Minggu, 22 Juli 2018
"MENJADI PEMIMPIN YANG ADIL DAN JUJUR”
Kotbah: 1Raja 21:1-16 Bacaan: Kolose 4:1-6
Minggu ini kita akan memasuki Minggu kedelapan setelah Trinitatis. Dalam Minggu ini kita akan membahas tema “Menjadi pemimpin yang adil dan jujur”.Pemimpin yang jujur dan adil sangat dirindukan setiap orang. Pemimpin yang jujur dan adil akan membawa kebahagiaan dan kedamaian bagi umat yang dipimpinnya. Namun dalam perikop kotbah Minggu ini kita melihat pemimpin yang bertindak tidak jujur dan adil bahkan sangat tamak atas harta. Ahab, sebagai raja Israel, mempunyai kekuasaan, kekayaan, dan kemegahan yang jauh di atas Nabot. Namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang sudah ia milikinya. Ia tidak dapat menguasai nafsu untuk mengingini dan memiliki sesuatu, walaupun ia tahu bahwa firman Tuhan memang melarang Nabot untuk menjual kebunnya. Nafsu yang tidak dapat dikuasai itu akhirnya berbuahkan tindakan dosa yaitu melanggar firman Tuhan secara sadar dan sengaja. Atas bujukan istrinya, ia menyetujui untuk melenyapkan Nabot secara licik dan sadis. Dengan demikian, keinginan Ahab terpuaskan. Jelas tergambar bahwa walaupun Ahab sebagai penguasa Israel, namun ia sendiri hanyalah seorang budak nafsu. Oleh karena itu Allah mendatangkan hukuman yang setimpal kepadanya. Walaupun Allah menangguhkan hukuman-Nya, tidak berarti bahwa Allah membatalkannya.
Pemimpin seperti Ahab ini menjadi contoh pemimpin yang paradoks dari pemimpin yang jujur dan adil. Kisah Ahab adalah kisah seorang yang memiliki jabatan tertinggi di dalam pemerintahan, namun bertingkah bagaikan anak kecil yang manja karena terbiasa mendapatkan segala sesuatu yang diinginkannya. Apakah sikap dan karakter Ahab sebagai pemimpin yang tidak jujur dan adil pada saat kepemimpinannya?
Pertama,Ahab serakah. Ia tidak mengendalikan hawa nafsu keserakahannya. Ia tidak mau menyadari bahwa Tuhan sudah memberikan hak dan “berkat” kepada setiap orang sesuai dengan kasih karunia-Nya. Keinginan yang serakah adalah dosa di mata Tuhan (ay. 1-4).
Kedua, Izebel licik. Ratu jahat ini menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Jelas ini bukan sikap iman! Orang yang merasa bahwa ia bisa dan harus mendapatkan apapun dengan memakai cara apapun, bukan anak Tuhan (ay. 5-10)!
Ketiga,para tua-tua dan pemuka Kota Samaria adalah masyarakat kelas atas yang memiliki moral rusak dan hati nurani yang busuk. Buktinya mereka mau saja mengikuti perintah Izebel yang jelas-jelas bermotivasikan kejahatan. Masyarakat seperti ini adalah masyarakat yang sakit (ay. 11-12).
Keempat, dua orang dursila adalah orang-orang yang mau melakukan apa saja demi sedikit keuntungan. Ini adalah produk dari masyarakat yang sakit (ay. 13-14). Betapa mengerikannya kalau keserakahan Ahab, kelicikan Izebel, dan kerusakan moral dan hati nurani masyarakat Samaria adalah gambaran kehidupan pemimpin-pemimpin dan kelompok elit negeri ini. Pastilah produk yang muncul adalah orang-orang dursila. Siapa yang bisa mengatasi semua ini? Syukur kepada Allah. Allah sendiri, melalui anak-anak-Nya yang mau dipakai-Nya untuk menyuarakan kebenaran dan menegakkan keadilan.
Nabot rupanya seorang yang berprinsip kuat. Baginya, tanah milik pusaka, sebagaimana diatur oleh firman Tuhan, tidak boleh berpindah tangan, tetapi harus berada dalam keluarga yang sama turun-temurun. Tanah adalah milik Tuhan dan tidak boleh diperlakukan sebagai komoditas (Im. 25:23). Kita melihat bahwa pendirian Nabot menunjukkan iman dan ketaatannya kepada Tuhan dan pemahamannya bahwa Tuhan berdaulat atas seluruh dunia. Namun, lagi-lagi peristiwa ini membuat Ahab kesal. Dapat kita bayangkan, ia bersikap seperti anak kecil yang tak bisa mendapatkan mainan yang dia inginkan. Ia tahu bahwa Nabot benar. Ia tidak punya alasan untuk memaksakan kehendaknya, sebab di hadapan pengadilan Israel, ini tidak akan diperlakukan sebagai kasus subversif seorang rakyat jelata melawan rajanya, melainkan kasus seorang raja melawan Allah Israel. Tak ada peluang Ahab menang.
Di sinilah keputusan besar yang pernah dibuat Ahab menjadi penentu maha-penting dalam hidupnya: pernikahannya dengan Izebel. 1 Raja-raja 16:30-31 mencatat bahwa Ahab adalah raja Israel paling jahat, tetapi semua kejahatannya tak seberapa dibandingkan keputusannya menikahi Izebel yang membawanya ke dalam kejahatan yang lebih dahsyat. Di saat Ahab mengalami kebuntuan dan hanya bisa merajuk, Izebel memberikan jalan keluar yang kreatif. Sayangnya, kreativitas ini membawa Ahab ke dalam kekelaman hidup tak terkira. Dari perjalanan hidup Ahab, kita bisa melihat bahwa orang-orang yang kita tempatkan di sekitar kita bisa mempunyai peranan yang besar terhadap jalan hidup dan keputusan-keputusan yang kita ambil. Rasul Paulus sendiri pernah menuliskan hal yang sama (1Kor. 15:13). Perjalanan hidup kita tak lepas dari orang-orang yang memiliki kunci ke hati dan pikiran kita. Bijaksanalah kepada siapa kunci itu kita berikan.
Sikap Ahab ini juga menjadi pelajaran bagi kita. Jangan sampai kita sebagai kepala keluarga, sebagai imam dalam keluarga sendiri, kita menunjukan ekspresi seperti orang yang tidak berpengharapan. Seperti Ahab yang hanya tidur-tidur, mukanya murung, tidak mau makan. Apa rupanya yang menjadi kekurangan Ahab. Ia seorang raja, tinggal di istana, ia punya satpam, punya pengawal pribadi. Apalagi berbicara tentang kecukupan pangan, pasti cukup dan tidak kekurangan makanan. Tetapi karena sikapnya yang murung itulah yang memancing emosi istrinya untuk memperbudak dirinya dan merencanakan untuk berbuat jahat di mata Tuhan.
Berbeda dengan Ahab, Nabot tipe seorang pemimpin yang jujur dan setia pada perintah TUHAN. Sebagai seorang yang tunduk pada Firman TUHAN, Nabot berani melawan keinginan Ahab. Ada dua hal yang mendasari rahasia keberanian Nabot dalam menolak tawaran raja Ahab, yaitu:
Pertama,Nabot mengandalkan Tuhan. Nabot sungguh mengandalkan kuasa Tuhan, itu sebabnya dalam menolak tawaran Ahab, Nabot menolaknya dengan cara yang sangat baik dan sangat rohani. Dia berkata: “Kiranya TUHAN menghindarkan aku…” Nabot merasa dia adalah rakyat kecil, rakyat biasa yang tidak punya kekuatan apa-apa untuk menghadapi raja Ahab dan dia perlu kuasa Tuhan. Itu sebabnya, ketika dia menolak tawaran raja Ahab, dia menolaknya bukan dengan mengandalkan kekuatan ataupun kemampuan dirinya sendiri yang memang tidak berdaya, melainkan dia mengandalkan Tuhan… “Kiranya Tuhan Menghindarkan aku”…. Ini doa disaat Nabot mengambil keputusan yang genting dan mendadak.
Kedua,Nabot menaati Firman Tuhan. Nabot adalah seorang yang taat pada Firman Tuhan. Nabot tahu bahwa Tuhan melarang penjualan tanah pusaka, Tuhan melarang penjualan tanah warisan dan itu sebabnya dia menolak tawaran raja Ahab. Nabot tidak sedang berpikir yang penting kebun anggurnya diganti dengan kebun yang lain yang lebih bagus, Nabot tidak sedang berpikir bisnis, yang penting dia dapat uang ganti rugi yang lebih banyak dari harga kebunnya sendiri. Tetapi Nabot sedang menunjukan kepada Ahab bahwa menaati firman Tuhan itu adalah harga mati! Dan… tidak bisa diganti dengan harta apapun. Menaati firman Tuhan tidak dapat dikalahkan dengan ancaman, …sekalipun dia harus mati dilempari dengan batu. Dan kalau kita telusuri sebenarnya, Ahab sendiri sebagai raja bangsa Israel pada waktu itu pasti tahu tentang larangan Tuhan dalam hal jual-menjual tanah pusaka… tanah warisan. Tetapi bagi Ahab, larangan itu hanyalah seperti huruf mati, namun bagi Nabot itu adalah kenyataan yang hidup, itu adalah firman Tuhan yang harus di taati.
Dari kisah ini kita belajar bahwa ketika kita hidup, lakukanlah andalkanlah TUHAN dan lakukanlah Firman-Nya agar kita bisa dan mampu menjadi seorang pemimpin yang jujur dan adil bagi semua orang. (rsnh)
Selamat beribadah dan menikmati lawatan TUHAN!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar