Kamis, 29 Maret
2018
Kotbah: Yohanes
18:1-11 Bacaan: Matius 26:36-46
Malam ini kita
akan merayakan Kamis Putih. Kamis Putih adalah hari pertama
dari Tri Hari Suci Paskah. Kamis
Putih ini menandai dimulainya Triduum Paskah. Pada hari ini kita merayakan
kembali perjamuan Malam Terakhir yang dilakukan Yesus bersama 12 Rasul. Dikatakan
sebagai perjamuan terakhir karena pada malam itu Yesus dikhianati oleh
murid-Nya, Yudas Iskariot. Malam itu, Yesus menunjukkan kasih-Nya hingga rela
kehilangan nyawa bagi seluruh manusia di dunia. Pada malam itu Yesus
menyerahkan tubuh dan darah-Nya pada Bapa di Surga dalam wujud roti dan anggur
yang diberikan kepada para rasul untuk memberi kekuatan bagi mereka. Yesus juga
meminta apa yang Dia lakukan malam itu terus dilakukan oleh para pengikut-Nya.
Pada perayaan
Kamis Putih ini kita akan membahas tema “Berserah
kepada kehendak Allah”. Yesus sebagai TUHAN tidak mau menggunakan
ke-TUHAN-an-Nya untuk mengelak dan melarikan diri dari peristiwa yang
menakutkan dan mematikan ini. Yesus tidak mengelak untuk ditangkap dan dihukum
serta disalib di kayu salib di Golgota. Tetapi Yesus berserah dan pasrah kepada
kehendak Allah yang mengutus-Nya ke dunia ini sebagai tebusan umat manusia yang
berdosa.
Timbul pertanyaan kita sekarang, bagaimanakah
sikap Yesus waktu Ia ditangkap?
Pertama, Yesus berinisiatif menyerahkan diri (ay. 4-6). Tuhan tahu segala sesuatu yang mendatangi-Nya, dan
dalam terang pengetahuan ini Ia keluar untuk menemui tentara-tentara itu. Ia
sama sekali tidak “ditangkap”. Ia yang melakukan inisiatif dan Ia menyerahkan
diri-Nya sendiri. Pertama-tama Ia bertanya siapa yang sedang mereka
cari. Ketika mereka berkata: “Yesus dari Nazaret”, Ia menjawab: “Akulah Dia /
Aku adalah”, yang bisa berarti “Aku adalah Yesus dari Nazaret”. Tetapi jawaban
ini ada dalam gaya ilahi (lih. 8:58). Ini pasti merupakan gerakan
yang paling tidak terduga dari Dia. Tentara-tentara datang secara diam-diam
untuk menangkap orang rendahan yang lari. Dalam kegelapan mereka menemukan diri
mereka sendiri dihadapkan pada seseorang yang memerintah, yang bukannya
melarikan diri tetapi datang menemui mereka dan berbicara kepada mereka dalam
bahasa ilahi.
Bahasa ilahi ini terlihat dari kata-kata “Akulah
Dia” secara hurufiah hanyalah “I am” (= Aku adalah). Ini disebut
bahasa ilahi karena dihubungkan dengan kata-kata “Aku adalah Aku” dalam
Keluaran 3:14a, dan “Akulah Aku” [NIV: “I AM” (= Aku
adalah)] dalam Keluaran 3:14b.
Para tentara Romawi, tidak mungkin mengerti “bahasa
ilahi” itu, tetapi mereka pasti bisa merasakan kewibawaan dari Yesus. Kata-kata
Yesus “Akulah Dia” menyebabkan para penangkap-Nya rebah dan jatuh ke
tanah (ay. 6).
Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan betapa
mengerikan dan menakutkan bagi orang jahat suara Kristus nanti, pada waktu Ia
naik ke atas tahta untuk menghakimi dunia. Pada saat itu (pada saat Ia
ditangkap) Ia berdiri sebagai Domba yang siap untuk dikorbankan, dan keagungan-Nya,
sejauh kita melihatnya secara lahiriah / dari luar, sama sekali hilang. Tetapi
pada saat Ia mengucapkan sepatah kata, musuh-musuh-Nya yang bersenjata dan berani
jatuh ke tanah. Dan apa kata yang Ia ucapkan? Ia tidak mengguntur dengan suatu
pengucilan yang menakutkan terhadap mereka, tetapi hanya menjawab: “Akulah Dia”.
Apa yang akan terjadi, pada saat Ia datang nanti, bukan untuk dihakimi oleh
manusia, tetapi untuk menjadi Hakim bagi orang yang hidup dan orang yang mati;
bukan dalam penampilan yang buruk dan hina, tetapi bersinar dalam kemuliaan
surgawi, dan diiringi malaikat-malaikatNya.
Jika dalam perendahan-Nya Ia hanya berkata
kepada tentara-tentara itu “Akulah Dia” dan mereka rebah ke belakang; bagaimana
ketakutan dari musuh-musuh-Nya pada waktu Ia akan menyatakan diri-Nya sendiri
secara lebih penuh sebagai “Aku adalah Aku”.
Kedua, Yesus berusaha melindungi murid-murid-Nya (ay. 7-9). Kristus
mengucapkan ayat 7-8 untuk melindungi domba-domba-Nya (ay. 9). Gembala
yang baik memikirkan domba-domba-Nya pada saat Ia menuju pada penangkapan,
pengadilan dan kematian. Mungkin hal ini ada di belakang permintaan-Nya
bagi mereka untuk mengulang bahwa adalah “Yesus dari Nazaret” yang sedang
mereka cari. Dari mulut mereka sendiri, dalam pernyataan yang diulang dua kali,
Ia sebenarnya mengarahkan mereka untuk menyatakan bahwa urusan mereka bukanlah
dengan murid-murid.
Kita harus meniru Kristus dalam persoalan ini,
yaitu dalam penderitaan apapun tetap memikirkan orang lain! Apa yang Yesus
lakukan ini menunjukkan bahwa keadaan kritis apapun tidak bisa menghancurkan
keselamatan kita!
Karena itu, kapanpun orang jahat atau setan
menyerang kita, janganlah kita meragukan bahwa Gembala yang baik ini siap
menolong kita dengan cara yang sama.
Ketiga, waktu Petrus membela-Nya
dengan pedang, Yesus justru menegur Petrus (ay. 10-11a). Petrus
menghadapi situasi kritis itu dengan caranya sendiri dan dengan kekuatannya
sendiri (ay. 10), dan Yesus menegurnya (ay. 11a; Mat. 26:52-54),
dan lalu menyembuhkan telinga orang yang putus itu (Luk. 22:51).
a) Peristiwa
ini menunjukkan keberanian Petrus. Sekalipun tindakannya ini salah,
tetapi dalam tindakan ini kita juga melihat suatu hal yang positif dalam diri
Petrus yaitu keberaniannya menghadapi ratusan tentara demi Kristus. Petrus
akan segera menyangkal Tuannya, tetapi pada saat itu ia siap untuk menghadapi
ratusan orang sendirian demi Kristus. Kita boleh berbicara mengenai sikap
pengecut dan kegagalan Petrus, tetapi kita tidak boleh melupakan keberaniannya
yang luhur / agung pada saat ini.
b) Apa salahnya Petrus sehingga
ia ditegur? Tindakan Petrus bertentangan dengan rencana Allah tentang
kematian Kristus untuk menebus dosa manusia. Sebetulnya membela diri
dalam keadaan terpaksa tidaklah salah; lihat orang Yahudi pada jaman Ester (Est.
9). Tetapi dalam kasus penangkapan Kristus ini, Kristus memang harus ditangkap
dan mati untuk dosa kita. Ini dinyatakan oleh Kristus dengan berkata bahwa Ia
harus minum cawan yang diberikan oleh Bapa kepadaNya (ay. 11b). Jadi di
sini Petrus melakukan sesuatu yang bertentangan Rencana Allah, dan karena itu
ia disalahkan.
Tindakan Petrus ini bisa menyebabkan fitnahan
yang ditujukan kepada Kristus kelihatannya benar. Fitnahan / tuduhan terhadap Yesus banyak sekali, misalnya Ia
difitnah / dituduh sebagai: penjahat (Yoh. 18:30), menganggap
diri sebagai raja (Yoh. 18:33-35 19:12), penyesat bangsa Yahudi,
melarang membayar pajak kepada Kaisar (Luk. 23:2a).
Keempat, Yesus rela meminum cawan yang diberikan Bapa kepada-Nya.
Ayat 11b – “bukankah Aku harus minum cawan yang diberikan Bapa
kepadaKu?”.
a) Yesus
tahu akan kehendak Bapa, dan karena itu Ia berkata bahwa Ia harus meminum cawan
itu. Tadinya waktu di Taman Getsemani, Ia berdoa supaya
cawan itu berlalu, tetapi menambahinya dengan kata-kata: “janganlah
seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Mat.
26:39b), dan “jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya,
jadilah kehendakMu!” (Mat. 26:42b). Tetapi sekarang Ia tahu bahwa Ia
harus meminum cawan itu.
b) Dalam
Kitab Suci kata “cawan” / “anggur” sering berhubungan dengan penderitaan dan
murka Allah (Mzm. 75:9; Yes. 51:17,22; Yer. 25:15; Yehz. 23:31-33; Why. 14:10).
Jadi “cawan” di sini menunjuk pada penderitaan sebagai akibat dari
murka Allah yang seharusnya dipikul oleh manusia sebagai hukuman atas dosa-dosa
mereka. Kristus “meminum cawan / anggur itu”, dengan membiarkan diri-Nya
ditangkap, dicambuki, disalibkan sampai mati, supaya kita tidak perlu meminum
cawan / anggur itu.
Peristiwa malam Kamis Putih ini memberikan
pelajaran bagi kita bahwa seorang
pemimpin bukanlah pihak yang dilayani, melainkan pihak yang melayani.
Dewasa ini, kita sering melihat pemimpin yang maunya dilayani saja, tetapi dia
tidak pernah melayani. Ada juga pemimpin yang ingin mendapatkan pelayanan yang
eksklusif, tetapi tidak pernah memberi pelayanan yang eksklusif kepada
rakyat-Nya. Mari kita bahas semua kejadian yang
terjadi saat makna Kamis Putih supaya kita tahu apa saja yang bisa kita
pelajari dalam Kamis Putih. Pada peristiwa ini, kita bisa mempelajari banyak
hal dari Yesus Kristus dengan segala kesederhanaan dan kerendahan hati-Nya.
Perenungan
kita malam ini adalah apakah makna dari Kamis Putih bagi kita?
Pertama, kita harus belajar
melayani dengan kerendahan hati. Simbol pelayanan kerendahan hati
ini ditunjukkan Yesus dengan perintah untuk melakukan pembasuhan kaki. Perintah
ini hanya terdapat dalam Injil Yohanesdan tidak
terdapat dalam Injil
sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas) lainnya.
Kaki adalah bagian yang kotor dalam tubuh manusia. Kaki manusia menginjak debu
tanah. Pembasuhan merupakan sebuah bentuk dari simbolisasi tata
gerak. Kegiatan membasuh kaki adalah hal yang sudah biasa dilakukan oleh
orang Yahudi pada
zaman Yesus. Proses pembasuhan kaki itu biasanya dilakukan oleh bawahan
terhadap atasan. Dalam dunia Yunani,
pembasuhan kaki adalah hal yang hina, yang biasa dilakukan oleh budak. Namun yang istimewa di sini, pembasuhan
kaki ini dilakukan oleh Yesus yang
adalah Guru kepada murid-muridnya.
Yesus melakukan sebuah ritual yang biasa dilakukan dengan cara yang tidak
berbeda. Yesus melakukan pekerjaan yang seharusnya tidak layak dilakukan oleh
seorang Guru. Tata gerak membasuh kaki ini menyimbolkan suatu teladan untuk
merendahkan diri dan melayani. Yesus melakukan pekerjaan yang seharusnya tidak
dilakukan oleh seorang Guru kepada murid-Nya. Tata gerak membasuh kaki ini
menyimbolkan suatu teladan untuk merendahkan diri dan melayani.
Tindakan Yesus membasuh kaki merupakan
tindakan simbolis yang
menyimbolkan penyerahan diri, pembersihan, pengampunan, pembaharuan, kemuridan
dan ibadah. Penyerahan diri yang dimaksudkan adalah penyerahan diri Yesus
dalam kematian untuk "menebus dosa"/"membersihkan" orang
lain. Pembasuhan kaki yang Yesus lakukan juga menyimbolkan kerendahan hati dan
keinginan untuk menjadi "hamba" yang mau melayani orang yang hina
sekalipun.
Kedua, kita harus berdoa dan mengasihi musuh kita. Sebelum
Yesus ditangkap, Dia berdoa di Taman Getsemani.
Kisah di Taman Getsemani ini juga
mengajarkan kepada kita untuk tetap setia berdoa kepada Allah Bapa. Berdoa
adalah komunikasi dengan Tuhan. Kita harus tetap menjaga komunikasi dengan
Allah supaya perjalanan kita di dunia itu terberkati oleh Tuhan. Untuk kamu
yang jarang berdoa, mulailah membiasakan diri untuk berdoa kembali karena doa
itu penting. Ingatlah Ora et Labora. Petrus adalah hamba yang setia. Hal
ini tentu ditunjukkan ketika dia melakukan perlawanan terjadap prajurit yang
ingin menangkap Yesus. Petrus memotong kuping salah satu prajurit. Nama
prajurit tersebut adalah Malkhus. Namun, Yesus justru marah dengan perbuatan
Petrus dan memilih untuk menyembuhkan kuping Malkhus. Yesus memberikan
teladan kepada kita bahwa kekerasan tidak boleh dilawan dengan kekerasan. Dia
adalah sosok yang anti-kekerasan dan memilih jalan damai. Yesus Kristus memilih
jalan salib daripada kekerasan karena dia sadar bahwa takdir-Nya sudah
ditentukan sejak lama.
Ketiga, kita harus menghindari
nafsu duniawi yang akan membawa kita kepada maut. Yudas
Iskariot adalah murid Yesus yang akan menyerahkan Yesus untuk dihukum salib.
Yesus sudah memberikan “kode” kepada para murid-Nya bahwa salah satu di antara
12 Rasul akan mengkhianati-Nya. Lalu, kenapa Yudas justru menjual Yesus? Apakah
Yesus menjual Yesus demi harta? Yudas menjual Yesus kepada para Imam
dengan harga hanya 30 keping perak yang bila kita ubah ke dollar itu adalah
sekitar 19 dollar Amerika. Bila kita konversikan ke rupiah dengan 1 rupiah
adalah 13.000, itu setara dengan Rp 247.000. Tentu hal ini itu sangat murah.
Jadi, Yudas bukan ingin menjual Yesus dengan harapan uang, tetapi harapan
lain. Seperti orang Yahudi saat itu, Yudas ingin menjadikan Yesus sebagai
pemimpin revolusi orang Yahudi untuk melakukan pemberontakan terhadap Kekaisaran
Romawi. Hal ini pernah dilakukan oleh Judas Makabe yang melakukan pemberontakan
melawan Kekaisaran Seleukid dan akhirnya mendirikan Dinasti Hasmonea.
Sayangnya, kerajaan tersebut tidak bertahan lama.
Yudas Iskariot berharap Yesus mau memimpin
pemberontakan melawan Roma. Sayangnya, Yesus mengajarkan murid-Nya untuk taat
kepada Kaisar. Jadi, Yesus sendiri tidak memiliki minat untuk menjadi pemimpin
di dunia karena dia sudah menjadi Pemimpin di surga. Oleh sebab itu, Yudas
menjual Yesus kepada para Imam dengan harapan akan terjadi revolusi di Kota
Yerusalem ketika Yesus diadili oleh Pilatus. Namun, harapan tersebut tidak
terkabulkan karena Yesus sendiri memilih jalan salib. Tentu hal ini
mengecewakan Yudas Iskariot. Dia pun mengembalikan uang tersebut kepada para
Imam. Yudas pun memilih mengakhiri hidupnya karena rencananya yang gagal dan
rasa malu yang sangat mendalam. Apa yang dilakukan oleh Yudas mengajarkan
kita satu hal. Nafsu duniawi tidak bisa menggagalkan penggenapan Firman Allah.
Saat berdoa, kita sering ingin doa kita terkabulkan oleh Allah dan ketika tidak
terkabul maka kita akan kecewa kepada Allah. Padahal, Allah memiliki rencana
yang lebih indah dari itu.
Dari beberapa kisah itu, kita bisa
mempelajari banyak hal. Kita bisa belajar dari Yesus bahwa Yesus adalah sosok
yang rendah hati dan melayani seperti yang tergambar dalam Kisah Perjamuan
Terakhir dan Taman Getsemani. Kita juga harus belajar dari apa yang terjadi
pada Yudas yang karena nafsunya ingin menjadikan Yesus sebagai pemimpin politik
justru berakhir kepada maut. Yesus juga mengajarkan kita untuk melawan
kekerasan dengan kebaikan. Karena itu, sama seperti Yesus, kitapun harus mampu
berserah kepada kehendak Allah dalam menjalani kehidupan ini. (rsnh)
Selamat Merayakan
Ibadah Kamis Putih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar