarik kita renungkan pada Minggu ini sebab sejatinya kita sama seperti orang Niniwe yang berjalan menuju kematian kekal. Namun oleh kemurahan TUHAN kita tidak mati kekal tetapi kita beroleh kemurahan ALLAH dengan memberikan keselamatan dan hidup yang kekal. “Kemurahan ALLAH” sama artinya dengan “kebaikan ALLAH”. Kemurahan ALLAH ini adalah salah satu sifat ALLAH di mana Dia menyatakan kebaikan-kebaikan-Nya kepada makhluk ciptaan-Nya.
Jika kita membaca teks sebelumnya kita sudah melihat bagaimana Yunus mengalami perjumpaan yang tidak terduga dengan TUHAN di dalam perut ikan. Nabi yang ingin lari sejauh mungkin dari TUHAN ini (1:3, 10) akhirnya menyadari betapa menyesakkannya jika dia diusir dari hadapan TUHAN (2:4a). Keterpurukan semakin dalam. Ketakutan dan keputusasaan pun mulai datang. Hanya oleh anugerah TUHAN saja, Yunus akhirnya bisa berujar: “Keselamatan datang dari TUHAN” (2:9).
Walaupun demikian, anugerah TUHAN tidak berhenti sampai di situ saja. Keselamatan hanyalah sarana, bukan titik akhir. TUHAN menyelamatkan Yunus dengan sebuah tujuan. Ada hal lain yang lebih besar daripada keselamatan diri sendiri, yaitu penggenapan rencana ilahi bagi banyak orang.
Pada perikope kotbah hari ini kita akan belajar bagaimana Allah yang beranugerah bagi orang Niniwe. Sama seperti dua pasal sebelumnya, aktor utama di pasal 3 tetaplah Allah. Yang disorot adalah TUHAN dengan segala kemurahan dan anugerah-Nya. Melalui rangkaian peristiwa di pasal ini para pembaca diajak untuk melihat kekayaan lain dari kebaikan ilahi.
TUHAN memberi kesempatan kedua (ay. 1-3). TUHAN memberi kesempatan yang cukup (ay. 4). Durasi waktu muncul secara eksplisit di ayat 3-4. Keterangan detil seperti ini bukan tanpa alasan. Penulis kitab ini ingin menunjukkan bahwa ada waktu yang cukup bagi penduduk Niniwe untuk bertobat. Seandainya TUHAN hanya memberi waktu seminggu bagi mereka untuk bertobat, hati para pembaca pasti berdebar-debar, karena untuk menyisir kota itu saja membutuhkan waktu tiga hari. Masa anugerah selama 40 hari berarti ada waktu yang cukup untuk menyampaikan berita kepada seluruh penduduk maupun untuk bertobat.
TUHAN memberi kesempatan yang besar (ay. 3, 5-8). Jika kita membaca seluruh kitab ini dengan seksama, kita akan menemukan berkali-kali kebesaran kota ini disebutkan. Pemunculannya pun di posisi yang sangat penting: di awal kitab (1:2) dan di akhir kitab (4:11). Di tengah-tengah kitab kata “besar” bahkan muncul dua kali (3:2-3). Semua ini jelas bukan sekadar strategi sastra belaka. Ada maksud theologis yang ingin diutarakan.
Timbul pertanyaan kita sekarang, bagaimanakah caranya agar ALLAH memberikan kemurahan yang menyelamatakan itu kepada kita? Jawaban singkatnya adalah kita harus memiliki “Pertobatan yang Benar”. Pertobatan yang benar itu terlihat dalam beberapa tindakan kita, yakni:
Pertama, pertobatan kita harus ditandai dengan kesedihan (ay. 5). Berpuasa merupakan praktik yang lazim di budaya kuno. Ada banyak alasan mengapa orang berpuasa. Salah satunya adalah berduka. Jika ini yang terjadi, puasa biasanya disertai dengan penggunaan kain kabung, seperti yang ada di ayat ini. Tidak ada pertobatan tanpa kesedihan. Bukan berarti harus bercucuran air mata. Bukan pula harus mengenakan kain duka. Yang dipentingkan adalah dukacita rohani menurut kehendak Allah (2 Kor. 7:9-11). Dukacita karena dosa. Berduka karena telah mendukakan Allah. Kesedihan karena melanggar kehendak Allah seharusnya lebih besar daripada kesedihan karena dihukum oleh Allah. Itulah pertobatan sejati.
Kedua, pertobatan kita harus ditandai dengan kerendahhatian (ay. 6-8). Pemunculan raja di ayat ini pasti memiliki tujuan tersendiri. Tanpa pemunculannya pun pembaca sudah mengetahui bahwa semua orang Niniwe, termasuk rajanya, bertobat. Ungkapan “dari yang terbesar sampai yang terkecil” mencakup raja. Ungkapan ini bukan membicarakan tentang usia, tetapi kedudukan. Bagaimanapun, pemunculan raja secara eksplisit menjelaskan aspek lain dari pertobatan, yaitu kerendahhatian. Wujud pertobatan raja justru melebihi rakyatnya. Dia turun dari tahtanya. Dia menanggalkan jubah kebesaran. Dia mengenakan kain kabung. Dia duduk di atas abu. Dia berpuasa. Pertobatan seorang raja membutuhkan kerendahhatian yang lebih besar daripada pertobatan rakyat biasa.
Ketiga, pertobatan kita harus ditandai dengan perubahan tindakan (ay. 8). Sang raja tidak hanya melihat pertobatan sebagai sebuah ritual keagamaan. Dia menyerukan seluruh penduduk kota untuk “masing-masing berbalik dari tingkah lakunya yang jahat dan dari kekerasan yang dilakukannya”. Kesadisan yang selama ini melekat pada diri mereka harus dilepaskan. Jikalau kita tidak ingin kehidupan kita ditunggangbalikkan oleh Allah, kita harus menunggangbalikkan dosa-dosa kita. Entah berapa banyak orang yang menangisi kesalahannya, tetapi tetap mengulangi kebebalan yang sama. Entah berapa banyak orang yang maju ke depan dalam kebaktian kebangunan rohani, tetapi tidak menunjukkan kemajuan dalam kerohanian. Inikah yang disebut pertobatan? Tentu saja tidak! Penyesalan tidak selalu identik dengan pertobatan. Pertobatan sejati menuntut lebih banyak daripada sekadar tangisan. Harus ada perubahan tindakan.
Keempat, pertobatan kita juga harus ditandai dengan kesadaran tentang anugerah (ay. 9). Ungkapan “siapa tahu” di awal ayat ini tidak menyiratkan keraguan. Tidak pula menunjukkan kebingungan. Sebaliknya, ungkapan ini mengajarkan sebuah poin penting: “bukan pertobatan yang melepaskan kita dari hukuman, melainkan anugerah Tuhan”. Sang raja sudah melakukan semua yang ia pantas lakukan: berduka, merendahkan diri, dan berbalik dari kejahatan. Walaupun demikian, ia benar-benar menyadari bahwa itu semua tidak akan cukup tanpa anugerah TUHAN. Kelepasan dari hukuman tidak ditentukan oleh apa yang kita mampu lakukan, melainkan apa yang Allah mau lakukan.
RENUNGAN/REFLEKSI
Setelah kita membahas perikop di atas dengan seksama, lalu pelajaran apakah yang dapat kita ambil hikmahnya?
Pertama, kita harus menyadari bahwa tidak ada hal apapun yang patut kita tonjolkan. Hal ini begitu penting karena kita sebagai manusia sering kali menonjolkan kemampuan kita. Kita menganggap bahwa tanpa kita semuanya akan berantakan, dan kita merasa bahwa keberhasilan itu semua karena kita sendiri. Namun jikalau kita mementingkan hal-hal kemanusiaan jauh lebih tinggi di bandingkan Tuhan maka kita tidak akan dipakai Tuhan. Kita harus dengan rendah hati memohon kekuatan kuasa Allah untuk memampukan pelayanan kita, maka Allahpun akan memberikan keberhasilan.
Kedua, model keberhasilan pelayanan adalah model pelayanan Yunus. Gereja-gereja masa kini telah kehilangan berita mimbar seperti teriakan Yunus. Kalau kita mempelajari sejarah Gereja khususnya di jaman Reformasi mengapa Kekristenan bisa memengaruhi masyarakat dan negara? Kotbah-kotbah hamba Tuhan masa lalu begitu luar biasa. Orang yang mendengarnya begitu ketakutan sehingga menimbulkan rasa cinta kepada Tuhan. Kalau kita melihat Pendeta masa kini ratusan, ribuan kali berkotbah malah membuat orang semakin jahat, secara fenomena mereka kelihatan bertobat, pelayanannya menggebu-gebu namun sebenarnya tidak mengalami pertobatan sesungguhnya. Kalau sudah begitu apa yang mereka kotbahkan? Bakti sosial, percaya Kristus pasti sembuh dan kaya, kotbah-kotbah seperti ini hanyalah mengenyangkan perut Pendeta. Yunus, Martin Luther, Wesley, Whitefield, Edward mereka berkotbah dengan peperangan, kalau kita menyaksikan mereka benar-benar tentara Kristus, melayani Allah dengan darah dan keringat. Hasilnya kita bisa melihat Allahpun benar-benar memberkati pelayanannya. Gereja sekarang telah kehilangan berita mimbar, tidak ada teriakan-teriakan dari mulut Pendeta tentang murka Allah yang menentang dosa manusia. Tidak heran semakin banyak Gereja didirikan semakin meningkat kejahatan masyarakat.
Ketiga, keberhasilan pelayanan Yunus semata-mata adalah anugerah Tuhan. Melalui pelayanan Nuh dan Yunus kita bisa melihat bahwa Nuh cinta Tuhan namun secara mata manusia kelihatan gagal. Nuh mendirikan Gereja begitu lama namun tidak ada jemaat yang masuk ke dalamnya. Kalau ada Hamba Tuhan yang membuka Gereja namun tidak ada jemaatnya salah satunya adalah Nuh. Nuh gagal secara mata manusia namun tidak gagal di mata Allah, Anugerah Allah atas hidup Nuh memang seperti itu. Jadi dari pelajaran ini biarlah kita menjadi orang Kristen yang berhati-hati dalam memberikan penilaian. Belum tentu Gereja yang kecil dan jemaatnya sedikit pasti salah, kebanyakan jaman sekarang Gereja yang tanpa kompromi berani meneriakkan kebenaran memang kebanyakan menjadi Gereja yang sepi. Dan juga belum tentu gereja yang sepi pasti benar, Gereja-Gereja Kharismatik yang doktrinnya rata-rata kacau justru menjadi Gereja yang paling ramai, setan memberikan kesuksesan yang begitu besar supaya banyak orang semakin tersesat.
Tugas kita hanyalah menyatakan kebenaran sesudahnya Tuhan sendiri yang mengatur. Pembicaraan akan anugerah juga memberikan pengertian lain yaitu kasih Allah. Pemberitaan penghakiman harus diimbangi dengan anugerah, berita penghakiman tanpa anugerah hanyalah menghasilkan penghukuman namun tanpa keselamatan. Dengan mendengarkan firman TUHAN hari ini kiranya anugerah Allah atas Niniwe juga menjadi bagian hidup kita. Allah memberikan anugerah kesemalatan-Nya atas kita semua. Karena itu, lakukanlah pertobatan yang benar di hadapan TUHAN, maka Anugerah ALLAH yang tercurah atas kita. (rsnh)
Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar