Minggu, 24 Agustus 2019
Kotbah: Lukas 6:27-36 Bacaan: Imamat 25:30-43
Minggu ini kita akan memasuki Minggu X Setelah Trinitatis. Dalam Minggu ini kita akan membahas tema “Kasihilah Musuhmu”.Mengasihi musuh adalah pekerjaan yang sulit karena mengasihi orang baik saja susah melakukannya. Namun prinsip kekristenan berbeda dari prinsip dunia ini. Firman Tuhan memerintahkan kita untuk mengasihi musuh kita. Tuhan berkata, "Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada berbuat demikian?" Tuhan Yesus adalah teladan yang luar biasa bagi kita. Ia sanggup mengalahkan yang jahat dengan kebaikan; diejek, diludahi, dimusuhi, dianiaya, bahkan sampai mati di kayu salib, Dia tidak pernah membalas perbuatan jahat mereka, tapi berdoa bagi mereka (Luk. 23:34). Kejahatan tidak akan dapat ditaklukkan oleh kejahatan, tetapi kebaikanlah yang mampu mengalahkan kejahatan! Mungkin kita berkata, "Saya adalah manusia biasa, mustahil bisa mengasihi musuh." Dikatakan, "Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih" (1Yoh. 4:8). Pastilah Allah tidak pernah memberi perintah yang mustahil untuk kita lakukan.
Pertanyaan kita sekarang adalah mengapa kita harus mengasihi?
Pertama, karena Yesus lebih dulu mengasihi kita. Kalau Yesus tidak pernah turun ke dunia sebagia manusia dan menebus dosa-dosa kita dengan mengucurkan darah-Nya, kelak kita tidak akan dapat berdiri di hadapan Tuhan tanpa bercacat cela. Ketika kita masih berdosa, Tuhan mengutus Anak tunggal-Nya sebagai korban pengganti dosa-dosa kita, sebab Ia sangat mengasihi kita.
Kedua,untuk menghilangkan rintangan doa. “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu diatas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu” (Mat. 5:23-24).Dalam ayat ini, Yesus mengingatkan kita tentang pentingnya berdamai. Altar melambangkan doa, sebagai jalan untuk bersekutu dengan Tuhan. Kalau kita hendak mempertahankan hubungan yang baik dengan Tuhan, dan ingin agar Ia menerima persembahan kita, maka kita harus berdamai dahulu dengan mereka yang berseteru dengan kita. Tuhan hanya akan menerima doa dan persembahan kita kalau hal ini telah kita lakukan.
Ketiga, karena Tuhan mengampuni apabila kita juga mengampuni orang lain. “Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu” (Mat. 6:14-15).Jika kita dapat memaafkan orang lain, maka kelak ketika kita bersalah kepada orang lain, orang itu pun mungkin sekali memaafkan kita juga. Hanya dengan siklus yang positif ini hubungan antara sesama manusia tetap harmonis. Dan dengan menghilangkan penghalang yang disebabkan oleh dosa di antara Tuhan dan kita, kita akan memperoleh pengampunan-Nya atas kesalahan-kesalahan kita, dan mendekatkan diri kita dengan Tuhan.
Keempat,karena dengan mengasihi sesama sama artinya dengan kita mengasihi Tuhan. “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita. Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.” (1Yoh. 4:19-21). Yesus berkata, “Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran” (Yoh. 4:24). Banyak orang berjerih lelah dalam ibadah mereka kepada Tuhan, tetapi mereka tidak mengerti dengan apa yang diperintahkan Yesus. Untuk menunjukkan kasih mereka kepada Tuhan, mereka membaca Alkitab, bersekutu dan berdoa, dan memuji nama-Nya setiap hari. Tetapi kasih mereka tidak penuh, karena mereka tidak mengasihi orang lain tanpa syarat. Seringkali mereka terus memelihara dendam dan membenci orang lain, dan mereka mempunyai banyak musuh. Terdapat perbedaan mencolok antara bagaimana mereka beribadah kepada Tuhan dengan bagaimana mereka memperlakukan orang lain. Yohanes membahas hal ini saat ia berkata, “Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta” (1Yoh. 4:20). Kasih yang kita ungkapkan kepada saudara kita adalah cara terbaik untuk menunjukkan kasih kita kepada Tuhan.
Kita telah mengetahui alasan-alasan mengapa kita harus mengasihi musuh-musuh kita. Tetapi bagaimana caranya?
Pertama,kita harus mengasihi dengan tulus. Banyak orang mengira menerima perlakuan musuh kita dan tetap diam sudah cukup. Di dalam hati mereka mungkin membenci orang-orang yang bersalah kepada mereka, tetapi mereka dapat memendamnya dan tidak menunjukkannya kepada musuh-musuh mereka. Mereka kemudian mungkin mengatakan hal yang buruk-buruk tentang orang-orang itu karena berusaha melepaskan sedikit rasa frustasi atau berusaha mendapatkan dukungan orang lain. Mereka mungkin kesulitan tidur atau tidak nafsu makan selama mereka memikirkan kejadian yang tidak menyenangkan itu. Mereka merasa menderita, karena mereka sebenarnya belum mengampuni orang-orang itu.
Ini bukanlah apa yang diajarkan Yesus tentang mengasihi musuh-musuh kita. Ia mengajarkan kita untuk sepenuhnya mengampuni mereka, dari lubuk hati, dan agar mereka merasakan kasih kita, sehingga kita dapat mengubah mereka menjadi sahabat kita. “"Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu. Barangsiapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu” (Luk. 6:27-29).
Yesus menekankan perlunya sungguh-sungguh memaafkan orang yang bersalah kepada kita, tidak hanya berdamai secara pasif. Apabila kita sungguh-sungguh mengasihi orang lain, kita tidak hanya dapat mengampuni orang yang menampar kita, tetapi juga orang yang memukul kita dengan tongkat, atau bahkan berusaha membunuh kita. Hanya dengan kasih seperti inilah kita menjadi orang yang memikul salib bersama Kristus.
Kedua, kita harus memberkati mereka. Tuhan akan menghakimi kita karena perkataan yang kita ucapkan sebagai orang Kristen. Itulah sebabnya Paulus mendorong jemaat gereja Roma untuk “Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!” (Rm. 12:14). Ketika kita berbicara tentang perbuatan mengasihi musuh, kita harus mengingat ayat ini:“… siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu” (Mat. 5:38-42)
Biasanya kita melihat pernyataan-pernyataan kasih bagi musuh kita sebagai hal yang mustahil. Tetapi tidak cukup kita hanya sekadar mengasihi demi menjaga “sandiwara” perdamaian; kita juga harus lebih lanjut memohon kepada Tuhan untuk memberkati musuh kita! Ajaran ini tidak dapat ditemukan dalam buku-buku lain, kecuali Alkitab, yang mengajarkan kasih sejati. Sebelum Stefanus mati demi Yesus, ia berdoa kepada Tuhan, “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka” (Kis. 7:60). Stefanus juga manusia seperti kita, dan ia merasakan sakit saat ia dianiaya. Tetapi bukannya meminta Tuhan membalaskan nyawanya, ia malah memohon agar Tuhan tidak menanggungkan kesalahan itu kepada mereka.
Kasih seperti inilah yang harus dimiliki setiap orang Kristen. Allah kita adalah kasih, dan Ia ingin agar kita juga memiliki kasih-Nya (1Yoh. 4:7-8). Tuhan Yesus memerintahkan murid-muridNya untuk mengabarkan Injil dan menyambut setiap keluarga. Jika keluarga itu layak, maka damai akan turun atas mereka, tetapi jika sebaliknya, maka damai itu akan kembali kepada murid-murid (Mat. 10:11-13), sebab hanya berkatlah yang diberikan, bukan kutukan.
Ketiga, kita harus mendoakan mereka. Kelihatannya mengasihi musuh kita lebih banyak dan memberkati mereka sudah lebih dari cukup, tetapi itu masih belum sepenuhnya, karena kita juga harus mendoakan mereka (Luk. 6:28). Kita adalah manusia yang seringkali lemah, dan kadang-kadang kita bertindak sembrono, terpancing emosi, dan juga meremehkan orang lain dan memandang mereka dengan benci. Segala kelemahan ini menjurus pada kemungkinan perseteruan. Karena itu saat mendoakan musuh-musuh kita, sesungguhnya kita juga mendoakan diri kita sendiri. Kita harus dapat mengakui kesalahan-kesalahan kita dan saling mendoakan (Yak. 5:16) untuk dapat berkenan di mata Tuhan.
Keempat,kita jangan bersukacita atas kemalangan mereka. Amsal 24:17-18 menuliskan, “Jangan bersukacita kalau musuhmu jatuh, jangan hatimu beria-ria kalau ia terperosok, supaya Tuhan tidak melihatnya dan menganggapnya jahat, lalu memalingkan murkanya dari pada orang itu.”Betapa pun menyebalkannya musuh kita, kita harus menerima apa yang terjadi tanpa menyalahkan mereka. Kalau tidak, kita akan merasakan marah, frustasi, dan ingin membalas dendam. Paulus mengajarkan bahwa kita tidak boleh membalas, tetapi memberikan kesempatan bagi Tuhan untuk menghakimi, karena “Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan” (Rm. 12:19). Dengan berbuat baik kepada musuh kita, kita menumpukkan bara api di atas kepalanya (Rm. 12:20).
Apabila kita melihat musuh kita sedang menerima hukuman atau ditegur Tuhan, kita tidak boleh merasa senang karenanya. Sebaliknya, kita harus mempunyai hati yang simpatik, agar Tuhan tidak memindahkan murka-Nya kepada kita. Karena itu, marilah terus melatih dirikita untuk mampu mengasihi para musuh kita agar kita semakin menjadi sama seperti Kristus. (rsnh)
Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar