Rabu, 14 Pebruari 2018
“PERTOBATAN DARI DALAM HATI”
Matius 6:1-6, 16-18
Hari ini kita memasuki Rabu Abu. Rabu Abu adalah permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa
pertobatan, pemeriksaan batin dan berpantang guna mempersiapkan diri untuk
Kebangkitan Kristus dan Penebusan dosa kita.
Mengapa pada Hari Rabu Abu kita menerima abu di kening kita? Sejak lama, bahkan berabad-abad sebelum Kristus, abu telah menjadi tanda tobat. Misalnya, dalam Kitab Yunus dan Kitab Ester. Ketika Raja Niniwe mendengar nubuat Yunus bahwa Niniwe akan ditunggangbalikkan, maka turunlah ia dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di abu (Yun. 3:6). Dan ketika Ester menerima kabar dari Mordekhai, anak dari saudara ayahnya, bahwa ia harus menghadap raja untuk menyelamatkan bangsanya, Ester menaburi kepalanya dengan abu (Est. 4:13).
Mengapa pada Hari Rabu Abu kita menerima abu di kening kita? Sejak lama, bahkan berabad-abad sebelum Kristus, abu telah menjadi tanda tobat. Misalnya, dalam Kitab Yunus dan Kitab Ester. Ketika Raja Niniwe mendengar nubuat Yunus bahwa Niniwe akan ditunggangbalikkan, maka turunlah ia dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di abu (Yun. 3:6). Dan ketika Ester menerima kabar dari Mordekhai, anak dari saudara ayahnya, bahwa ia harus menghadap raja untuk menyelamatkan bangsanya, Ester menaburi kepalanya dengan abu (Est. 4:13).
Abu yang digunakan pada Hari Rabu Abu berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar.
Semua umat menerima abu pada Hari Rabu Abu. Yaitu sebagai tanda untuk mengingatkan kita untuk bertobat, tanda akan ketidakabadian dunia, dan tanda bahwa satu-satunya Keselamatan ialah dari Tuhan Allah kita.
Sel Abu melambangkan dukacita,
ketidakabadian dan sesal/tobat (bdk. Est. 4:1; Ayb. 42:6; Dan. 9:3; Yun.
3:5-6). Dengan pemberian abu, Gereja mau mengingatkan kita akan ketidakabadian
sehingga memanggil kita untuk hidup dalam semangat pertobatan sejati.
Abu ini juga mengajak kita sepanjang
Prapaskah untuk mengarahkan hati kepada Kristus yang sengsara, wafat, dan
bangkit demi keselamatan kita.
Penderitaan Kristus menjadi undangan
terbuka kepada pertobatan (bdk. 2Kor. 6:2), sedangkan kebangkitan-Nya menjadi
sumber harapan akan kualitas hidup yang lebih baik jika kita mau merenungkan,
menghayati dan mengamalkan Firman-Nya. Dan kualitas hidup setiap orang beriman
ditandai dengan doa, bermati-raga (berpantang dan berpuasa) serta beramal kasih
kepada sesama (bdk. Mat. 6:1-6.16-18), bukan hanya pada Masa Prapaskah, tetapi
setiap saat sepanjang masa hidupnya.
Tema kita malam ini adalah “Pertobatan dari dalam hati”. Pertobatan
akan lebih bermakna jika dibarengi dengan tindakan nyata, bukan hanya di bibir
saja.
Secara ritual, kita menjalankan puasa dan pantang.
Dan secara batin, ini yang terpenting, kita memeriksa sampai jauh ke dalam hati kita, kapan dan bagaimana kita bisa terjatuh ke dalam dosa. Bukan untuk mencari-cari pembenaran, melainkan untuk membersihkan dosa-dosa itu seluruhnya, meleburnya dalam penebusan Kristus.
Secara ritual, kita menjalankan puasa dan pantang.
Dan secara batin, ini yang terpenting, kita memeriksa sampai jauh ke dalam hati kita, kapan dan bagaimana kita bisa terjatuh ke dalam dosa. Bukan untuk mencari-cari pembenaran, melainkan untuk membersihkan dosa-dosa itu seluruhnya, meleburnya dalam penebusan Kristus.
Pertobatan tidak dapat dilakukan secara
universal, mesti dilakukan dengan tindakan yang spesifik, tertuju kepada Tuhan
dan orang-orang yang kepadanya kita telah berbuat dosa.
Mana bisa pertobatan dilakukan hanya di
bibir, hanya dengan berkata, “Mohon maaf lahir dan batin” atau “Maafkanlah
kesalahan yang saya perbuat”?
Dan tetap mesti diingat, jika kita pernah berbuat dosa terhadap seseorang, sesungguhnya kita telah melanggar perintah Tuhan, kita berdosa kepada Tuhan, dan Tuhanlah yang memiliki kuasa untuk memberi pengampunan kepada kita.
Dan tetap mesti diingat, jika kita pernah berbuat dosa terhadap seseorang, sesungguhnya kita telah melanggar perintah Tuhan, kita berdosa kepada Tuhan, dan Tuhanlah yang memiliki kuasa untuk memberi pengampunan kepada kita.
Namun demikian, Yesus telah mengajarkan
kepada kita:
Ketika kita datang kepada Tuhan dan kita teringat akan seseorang yang menaruh ganjalan hati terhadap kita, maka tinggalkanlah persembahan di depan mezbah, terlebih dahulu pergilah untuk berdamai dengannya, baru kemudian kembali kepada persembahan kita.
Ketika kita datang kepada Tuhan dan kita teringat akan seseorang yang menaruh ganjalan hati terhadap kita, maka tinggalkanlah persembahan di depan mezbah, terlebih dahulu pergilah untuk berdamai dengannya, baru kemudian kembali kepada persembahan kita.
Pertobatan adalah sebuah hadiah yang indah
dari Allah untuk kita. Mengapa pertobatan dalam hati penting bagi kita?
Pertama, pertobatan memungkinkan Tuhan
memulihkan, mengampuni, dan menyucikan kita. “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah
setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan
kita dari segala kejahatan” (1 Yoh. 1:9). Ketika kita mau mengakui dosa-dosakita,
maka Dia akan mengampuni kita dan menyucikan kita, sehingga kita menjadi benar
kembali di hadapan-Nya.
Kedua, pertobatan membantu kita
untuk menjadi rendah hati. Kesombongan adalah kebutaan rohani
yang menyebabkan kita berpikir bahwa standar kita lebih baik dari standar
Allah. Lawan
dari kesombongan adalah kerendahan hati. Ada sebuah definisi kerendahan hati,
“Rendah hati berarti setuju dengan kebenaran.” Mungkin itulah mengapa Paulus
mengatakan bahwa pertobatan membuat kita mengenal kebenaran sehingga kita dapat
menjadi sadar (2 Tim. 2:25-26). Ketika kita bertobat dan belajar untuk setuju
dengan kebenaran standar Allah tentang kebenaran dan dosa, maka kita bertumbuh
dalam kerendahan hati. Allah menghargai kerendahan hati: Dia
mengasihani orang yang rendah hati, dan menentang orang yang congkak (Ams.
3:34; Yakobus 4:6). Jadi lekaslah bertobat agar kita dapat bertumbuh dalam
kerendahan hati dan menerima serta menikmati belas kasihan Allah.
Ketiga, pertobatan menjauhkan Iblis
dari kita. Ketika
kita bertobat dan berbalik kepada Allah, bisikan-bisikan Iblis yang menyesatkan
akan menghilang dan kita mulai bisa merasakan dan menerima kebenaran Allah
lagi. Alkitab mengatakan kepada kita,
“Tunduklah kepada Allah, dan lawanlah Iblis, maka ia akan lari dari padamu!”
(Yak. 4:7). Dalam ayat ini, tunduk kepada Allah berarti membersihkan tangan
kita dan menyucikan hati kita dari dosa dan hati yang mendua (Yak. 4:8). Ketika kita berdosa, sesungguhnya kita sedang
memberikan izin kepada Iblis untuk mendekat kepada kita, sebab “barangsiapa
yang tetap berbuat dosa, berasal dari Iblis, sebab Iblis berbuat dosa dari
mulanya” (1 Yoh. 3:8). Iblis itu dekat dengan mereka yang melakukan apa yang
Iblis lakukan (Yoh. 8:44). Dan ketika Iblis dekat dengan kita, dia “datang
hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan” (Yoh. 10:10). Ketika kita tunduk kepada Allah dengan bertobat,
kita sedang menyatakan bahwa kita adalah milik Allah dan kita dapat melawan
Iblis dan pengaruhnya di dalam hidup kita.
Keempat, pertobatan membebaskan kita dari
kuasa dosa. Ketika
kita mengakui dosa-dosakita kepada Allah, maka dosa-dosa itu akan kehilangan
kuasa untuk menipu dan menyakiti kita. Alkitab
memberi kita janji ini: “Karena itu sadarlah dan bertobatlah, supaya dosamu
dihapuskan” (Kisah 3:19). Jika kita tidak bertobat, kita takkan mampu menerima
pertolongan dan kebebasan dari kuasa dosa.
Kelima, pertobatan membawa kita kepada
kepenuhan hidup bersama Yesus. Dosa
akan membawa kita kepada kematian rohani. Firman Tuhan memberitahu kita bahwa
“upah dosa ialah maut” (Rm. 6:23) dan Yesus berkata, “jikalau kamu tidak
bertobat, kamu semua akan binasa” (Luk. 13:3). Sebaliknya, pertobatan membawa
kita kepada hidup (Kisah 11:18) dan keselamatan (2 Kor. 7:10). Sesungguhnya, ketika kita bertobat, kita mengundang
Yesus untuk bersekutu dengan kita. Setelah mengingatkan orang-orang Kristen
untuk “merelakan hati kita dan bertobat”, Yesus berkata, “Lihat, Aku berdiri di
muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan
membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama
dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku” (Why. 3:19-20).
Hari ini kita memulai masa Prapaskah yang
ditandai dengan penerimaan abu di dahi kita. Dalam kehidupan masyarakat
sederhana yang belum mengenal aneka macam sabun atau detergent untuk mencuci
peralatan dapur, abu seringkali digunakan untuk mencuci perlatan dapur,
lebih-lebih untuk menghilangkan bau amis dan kerak. Jadi, abu mempunyai manfaat
untuk membersihkan barang-barang yang kotor.
Selain itu, abu juga menjadi tanda betapa kecil, rapuh, lemah dan tidak berdayanya diri kita. Di hadapan Tuhan, kita ini ibarat debu/abu yang amat kecil. Bahkan, berhadapan dengan diri kita sendiri dan alam semesta ini, kita tampak begitu lemah dan rapuh. Hal ini tampak nyata dalam ketidakberdayaan kita untuk mengendalikan diri, menguasai emosi-emosi negatif, mengalahkan godaan dan menghindari dosa serta menghindari penyakit. Terhadap alam, kita juga tampak rapuh. Kita tidak bisa mengendalikan bencana alam (gempa, gunung meletus), musim, dll.
Lantas, apa maknanya kalau kita menerima tanda abu di dahi kita pada permulaan masa prapaskah ini? Masa prakaskah merupakan kesempatan istimewa bagi kita untuk mempersiapkan diri merayakan paskah. Selama masa prapaskah kita diberi kesempatan untuk mempersiapkan diri menyambut Tuhan yang bangkit dan membawa keselamatan bagi kita. Tuhan bangkit berarti Ia hidup, hadir dan menyertai kita. Jadi, kita mempersiapkan diri untuk menerima kehadiran Tuhan yang menyertai dan menyelamatkan kita, yang memberikan kehidupan baru kepada kita.
Nah, dalam rangka mempersiapkan diri menyambut kebangkitan Tuhan yang membawa kehidupan baru ini, kita membutuhkan “Abu”. Mengapa?
Pertama, abu mempunyai manfaat membersihkan. Kalau kita makan untuk mendapatkan energi kehidupan jasmani, kita pasti membutuhkan piring yang bersih khan, bukan piring kotor. Masak, kita makan makanan yang enak, lezat dan bergizi kok dengan piring kotor. Ya, selera makan kita berkurang, makanan yang enak dan bergizi itu menjadi kurang enak lagi, bahkan malah menimbulkan penyakit. Demikianlah kita, kita diajak untuk membersihkan diri kita supaya siap dan pantas menerima kehadiran Tuhan yang memberikan energi hidup, tidak hanya jasmani tetapi juga rohani. Kita diajak untuk memperbarui hidup kita, mengoyakkan hati kita – bukan pakaian kita – (Yl. 2:13), dan berdamai kembali dengan Allah (1Kor. 5:20) melalui amal, doa, dan puasa (bacaan Injil). Maka, selama masa prapaskah ini, marilah kita meningkatkan ketiga hal tersebut: puasa (+ pantang) sebagai ungkapan lahir dari pengendalian diri kita; doa sebagai usaha kita untuk semakin mendekatkan diri dengan Tuhan; dan amal (APP) sebagai upaya kita untuk mendekatkan diri dengan sesama, bersolider, memberi pertolongan, dll.
Kedua, abu melambangkan kerapuhan dan kelemahan kita. Rasanya tidak mungkin kita bisa berhasil membersihkan diri kita, kalau kita hanya mengandalkan diri pada usaha dan perjuangan kita sendiri. Maka, kita perlu rendah hati, menyadari kelemahan dan kerapuhan kita di hadapan Tuhan agar Tuhan berkarya dalam diri kita dan memampukan kita untuk menghayati dan mewujudkan pertobatan yang sejati.
Marilah kita serahkan kepada Tuhan, seluruh usaha-usaha kita untuk bertobat yang kita wujudkan dalam kegiatan amal, doa, dan puasa. Kita percaya, kalau Tuhan berkerja dalam diri kita, usaha-usaha kita tersebut pasti membuahkan hasil yang baik (bdk. Perumpamaan tentang pokok Anggur dalam Yoh 15:4). Kita percaya pula bahwa, “Allah yang telah memulai pekerjaan-pekerjaan baik di antara kita akan menyelesaikannya” (bdk. Flp 1:6). - rsnh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar