Minggu, 8 Juli 2018
"MULIAKANLAH TUHAN DENGAN HARTA MILIK”
Kotbah: Pengkotbah 5:9-16 Bacaan: Matius 6:19-24
Minggu ini kita akan memasuki Minggu keenam setelah Trinitatis. Dalam Minggu ini kita akan membahas tema “Muliakanlah TUHAN dengan harta milik”.Harta milik adalah kekayaan yang kita peroleh dan ada pada kita sekarang. Harta identik dengan benda atau uang yang kita kuasai dan pergunakan. Namun definisi lain bisa harta merupakan non fisik misalnya iman, pengetahuan, pikiran, dan lain-lain. Semua harta baik material dan non material harus kita gunakan untuk memuliakan TUHAN. Tetapi dalam kenyataan hidup manusia sering tidak menggunakan harta miliknya untuk memuliakan TUHAN tetapi untuk memuliakan dirinya sendiri. Bahkan tujuan hidupnya untuk mencari kekayaan hanyalah untuk kepuasan dirinya sendiri bukan untuk memuliakan TUHAN.
Harta kekayaan bukanlah tujuan akhir hidup karena semua yang ada di dunia ini hanyalah sementara. Apakah semua harta yang kita miliki tersebut akan kita bawa pada saat kita mati? Tidak. "Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar" (1Tim. 6:7). Jika saat ini kita dipercaya Tuhan untuk memiliki kekayaan lebih, ini adalah kesempatan bagi kita untuk "...berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi" (1Tim. 6:18). Jadi megumpulkan harta di sorga itu lebih utama bagi orang percaya!
Jika kita mendalami teks kotbah hari ini, maka kita akan mencoba belajar bagaimana cara kita menggunakan harta kekayaan kita menjadi kemuliaan bagi TUHAN.
Pertama, uang meningkatkan selera, bukan kepuasan (ay. 9).Siapa saja mencintai uang tidak pernah merasa cukup. Siapa saja mencintai kekayaan, terus menerus haus akan kekayaan yang lebih banyak lagi. Ini merupakan teka-teki kehidupan yang membingungkan. Memiliki kekayaan menciptakan suatu selera yang tidak puas-puasnya untuk lebih banyak lagi. Kekayaan menciptakan sesuatu keinginan mendalam yang tidak pernah terpuaskan. Pada akhirnya, kekayaan menjadi tuan kita dan memperbudak kita. Martin Luther pernah mengatakan bahwa di dalam sepanjang sejarah sikap orang Kristen terhadap uang seperti orang mabuk yang sedang naik kuda, selalu jatuh di sisi sana atau di sisi sini. Tidak pernah duduk di atas kuda dengan baik karena mabuknya. Dalam ayat 9 ini, dampak yang terasa adalah segi psikologisnya, kehausan tak terpuaskan yang timbul akibat uang nyata mencolok sebab cinta akan uang bila dituruti akan makin besar dan dominan. Tapi mungkin wujudnya yang lebih halus dan tidak begitu kentara, ialah semacam perasaan tidak puas pada umumnya; kerinduan bukan supaya mendapat lebih banyak lagi, melainkan kerinduan akan kepuasan batiniah. Akibatnya yang lebih parah lagi daripada kecanduan akan uang ialah kehampaan yang ditinggalkannya.
Kedua, kekayaan meningkatkan ketergantungan kita, bukan pendapatan kita (ay. 10).Jika kita kaya, maka kita berharga untuk dikenal. Karena itu orang-orang mengambil hati dan mendekati kita. Mereka mulai mencari jalan untuk masuk ke dalam lingkungan kita. Sehingga apa yang terjadi? Hidup ini demi gengsi dan tidak lebih dari itu. Coba bayangkan berapa orang yang memberi karena persoalan harga diri, soal gengsi.
Ketiga, semakin kaya, semakin tak dapat tidur (ay. 11).Alasannya jelas kenapa orang kaya tidak dapat tidur, karena dia kuatir akan semua uangnya. Tetapi di jaman sekarang ini, di mana sudah ada alarm tanda pencurian, kunci rangkap, kotak penyimpanan khusus dan bank, mungkin bukan lagi penyebab penyakit tak bisa tidur yang sebenarnya. Mungkin orang kaya itu tidak dapat tidur karena dia terbaring dalam suasana tegang memikirkan investasi-investasinya. Mungkin tingkat bunga naik… atau turun… tergantung pada apakah dia menarik uang atau memasukkan uang pada saat itu. Mungkin bursa saham sedang suram, atau kelompok-kelompok perusahaan mengecewakan atau suatu investasi gagal. Ada banyak alasan yang membuat dia tidak bisa memejamkan mata. Atau mungkin Pengkhotbah hendak menggambarkan bagaimana keadaan seseorang yang dibarengi dengan nafsu-nafsu. Si kaya tidak dapat tidur bukan karena terlalu banyak bekerja (bnd. 2:23), melainkan karena terlalu banyak makan.
Uang tak bernilai kekal. Uang tidak dapat memberi kepuasan (ay. 9). Bahkan kekayaan justru bisa menjadi faktor yang membuat orang tidak bisa hidup bahagia (ay. 11-12). Dalam zaman now yang sangat materialistis ini, orang beriman perlu mengingat-ingat bahwa ia datang dengan tangan hampa, akan kembali kepada Khaliknya pun dengan tangan hampa. Mampu bahagia dalam apa yang dimiliki adalah karunia Allah semata (ay. 17-19). Oleh karena itu, perlu sekali kita memahami, apa kedudukan uang di dalam kehidupan manusia? Nah, ada berbagai macam penilaian tentang uang dan tentu kita dapat melihat di mana kategori kita. Ada berbagai pendapat berkenaan dengan uang, yaitu: (a). Uang itu netral, akar permasalahan ada dalam diri manusia yang tidak tahu bagaimana memakai uang (punya uang bukan masalah, cinta uang itu masalah). (b). Uang itu dalam dirinya sendiri sudah mempunyai potensi menghancurkan sehingga kalau kita tidak waspada dan berjaga-jaga maka uang itu akan membuat kita mengabdi padanya (tanpa kewaspadaan punya uang identik dengan cinta uang). Pernahkah kita mengevaluasi diri apakah kita termasuk dalam kategori orang yang cinta uang? Biasanya, orang akan langsung membandingkan dirinya dengan para penjahat yang mendapatkan uang secara tidak halal. Orang beranggapan bahwa orang-orang yang menghalalkan segala cara demi uang itulah yang masuk dalam golongan orang yang cinta uang. Orang merasa diri sudah “baik“ karena ia tidak melakukan seperti yang dilakukan para penjahat tersebut.
Di Alkitab, kita jarang menjumpai Tuhan Yesus menyandingkan Allah dengan apapun tetapi berkaitan dengan uang, Kristus sepertinya menyandingkan Allah dengan mamon. Dia menegaskan bahwa orang tidak bisa menyembah pada Allah sekaligus Mamon karena Kristus melihat sangat besar kemungkinan orang jatuh dalam hal penyembahan. Orang bisa menyembah Tuhan sekaligus pada mamon dan celakanya, demi mendapatkan uang, orang memanipulasi Tuhan. Ada tiga tantangan besar yang menghambat pertumbuhan rohani seseorang, yakni: 1) sexualitas, 2) kekuasaan, dan 3) uang. Uang seringkali menjadi motivasi utama. Tanpa sadar, orang seringkali salah menempatkan uang. Uang ditaruh pada posisi sakral dan kita memiliki ketakutan yang tidak wajar dalam hal ini. Sebagai contoh, kita tidak akan menaruh curiga jika seseorang bertanya mengenai keluarga, rumah dan pekerjaan tetapi kita akan langsung merasa takut dan waspada jika orang menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan uang, misalnya: berapa gajimu? berapa uang yang ada di tabunganmu? Secara reflek, kita langsung memagari diri dan sebisa mungkin menghindar dari topik ini. Pertanyaannya adalah benarkah uang itu netral? Kalau benar, kita menganggap uang itu netral sama seperti benda lain lalu kenapa orang langsung bereaksi negatif ketika topik pembicaraan mengenai uang? Kalau begitu masihkah kita berpikir bahwa uang itu benda netral? Kalau benar netral, kenapa kita memperlakukannya secara khusus?
Sama seperti kamar tidur sebagai ruangan khusus yang sifatnya sangat pribadi dimana tidak sembarang orang boleh masuk, demikian juga dalam hati kita, kita seringkali memberikan suatu ruangan khusus untuk uang di mana tidak boleh ada seorangpun yang boleh tahu bahkan suami atau istri pun tidak tahu. Jadi, benarkah uang itu netral? Dan cinta akan uang itulah yang berbahaya? Lalu bagaimana ciri-ciri orang yang cinta uang? Firman Tuhan membukakan pada kita bahwa ternyata orang yang cinta uang tidaklah sesederhana gambaran kita, yakni orang yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Tidak! Ada banyak orang mungkin tidak senang, tetapi jelas Martin Luther sendiri mengatakan pertobatan sejati harus merubah 3 hal di dalam hidupnya, merubah pikiran dia untuk lebih cinta Tuhan, merubah hatinya untuk lebih mengasihi Tuhan, dan ketiga, merubah dompetnya. Ini prinsip yang sederhana.
Sebenarnya apakah ciri yang tanda-tanda seseorang cinta uang?
Pertama, dia adalah orang yang tamak, tidak pernah merasa cukup. Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan (Luk. 12:15). Orang yang tamak adalah orang yang tidak pernah puas, tidak pernah merasa cukup dengan apa yang ia miliki sekarang, ia selalu terus dan terus mencari. Ada suatu pepatah mengatakan dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang tetapi dunia tidak akan pernah cukup untuk memenuhi ketamakan satu orang. Satu hal yang menjadi sukacita bagi orang tamak adalah ketika ia melihat jumlah uangnya bertambah. Gambaran orang tamak ini cocok dengan tokoh kartun Paman Gober. Fokus hidupnya yang utama hanya satu, yaitu bagaimana mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Sungguh sangat mengenaskan, bukan? Firman Tuhan membukakan pada kita apalah artinya semua harta yang kita miliki kalau kita kehilangan nyawa? Untuk apa dan siapakah semua harta yang kita kumpulkan dengan bersusah payah tersebut? Mungkin kita berpikir bahwa semua harta yang kita kumpulkan sekarang itu untuk anak kita kelak. Benarkah anak kita membutuhkannya? Pernahkah kita bertanya pada anak kita benarkah ia lebih menginginkan harta daripada kasih sayang orang tuanya? Benarkah seorang anak itu akan merasa bahagia dengan harta berlimpah tapi hidup tanpa kasih sayang orang tuanya? Kapan kita membahagiakan orang tua kita, pada saat ia masih hidup ataukah saat ia sudah meninggal? Tentu saja, pada saat ia masih hidup, bukan? Pertanyaan yang sama harusnya dikenakan juga pada diri kita, benarkah anak kita senang jika kita baru bisa membahagiakan mereka setelah mereka meninggal dengan cara meninggalkan warisan yang banyak, sementara di saat mereka masih hidup kita terlalu sibuk mengumpulkan semua warisan itu? Sesungguhnya, anak-anak lebih memilih orang tuanya ada bersama-sama dengan mereka daripada harta berlimpah. Lalu untuk apa dan siapa semua harta yang kita kumpulkan tersebut? Orang seringkali terlambat menyadari betapa ketamakan itu merupakan suatu kebodohan dan kesia-siaan belaka. Ketamakan dan keserakahan adalah adalah sifat yang merusak jati diri orang Kristen. Oleh karena itu, kita harus bersedia untuk berkata cukup kepada keinginan dan uang. Dalam 2 Petrus 2:14 telah dikatakan, ”…hati mereka telah terlatih di dalam keserakahan.” Orang tidak pernah sadar bahwa dia serakah. Yang selalu dilihat adalah orang lain yang punya problem terhadap uang dan bukan dirinya. Petrus mengatakan serakah itu tidak datang seketika tetapi lewat satu proses training. Kenapa Petrus memakai kata ini “terlatih dalam keserakahan.” Berarti sifat serakah itu tidak datang tiba-tiba, tetapi sejak kecil tidak pernah puas. Dikasih satu minta dua, dikasih dua minta tiga. Kalau begitu, bagaimana kita juga belajar waspada terhadap keserakahan ini? Mulai dari keluarga, kita melatih anak-anak kita sejak kecil belajar memiliki perspektif yang benar terhadap uang dan barang. Dari kecil latih mereka, pertama, tidak semua yang dia mau selalu bisa dia dapat. Tidak semua barang-barang yang mewah harus kita kasih. Latih bagaimana sejak kecil mereka memberi persembahan kepada Tuhan. Biar baru umur satu dua tahun, tetap ajar dia untuk memberi persembahan di sekolah minggu supaya dia terlatih dan mengerti. Belajar mengerti berkat dan anugerah Tuhan juga perlu latihan. Melatih diri memberi kepada Tuhan. Jangan merasa rugi dan hitung-hitungan kepada Tuhan, karena dari situ kita melatih hati kita untuk tidak ditipu oleh keserakahan.
Kedua, orang yang menempatkan uang di posisi utama.Orang yang hidupnya berpaut pada uang; uang adalah penentu hidup matinya (Luk. 12:15b). Ingat, uang yang sekarang ada pada kita itu asalnya dari Tuhan. Kalau bukan Tuhan yang memberi pekerjaan pada kita maka mustahil kita mendapatkan uang, kita tidak bisa menyekolahkan anak, kita tidak bisa membeli makanan atau mainan. Namun sangatlah disayangkan, banyak orang yang tidak menyadari hal ini sebab orang tidak dapat melihat secara riil bahwa semua yang ada pada kita itu asalnya dari Tuhan. Orang lebih mudah memahami pernyataan berikut: “carilah uang dan jadilah kaya maka semua hal bisa kamu dapatkan“daripada Firman Tuhan yang mengatakan, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya maka semuanya akan ditambahkan kepadamu“ (Mat. 6:33). Lalu apa bedanya kita dengan anak kecil yang tidak bisa melihat hal yang abstrak? Sungguh teramatlah menyedihkan pemeliharaan Tuhan itu dirasakan sebagai sesuatu yang abstrak. Biarlah sejak dini kita mengajar pada anak bahwa semua berkat yang kita terima itu asalnya dari Tuhan yang disalurkan melalui orang tua sebab bagi seorang anak, tentang hal Tuhan memberi itu sangatlah abstrak.Biarlah kita mengevaluasi diri, di posisi mana kita menempatkan uang dalam hidup kita? Hati-hati dengan akal licik si iblis yang memang sengaja mengajarkan akan materialisme di mana uang itu adalah segala-galanya; uang bisa ditukar dengan kesehatan, uang bisa ditukar dengan kekuasaan, dan masih banyak lagi. Firman Tuhan menegaskan meskipun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidak tergantung daripada kekayaannya itu. Biarlah kita bertumbuh dalam iman, tidak hanya melihat fenomena tetapi kita belajar melihat lebih dalam, yakni Tuhan memakai uang untuk memelihara hidup kita. Jadi, bukan uang yang memeliharakan hidup kita sebab tanpa uang pun Tuhan masih dapat memelihara kita. Tidaklah mudah bagi kita untuk tidak mencintai sesuatu hal dalam hal ini uang yang sudah kita anggap sebagai penentu hidup karena itu, kita memohon Tuhan membukakan dan mengubahkan paradigma kita sehingga kita dapat melihat bahwa uang itu tidak lebih hanyalah alat di tangan Tuhan. Ada hal lain yang lebih penting dari uang, yakni Tuhan Allah itu sendiri. Ingat, uang hanyalah alat. Jadi, uang seharusnya dipakai untuk menyembah Tuhan bukan sebaliknya kita memanipulasi Tuhan untuk mendapatkan uang.
Ketiga, orang yang sulit untuk memberi.Orang cinta uang tidak terpikir untuk memberikan apa yang ia miliki pada orang lain meski ia hidup berkelimpahan. Perhatikan, dalam setiap pengajaran-Nya ketika Tuhan Yesus memberikan peringatan keras sekaligus memberikan nasihat positif. Saat memperingatkan kita untuk berjaga-jaga dan waspada akan uang, Ia juga memberikan nasihat positif, yaitu lebih baik memberi daripada menerima (lih. Juga Kis.20:35). Salah satu cara terbaik supaya kita tidak diperbudak oleh uang adalah dengan memberi. Ingat, uang itu hanya alat untuk dipakai oleh manusia, uang tidak untuk disembah, kita bukan melayani uang; uang untuk Tuhan maka biarlah uang kita menjadi berkat bagi orang lain. Betapa indah hidup kita kalau kita berserah sepenuhnya pada pemeliharaan Tuhan.John Calvin mengingatkan kita hidup di dalam dunia hanya seperti musafir. Dunia ini bukan tujuan akhir kita. Hidup kita di dalam dunia ini adalah satu perjalanan. Maka semua yang ada dan kita perlukan, itu adalah menjadi perlengkapan yang diperlukan di dalam perjalanan, tetapi tidak boleh menjadi tujuan akhir dari perjalanan kita. Tetapi berapa banyak orang Kristen menjadi kuatir dan gelisah sebab yang diraih dan dicapai bukan menjadi tools, instrument pelengkap tetapi menjadi tujuan akhir. Uang bukan tujuan akhir hidup, uang hanyalah alat untuk kita hidup.
Dapatlah disimpulkan bahwa uang itu tidak senetral bayangan kita selama ini. Karena itu senantiasalah berjaga-jaga dan waspada supaya jangan kita menjadi orang yang tamak dan senantiasa memohon pada Tuhan supaya Ia memberikan anugerah-Nya sehingga kita dapat melihat lebih dalam, kita dibukakan bahwa uang itu asalnya dari Tuhan dan uang bukan untuk disembah tetapi uang hanyalah alat dan Tuhan mau kita memakainya untuk menjadi berkat bagi orang lain dan nama Tuhan dipermuliakan.Maka kumpulkanlah harta yang sejati. Adalah wajar, manusia perlu harta dan tertarik menyimpan barang yang indah, menarik, tahan lama. Namun benda dan harta hanya memenuhi sebagian kebutuhan segi jasmani manusia sebab sifatnya fana, terbatas, bisa dimakan karat dan ngengat. Yesus mengemukakan bahwa harta sejati yang harus dikejar tiap orang adalah Tuhan sendiri dan berbagai bentuk pelayanan kemanusiaan yang mempertegas sifat murah hati. (rsnh)
Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar