Minggu, 10 Januari 2021
“MULIAKAN TUHAN DALAM KEKUDUSAN”
Khotbah: Mazmur 29:1-11 Bacaan: Markus 1:4-11
Hari ini kita memasuki Minggu 1 Setelah Epiphanias (berarti menampilkan, menjadi kelihatan, tampil). Minggu ini kita akan membahas tema “Muliakan TUHAN dalam Kekudusan”. Muliakanlah berasal dari kata dasar mulia, yang artinya: adi luhung, agung, akbar, bersemarak, kudus, luhur, mahardika dan masih banyak lagi sinonim kata mulia.
Dalam bahasa Latin Mazmur 29 ini disebut dengan “Afferte Domino gloriam”, yang artinya “berilah kepada Tuhan kemuliaan”. Visi tentang kemuliaan Tuhan sangat jelas waktu kita membaca Mazmur 29. Mazmur Daud ini memuliakan Tuhan yang “menampakkan” kekuasaan-Nya lewat badai/taufan yang dilukiskan secara personifikasi; suara-Nya seperti guntur menggelegar, penuh semarak yang mematahkan pohon aras bahkan menumbangkan pohon aras libanon yang sangat kuat dan Ia membuat gunung Libanon melompat-lombat seperti anak Lembu, dan gunung Siryon seperti anak banteng.
Mazmur 29 adalah madah yang memuji kemuliaan TUHAN (ay. 1-2). Kemuliaan dan kekudusan yang diucapkan dalam madah itu adalah pengakuan bahwa hanya TUHANlah raja (ay. 10). TUHAN sendiri yang membentuk dunia dengan jalan kemenangan. Ayat 11 berisi doa agar TUHAN memberikan kekuasaan yang membentuk semesta kepada raja Israel dan kepada umat melalui raja. Pemberian kekuasaan dan kekuatan Allah itu dirayakan dan menjadi pengakuan yang membangun kesadaran bahwa hidup umat Allah dipenuhi kekuatan untuk mengalami hidup sejahtera.
Melalui mazmur ini Daud memuliakan dan memberi rasa hormat, mazmur ini menunjukkan bukti kemuliaan Tuhan. Aksen dan ritme dengan frasa-frasa yang menceritakan keadiluhungan Tuhan dan di dalamnya ada pengakuan kesejatian Tuhan. Syair ini juga mengajak panggilan untuk beribadah. Sujud kepada-Nya. Bahkan seluruh penghuni surgawi didorong untuk berilah kepada Tuhan kemuliaan-Nya dengan berhiaskan kekudusan
Kita memuliakan Tuhan, karena kita diciptakan untuk kemuliaan-Nya (Yes. 43:7), dan firman-Nya mengajarkan agar kita hidup untuk memuliakan-Nya (Rm. 11:36; 1 Kor. 10:31). Tuhan adala person yang mulia karena itu Dia layak dimuliakan. Memuliakan Tuhan yang mulia harus dilakukan dengan hidup kudus tanpa cela. Ini berarti ada tuntutan proses pembaharuan total yang membentuk dan merubah hidup kita dan tidak memberi ruangan sedikitpun pada kedagingan kita yang berbentuk;
– arketip/patron intelek kita
– afeksi/batin kita
– integritas kita
– visi hidup kita
– dan kesaksian hidup kita
Yang harus kita ingat, memuliakan Tuhan mencakup bagaimana kita berbagi hidup pada mereka yang menderita tanpa pandang bulu dan dalam bentuk “revolusi mental”, memberi kekuatan bagi mereka yang lemah, putus asa dan menderita. Itulah makna memuliakan Tuhan, adalah suatu aksi nyata dalam wujud belas kasih, dan menjadi berkat bagi banyak orang. Dengan demikian hidup kita akan selau dan selalu memuliakan Allah.
Pertanyaan kita sekarang adalah apa yang harus kita lakukan dalam memuliakan TUHAN dalam kekudusan-Nya? Ada beberapa hal yang harus kita pelajari dalam rangka memuliakan TUHAN, yakni:
Pertama, bukan manusia yang disuruh memuji Tuhan, melainkan "penghuni sorgawi", yakni secara harfiah "anak-anak Allah" (ay. 1-2). Mereka pun bersorak-sorai ketika Tuhan meletakkan dasar bumi. Mereka adalah anggota sidang ilahi namun mereka kehilangan kewibawaan ilahi yang ada padanya seperti para serafim (Yes. 6:3) dan seperti umat (bnd. ay. 10) mereka juga bertugas untuk memuliakan Allah (bnd. Mzm. 89:7). Kepada TUHAN sendiri, sejauh Ia memperkenalkan nama-Nya dan sejauh Ia menyatakan diri-Nya dalam kekudusan-Nya hendaknya mereka bersujud.
Kedua, TUHAN menyatakan dri-Nya melalui suara-Nya (ay. 3-9b). Di dalam bunyi guntur orang Ugarit memahami suara ilahi; perintah Firaun sebagai raja ilahi disamakan dengan suara gemuruh; demikian pula Tuhan menyelamatkan umat-Nya dengan "suara guntur yang hebat" (1 Sam. 7:10; bnd. Mzm. 18:14), menghakimi bangsa-bangsa demikian, menjadikan dan menyatakan kuasa-Nya dalam guntur (Mzm. 68:34). Namun biasanya suara Tuhan dalam guntur hanya merupakan persiapan saja, sebelum firman-Nya kedengaran, dan umat-Nya langsung disapa. Suara Tuhan bergemuruh di atas air besar; barangkali bukan samudera raya di bumi yang dimaksudkan, melainkan lautan yang di atas cakrawala,dari mana turun hujan, sesuai dengan bayangan kuno itu: dari atas datang suara guntur yang megah (Ayb. 37:4), penuh kekuatan, yakni mampu bertindak, penuh semarak - mungkin sebaiknya dibicarakan di sini. Ayat 7 – suara gemuruh memancarkan nyala api, harfiah membela nyala api, kerena halilintar tampak sebagai percikan api (bnd. kilat Mzm. 19:9; 97:3-4; Yes. 30:27). Dari utara, dari gunung Libanon, angin badai bertiup ke selatan: mula-mula pohon aras yang tumbuh meninggi (Yes. 2:13), subur dan kuat dipatahkannya, kemudian gunung Libanon dan Syrion -yakni gunung Hermon di timur laut Galilea dengan namanya dalam bahasa Fenisia dan Ugarit (bnd. Ul. 3:9; kedua gunung tersebut biasanya disebutkan bersama naskah Ugarit juga) - melompat sebagai hewan muda (bnd. Mzm. 114:4), bergoyah menghadapi Tuhan karena mengenal Dia sebagai Pencipta. Setelah itu angin ribut menerpa padang gurun Kadesy, di timur laut Sinai; alam gemetar ketakutan di bawah suara gemuruh dan binatang pun melahirkan anaknya sebelum waktunya karena takut. (Hutan yang digunduli di Selatan itu adalah hutan belukar, daerah yang agak kering, sedangkan pohon tinggi berkembang di lereng Libanon yang sering dibasahi hujan.). Suara Allah menggetarkan alam: hutan dengan pohon-pohonnya, gunung dan gurun, serta margasatwa. Manusia serta kota-kota dan daerah pertaniannya tidak disebut. Apakah bagian yang berkenan dengan mereka telah hilang ataukah begitu berlainan cara Israel melihat hubungan antara Tuhan dan umat-Nya dari cara bangsa-bangsa lain mengartikan hubungan Baal dengan manusia, sehingga pokok tersebut dikesampingkan dengan sengaja? Jawaban yang pasti tidak dapat diberikan lagi, hanya tinggal kesan bahwa jalan pikiran terhenti antara ayat 9b dan 9c.
Ketiga, Tuhan disambut dengan pengakuan "Hormat" (ay. 9c-10). Hormat secara harfiah "Kemuliaan", sama seperti pada ayat 1-2 di atas. Tidak dikatakan siapa yang berseru demikian: "semua" (LAI setiap orang) disamakan dalam tradisi gerejani dengan semua malaikat yang memuliakan Tuhan di sorga (bait, di sini Ibrani hekal, yaitu istana, dapat diperbaiki untuk bait
sorgawi, Mzm. 18:7 dan Bait Suci) dan seluruh umat yang mengagungkan Dia di bumi, entah di Bait Suci di Yerusalem pada mulanya entah kemudian sebagai bait rohani. Tuhan dimuliakan sebagai Raja untuk selama-lamanya. Sebagai Khalik Ia bersemayam di atas air bah, karena Dialah yang empunya laut dan membentuk darat (Mzm. 95:3-5). Perkataan air bah biasanya dihubungkan Alkitab dengan hukuman Allah di atas dunia yang berdosa pada zaman Nuh - Kej. 6:12; di sini rupanya harus dilihat sebagai samudera raya yang menutupi bumi ketika Tuhan menciptakan langit dan bumi (bnd. Kej. 1:2).
Keempat, Tuhan memberkati umat-Nya (ay. 11). Penutup mazmur ini bersifat khas Israel: benar bahwa Tuhan pun dapat mengacaukan alam dengan kekuatan, akan tetapi umat-Nya yakin dan percaya bahwa Ia akan menggunakan kuasa-Nya itu untuk memberkati umat-
Nya dengan damai sejahtera (syaloom; bnd. Im. 26:3-13). Keilahian Allah dan kekuasaan-Nya yang kekal tampak dari karya-Nya, sejak dunia diciptakan (Rm. 1:18). Semua bangsa menyadari hal itu. Itulah sebabnya umat Allah dapat mengambil-alih dari bangsa-bangsa sekitarnya puji-
pujian kepada Allah yang menyatakan diri dengan dahsyat dalam alam semesta dan yang hanya dapat disambut dengan penuh hormat, kagum dan ketakutan. Karena itu, marilah memuliakan TUHAN di dalam kekudusan-Nya melalui segala ciptaan-Nya di dunia ini. (rsnh)
Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar