Minggu, 12 Juli 2020
"CINTAILAH PENDIDIKAN”
Kotbah: Lukas 6:39-42 Bacaan: Amsal 4:1-9
Minggu ini kita akan memasuki Minggu kelima setelah Trinitatis. Dalam Minggu ini kita akan membahas tema “Cintailah Pendidikan”. Pendidikan menjadi kunci utama dalam menentukan posisi iman Kristen. Pendidikan iman yang baik akan menentukan keselamatan umat. Jika Pendidikan iman kita bagus dan sesuai dengan isi Kitab Suci makai man warga jemaat akan bertumbuh semakin dewasa, berakar dan berbuah.
Dalam teks kotbah Minggu ini kita akan belajar bagaimana proses Pendidikan iman itu terjadi. Ada beberapa pokok Pendidikan iman yang hendak kita gali dalam teks ini, yakni:
Pertama, soal menghakimi (ay. 37). Sering kita mendengar pengajaran/Pendidikan yang mengatakan “jangan menghakimi”. Sehingga banyak kita salah menafsirkan teks ini dengan mengajarkan bahwa kita dilarang untuk menyalahkan orang lain, mengecam orang lain, melakukan siasat gerejani terhadap seseorang yang melanggar hukum Gereja, hukum Negara dan hukum adat. Bahkan ekstrimnya kelompok paham ini menjadikan dasar teks ini untuk melarang adanya pengadilan.
Apa dasar kita bahwa pemahaman tadi bukan merupakan Pendidikan/pengajaran yang benar?
a. Baik Perjanjian Lama (PL), maupun Perjanjian Baru (PB), pengadilan bukan hanya diijinkan, tetapi diharuskan (Lih. Rm. 13:4b).
b. Yesus sendiri mengecam dan mengutuk orang Farisi dan ahli Taurat (Luk. 11:42-44).
c. Yesus membolehkan kita menghakimi dengan adil (Yoh. 7:24).
Lalu pertanyaan kita sekarang adalah lalu apakah pengertian yang benar tentang penghakiman itu? Jika kita membaca teks ini, maka kita akan menemukan fakta bahwa larangan menghakimi itu kelihatannya ditujukan kepada para ahli Taurat dan orang Farisi, dan atau orang-orang segolongan dengan mereka, semisal:
a. Mengganggab diri sendiri benar.
b. Terlalu gampang dan cepat menyalahkan orang lain, tanpa mengetahui seluruh persoalannya lebih dulu (bnd. Yoh. 7:24).
c. Mengecam tanpa kasih/belas kasihan (bnd. Luk. 9:51-56).
d. Membesar-besarkan kesalahan orang lain.
e. Merasa senang pada saat bisa menemukan dan mengecam kesalahan orang lain.
Kepada orang seperti ini kita layak memberikan penghakiman, kecaman, dan hukuman. Karena mereka telah bertindak tidak benar.
Pelajaran yang hendak kita petik dari teks ini adalah kita boleh saja menghakimi orang yang telah melakukan kesalah, yang melanggar norma-norma hukum, agama, dan adat dan orang-orang yang segolongan dengan orang ahli Taurat dan orang Farisi tadi.
Pelajaran lain yang hendak disampaikan teks ini kepada kita adalah agar kita tidak mudah memberikan penghakiman kepada orang lain, karena:
a. Kita sendiri mempunyai banyak kesalahan, bahkan mungkin kesalahan yang lebih besar (ay. 41-42; bnd. Rm. 2:1-3).
b. Ciri murid Yesus yang sejati adalah tidak mudah menghakimi.
c. Orang yang menghakimi/menghukum akan dihakimi/dihukum baik oleh manusia dan juga oleh Allah.
Dengan demikian kita hendak simpulkan dari ayat 37 ini bahwa menghakimi itu ada dua sisi, yakni: pertama,menghakimi secara negatif, maksudnya penghakiman itu dilakukan seseorang ketika ia sendiri tidak mengenal kebenaran dan tidak hidup dalam kebenaran, namun ia selalu bicara kebenaran yang tidak dikenali atau dihidupinya.Penghakiman ini biasanya dilakukan oleh orang munafik, yang tidak mau hidup dalam kebenaran, meski sudah diajarkan dan tahu mengenai kebenaran, namun orang ini senang untuk membicarakan kebenaran yang tidak ingin dihidupinya. Yang kedua, menghakimi secara positif, yaitu penghakiman itu dilakukan seseorang ketika ia sendiri mengenal kebenaran dan hidup dalam kebenaran itu, dan ia selalu berbicara kebenaran yang ia kenali atau dihidupinya.
Kedua, soal pengampunan (ay. 37). Dalam konsep pengampunan hal pertama yang harus kita lakukan adalah kemampuan untuk mengambil posisi orang yang bersalah, bukan ambil posisi orang yang sedang berhak memberikan penghakiman apa pun. Ini pengertian yang di kandung di dalam kalimat “jangan menghakimi”. Maksud menghakimi adalah jangan terus pikir menentukan nasib orang, sekali-kali pikir bahwa dirimu pun bisa dalam posisi mendapatkan atau memohonkan belas kasihan dari orang lain.
Miroslav Volf, seorang teolog Kroasiadalam bukunya “The End of Memory” mengatakan bahwa pengampunan itu seringkali disalah-mengerti. Salah mengerti itu adalah kita merasa pengampunan itu bisa diberikan tanpa kita punya rasa benar dan salah (sense of right and wrong). Kita tidak bisa mengampuni sebelum kita punya sense mana benar dan mana salah. Kita mesti punya ketegasan, mesti punya pengertian dulu membedakan mana yang boleh mana yang tidak. Sehingga Saudara tahu persis kalau orang bersalah kepada Volf mengatakan pengampunan berarti mengingat kesalahan tapi tidak menimpakan apa yang harusnya ditimpakan kepada orang yang melakukan kesalahan. Ini merupakan satu bijaksana, satu skill hidup yang luar biasa berat, dalam dan sangat indah untuk kita jalankan. Bagaimana menjalakan konsep keadilan tetapi mempraktekan pengampunan lebih besar dari pada pernyatakan keadilan. Maka waktu kita bertindak, kita bertindak dengan prinsip kasih dan pengampunan.
Ketiga, soal memberi (ay. 38). Soal memberi ini sebenarnya ada kaitannya dengan soal pengampunan di atas. Untuk memudahkan kita mengampuni orang maka penulis Lukas memberikan allegori ukuran memberi dalam ayat 38 ini.
Orang pelit jika hendak memberi selalu berpikir memberi dengan lebih sedikit. Bahkan berusaha untuk tidak memberikan kepada orang miskin. Kebiasaan orang Yahudi jika kita mengangkut karung, jika satu karung tinggal maka yang tinggal itu wajib menjadi bagian orang miskin. Kalau orang pelit mau angkut karung, dia akan teliti sekali jangan sampai ketinggalan. Tradisi lain, kalau petik anggur, waktu jatuh ke bawah tidak boleh pungut, karena yang jatuh ke bawah itu milik orang miskin. Maka waktu orang pelit petik anggur, hati-hatinya luar biasa, ini yang pelit. Tapi yang murah hati sengaja tinggalkan, sudah ikat berkas-berkas gandum.
Demikian juga ketika orang miskin ketok pintu rumah memohon gandum atau jagung biasanya, “mohon, saya dan anak saya lapar, bolehkah beri makanan?”, biasanya mereka tidak bawa apa-apa kecuali baju dan baju itu ditadahkan untuk dicurahkan. Kalau orang pelit, selalu memberikan berdasarkan gelas ukur. Mereka akan ambil gandum kemudian mereka akan curahkan ke baju yang ditadahkan, karena kalau cuma pakai tangan muatnya sedikit, tapi kalau pakai baju lumayan, makanya bajunya orang saat itu longgar-longgar. Mereka curahkan, taruh di baju, dan orang-orang yang pelit itu biasanya akan ambil sekenanya, karena peraturan mengatakan gelas ukur tidak boleh tangan, karena kalau pakai tangan dianggap menghina orang miskin, dan dapatnya sedikit, jadi mesti pakai gelas ukur.
Tapi orang yang baik, dia akan ambil dan lihat kalau masih bisa dipadatkan, dia akan ambil pemadat, tumpuk sampai padat, isi lagi, dia bilang “masih dipadatkan lagi”, maka dia padatkan lagi, masih ada ruangan terus diisi sampai penuh seperti es krim. Sehingga waktu jalan dia akan hati-hati supaya tidak tumpah lalu ditaruh di tempat, diribaan orang itu limpahnya bukan main, melebihi gelas ukur. Inilah yang dimaksudkan dalam ayat ini, engkau kalau memberi kepada orang memberi seperti apa, kalau engkau memberi dengan dipadatkan, dengan tercurah limpah tidak hitung-hitungan, maka kamu pun akan dapat belas kasihan yang sama.
Dan sekarang kita tafsirkan ini atau terapkan ini dalam pengampunan. Maka hal yang Tuhan Yesus ajarkan adalah untuk punya hati yang bisa mengampuni, kita mesti membiasakan diri punya belas kasihan. Gampang kasihan sama orang akan mempermudah kita mengampuni. Tapi kalau kita tidak pernah melatih diri kita dengan memberikan belas kasihan kepada orang lain, kita akan sulit mengampuni, tidak terbiasa, jadi perlu ada latihan spiritual untuk mampu mengampuni yaitu membiasakan melihat orang lain lalu merasa kasihan. Ada orang kalau lihat orang lain jahat langsung tuduh, langsung tangannya tunjuk dan mengatakan “hukum”. Tapi ada orang yang lihat langsung pikir “mungkin keluarganya perlu, mungkin dia kepepet, mungkin”, ini serangkaian mungkin yang muncul di dalam hati orang yang belas kasihan. Dan Tuhan mau kita menjadi orang yang seperti itu. Sehingga ketika kita menghukum, kita menghukum dengan tidak tega, ketika terpaksa menjatuhi hukuman kita tahu ini demi keadilan bukan demi memuaskan hawa nafsu.
Keempat, soal orang buta (ay. 39). Ayat ini hendak memberikan Pendidikan dan pengajaran bagi kita bahwa soal pengampunan itu bukan hendak diteorikan melainkan dilakukan dan dihidupi. Tuhan Yesus bukan pengajar pengampunan tetapi Dia pemberi pengampunan yang mengajak kita juga untuk mengampuni. Sebab Tuhan Yesus di atas kayu salib Dia mengampuni, di atas kayu salib Dia berdoa kepada Tuhan “ampunilah mereka”. Jadi Kristus mengatakan “kalau Aku tidak lakukan, Aku cuma orang buta dan orang buta tuntun orang buta pasti jatuh ke dalam lobang”. Siapa yang bisa menuntun kita lebih baik dari pada Kristus mengenai pengampunan? Maka Tuhan Yesus adalah contoh yang sempurna untuk pengampunan. Itu sebabnya Tuhan Yesus mengatakan “kalau cuma orang buta yang tuntun kamu mengampuni, dua-duanya akan jatuh ke dalam lobang”, tapi Tuhan Yesus bukan orang buta, karena Dia adalah yang memberi teladan.
Kelima, soal keteladanan (ay. 40). Ayat ini hendak mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan tidak minta kita mengampuni dengan cara yang lebih besar dari Dia, tapi Tuhan juga tidak minta kurang. Tuhan mau kita mengampuni sama seperti Dia sudah mengampuni. Maka Tuhan Yesus yang sudah menjadi contoh mengatakan “Aku Gurumu dan kamu lebih rendah dari Aku. Tapi Aku sedang bimbing kamu supaya kamu sama dengan Aku. Dan Aku tidak akan pernah tuntut kamu lebih dari Aku”, ini guru yang baik. Guru yang baik tidak suruh sesuatu yang dia sendiri tidak kerjakan. Tapi guru yang baik akan tuntut supaya orang yang dibimbing sama dengan dia.
Keenam, soal selumbar di mata saudara kita (ay. 41-42). Ayat ini hendak memberikan pengajaran bagi kita bahwa kita sering menjadi ahli kalau disuruh bikin daftar kesalahan orang. Setiap detail kesalahan orang kita tahu. Tapi kita tidak punya kemampuan untuk menulis kesalahan kitasendiri. Kita pasti bingung. Ini namanya balok tidak kelihatan tapi debu kelihatan. Maka Tuhan Yesus mengingatkan mempunyai kemampuan mengampuni, harus lihat kejahatan, kekurangan dan kelemahan diri lebih besar dari usaha melihat kelemahan orang. Mari kita coba lakukan ini. Di dalam keluarga itu selalu ada kesulitan, tapi satu-satunya kemungkinan kesulitan itu berhenti adalah kalau kita dulu berubah. Kita meminta orang lain berubah, sampai Tuhan Yesus datang kedua kali, dia tidak berubah-ubah. Tapi kita bisa mengubah diri. Maka sebelum orang lain berubah, diri kita sendiri dulu berubah. Setidaknya ada 50% masalah selesai. Itu sebabnya Tuhan Yesus mengingatkan jangan lihat debu di mata orang padahal di mata kamu sendiri ada potongan kayu. Coba keluarkan potongan kayu, baru kemudian bisa lihat debu kayu yang ada di mata orang lain.
Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar